Wednesday 24 December 2014

Solo City, Central Java

Sudah mendekati pergantian tahun nih, enaknya merencanakan agenda gowes kemana ya?
Kali ini Goweswisata mencoba berekspansi mengunjungi kota tetangga yaitu Kota Solo, Propinsi Jawa Tengah

Sebenarnya agenda gowes kali ini tidak direncanakan alias serba mendadak karena sebelumnya saya sudah merencanakan agenda gowes ke destinasi lainnya, tetapi karena manusia hanya bisa berencana namun Tuhan yang menentukan (mungkin juga perjalanan awal ditunda karena kami harus mempersiapkan segala sesuatunya lebih matang lagi, positif thinking sajalah pasti Tuhan punya rencana lain yang lebih indah buat kami hehe), akhirnya Kota Solo here we come...:)

Day 1

Kami (saya dan pasangan saya Agitya Andiny K) start dari basecamp goweswisata sekitar jam 06.15 WIB dengan mengambil rute melalui Jalan Jogja-Solo, pertimbangannya karena rute tersebut cenderung flat sehingga tidak akan terlalu berat untuk gowes jauh dengan membawa beban di pannier masing-masing, satu-satunya yang harus diwaspadai adalah karena rute tersebut banyak dilalui oleh kendaraan bermotor, bus dan truk yang tentunya mengemudi dengan sangat cepat (perjalanan ini juga merupakan bagian dari latihan untuk agenda gowes jauh kami berdua kedepannya)

Jalan Jogja-Solo dipagi hari lumayan sudah terlihat ramai, entahlah apakah mungkin karena sudah mendekati pergantian tahun sehingga banyak orang yang memilih mengambil cuti lebih awal supaya bisa liburan dengan keluarga mereka masing-masing, tapi ya sekarang kami pun juga menjadi bagian dari arus lalu lintas yang ramai ini

Gapura penanda perbatasan antara DIY dan Propinsi Jawa Tengah pun menjadi pemberhentian pertama kami untuk sekedar berfoto-foto ria hehe...namanya juga goweswisata jadi kami pun menikmati setiap kayuhan perjalanan ini tanpa terpaku target waktu


Selepas perbatasan DIY-Jawa Tengah kami kembali mengayuh sepeda menyusuri jalanan Kabupaten Klaten, menikmati suasana dan aktivitas warga setempat yang bertani atau menuju ke pasar serta anak-anak yang berangkat ke sekolah dengan menggunakan sepeda merupakan suatu pemandangan yang menurut saya sangat humanis dan mulai sangat jarang saya lihat di perkotaan. Kondisi jalan masih cukup bagus hingga kami tiba di Museum Gula Gondang Winangoen


Dari Museum Gula kami melanjutkan perjalanan sampai tiba di monumen Kota Klaten, kami memutuskan belok ke kanan melewati jalan alternatif dan tidak memasuki jalan dalam kota untuk menghindari macet, dari jalan alternatif tersebut nantinya kami akan keluar tepat setelah jalan dalam Kota Klaten untuk kemudian masuk lagi mengikuti Jalan Jogja-Solo, dari sini kondisi jalanan mulai agak bergelombang terutama di sisi paling pinggir, yaitu sisi yang kami (para pesepeda) gunakan



Dan akhirnya Goodbye Klaten...Welcome Solo



Oya sebelum perjalanan ini dimulai, saya sudah menghubungi salah seorang teman di Kota Solo untuk menanyakan apakah sekiranya kami bisa beristirahat semalam di rumahnya, sehingga esok harinya kami bisa menjelajah Kota Solo sebelum akhirnya kami melanjutkan perjalanan pulang, dan untunglah ia mempersilahkan kami untuk beristirahat serta memberikan alamat rumah serta patokan-patokan jalan supaya kami tidak tersesat (namun tetap saja kami agak bingung dengan patokan-patokan tersebut, untunglah saya membawa kompas)

Setibanya di rumah teman saya (Saviina Citra Amalia), kami mulai unpacking semua panniers yang menempel di sepeda masing-masing, beristirahat sejenak sebelum mandi menyegarkan diri. Kami tiba di rumahnya sekitar pukul 1 siang, rencananya setelah mandi saya dan Agit ingin berkeliling Kota Solo, sekedar melihat sepintas saja bagaimana kota ini, tetapi karena cuaca berubah mendung dan tidak lama kemudian hujan pun turun hingga malam hari, akhirnya kami pun terpaksa mengurungkan niat berkeliling hari ini dan mungkin jika besoknya cuaca cerah maka kami pun akan berkeliling sekaligus sebelum kami lanjut pulang meninggalkan kota ini

baiklah hari ini cukup dengan recovery beristirahat sejenak, Goodnight all

Day 2

Goodmorning everybody :)

Alarm jam di Hp saya berbunyi sekitar pukul 04.15 WIB, hujan yang turun semalaman cukup membuat suasana kamar menjadi dingin dan cenderung membuat malas, lebih nyaman untuk tidur berselimut, tapi dengan berat mata yang masih 5watt saya pun akhirnya bangun dan beranjak ke kamar mandi (menunaikan panggilan alam sekaligus mandi), terbukti air dingin memang ampuh untuk membuat mata melek hehe...

Setelah beres-beres packingan selesai, sekitar pukul 06.00 WIB kami pun sudah siap untuk melanjutkan perjalanan ini, Citra membekali kami dengan masing-masing sebungkus nasi liwet khas Solo, setelah berpamitan dengan keluarganya dan tidak lupa mengucapkan banyak terimakasih karena sudi direpotkan oleh kami (sepasang goweser yang koplak) kami pun lanjut mengayuh sepeda menuju jalanan dalam Kota Solo


Kota Solo di hari Minggu pagi, seperti kebanyakan kota besar lainnya di Indonesia, setiap hari minggu di Kota ini juga diadakan kegiatan Car Free Day, dimana sebagian ruas jalan utama di kota ini ditutup sementara hingga pukul 09.00 WIB supaya warga dapat memanfaatkannya sebagai sarana berolahraga maupun berinteraksi dengan lainnya (mungkin lebih tepat jika disebut Car Free Hours, karena "it's not full 1 day but only a couple of hours), tetapi bagaimanapun juga kegiatan ini lumayan mendapat apresiasi dari warganya, terbukti dengan ramainya mereka yang berolahraga, bersepeda, senam taichi, senam aerobik, bersepatu roda, jogging, maupun yang hanya sekedar cuci mata dan numpang narsis hehe...:)


Walaupun Kota Solo dan Yogyakarta terbilang cukup dekat dan mempunyai kultur budaya yang mirip namun ada perbedaan yang saya rsakan saat saya bersepeda mengelilingi kota ini, entahlah mungkin dari aktivitas warga lokal atau sistem tata kotanya tetapi terasa jelas bahwa kota ini mempunyai cirinya sendiri


City walk yang dibuat di Kota ini sangat menarik perhatian saya, jika city walk seperti ini diterapkan di kota-kota lainnya tentunya orang juga akan tertarik berjalan kaki untuk jarak dekat daripada menggunakan kendaraan bermotor, yang tentunya secara otomatis juga akan mengurangi kemacetan dan polusi, mungkin hanya tinggal memperluas jangkauan dan penambahan armada transportasi massal saja maka masalah kemacetan yang lazim terjadi di Kota-kota besar akan dapat teratasi

Dari kegiatan CFD (Car Free Day) saya mencoba mengunjungi Alun-alun dan Keraton yang juga terdapat di Kota ini, kebetulan pada bulan ini juga diadakan even Sekaten seperti halnya yang ada di Yogyakarta. Karena bertepatan dengan hari libur maka Sekaten pun sudah dibuka sejak pagi, perbedaan dengan Sekaten yang ada di Jogja mungkin dalam hal penataan dan jenis lapak dagangan yang ada, di Sekaten Solo masih banyak pedagang yang menjual celengan-celengan dari tanah liat, pot-pot, serta peralatan masak, sedangkan untuk hiburannya sendiri kurang lebih sama dengan Sekaten yang ada di Jogja






Kami juga berkeliling mengandalkan GPS dan kompas untuk melihat kota ini, selama kita masih gowes atau traveling di Indonesia, sebagai warga lokal kita tidak perlu takut tersesat, karena kita masih menggunakan bahasa yang sama, sehingga seandainya bingung maka cukup bertanya saja, tenang saja orang-orang disini pun cenderung ramah dan memberitahu kita arah tujuan yang kita tanyakan

Depan pintu masuk Keraton Solo



Museum Keraton




Ini apaan Ya?


Alun-alun Solo


Setelah berkeliling dalam kota dan saya rasa cukup untuk hari ini, maka sudah waktunya kami melanjutkan perjalanan ini, Terimakasih Kota Solo atas keramahan dan pengalaman baru yang kami dapatkan, mungkin inilah yang membuat kami menyukai kegiatan bersepeda touring karena setiap harinya setiap kami singgah ke Kota yang baru yang belum pernah kami kunjungi maka selalu ada pengalaman-pengalaman baru serta teman-teman baru yang kami dapatkan

Beginilah kenikmatan Touring yang kami (goweswisata) rasakan, bukan sekedar ingin mematahkan rekor waktu, jarak tempuh, ataupun mendapatkan pujian dari orang lain, tetapi apa inspirasi yang bisa kami dapatkan dari setiap perjalanan (walaupun hanya jarak dekat sekalipun) yang kemudian bisa kami ceritakan kembali di blog ini, dan semoga setiap cerita perjalanan kami bisa juga menginspirasi para pembaca lainnya untuk memulai cerita petualangannya masing-masing


Okay time to move on, see you soon...maybe on the road


nb : terimakasih untuk Saviina Citra Amalia dan Keluarga, serta orang-orang yang kami temui selama perjalanan ini yang telah memberikan suport (baik sekedar acungan jempol maupun lainnya), karena support dari kalianlah maka perjalanan ini bisa terus berlanjut

Friday 12 December 2014

Candi Ijo


Candi Ijo hmmmm... bagi para goweser yang berdomisili di Yogyakarta pastinya sudah tidak asing lagi dengan nama dan lokasi Candi yang satu ini, tetapi bukan karena bangunan candinya semata yang membuat candi ini begitu terkenal, melainkan karena lokasi candi ini berada di ketinggian yang "aduhai" hehe. Ya, Candi Ijo memang merupakan salah satu candi di Yogyakarta yang lokasinya berada di dataran paling tinggi sehingga untuk menuju kesana para goweser harus melalui medan menanjak yang cukup menguras tenaga dan membutuhkan stamina fisik serta dengkul yang prima

Candi yang berlokasi di Dukuh Grobyokan, Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta ini berada di lereng Barat sebuah bukit yang masih merupakan perbukitan Batur Agung dengan ketinggian rata-rata 375 mdpl. Jika kita baru mendengar namanya tentu kita mengira Candi Ijo adalah sebuah candi yang dindingnya berwarna hijau atau ditumbuhi lumut sehingga berwarna hijau, namun ternyata penamaan Candi Ijo dikarenakan candi ini berada di atas bukit yang disebut Gumuk Ijo, nama ini tertulis dalam Prasasti Poh berangka tahun 906M berbahasa Jawa Kuno, dalam penggalan "...anak wanua i wuang hijo..." (anak desa, orang Ijo)

Untuk menuju Candi ini jika kita start dari tengah kota maka bisa melalui Jalan Jogja-Solo sampai Prambanan kemudian belok ke kanan melewati rel kereta terus keselatan arah Jalan Jogja-Piyungan (sama dengan arah menuju Candi Ratu Boko), atau jika kita gowes bisa juga memotong melalui Blok O hingga tembus di Jalan Jogja-Piyungan, rutenya cenderung datar, rute menanjak hanya akan kita temui saat kita sudah dekat menuju lokasi candi (jalan menanjak kira-kira sepanjang 2km)

Untuk memberikan gambaran seperti apa tanjakannya silahkan simak foto-foto berikut ini, yang membedakan dengan tanjakan lainnya hanyalah jika biasanya medan tanjakan itu dibuat berputar supaya memudahkan pengendara, maka tanjakan yang menuju Candi Ijo ini langsung lurus, lempeng poll, sehingga "sakitnya tuh disini-->tunjuk dengkul", oya jika ingin mencoba gowes kesini lebih baik bawa minum dan snack dari rumah karena sepanjang tanjakan sepi warung alias jarang ada yang jualan

Gowes dengan full loaded panniers memang "sesuatu banget" hehe...




Istirahat sebentar di Masjid


Lanjut lagi (mana jalannya rusak pula, mau zigzag juga susah)


Dan akhirnya...


Pemandangan yang bisa kita nikmati di sekitar lokasi candi



Dataran tempat kompleks utama candi memiliki luas sekitar 0,8ha, namun diduga kompleks percandian ini aslinya jauh lebih luas karena disekitar lokasi candi utama dan candi perwara masih banyak ditemukan bebatuan candi dan artefak yang masih dalam proses penggalian dan belum selesai direkonstruksi



Beberapa bebatuan dan artefak candi yang belum selesai direkonstruksi


Candi Hindu yang berada 4 km arah tenggara dari Candi Ratu Boko ini diperkirakan dibangun antara kurun abad ke-10 sampai dengan abad ke-11 zaman Kerajaan Medang periode Mataram. Secara keseluruhan, kompleks percandian ini merupakan teras-teras berundak, dimana kompleks percandian utama berada pada sisi timur yang merupakan sisi tertinggi, sekaligus juga mengikuti kontur bukit. Dibagian ini ada Candi Induk (satu telah dipugar), candi pengapit, dan candi perwara. Candi Induk yang sudah selesai dipugar menghadap ke barat. Di hadapannya berjajar tiga candi perwara menghadap ke timur (ke arah candi induk) yang dibangun untuk memuja Trimurti (Brahma, Wisnu, dan Syiwa). Ketiga candi kecil ini memiliki ruangan didalamnya dan terdapat jendela kerawangan berbentuk belah ketupat di dindingnya. Atap candi perwara ini terdiri atas tiga tingkatan yang dimahkotai barisan ratna. Pada bilik Candi perwara yang tengah terdapat arca lembu Andini (kendaraan Dewa Syiwa)


Candi perwara




Bilik pada Candi Perwara Selatan


Bilik pada Candi Perwara Tengah


Bilik pada Candi Perwara Utara


Relief yang terdapat pada dinding luar Candi Perwara



Sedangkan pada candi induk sendiri terdapat ruang dalam yang pada bagian tengah dinding sisi utara, timur, dan selatan masing-masing terdapat sebuah relung yang diapit oleh pahatan pada dinding. Pahatan tersebut menggambarkan sepasang apsara yang terkesan terbang menuju ke arah relung. Tepat di tengah ruangan terdapat Lingga dan Yoni yang disangga oleh figur ular sendok (pada mitos Hindu, hewan ini melambangkan penyangga bumi), penyatuan lingga dan yoni melambangkan kesatuan antara Syiwa dan Parwati shaktinya.

Candi Induk


Lingga dan Yoni yang terdapat pada bilik candi utama





Tambahan sumber referensi :
- http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Ijo

Sunday 30 November 2014

Small World of Cyclist Tourer


“Pergilah berpetualang menjelajahi setiap jengkal bumi ini, pergi ke tempat yang benar-benar baru dimana tidak ada seorang pun yang tahu siapa kalian, karena dengan begitu kalian akan bisa merasakan dunia”, kalimat seperti itu mungkin sudah sering kita lihat atau dengar setiap kali kita membaca artikel atau cerita-cerita tentang petualangan

Ya, dunia ini memang sangat luas, mungkin itu yang pertama kali terpikir di benak kita jika kita baru pertama kali mencoba bertualang keluar dari lingkungan sekitar rumah atau lingkungan yang tentunya sudah sangat kita kenal. Secara fisik tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak wilayah di muka bumi ini yang belum pernah sekalipun kita dengar namanya (apalagi kita jelajahi), masih banyak ragam bentuk kebudayaan dari setiap wilayah tersebut yang belum kita ketahui, dan masih banyak misteri lainnya yang tersembunyi dari setiap daerah dimana secara geografis mempunyai medan yang terlihat mustahil untuk dihuni oleh manusia, tetapi ternyata mereka ada, beradaptasi dan mampu bertahan hidup di wilayah tersebut.

Mungkin benar jika dikatakan secara naluriah manusia mempunyai hasrat terpendam dalam dirinya untuk selalu mencoba menjelajah, keluar dari wilayah sebelumnya dan mencari wilayah baru. Hal itu sudah terlihat sejak jaman nenek moyang kita yang mempunyai cara hidup nomaden atau berpindah-pindah tempat, walau terasa sulit tetapi manusia selalu mampu menemukan cara untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya


Selain itu, karena memiliki rasa ingin tahu yang besar, manusia juga selalu berusaha mencoba mencari jawaban atas berbagai pertanyaan dan hal-hal yang awalnya tidak diketahui olehnya. Seperti ketika banyak anggapan atau teori yang mengatakan bahwa bumi itu berbentuk datar layaknya permukaan meja, dan diujung garis batas tersebut adalah wilayah antah berantah yang buruk maka beberapa manusia yang merasa penasaran mencoba membuktikan apakah anggapan seperti itu benar atau salah hingga akhirnya memunculkan teori dan pengetahuan baru yang membuktikan bahwa bumi itu berbentuk bulat.

Melalui berbagai penjelajahan yang dilakukan tersebut, pada akhirnya kita mulai berani mencoba membuka tabir misteri di bumi ini yang menunggu untuk terungkap, kita menjadi tahu tentang jumlah dan kondisi alam di setiap benua, tentang tempat-tempat terindah yang selama ini seakan hanya menjadi sebatas imajinasi namun ternyata benar adanya, dan tidak hanya sebatas pada keindahan fisik saja melainkan kita juga menjadi tahu tentang bagaimana dan bentuk peradaban yang dibangun oleh manusia yang bermukim di wilayah tersebut, bagaimana cara mereka bertahan hidup di wilayah tersebut, dan lainnya


Tetapi karena manusia juga mempunyai rasa takut terhadap hal-hal baru tersebut, maka beberapa orang pun merasa ragu atau tidak mempunyai cukup keberanian untuk menjelajah, sebagian dari mereka merasa cukup aman dengan lingkungannya dan merasa puas dengan hanya mendengar atau membaca tentang cerita-cerita petualangan yang dilakukan oleh manusia lainnya tanpa mereka berani untuk mencoba dan menciptakan cerita petualangannya sendiri


Terlebih seiring dengan kemajuan teknologi seperti saat ini maka informasi-informasi terbaru pun semakin mudah kita dapat hanya dengan duduk didepan komputer tanpa harus beranjak keluar dari ruangan, Teknologi menjadikan manusia semakin tidak yakin dengan kemampuan bertahan hidup secara alami yang dimilikinya ketika ia dipaksa harus hidup di alam liar, tanpa bantuan teknologi-teknologi modern tersebut ia seakan menjadi lumpuh, manusia menjadi lupa cara belajar memahami alam dan memperoleh pengetahuan dari alam itu sendiri

Saat ini mungkin banyak orang yang ketika tersesat di suatu wilayah, satu-satunya solusi maka ia hanya mengandalkan googlemaps atau berbagai aplikasi peta offline lainnya yang ada di perangkat canggih mereka, mereka menjadi lupa dan tidak tahu lagi bagaimana “membaca” alam, mereka menjadi ragu akan kemampuan kakinya untuk menopang tubuh mereka dan membawa mereka berjalan menembus rimbunnya semak atau terjalnya medan, mereka juga menjadi tidak yakin lagi dengan kemampuan matanya untuk melihat diantara tebalnya kabut. Hal-hal yang terasa “tidak nyaman” inilah yang pada akhirnya membuat banyak orang menjadi ragu atau takut untuk berpetualang jika harus mengandalkan kemampuan dirinya sendiri tanpa ditopang berbagai peralatan atau transportasi canggih yang ada saat ini

Beberapa orang yang pada akhirnya berani membuat keputusan besar dalam hidupnya untuk mencoba menjelajahi bumi ini dengan peralatan seadanya yang mereka miliki, dan lebih banyak bergantung kepada kemampuan dasar bertahan hidup di alam yang dimilikinya secara kodrati sebagai manusia justru mampu menciptakan cerita petualangan mereka sendiri, mereka merasa hidupnya menjadi lebih berarti dan berkualitas, mereka merasa bebas, keluar dari dinding ketakutan dibenaknya yang memenjarakan mereka dan memisahkannya dengan kehidupan sebenarnya yang mereka inginkan


Diantara beberapa orang tersebut antara lain adalah mereka yang berani menjelajah dengan bersepeda keliling dunia, karena dengan hanya menggunakan sepeda sebagai sarana tranportasi satu-satunya yang mereka miliki, mereka seakan juga ingin mencoba mengembalikan kemampuan dasar bertahan hidup dalam dirinya, mencoba mengukur kemampuan fisik dan mentalnya ketika harus berhadapan dengan ganasnya medan yang harus dilalui, sejauh dan secepat apa mereka melaju, semuanya tergantung dari setiap kayuhan pedal yang mereka nikmati, yang nantinya semua itu akan terangkum dan tertoreh dalam cerita petualangan mereka masing-masing


Secara kuantitas mungkin jumlah dari para Cyclist Tourer ini sangatlah relatif, tergantung dari Negara-negara yang warganya memang mempunyai kebiasaan menjelajah, namun juga tidak semua dari para penjelajah tersebut pada akhirnya memutuskan pilihannya menggunakan sepeda untuk membawa mereka berkeliling dunia

Hal yang paling menarik ketika kita sudah cukup lama berkecimpung dan menekuni dunia para Cyclist Tourer ini adalah bahwa ternyata dunia ini tidaklah terlalu luas, bahkan mungkin bisa dikatakan jika dalam dunia para pelaku kegiatan bersepeda jarak jauh ini ternyata cukup kecil, ya it’s a small world of cyclist tourer

Mengapa saya mengatakan seperti itu? Karena dari pengalaman beberapa kali saya bertemu dan berbincang-bincang dengan para penggiat kegiatan bersepeda jarak jauh ini (terlebih yang memang sedang dalam perjalanan berkeliling dunia), walaupun mereka berasal dari Negara yang berbeda-beda (kebanyakan memang dari benua Eropa) seperti Belanda, Selandia Baru, Canada, Jerman, Spanyol, Swiss, dan lainnya, namun sebagian besar dari mereka bercerita bahwa dalam perjalanannya mereka juga pernah bertemu dengan para Cyclist Tourer lainnya yang sempat berjumpa dengan saya, beberapa bahkan pernah berjumpa lagi tidak hanya sekali atau dua kali, namun juga sempat bersepeda bersama dengan rute yang sama hingga akhirnya mereka berpisah karena berbeda rute menuju tujuan berikut masing-masing

Willem dan Ellis Jansen dari Belanda




Graham Frith dari Selandia Baru



Genevieve Fortin dari Canada



Sebastian Engel dari German



Tieme Hermans dari Belanda



Trevor dan Rosemary dari New Zealand




Marc Delgado dari Spain



Attilio Faletta dari Belgium



Penny dan Eric Jansen dari USA




Snezana dari Serbia



Jules (England) dan Mark (Scotland)




Mathieu Jaudon dari Perancis



Joseba Fernandez dari Basque



Joel dari Australia



Sehingga beberapa nama dari para cyclist tourer tersebut terkadang terasa familiar ditelinga para cyclist tourer lainnya, karena memang di dunia ini ada beberapa wilayah atau rute yang cukup umum untuk dilalui para penjelajah bersepeda ini, dan memungkinkan mereka untuk saling berjumpa walau sekedar hanya “say Hi”, hingga bersepeda bersama menuju tujuan berikutnya

Tidak jarang dari setiap perjumpaan tersebut, kami saling bertukar cerita dan informasi, baik mengenai wilayah yang di kunjungi sebelumnya maupun wilayah yang akan kami kunjungi, atau sekedar bertukar tips perjalanan, problem seputar sepeda, dan berbagai hal lainnya. Walaupun bahasa yang kami gunakan berbeda-beda satu sama lain namun sepertinya tidak terlalu menjadi kendala karena entah bagaimana, dengan bahasa campur-campur dan sedikit bahasa isyarat (tarzan language) kami cukup saling mengerti dan memaklumi kesalahan penggunaan struktur kalimat dari bahasa tersebut, Ya setidaknya, kami cukup belajar saling memahami masing-masing dari pengalaman selama menjelajah tersebut (seperti yang sebelumnya saya katakan bahwa manusia selalu menemukan cara untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya)

Jika orang selalu merasa bingung atau melihat kami secara aneh hanya karena kami menjalani kehidupan yang “terlihat berbeda” dengan orang-orang pada umumnya di masyarakat saat ini, maka terkadang kami pun berpikir bahwa mengapa kami harus “sama”, bukankah dunia ini akan menjadi penuh warna karena ketidaksamaan tersebut, dan jika ada yang menanyakan mengapa kami menjalani hidup yang “tidak pasti” seperti ini, tanpa perencanaan dimana kami akan tidur malam ini, kemana tujuan kami berikutnya, dan lain-lain, maka saya juga menemukan semacam pemikiran apakah kehidupan itu adalah kepastian, maksudnya apakah jika kami menjalani hidup selayaknya yang orang-orang sebut sebagai “normal” (entah menurut standart siapa), maka hidup dan masa depan kami menjadi pasti? Karena jika berpikiran serba pasti seperti itu maka secara otomatis tidak akan ada banyak pilihan dalam hidup ini, karena tentunya orang akan selalu memilih yang aman untuk dirinya, oleh karena itulah karena hidup adalah sebuah ketidakpastian maka kita akan selalu mempunyai pilihan untuk memilih hidup seperti apa yang ingin kita jalani, tantangan seperti apakah yang ingin kita coba untuk taklukkan, dan akhir seperti apakah yang ingin kita tutup dalam sebuah “buku kehidupan catatan perjalanan ini”



It’s a small world of cyclist tourer anyway, you don’t have to understand about how we live? Or maybe you have to try to make your own adventure then you’ll understand, also maybe someday we’ll see each other on the road, maybe…someday...:)


"at first they say why you doing that, but in the end they'll say how you did that"

note : some photos credit to google