Friday 17 January 2014

Candi Barong ; Harapan Berkah Kesuburan Masa Lalu


Candi Barong adalah tujuan terakhir dari rangkaian agenda gowes Tour De’ Candi kami pada hari itu, setelah sebelumnya kami menyempatkan mengunjungi Gua Sentono – Candi Abang – Gua Jepang – dan Candi Banyunibo, maka mengingat waktu dan kondisi cuaca Kota Yogyakarta beberapa hari ini yang selalu diguyur oleh hujan pada sore hari, kami pun sepakat untuk menyudahi agenda gowes hari ini dengan Candi Barong sebagai penutup perjalanan , karena lokasi Candi ini kebetulan berdekatan dengan Candi Banyunibo

Jika sebelumnya kita datang dari arah Candi Banyunibo, maka untuk mengunjungi Candi Barong kita tinggal menuju perkampungan warga yang berada di belakang Candi Banyunibo (dari arah Banyunibo, ketemu perempatan belok kanan kemudian kiri), karena kami menggunakan sepeda maka sepeda pun diparkir atau dititipkan di perumahan warga (tenang saja disini masih aman), dari situ kami lanjut dengan berjalan kaki trekking keatas, melewati jalan setapak dan persawahan warga. Sedangkan jika menggunakan kendaraan bermotor roda empat, kita terpaksa harus berputar lebih jauh melewati jalan aspal utama menuju Candi Prambanan dan berputar lagi menuju pintu masuk Candi Barong (disinilah keunggulan jika kita menggunakan sepeda untuk menjelajah obyek wisata hehe…)

jalan setapak menuju lokasi candi


Serangga apa ya ini? membuktikan masih alami dan terjaganya lingkungan disekitar candi


Sebagai salah satu candi peninggalan agama Hindu yang berada tak jauh dari kompleks Candi Ratu Boko, tepatnya di atas perbukitan Dusun Candisari, Kelurahan Bokoharjo, Prambanan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, candi ini mempunyai keunikan tersendiri dibanding candi-candi peninggalan agama Hindu lainnya yang banyak tersebar di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah


Ditemukan pertama kali oleh seorang Belanda sekitar tahun 1913, penemuan kompleks candi ini berawal dalam rangka perluasan perkebunan tebu untuk mendukung produksi pabrik gula, ketika itu kondisi candi masih berupa puing dan reruntuhan sehingga sulit dikenali bentuk aslinya. Proses rekonstruksi candi sendiri baru mulai dilakukan pada tahun 1978, hingga akhirnya berhasil merestorasi bangunan candi pertama pada tahun 1994. Kemudian pada tahun selanjutnya diadakan pemugaran pada bangunan candi kedua, pagar, serta talut (bagian tepi kompleks candi yang landai)

Area persawahan yang berada disekeliling candi


Keunikan candi ini adalah pada pahatan berbentuk hiasan kala makara yang berada diatas pintu atau relung-relung candi berupa kepala singa (barong) yang memiliki rahang bawah, kala makara sendiri dianggap sebagai simbol penolak bala. Sedangkan pada candi-candi lain di Yogyakarta maupun Jawa Tengah, hiasan kala makara biasanya hanya menggambarkan muka singa tanpa rahang bawah, mungkin itulah sebabnya mengapa kemudian candi ini dinamakan Candi Barong oleh masyarakat sekitar

Hiasan Kala Makara yang terdapat pada bangunan candi



Keistimewaan lainnya dari bangunan candi utama ini adalah tidak adanya pintu masuk, sehingga upacara pemujaan diperkirakan dilakukan di luar bangunan. Selain itu pemujaan terhadap Dewa Wisnu juga merupakan keistimewaan kompleks candi ini, karena umumnya candi-candi di Jawa Tengah memuja Dewa Syiwa (bersifat Syiwaistis)


Candi Barong diperkirakan dibangun sekitar abad ke-9 dan ke-10 masehi pada zaman Kerajaan Mataram Kuno. Candi ini merupakan kompleks peribadatan untuk memuja Dewa Wisnu dan istrinya yaitu Dewi Laksmi, atau yang lebih dikenal masyarakat sebagai Dewi Sri (Dewi kesuburan bagi pertanian atau Dewi Padi). Pemujaan terhadap Dewa Wisnu dan Dewi Sri ini kemungkinan disebabkan oleh kondisi lingkungan dan tanah yang berada disekitar areal candi yang kebetulan tandus dan tidak subur, sehingga dengan memuja Dewa Wisnu dan Dewi Sri, masyarakat mengharapkan kondisi tanah pertanian sekitar candi dapat menjadi tanah yang subur


Kompleks candi ini berada diatas perbukitan dan dikelilingi oleh persawahan warga, halaman candi terdiri dari tiga tingkatan atau undakan (makin ke belakang makin tinggi), pada teras tertinggi yang merupakan area utama merupakan halaman yang dianggap paling suci atau sakral, dimana untuk memasukinya kita harus melewati tangga dan gerbang yang tersusun dari batu andesit, disini terdapat dua bangunan candi yang dipergunakan untuk pemujaan terhadap Dewa Wisnu dan Dewi Sri dengan bentuk dan ukuran yang hampir sama. Pada candi pertama yang berada tepat dibelakang gerbang dan digunakan sebagai pemujaan terhadap Dewa Wisnu mempunyai ukuran 8,20 m x 8,20 m dengan ketinggian 9,25 m, sedang pada candi kedua yang digunakan sebagai pemujaan terhadap Dewi Sri berukuran 8,25 m x 8,25 m dengan ketinggian 9,25 m. Perbedaan antara keduanya terletak pada ragam hiasan relief dan arcanya



gerbang menuju teras tertinggi (area suci dan sakral)




Di halaman teras kedua terdapat struktur bangunan berukuran 12,30 m x 7,80 m dan beberapa umpak batu berbentuk segi delapan yang diduga merupakan pondasi bangunan pendapa dengan atap dari kayu. Sedangkan pada halaman teras pertama yang dibatasi oleh garis batu membentuk bujursangkar dan berupa area kosong tidak ditemukan struktur bangunan

Dua bangunan candi yang dipergunakan untuk memuja Dewa Wisnu dan Dewi Sri




Menurut cerita penduduk pada candi ini dahulu ditemukan arca Dewi Sri dan hiasan kerang bersayap (sankha) yang merupakan salah satu simbol (laksana) dari Dewa Wisnu, namun saat ini arca tersebut sudah tidak ada, entah sudah hilang atau mungkin sudah diamankan oleh instansi terkait

Bangunan pemujaan Dewa Wisnu yang berada tepat dibelakang gerbang



Bangunan Candi yang dipergunakan untuk pemujaan Dewi Sri berada tepat disampingnya


Melihat kemegahan bangunan candi ini secara langsung, ditambah dengan indahnya panorama yang tampak dari atas perbukitan dimana candi ini berdiri, membuat saya paham betapa cara berpikir secara sederhana dan kearifan lokal dari nenek moyang kita serta bagaimana cara mereka menjaga keseimbangan kehidupan dengan alam dan sang pencipta telah mampu menjadikan bangsa ini dahulu dikenal dengan konsep kehidupan yang adiluhung gemah ripah lohjinawi, dimana mereka mampu menjaga alam dan memanfaatkannya secara bijak dan tidak merusak, sehingga alam pun dengan kebaikannya juga memberi manusia hasil dari kebaikan alam tersebut untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya

Terkadang manusia juga perlu belajar untuk tidak saling menyalahkan satu sama lain atas banyaknya bencana alam yang terjadi di Negeri ini, karena bagaimanapun juga kerusakan alam akibat eksploitasi berlebihan oleh manusia akan mengakibatkan alam berusaha untuk mencari keseimbangannya dengan caranya sendiri. Dan sudah sepantasnya kita mensyukuri nikmat dan karunia yang diberikan oleh Sang Pencipta terhadap negeri ini dengan cara memelihara dan memanfaatkan karunia itu sebaik-baiknya

Dengan berkunjung ke cagar budaya peninggalan sejarah seperti ini, secara tidak langsung kita turut berperan serta meletarikan akar budaya bangsa, dan alangkah bijaknya jika kita meninggalkan jejak berupa foto dokumentasi atau filosofi nilai yang bisa kita ambil, bukan dengan meninggalkan coretan vandalisme atau sampah di lokasi tersebut :)


Tambahan sumber referensi :
- http://kotajogja.com/wisata/index/Candi-Barong
- http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Barong

No comments:

Post a Comment