Saturday 29 July 2017

BAGAIMANA MEMBANGUN SEPEDA TOURING DENGAN BUDGET TERBATAS


Melakukan perjalanan jarak jauh menggunakan sepeda tentu terdengar seru dan mengasyikkan, namun apa memang benar seperti itu realitanya? Seringkali kita mendengar seseorang yang mengeluh saat touring dikarenakan seluruh badannya terasa pegal serta mengalami kram dibagian tubuh tertentu setelah ia bersepeda dengan durasi yang cukup lama. 

Ketika melakukan perjalanan bersepeda jarak jauh tentunya kita akan lebih banyak menghabiskan waktu diatas sepeda, oleh karena itu faktor kenyamanan yang terkait dengan lamanya durasi saat kita bersepeda menjadi salah satu hal yang harus diperhitungkan dengan cermat supaya perjalanan kita nantinya menjadi menyenangkan dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan atau rasa trauma secara psikologis.

Lantas sepeda seperti apa yang paling cocok untuk kita? Pertanyaan seperti ini tidak hanya berlaku untuk sepeda touring saja, melainkan juga untuk semua jenis sepeda tergantung minat dan jenis aliran bersepeda yang kita sukai, baik itu touring, commuting, XC, downhill, AM, lowrider, gravel, folding bike, roadbike dan lainnya.

Tidak jarang kita melihat banyak pesepeda yang pada akhirnya membeli atau merakit sebuah sepeda tidak didasarkan kepada kebutuhannya, melainkan lebih banyak karena terpengaruh kata teman, trend, prestise, dan gaya. Yang mana pada akhirnya sepeda yang mereka bangun menjadi overbudget, terlihat bagus secara penampilan namun fungsinya tidak digunakan secara maksimal. Alih-alih menghabiskan dana hanya untuk mengejar tampilan, saya justru lebih menyarankan kepada mereka yang baru memulai atau ingin merakit sebuah sepeda untuk menggunakan anggarannya secara cermat sehingga sisa dana yang ada bisa digunakan untuk melengkapi faktor keamanan si pesepeda ataupun bisa digunakan sebagai tambahan dana selama melakukan perjalanan bersepeda itu nantinya.

Kebutuhan VS Keinginan

Merk-merk terkenal yang sering kita lihat menempel di sebuah sepeda touring seperti Surly, Bike Friday, Salsa, Koga, Velotraum, Comotion, Dahon, Tern ataupun pada perlengkapan pendukungnya seperti Ortlieb, Vaude, Arkel, Tubus, Schwalbe, Brooks memang merupakan produk-produk yang bagus dan telah teruji ketangguhannya, namun balik lagi kepada faktor kenyamanan pengguna yang sejauh ini mayoritas masih bersifat subjektif karena kenyamanan si pengguna A tentunya akan berbeda dengan kenyamanan pengguna B, maka disinilah kita benar-benar harus bisa meredam ego saat hendak membangun ataupun membeli sebuah sepeda touring dan perlengkapan pendukungnya, pada kasus ini kita harus benar-benar bertanya kepada diri sendiri apakah kita memang benar-benar “membutuhkan” merk-merk tersebut yang tentu saja telah teruji namun bernilai mahal secara materi ataukah hanya semata-mata karena kita “menginginkan” nilai prestise dari merk atau brand tersebut, apakah kebutuhan kita memang memerlukan ketangguhan dari brand tersebut (rute perjalanan, destinasi, durasi, iklim) ataukah sebenarnya hanya karena kita ingin sepeda yang kita bangun nantinya “terlihat layaknya sebuah sepeda touring pada umumnya”, ini akan sama halnya ketika kita memutuskan menggunakan atau membeli sebuah tenda 4 musim hanya sekedar untuk camping ceria di pinggir pantai selama 1 hari supaya saat difoto nantinya kita akan terkesan layaknya seorang petualang.

Memang semua keputusan tersebut akan berpulang kepada si pesepeda itu sendiri, karena di dunia ini memang ada beberapa orang yang memiliki budget tak terbatas dalam membangun sebuah sepeda dan ia memang membangun sepeda tersebut hanya karena nilai prestisenya saja (mungkin juga karena ia adalah seorang kolektor), yang mana hal tersebut secara tidak langsung akan mengangkat status sosialnya dalam sebuah komunitas, hal tersebut memang tidak salah dan sah-sah saja, namun ada juga orang yang memaksakan budget yang dimilikinya hanya karena faktor trend dan sebatas karena rasa “ingin” saja, yang pada akhirnya ketika sepeda tersebut sudah jadi dan di tes, ia merasa kurang nyaman saat menggunakannya namun karena sugesti “kata teman saya merk tersebut adalah yang terbaik”, maka ia akan memaksakan dirinya untuk tetap memakai atau berada dalam ketidaknyamanan tersebut sembari berpikir “mungkin memang begini ya rasanya menggunakan merk tersebut”, tidak nyaman tetapi terlihat keren di lingkungannya

Menggunakan sebuah produk dari brand terkenal yang telah teruji memang akan meminimalkan masalah selama dalam perjalanan nantinya, namun bukan berarti semua produk tersebut akan benar-benar bebas dari masalah, begitu pula sebaliknya ketika menggunakan produk dari brand-brand kelas menengah, beberapa dari produk tersebut nyatanya juga cukup tangguh selama pengujian di lapangan, ditambah lagi dengan adanya bonus berupa penghematan anggaran yang bisa kita gunakan selama perjalanan nantinya.

Banyak dari kita yang mungkin tersugesti untuk menggunakan brand yang sama dengan orang-orang tertentu yang sering kita lihat fotonya muncul dibeberapa majalah, forum diskusi, dan televisi. Karena ia telah melakukan perjalanan bersepeda jarak jauh, kita merasa “oh mungkin inilah sepeda yang terbaik dan harganya juga tidak terlalu mahal”, bahkan mungkin karena terlalu mengidolakannya kita juga akan membangun sepeda touring kita nantinya dengan menggunakan brand dan tipe yang sama, warna cat yang sama, spek yang sama, bahkan semua tempelan stikernya juga akan diusahakan semirip mungkin (mungkin jika sang idola tersebut melihat sepeda-sepeda yang mirip dengan sepedanya tersebut ia juga akan bingung mencari yang mana sepeda miliknya yang asli), namun apakah hanya dengan menggunakan sepeda yang sama persis dengan sepeda idola kita maka serta merta menjadikan kita mempunyai cerita petualangan yang sama dengan orang tersebut? Tentu saja tidak karena walaupun kita menempuh perjalanan dengan rute yang sama atau bahkan menempuh perjalanan bersamanya tetap saja kita akan mempunyai cerita yang berbeda, dari sudut pandang yang berbeda, nilai cerita yang berbeda, dan cerita yang terbaik adalah cerita yang dihasilkan oleh mereka yang menikmati perjalanannya karena keinginan dirinya untuk menjelajah, bukan cerita yang dihasilkan oleh mereka yang berusaha menjadikan dirinya mirip dengan si penjelajah idolanya selama di perjalanan.

Jika kita mau bersabar dan jeli maka saat ini kita bisa mulai menyusun daftar kebutuhan dalam proyek membangun sebuah sepeda touring supaya nantinya alokasi anggaran yang dibutuhkan tidak terlalu membengkak hanya karena kita “lapar mata” saat hendak membeli beberapa parts, dengan berpegang kepada list yang kita buat ini maka kita akan bisa mengerem keinginan kita dan mulai memprioritaskan apa yang paling penting dan dibutuhkan nantinya. Berikut ini saya akan mulai merinci dan menjelaskan poin-poin plus dan minusnya dari beberapa parts dengan mengambil contoh dari sepeda yang kemarin saya rakit sendiri dan telah digunakan untuk bersepeda jarak “yang tidak terlalu” jauh :)

Basic frame yang saya gunakan untuk sepeda ini awalnya saya kurang tahu apa merknya (belakangan barulah saya ketahui bahwa ini adalah frame sepeda Dignity velocity buatan Taiwan), mungkin merk ini bukanlah merk terkenal dan familiar bagi para pelaku aktivitas touring bersepeda karena frame ini notabene adalah sebuah vintage bike , namun biarlah setidaknya justru hal tersebut menjadikan sepeda ini “anti mainstream” dengan yang lainnya.

Frame Dignity dengan nomor seri 94UC6722 (nomor seri terletak di bagian bawah tempat bottom bracket) ini saya dapatkan seharga 135 ribu rupiah (frame, fork, seatpost) melalui sebuah iklan yang terpasang di situs jual beli online, pada awalnya kondisinya terlihat mengenaskan dengan warna orange dari cat semprot murahan serta ditutupi decal stiker merk sepeda lain, namun satu hal yang menjadikan frame ini terlihat bernilai di mata saya adalah karena frame sizenya yang pas dengan postur tubuh saya, selain itu frame ini mempunyai lug atau sambungan yang berada di bagian headtube, serta antara seat tube dengan top tubenya, hal ini cukup menegaskan bahwa setidaknya frame ini bukanlah frame asal-asalan, dan masih ditambah lagi dengan adanya RD hanger yang terletak di bagian drop outnya, ternyata prediksi saya tidaklah salah ketika memilih frame ini karena saat saya mulai mengerok catnya ternyata material tubing yang digunakan adalah chromoly yang notabene banyak digunakan sebagai bahan dasar tubing pada sepeda-sepeda touring merk terkenal, kesimpulannya adalah saya mendapatkan harta karun sebagai “jembatan” untuk mulai mewujudkan impian saya menjelajah bumi nusantara ini





Setelah urusan frame selesai, maka hal terpenting berikutnya saat membangun sebuah sepeda touring adalah menentukan jenis rak seperti apa yang nantinya akan digunakan untuk meletakkan pannier-pannier.

Rak haruslah terbuat dari material yang kuat namun tidak terlalu berat, dimensi dan desainnya pun harus tepat supaya saat menggantungkan pannier nantinya pannier tidak mudah terlepas atau bergesekan dengan roda atau tumit kaki. Dengan berbagai pertimbangan tersebut maka pilihan pun jatuh ke rak bekas citybike untuk digunakan sebagai rak belakang (karena untuk menahan beban manusia hingga lebih dari 50kg saja sudah terbukti kuat), rak ini terbuat dari bahan besi solid, tubingnya tidak terlalu besar sehingga dibeberapa bagiannya saya lilitkan selang aquarium dan lakban supaya saat pannier digantung ke tubing rak maka bagian pengait dari pannier tidak mudah terlepas, dan supaya pannier tidak menyentuh bagian roda maka saya pun memodifikasi rak tersebut di tukang las dengan membuat sayap samping sesuai dimensi pannier belakang (harga rak belakang bekas Rp 20.000,- , biaya las Rp 15.000,-)



Untuk rak depan saya menggunakan rak yang terbuat dari material besi hollow dan dicustom seperti model rak depan milik Surly, saya menyukai model rak seperti ini karena selain bisa untuk menggantungkan pannier di sisi kiri dan kanannya, bagian atas rak bisa saya gunakan untuk menaruh toolkit di perjalanan, sehingga ketika terjadi masalah teknis saya tidak perlu membongkar isi pannier, melainkan cukup membuka drybag tempat toolkit yang saya ikat di bagian atas rak.

Untuk rak depan model ini tantangannya adalah saya harus membuat plat sebagai tempat mengunci baut rak dengan fork (yang saya letakkan di bagian baut caliper V-brake) supaya posisinya tidak bergeser, dan karena fork saya mempunyai tubing yang besar maka untuk posisi kuncian tambahan rak terhadap fork saya menggunakan clamp berbentuk U, dengan 2 kuncian penahan ini (plat dan U-clamp) maka sekarang posisi rak benar-benar tidak bergeser lagi dan kuat.



Berikutnya adalah bagian penggerak, bagian ini mempunyai pengaruh vital terhadap stamina kita ketika menghadapi rute atau kontur jalan yang kurang mulus atau menanjak, jika bagian ini berfungsi secara maksimal maka akan sangat membantu sekali untuk menghemat stamina dan mempercepat laju sepeda.

Karena frame Dignity hanya mempunyai sistem rem untuk jenis V-brake atau Cantilever Brake (tidak di disain untuk discbrake) maka untuk freehub saya menggunakan shimano RM-70 yang kompatible dengan sprocket 7-8-9 speed dan memang diperuntukkan untuk sepeda dengan sistem rimsbrake tersebut, sejauh ini freehub shimano RM-70 dengan jumlah klik atau POE (point of engagement) berjumlah 16 tersebut terbukti cukup tangguh dan perputarannya juga lancar sehingga sangat membantu mengoptimalkan putaran roda


Sedangkan untuk Hub depannya saya menggunakan dynamo hub dari shimano dengan tipe DH-2N30-E 36 hole yang mampu menghasilkan arus listrik AC sebesar 6V-2,4W yang kemudian saya gunakan untuk menyalakan lampu depan, namun dengan terlebih dahulu membuat sebuah inverter untuk mengubah arus AC tersebut menjadi DC, keuntungan dari menggunakan dynamo hub adalah kita tidak perlu kuatir jika batere telepon genggam atau beberapa peralatan elektronik kita habis maka kita tinggal menyambungkannya ke inverter saja (tentu saja dengan memodifikasi rangkaian inverter tersebut supaya kebutuhan outputnya sesuai dan bisa untuk men-charge batere telepon genggam kita)

Namun selain nilai plus dari dynamo hub tersebut, juga ada beberapa kendala ketika kita memutuskan untuk menggunakannya, antara lain perputarannya tidak akan selancar jika kita menggunakan hub biasa, selain itu kita juga harus mengikir atau senai panjang spoke karena dynamo hub menggunakan spoke yang lebih pendek dari spoke yang digunakan pada umumnya, dan untuk menggunakannya kita harus membuat sebuah inverter untuk mengubah arus AC menjadi DC, di pasaran memang ada yang menjual inverter seperti e-werk atau biologic seperti yang terpasang pada sepeda Dahon TR namun harganya sangat mahal sehingga solusinya adalah kita harus membuatnya sendiri



Untuk rims, saya menggunakan Araya TM 840F 36 hole double wall yang mempunyai brake line pada sisi sampingnya sesuai dengan system rem V-brake yang saya gunakan, dengan harga yang cukup ekonomis (160rb sepasang), rims dan spoke stainless steel (80rb untuk seluruh wheelset) ini terbukti cukup tangguh untuk menopang seluruh beban sepeda serta perlengkapan yang saya bawa selama perjalanan



Perjalanan yang jauh tentunya membutuhkan ban luar serta ban dalam yang kuat dan awet, untuk itulah maka saya menggunakan ban dalam kingland (Rp 12.500/buah) yang mempunyai ketebalan cukup penuh, serta untuk ban luarnya saya menggunakan Maxxis Overdrive 26x1.75 yang mempunyai pelindung dari Kevlar pada sidewallnya (optimum puncture protection), sejauh ini fitur Kevlar tersebut telah terbukti sanggup menahan goresan dari karang-karang tajam sewaktu saya berada di Pantai Liang Dewa, Labangka, Pulau Sumbawa. Keunggulan lainnya dari ban luar Maxxis overdrive ini adalah ia mempunyai reflective line yang melingkar di sepanjang sidewallnya, sehingga bagi penikmat touring tentunya fitur ini cukup melindungi ketika kita sedang bersepeda di kegelapan.

Alasan lainnya saya memilih ban luar Maxxis overdrive yang harganya terbilang cukup menguras kantong ini (bagi saya) adalah saya lebih baik menggunakan ban yang sesuai dengan peruntukannya dan dengan fitur yang memang didesain sesuai dengan medan dan durasi perjalanan touring yang umumnya memakan waktu lama baik itu selama total waktu perjalanan maupun durasi selama mengayuh sepeda per harinya sepanjang perjalanan daripada saya asal memilih ban “yang penting murah” namun pada akhirnya sepanjang perjalanan saya malah direpotkan dengan urusan mengganti ban dalam yang bocor atau mengganti ban luar yang karetnya getas atau sobek, karena selain hal tersebut pastinya menyebalkan juga melelahkan serta membuat kita rugi waktu dan biaya, oleh karena itu setidaknya untuk memulai sebuah perjalanan kita tidak bisa hanya bermodal nekat asal jalan saja melainkan juga harus mulai belajar mempersiapkan segala sesuatunya yang berkaitan dengan kebutuhan kita dalam perjalanan nantinya (bertanya pada forum diskusi atau membaca review dari pengguna lainnya)



Untuk sistem percepatan saya menggunakan sprocket shimano CS-HG20 9speed 11-34T. Menurut saya 9 speed sangat ideal untuk kebutuhan touring karena dengan ratio gear yang lebar memudahkan kita ketika berhadapan dengan medan menanjak (selama tanjakannya tidak terlalu ekstrem), namun karena sprocket 9speed CS-HG20 ini berada dalam kelas entry level maka kelemahannya adalah ia cepat menjadi kotor, tentunya akan berbeda jika saya menggunakan sprocket 9speed lainnya yang masuk kelas diatasnya seperti seri deore atau SLX


Sementara pada bagian rear deraileurnya saya menggunakan deore tipe lama M592 (mungkin sekarang setara dengan alivio 9speed M3100), RD ini saya dapatkan melalui situs jual beli online dengan harga yang menurut saya terhitung worth it (500rb untuk FD dan RD sudah termasuk ongkos kirim), RD, FD, Shifter, Crank dan rantai sudah dari dulu saya gunakan sewaktu saya masih menggunakan sepeda MTB XC dan hingga sekarang tidak ada masalah teknis yang berarti pada semua komponen tersebut, semua masih berfungsi normal dan lancar, untuk rantai sendiri saya menggunakan KMC yang memiliki conector link supaya memudahkan ketika saya ingin melepas dan membersihkan rantai tanpa perlu menggunakan alat pemotong rantai


Untuk Crank saya menggunakan seri deore juga (FC-M590) dengan chainring 44-32-22T yang kemudian saya beri pelindung bashguard supaya ketika saya bersepeda menggunakan celana panjang tetap aman, dan ujung bawah celana tidak ikut terlilit masuk terjepit gerigi dari chainring.

Sedangkan untuk bottom bracketnya saya menggunakan model outer BB dimana perawatannya lebih mudah dan lebih awet, selain itu perputaran ball bearingnya juga lebih lancar dan terasa signifikan bedanya jika dibandingkan ketika saya masih menggunakan BB model kotak (kecuali jika BB model kotaknya seperti merk Token yang terkenal sangat loncer)


Pada bagian pedal saya menggunakan model flat pedal dari exustar yang bertapak lebar (sebenarnya ini merupakan pedal untuk sepeda BMX namun terasa sangat nyaman sekali saat dikayuh). Pedal ini telah saya gunakan sejak saya mulai pertama kali merakit sepeda MTB XC hingga sekarang (kurang lebih sudah saya gunakan selama 5 tahun lamanya di segala jenis medan) dan tidak ada masalah sama sekali


Untuk caliper rem Vbrake saya menggunakan merk Logan, merk ini sebenarnya terhitung merk biasa dan murah (30rb sudah termasuk caliper rem, pad, noodles, dan brake levernya) namun disini saya hanya menggunakan bagian caliper dan noodlesnya saja, selebihnya sudah saya ganti, untuk padnya saya menggunakan merk viva dan brake levernya saya menggunakan avid fr5. Selama saya melakukan perjalanan 107 hari keliling sebagian wilayah Indonesia saya hanya 1x mengganti pad rem belakang karena sudah mulai tipis (itupun setelah saya sudah memakainya jauh sebelum perjalanan jauh tersebut dimulai)


Selama touring tentunya waktu kita akan lebih banyak dihabiskan dengan mengayuh sepeda yang artinya sebagian besar waktu kita akan lebih banyak digunakan untuk duduk di atas sadel sepeda, oleh karena itulah komponen ini pun memegang peran penting yang menentukan kenyamanan kita selama bersepeda, jika pilihan kita tidak tepat maka biasanya kita akan mengalami rasa kram di sekitar bagian pantat atau selangkangan.

Disini pilihan saya jatuh kepada sadel WTB Volt karena beberapa alasan, alasan pertama adalah karena sadel ini saya dapatkan secara gratis hehe…, Sadel yang bertipe kecil atau slim ini secara fisik memang kurang cocok bagi pesepeda yang memiliki bokong yang lebar, alasan lainnya adalah karena sadel ini minim perawatan karena menggunakan kulit sintetik sehingga walau sedang diterpa hujan atau panas kita tidak perlu membungkus sadel tersebut dengan plastik



Kebutuhan touring lainnya yang vital bagi pesepeda tentu saja kebutuhan akan air minum supaya tidak terkena dehidrasi, oleh karena itulah rata-rata sepeda touring memiliki tempat untuk menaruh biddon atau botol minum yang berjumlah lebih dari 1 buah (kebanyakan memiliki 2-3 buah), namun bagaimana jika sepeda kita hanya memiliki 1 buah tempat untuk menaruh biddon saja? Tidak perlu kecewa karena dengan sedikit kreativitas maka kita bisa memodifikasi frame sepeda kita supaya bisa membawa 3 buah biddon sekaligus seperti yang saya lakukan, solusinya pun cukup mudah dan murah yaitu dengan menggunakan clamp yang biasa kita gunakan untuk mengikat selang gas, namun supaya frame kita tidak tergores maka ada baiknya sebelumnya kita melilitkan ban dalam bekas pada bagian frame dimana kita akan memasang clamp tersebut nantinya

Menurut saya pribadi frame sepeda yang hanya memiliki 1 buah tempat untuk meletakkan biddon justru lebih menarik karena untuk memasang biddon berikutnya kita akan lebih fleksibel untuk meletakannya pada posisi yang sesuai dengan yang kita inginkan




Dengan bobot sepeda yang lumayan berat (baik itu kosongan maupun saat membawa seluruh perlengkapan) tentunya membutuhkan kickstand yang mumpuni untuk menopang seluruh beban tersebut (solusi lainnya tentu saja dengan menyenderkan sepeda saat sedang berhenti), oleh karena itulah saya memodifikasi kickstand adjust yang saya gunakan supaya posisinya tidak bergeser turun dengan memberi clamp kecil pada posisi adjustnya



Ketika kita memutuskan untuk mulai membangun sepeda touring tentunya satu hal yang harus kita sadari konsekuensinya adalah sebagian besar waktu kita selama di perjalanan nantinya akan lebih banyak berada di atas sepeda, oleh karena itu posisi tubuh saat sedang bersepeda tentunya harus diusahakan senyaman mungkin untuk menghindari rasa lelah yang berlebihan atau kram

Posisi tubuh cyclist saat sedang bersepeda touring tentunya akan berbeda dengan posisi tubuh cyclist pada aliran sepeda downhill, XC maupun roadbike. Pada aliran sepeda touring posisi tubuh biasanya akan lebih tegak atau upright, tidak terlalu merunduk seperti pada aliran roadbike, kurang lebih hampir mirip dengan bersepeda commuting. Untuk mendapatkan posisi tubuh yang nyaman tersebut biasanya akan terasa sulit jika kita menggunakan basic frame yang memang sebenarnya bukan diperuntukkan untuk touring, namun hal tersebut jangan terlalu dianggap sebagai alasan untuk tidak memulainya dengan apa yang sudah kita miliki sebelumnya, solusinya cukup gunakan stem yang bisa diadjust derajat ketinggiannya atau memakai fork ekstender dan handlebar tipe high rise, apalagi sekarang sudah banyak jenis dan model stem adjust yang ada dipasaran, kita tinggal memilih dan menyesuaikannya sesuai selera kita


Untuk pemilihan model handlebar sebenarnya tergantung selera karena saat ini banyak pilihan yang tersedia, kalian bisa menggunakan model flatbar, butterfly bar, drop bar, mustache bar, atau lainnya. Namun pastikan bahwa jenis handlebar yang kalian pilih memiliki banyak variasi cara mengenggamnya sehingga telapak dan pergelangan tangan kalian juga tidak cepat terasa kram, saya pun menggunakan jenis risebar yang saya beri bar end dibagian ujungnya sehingga saat tangan terasa pegal maka saya tinggal mengubah posisi cara mengenggamnya.

Selain itu panjang handlebar yang kalian pilih juga akan berpengaruh terhadap kenyamanan kalian selama di perjalanan nantinya, jika terlalu lebar atau terlalu kecil maka lengan dan pundak juga akan cepat mengalami rasa lelah, oleh karena itulah system trial dan error harus sering dicoba hingga mendapatkan posisi yang nyaman karena rasa kenyamanan setiap orang akan bersifat subyektif


Apa saja yang menempel di bagian kokpit atau handlebar akan bervariasi pada setiap cyclist sesuai dengan kebutuhannya, namun umumnya yang sudah pasti adalah komponen handgrip, brake lever, shifter, bel, handlebar bag, dan cyclocomp, sisanya bagi beberapa cyclist akan menambahkan GPS, tempat untuk menaruh kamera, dan pernak-pernik lainnya sesuai dengan karakter mereka masing-masing


Pada akhirnya besar kecilnya budget yang dibutuhkan untuk membangun sebuah sepeda touring yang siap digunakan nantinya akan sangat tergantung kepada list alokasi anggaran yang sudah kita susun sebelumnya, dan hal ini pun bukan merupakan sebuah hal yang mutlak bahwa untuk melakukan perjalanan kita membutuhkan sepeda A dengan perlengkapan B, karena banyak juga yang melakukan perjalanan dengan menggunakan sepeda mini, Unicycle atau sepeda roda 1, ataupun jenis penny farthing seperti yang digunakan oleh Thomas Stevens pada tahun 1884.

Apakah semua jenis sepeda tersebut bisa digunakan untuk melakukan perjalanan? Jawabannya tentu saja ya bisa, namun seiring waktu dan pengalaman nantinya kita akan mengetahui plus dan minus dari sepeda yang kita pilih untuk melakukan perjalanan tersebut, dan jika kita kreatif maka kita juga akan bisa meminimalkan apa yang menjadi kekurangan sepeda kita dengan solusi yang murah namun awet, setidaknya hal tersebut lebih baik daripada kita hanya menunggu sampai segala sesuatunya siap, karena jika hal tersebut kita lakukan maka kemungkinan besar kita akan selamanya terus menunggu dan tidak akan pernah memulai perjalanan tersebut, sepedanya mungkin sudah sangat siap namun mental cyclistnya yang tidak akan pernah siap dan terus berusaha mencari alasan untuk siap


Nah dengan semua penjelasan yang sudah saya paparkan diatas kira-kira bisakah kalian semua menebak berapa total biaya yang telah saya keluarkan untuk membangun sepeda touring ini?


Setelah saya melihat rincian list yang dulu saya gunakan ternyata total biaya yang saya keluarkan untuk membangun sepeda dignity ini adalah Rp 4.650.000,- semua sudah termasuk cat ulang, merakit, membangun wheelset, dan modifikasi ini itu, nah dengan total biaya tersebut ternyata kini saya telah memiliki sarana transportasi yang sudah bisa membawa saya menjelajah kemanapun saya mau dan hingga kini tidak mengalami masalah berarti, sebagian besar parts dan komponen masih digunakan dan berfungsi sama dengan saat awal saya merakitnya


Mahal atau tidaknya itu semua bersifat relatif tergantung kepada mereka yang menilai, namun bagi saya pribadi sepeda saya saat ini bernilai mahal karena nilai kenangan perjalanan yang sudah kami tempuh dan lalui bersama, nilai materinya mungkin tidak terlalu mahal namun nilai kenangannya tidak akan pernah sanggup ditebus dengan nilai materi sebesar apapun, karena kita mungkin bisa membeli barang atau hal materinya namun kita tidak akan pernah mampu membayar untuk membeli kenangan, dan kenangan atau ingatan tersebutlah yang membuat kita benar-benar menjadi manusia, kita mungkin bisa membaca atau mendengar cerita kenangan orang lain namun kenangan terbaik adalah semua dan setiap kenangan yang kita ciptakan dan alami sendiri

Seperti yang pernah diungkapkan oleh Dalai Lama ketika Beliau ditanya oleh seseorang mengenai hal apa yang paling membingungkan di dunia ini, Beliau menjawab “Manusia”. Karena dia “mengorbankan” kesehatannya “hanya demi uang”, Lalu dia “mengorbankan uang” nya hanya demi “kesehatan”. Lalu dia “sangat khawatir” dengan “masa depannya”, sampai dia “tidak menikmati masa kini”; akhirnya dia “tidak hidup di masa depan atau masa kini”; dia “hidup seakan-akan tidak akan pernah mati”, lalu dia “mati” tanpa “benar-benar menikmati” apa itu “hidup”.

Oleh karena itu kini mulailah menciptakan cerita petualangan kalian masing-masing, dan karena nantinya cerita petualangan tersebut juga akan menjadi bagian dari cerita perjalanan hidup kalian maka kalian harus membuat cerita tersebut menarik dan berharga dalam hidup kalian, bukan tidak mungkin cerita tersebut juga dapat menginspirasi orang lain untuk mulai melakukan suatu hal yang fantastis dan positif dalam hidupnya, dan yakinlah bahwa apapun sepeda yang kalian pilih untuk mulai melakukan perjalanan ini pasti merupakan sepeda yang terbaik

Nb : penampakan set-up sepeda saya terkini (2023), ada perubahan konsep atau penggabungan antara gaya touring tradisional dengan bikepacking/gravel. Total dana yang telah dikeluarkan untuk sampai ke titik tampilan terkini adalah sekitar 6,5 - 6,6 juta rupiah (sudah termasuk dengan semua tas yang menempel disepeda) 🙂






Wednesday 19 July 2017

CHAPTER 9; SEMUA TERASA INDAH PADA WAKTUNYA

Jumat, 25 Desember 2015

Karena hari ini bertepatan dengan Hari Raya Natal, maka kami dari goweswisata mengucapkan selamat Natal terlebih dahulu bagi yang merayakannya :)

Setelah bermalam di kediaman Mas Bayu yang bebas nyamuk, ada kipas angin, dan beralaskan karpet empuk serta dikasih bantal besar, akhirnya membuat kami hari ini terbangun agak siang saking nyenyaknya (dan juga karena terlalu lelah pada hari sebelumnya), setidaknya malam tadi kami benar-benar mendapatkan kualitas tidur yang efektif walaupun hanya sebentar, enggan rasanya untuk beranjak dari tidur namun petualangan yang baru sudah menanti untuk kami jelajahi

Setelah sholat dan mandi, rutinitas kami berikutnya adalah merapikan barang-barang dan mulai mempacking semuanya ke atas sepeda, dan selagi kami bersiap ternyata Mas Bayu telah membelikan kami 2 bungkus nasi sayur sebagai bekal untuk sarapan di perjalanan. Ketika sedang asyiknya mempacking semua panniers ke sepeda eh ternyata di kantin sebelah rumahnya kami kembali bertemu dengan Pak Ali, petugas polisi yang sempat mentraktir kami minuman dingin di pos pantau lalu lintas kemarin, setelah urusan packing selesai kami pun berpamitan dan mengucapkan terimakasih kepada para polisi polres probolinggo yang kami temui, tidak lupa sekalian berfoto untuk kenangan bagian perjalanan kami



Dari Probolinggo menuju Gending kondisi jalanan cukup bagus, namun selepas Gending menuju Kraksaan dan Paiton haduuuhh, kondisi jalan kembali bergelombang dan penuh tambalan di bagian sisi kirinya yaitu sisi yang kami gunakan. Hal ini membuat tangan dan tenaga kami menjadi cepat lelah karena sedikit-sedikit harus mengerem untuk menghindari lubang

Karena tangan semakin pegal kami pun memutuskan beristirahat sejenak untuk makan nasi sayur yang tadi dibelikan oleh Mas Bayu, ketika kami membuka bekal tersebut wow ternyata isi nasi bungkusnya sangat menggugah selera, yaitu berupa nasi, mie, telur bulat, sambal goreng kentang, rendang beserta kuahnya, tidak ketinggalan juga ada tempe manisnya. Alhamdulillah, sejauh dan selama perjalanan kami maka ini adalah menu makanan "termewah" yang kami makan, mungkin bagi kalian menu tersebut terdengar sepele dan biasa saja kan? Tetapi menu makanan yang mungkin terlihat biasa bagi orang-orang pada umumnya itu ternyata di mata orang lain yang kondisinya sangat membutuhkan maka makanan yang biasa tersebut dapat berubah menjadi "makanan istimewa", oleh karena itu selayaknya lah kita harus mensyukuri setiap dan sekecil apa pun rezeki dan nikmat yang kita peroleh setiap harinya, jangan pernah menyia-nyiakan apapun itu apalagi sampai menjadi mubazir, ternyata benar kata-kata petuah bahwa jika ingin hidup tenang itu sebenarnya mudah, jika ingin makan yang enak maka makanlah saat lapar, jika ingin mencicipi minuman tersegar maka minumlah saat haus, jika ingin merasakan tidur ternyenyak maka beristirahatlah saat lelah, semua akan terasa indah jika memang tepat pada waktu kita membutuhkannya, sayangnya terkadang faktor gengsilah yang membuat hidup ini dan segalanya menjadi rumit :)

Setelah selesai makan kami pun kembali melanjutkan perjalanan hingga di sekitar daerah Kraksaan kami tergoda untuk jajan es tebu segar yang ada di pinggir jalan. "Es tebunya segelas berapa pak?", tanya kami, "oh segelasnya dua ribu mas", jawab si penjual, wah asyik nih murah meriah sehat alami dan menyegarkan, langsung saja sepeda kami parkir dan senderkan di tembok dan kemudian memesan dua gelas es tebu murni. Aaahh segarnya... setelah gowes jauh memang paling nikmat langsung minum es tebu murni seperti ini, seketika dahaga kami pun langsung terpuaskan. Namun sayang rasanya kalau hanya memesan segelas saja apalagi harganya tergolong cukup murah, kami pun masing-masing langsung menambah pesanan menjadi dua gelas dan mengisi botol minum kami dengan air tebu murni, sehingga total pesanan kami adalah 4 gelas es tebu dan sebotol air tebu murni untuk bekal diperjalanan


Kebanyakan minum air tebu yang manis ternyata berefek konyol di perjalanan, ya kami pun menjadi ngantuk selama gowes, mata terasa sangat berat apalagi cuaca juga sangat mendukung yaitu berawan ditambah hembusan angin sepoi-sepoi serta pemandangan area persawahan di kiri dan kanan jalan (pesan moralnya adalah jangan berlebihan dalam hidup ini hehe). Karena rasa kantuk sudah tak tertahankan kami pun mulai mencari spot yang asyik untuk sekedar rebahan (dan tidur) sebentar, akhirnya sebuah saung yang biasa digunakan oleh petani yang letaknya kebetulan pas di pinggir jalan pun menjadi tempat yang kami pilih karena strategis dan asyik untuk beristirahat dengan view pemandangan persawahan



Sekitar 1 jam lamanya kami beristirahat di saung tersebut sebelum mulai lanjut lagi, dan setelah menemukan masjid untuk menunaikan ibadah sholat jumat, kira-kira jam 1 siang kami lanjut lagi menuju ke arah PLTU Paiton.



Di area sekitar PLTU Paiton inilah kontur jalan mulai menanjak tetapi hanya sedikit saja kok dan tidak terlalu parah jika dibandingkan tanjakan Patuk Gunungkidul Jogja. Setelah puas mendokumentasikan beberapa view di sekitar PLTU kini kontur jalan mulai menurun dan terlihatlah gerbang batas wilayah, pertanda kini kami telah memasuki wilayah Kabupaten Situbondo

Pemandangan di sekitar PLTU Paiton






Di sisi kiri jalan sudah langsung terlihat laut lepas, dan sesudahnya kira-kira setelah wilayah perkampungan penduduk sekitar, kami mulai memasuki area wanawisata hutan mangrove. Di sepanjang jalan yang membelah wilayah mangrove ini kami juga melihat monyet-monyet liar, membuktikan bahwa area hutan mangrove ini masih terjaga keasliannya, sayangnya banyak sampah-sampah yang dibuang secara sembarangan oleh pengguna jalan yang melintas tampak berserakan di pinggiran hutan yang berbatasan dengan jalan raya



Setelah keluar dari hutan mangrove kini kami memasuki Desa Banyuglugur, Agit tampaknya juga sudah mulai lelah untuk mengayuh karena sebagian besar energi sudah terforsir akibat kondisi jalan rusak di wilayah Kraksaan serta tanjakan PLTU Paiton sehingga setibanya di daerah Besuki kami pun segera mencari kantor polsek untuk menumpang beristirahat hari ini

Seperti biasa setelah menemui petugas di pos jaga dan menyerahkan kartu identitas kami pun dipersilahkan untuk menaruh barang-barang dan beristirahat di mushalla (yang nampaknya jarang digunakan karena debunya banyak banget), setelah membersihkan mushalla dan mandi kini saatnya bagi kami untuk beristirahat


Dari yang awalnya hanya kami berdua saja yang menumpang beristirahat di mushalla ini, kini tampaknya kami harus berbagi ruang karena tak berapa lama kemudian muncullah rombongan hiker dari Tangerang Selatan yang hendak menuju ke Gunung argopuro namun turut menumpang beristirahat di mushalla polsek Besuki untuk malam ini, baiklah saatnya beristirahat sebelum besok lanjut lagi menuju Situbondo :)

Pengeluaran hari ini :
- 4 gelas es tebu murni = Rp 8.000,-
- sebotol air tebu murni = Rp 5.000,-
- 2 porsi nasi goreng = Rp 14.000,-
- 6 botol teh javana = Rp 8.700,-
Total = Rp 35.700,-

Total jarak tempuh hari ini :59,93 km