Thursday 28 June 2018

CHAPTER 42; PAREPARE

Selamat datang di Kota Parepare, kali ini perjalanan goweswisata kami berdua telah sampai di salah satu kota di Propinsi Sulawesi Selatan yang juga dikenal sebagai kota kelahiran mantan Presiden RI ke 3 yaitu Bapak Prof. DR. Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie.

Selama berada di Kota Parepare ini kami menetap di rumah salah seorang kenalan Mbak Darna yang juga merupakan seorang pesepeda lokal, nah berhubung ini adalah pertama kalinya bagi kami berdua menginjakkan kaki di kota ini maka yuk kita jelajahi keunikan dari kota Parepare ini

Secara geografis karakteristik dari Kota Parepare sendiri hampir sama seperti Kota Bima di Pulau Sumbawa, dimana pada bagian pinggir kota sebelah baratnya berbatasan langsung dengan pesisir pantai sehingga bagi kalian penikmat suasana laut tentunya tempat ini bakal menjadi salah satu lokasi favorit kalian untuk hangout bersama teman dan orang-orang terdekat, biasanya pada sore hari lokasi di sekitar pinggir pantai ini ramai dipenuhi oleh warga sekitar dan wisatawan yang ingin menikmati suasana sunset sembari berolahraga ataupun sekedar cuci mata dan berwisata kuliner


Namun yang menjadikan nama Kota Parepare ini semakin dikenal yaitu karena di Kota ini lahir seorang tokoh nasional yang juga merupakan mantan Presiden RI ke 3, yang mana Beliau juga merupakan seorang tokoh perintis kemajuan dunia dirgantara Indonesia melalui karya-karyanya, Beliau adalah Bapak Habibie, dan saking bangganya warga dikota ini terhadap salah satu putra terbaik daerah mereka tersebut maka tepat di Alun-alun kota yang juga berfungsi sebagai lapangan olahraga dan ruang terbuka publik ini dibangunlah sebuah Monumen Cinta Sejati Habibie Ainun, dimana kisah cinta Pak Habibie bersama Ibu Ainun semasa hidupnya sempat diangkat ke layar lebar beberapa waktu lalu



Tidak jauh dari Monumen Cinta Habibie Ainun juga terdapat obyek wisata sejarah lainnya yaitu Monumen Korban 40 ribu Jiwa yang dipersembahkan untuk para pahlawan kemerdekaan yang gugur ditembak oleh pasukan Wosterling di lokasi dimana sekarang monumen ini didirikan, peristiwanya sendiri dahulu terjadi pada Hari Kamis, Tanggal 14 Januari 1947, pukul 9 pagi. Melihat banyaknya jumlah korban jiwa yang jatuh pada peristiwa tersebut sungguh sebuah ironi jika saat ini kita justru melihat bagaimana sesama anak bangsa saling bertarung menjatuhkan satu sama lain hanya demi ego, harta, dan tahta, maka dari itu sebagai generasi penerus bangsa yang hanya tinggal mempertahankan dan mengisi kemerdekaan ini yuk kita sama-sama belajar menjadi manusia Indonesia yang lebih cerdas dan tidak mudah terprovokasi dengan permainan politik adu domba dari pihak-pihak lain yang mengatasnamakan agama serta faktor kesukuan, karena sesungguhnya Indonesia itu bukan hanya milik mereka yang mayoritas saja, melainkan Indonesia bisa tetap ada karena kesadaran dari masing-masing kita yang menyadari adanya semua perbedaan itu namun secara sukarela mengikatkan diri menjadi satu kesatuan dan saling melengkapi satu sama lain.





Setelah berkeliling melihat Monumen Cinta Sejati Habibie Ainun dan Monumen Korban 40 ribu Jiwa, kini saatnya mengisi perut dulu, untuk urusan kuliner kalian tidak perlu kuatir karena di sekitar Monumen Korban 40 ribu Jiwa banyak terdapat tukang jajanan serta warung-warung makanan yang memiliki menu halal dengan harga yang terhitung cukup ramah di kantong, dan jika kalian ingin beribadah pun bagi kalian yang Muslim tidak perlu repot karena tepat di seberang Monumen Korban 40 ribu Jiwa terdapat sebuah Masjid yang cukup besar.


Sambil beristirahat dan menikmati jajanan kami pun mencoba sedikit mereview karakteristik kota ini, secara luas wilayah sebenarnya pusat-pusat keramaian dan aktivitas perekonomian warga sekitar banyak terpusat di sekitar ruas jalan utama yang berada di sekitar Monumen Cinta Sejati Habibie Ainun serta yang berada disekitar kawasan Pelabuhan, namun dalam hal penataan dan suasana kotanya menurut kami sekilas hampir mirip dengan suasana di Kota Situbondo, Jawa Timur. Dan jangan salah walaupun disini kotanya tidak lebih besar atau seterkenal Kota Makassar namun dalam hal kebersihan kotanya maka Kota Parepare juga sempat meraih penghargaan Adipura lho





Oya bagi kalian penyuka wisata belanja ada satu lagi nih lokasi di Kota Parepare ini yang tidak boleh kalian lewatkan, yaitu Pasar Senggol. Eitttss jangan salah dulu walaupun namanya pasar namun pasar yang satu ini jauh berbeda dengan imej pasar yang biasanya identik dengan suasana kumuh, becek, kotor, dan bau. Di Pasar Senggol ini suasananya justru cukup tertata rapi dan nyaman, barang-barang yang dijajakan dipasar ini pun jenisnya cukup beragam, mulai dari pakaian anak, dewasa, pria dan wanita, mainan, aksesoris, sepatu, topi, bahkan sampai kuliner dan sayur mayur semua tersedia lengkap di tempat ini, namun jika kalian berencana berbelanja dipasar ini maka satu hal yang penting dan perlu kalian ketahui adalah jam buka atau operasional dari Pasar Senggol ini adalah mulai dari sore hari menjelang maghrib hingga malam hari, oleh karena itu jika kalian datang ke tempat ini pada pagi atau siang hari maka bisa dipastikan jika suasana di Pasar ini masih sepi alias belum buka, sedangkan untuk urusan harga maka seperti lazimnya sebuah pasar disini keahlian kalian dalam bernegosiasi harga sangat diperlukan



Kira-kira seperti itulah gambaran dan beberapa informasi mengenai Kota Parepare yang berhasil kami rangkum, semoga bisa membantu kalian semua dalam merencanakan perjalanan wisata ke tempat ini ya, dan jangan lupa untuk terus mengikuti kisah petualangan goweswisata kami berdua karena pada chapter berikutnya kita akan berwisata kematian jreng-jreeeng hehe… nah lho kok kematian dijadikan tempat wisata? Penasaran kira-kira kemana petualangan kami berikutnya? Nantikan di chapter berikutnya ya

Wednesday 20 June 2018

CHAPTER 41; PAK DALEH

Setelah sebelumnya kami menetap cukup lama dan menikmati pola aktivitas sehari-hari masyarakat di Kota Makassar, tepatnya di wilayah Panaikang, maka hari ini sudah waktunya bagi kami untuk kembali melanjutkan perjalanan menuju ke arah Utara Pulau Sulawesi

Setidaknya selama kami berada di Kota Makassar ini banyak pengalaman baru yang kami dapatkan, disini kami belajar untuk beradaptasi dengan budaya baru yang berbeda dengan tempat asal kami, mencicipi aneka jajanan khas dan wisata kulinernya, melihat dan mencoba meresapi nilai-nilai sejarah perjuangan bangsa melalui obyek cagar budaya yang banyak tersebar disekitar wilayah ini, semua itu pada akhirnya membuka wawasan dan cara pandang kami terhadap bangsa ini, tentang bagaimana besarnya Indonesia baik itu dari segi luas wilayah maupun dari segi keanekaragaman budaya, sumberdaya alam, agama, dan lainnya. Setiap wilayahnya jelas memiliki perbedaan dan terpisah secara geografis namun entah bagaimana sejak dahulu hingga sampai saat ini kita semua masih saling menyatu, secara sadar dan sukarela kita saling mengikatkan diri satu sama lainnya dibawah satu nama yaitu Indonesia

Mungkin Indonesia bukanlah sebuah bangsa yang sempurna diantara sekian banyak bangsa dan Negara-negara lainnya di dunia, namun yang pasti Indonesia itu luar biasa, “maybe Indonesia is not perfect but Indonesia is awesome”, karena dari sekian banyak perbedaan tersebut kita sepakat untuk berikrar dalam persatuan dan menjadikan perbedaan itu untuk saling menguatkan satu sama lainnya, percaya atau tidak tetapi itulah faktanya, oleh karena itulah banyak pihak-pihak lain baik dari dalam maupun luar yang berusaha untuk mencerai-beraikan persatuan kita melalui politik adu domba yang ujung-ujungnya semua itu semata-mata untuk kekuasaan, karena pihak-pihak tersebut secara sadar mengakui dan takut jika bangsa kita menjadi bangsa yang mandiri, maka dari itu sebagai generasi penerus dan putra-putri terbaik bangsa ini kita harus menjadi individu yang cerdas supaya tidak mudah terhasut dengan politik adu domba melalui isu atau sentimen-sentimen suku, agama, dan ras. Belajarlah dari sejarah perjuangan bangsa ini, ambil semangat kebangsaannya dan jangan pernah mengulangi kesalahannya

Setelah proses packing selesai, kami pun mengembalikan kunci kamar kepada pemilik kost serta berpamitan. Jalur dan kondisi aspal disekitar wilayah Panaikang ini sepertinya termasuk yang berkualitas bagus karena walaupun kami hanya mengayuh pelan tetapi putaran roda yang melintas dijalan raya ini terasa sangat enteng sekali, alhasil tanpa terasa kami pun sudah melewati wilayah Sudiang dan Maros

Selepas wilayah Maros cuaca mendung yang menggelayut akhirnya berubah menjadi hujan, kami pun menepi dan berteduh di salah satu bangunan kios yang terbengkalai, namun melihat kondisi awan yang sepertinya termasuk kategori hujan awet dan merata ini kami pun memutuskan untuk kembali melanjutkan perjalanan ketika hujan mulai mereda menjadi hanya tinggal gerimis kecil

Pemandangan di sepanjang rute selepas wilayah Maros ini sekilas mirip dengan rute Pantura jaman dahulu, medan aspal sesekali berganti dengan lintasan beton cor, pemandangan di sepanjang sisi jalan kebanyakan hanya berupa perkebunan, tanah kosong, dan rumah-rumah panggung milik warga, dengan jalur yang didominasi hanya lurus lempeng dan datar ini tak urung membuat kami berdua menjadi agak bosan dan mengantuk terlebih karena pemandangan di sepanjang sisi jalannya juga kurang menarik

Perlahan kami pun mulai memasuki gapura perbatasan wilayah Pangkep alias Pangkajene Kepulauan, kenapa dinamakan kepulauan? Karena disekitar wilayah Pangkajene ini terdapat beberapa pulau-pulau kecil di bagian pesisir pantainya, kami pun sempat melihat adanya dermaga-dermaga kecil milik warga sekitar yang menawarkan wisata perairan menggunakan perahu nelayan untuk berkeliling melintasi pulau-pulau kecil tersebut


Menjelang Adzan Dzuhur kami pun berhenti sejenak di sebuah Masjid yang berada di pinggir jalan, selain untuk beristirahat dan beribadah kami juga memanfaatkan waktu untuk mengisi perut sebelum kembali melanjutkan perjalanan, cuaca yang sedang “galau” alias gerimis-reda-gerimis-reda membuat kami berkali-kali memakai dan melepas jas hujan, tak jauh dari lokasi Masjid ini sebenarnya ada sebuah wahana rekreasi keluarga atau Theme Park namun saya lupa apa namanya, yang pasti di wahana ini saya melihat adanya jalur roller coaster dan bianglala, tapi kok sepi ya pengunjungnya, apa mungkin bukanya hanya pada malam hari saja


Sekitar pukul 1 siang kami kembali melanjutkan perjalanan kembali menyusuri jalur utama yang lurus-lurus saja, mungkin karena sebelumnya kami telah berkali-kali diguyur hujan dan kondisi cuaca yang tidak jelas “hujan-berhenti-hujan-berhenti” maka pada etape kali ini irama kayuhan sepeda kami berdua mulai menurun

Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan sekitar pukul tiga sore, Adzan Ashar pun mulai berkumandang melalui pengeras suara yang ada di surau-surau sekitar, saya pun mengecek jarak yang tersisa untuk menuju ke Kota Pare-pare, hmmm…jaraknya masih sekitar 80km lagi, sepertinya agak susah untuk dipaksakan selesai dalam satu hari ini karena Agit tampaknya sudah kelelahan (bagi saya pribadi sebenarnya jarak 80km ini masih bisa dipaksakan selesai dalam satu hari ini, namun karena perjalanan ini adalah perjalanan kami berdua maka saya pun enggan untuk memaksakannya daripada malah ngadat nantinya, bisa repot cuy)

Ketika sedang beristirahat inilah tiba-tiba kami didatangi oleh seorang bapak pengendara motor yang bertanya darimana dan hendak kemana tujuan kami, ketika kami menjawab hendak ke Pare-pare namun untuk hari ini sepertinya kami akan mencari tempat beristirahat seperti kantor polisi atau masjid atau pekarangan rumah warga ia pun menawarkan kepada kami untuk beristirahat dirumahnya yang kebetulan hanya berjarak sekitar 2km dari tempat kami beristirahat saat ini, dan untuk sesaat situasi canggung pun terjadi mengingat sebelumnya kami pernah punya pengalaman buruk di Pulau Lombok ketika ada seorang warga yang menawarkan tempatnya untuk beristirahat dengan harga sewa yang kebangetan, “ayo kalau mau ke tempat saya saja, rumah saya dekat kok hanya sekitar 2km dari sini, nanti ikuti motor saya saja”, kata sang Bapak pengendara motor yang belakangan kami ketahui bernama Pak Daleh ini, “eehhh ini beneran ga apa-apa pak kalau kami menumpang nginap sehari saja?”, tanya saya, “tidak apa-apa kok, mau menumpang sehari atau dua hari juga boleh”, jawab Pak Daleh, “oya Pak sebelumnya mohon maaf kalau kami kurang sopan tapi kami mau nanya ini nginepnya gratis atau kami harus bayar ya? Biar sama-sama enak saja”, tanya saya, “nginep mah gratis kok, saya ada rumah juga biasanya dipakai untuk nginep para pekerja ladang kalau pas lagi musim panen, nah karena bulan ini belum musim panen jadi sekarang tempatnya kosong, cuma ada saya berdua dengan ibu saya saja”, jawabnya

Akhirnya kami berdua pun sepakat untuk menumpang menginap hari ini di kediaman Pak Daleh, beliau pun memandu kami dengan sepeda motornya sampai tiba dirumahnya, lingkungan di sekitar kediaman Pak Daleh mayoritas warganya adalah petani, tidak jauh dari rumahnya juga terdapat lahan pertanian milik warga yang terhampar luas, rumah-rumah milik warga yang ada disekitar wilayah ini kebanyakan berupa rumah panggung dengan dinding berbahan seng, pada bagian bawah bangunan biasanya digunakan untuk garasi motor merangkap gudang peralatan pertanian, sedangkan untuk kamar mandi berada tepat di bagian depan pekarangannya


Kami pun menaruh semua barang bawaan kami di ruang tamu dekat dengan ruang televisi, sedangkan untuk sepeda-sepeda cukup ditaruh di garasi bilik bambu diruang bawah, “disini kita tidak ada yang masak karena orangnya hanya sedikit, jadi kebanyakan untuk makanan kita beli diluar, tapi kalau kalian mau memasak disitu ada dapur dan kompor juga bisa dipakai”, kata Pak Daleh

Setelah mandi dan bersih-bersih kami pun minta izin untuk ke depan sebentar mencari makan malam, satu-satunya warung makanan terdapat persis di seberang ruas jalan utama, sehingga kami harus berjalan kaki keluar dari wilayah perkampungan warga dulu, sambil menyantap makanan dengan menu seadanya yang disesuaikan dengan budget kami berdua, saya pun mendiskusikan rencana esok hari menuju Pare-pare

Seusai makan dan kembali ke kediaman Pak Daleh, saya pun berbincang-bincang dengan Pak Daleh yang “sepertinya sudah kecanduan merokok karena tidak berhenti-henti alias menyambung terus begitu rokok pertama habis langsung nyambung ke rokok berikutnya”, bagi saya yang notabene anti dengan asap dan aroma rokok ini tak urung perbincangan kali ini terasa cukup menyiksa mata dan pernapasan

“Dulu rumah ini belum besar seperti sekarang, saya kerja serabutan sampai keluar pulau dan nabung pelan-pelan kemudian pulang kampung untuk mengelola sawah, dan setelah rumah ini mulai jadi saya pun berpikir untuk apa rumah besar-besar kalau penghuninya hanya sedikit dan akhirnya rumah jadi terasa kosong, makanya sekarang setiap musim panen banyak pekerja-pekerja ladang dari luar wilayah ini yang menumpang nginap dirumah saya, toh mereka juga hanya pekerja musiman saja di sawah ini, daripada rumah besar tapi tidak bermanfaat lebih baik saya buka rumah ini bagi siapapun yang sedang membutuhkan, saya mungkin bukan orang pintar atau orang kaya tapi setidaknya saya bisa membantu dengan apa yang saya punya disisa umur saya”, ujar Pak Daleh ketika menuturkan awal mula ia membuka kediamannya bagi siapapun yang membutuhkan

Bahkan ketika kami berdua tadi sedang mencari warung makanan pun Pak Daleh bercerita jika tetangga-tetangganya banyak yang menanyakan mengenai siapa kami karena mereka melihat kedatangan kami berdua yang memakai sepeda kayuh dan membawa begitu banyak barang bawaan, kebanyakan dari mereka merasa was-was dan curiga untuk membuka rumahnya bagi orang asing yang tidak mereka kenal sebelumnya, sebenarnya saya pun memaklumi dan merasa pemikiran tersebut cukup wajar apalagi mengingat sebelumnya cukup banyak isu teroris yang berkembang di sekitar wilayah Sulawesi khususnya di daerah Poso, namun Pak Daleh menjelaskan kepada mereka semua jika kami berdua berasal dari Yogyakarta dan mengendarai sepeda kayuh selama beberapa bulan menuju beberapa pelosok nusantara untuk menulis pengalaman perjalanan, bagi beberapa orang pada umumnya ide perjalanan keliling nusantara saja sudah terasa aneh, apalagi jika berkelilingnya menggunakan sepeda kayuh, mungkin mereka menyangka jika kami berdua sudah gila hehe…namun biarlah toh semua penemuan-penemuan dan ide-ide hebat mayoritas berawal dari pemikiran orang-orang yang dianggap gila oleh orang-orang disekitarnya

Menjelang malam sambil menonton siaran televisi (yang menurut kami kualitas acara yang ditayangkannya semakin hari semakin menurun kualitasnya) saya pun mulai berpikir bahwa ternyata nilai-nilai kemanusiaan justru banyak saya dapatkan dari orang-orang yang secara tampilan fisik atau materi malah berasal dari mereka-mereka yang hidup jauh dari peradaban kota besar, dari mereka yang secara profesi bukanlah berasal dari profesi yang penuh prestise dan gemerlap, bukan dari mereka yang menempuh jenjang akademis dan meraih gelar berderet, melainkan justru dari mereka yang telah memiliki dan memahami arti hidupnya, dari mereka yang mengerti bahwa tidak perlu menjadi sebuah pohon besar yang menjulang sampai kelangit namun tidak bermanfaat bagi sekitarnya, melainkan cukup menjadi pohon yang walau tidak terlalu tinggi namun daunnya bisa meneduhi siapapun yang berada dibawahnya, batangnya bisa memberi oksigen dan kesejukan bagi siapapun yang bersender didekatnya, bagi mereka yang memiliki pemahaman bahwa selama hidupnya sebisa mungkin mereka menjadi layaknya mata air yang memberi penghidupan bagi sekitarnya bahkan walau nantinya mereka sudah tidak ada lagi, bukan malah menghasilkan air mata dari orang-orang yang dicurangi atau direnggut paksa apa yang telah menjadi haknya

Pendidikan bukannya tidak penting, namun jika sistem pendidikan yang dibangun hanya untuk mencetak manusia-manusia pintar yang nantinya minterin/menipu yang lain lalu apa gunanya, hanya untuk mencetak sarjana-sarjana hukum yang nantinya malah menggunakan kelemahan dari sistem hukum untuk menekan yang lemah, mencetak sarjana kedokteran untuk menciptakan virus baru kemudian membuat vaksinnya untuk dijual dengan harga tinggi, mencetak sarjana ekonomi yang menghalalkan dan meminimalkan modal sekecil-kecilnya untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya, jika sudah seperti itu lalu apa makna dari deretan gelar akademis yang dicapai? mungkin benar seperti apa yang sedari dulu diucapkan bahkan ditulis pada penggalan lirik lagu kebangsaan kita bahwa untuk menciptakan dan menjadi sebuah bangsa yang besar maka sebaiknya kita harus membangun jiwanya terlebih dahulu sebelum membangun badannya, membenahi mentalitas manusianya terlebih dahulu sebelum berlomba meninggikan dan memoles tampilan luarnya, ahhh… di malam yang semakin larut ini justru pendidikan yang berharga kembali saya dapatkan di tempat ini, dari seorang Petani yang bernama Pak Daleh, semoga sehat selalu ya Pak (kalau bisa kurangin merokoknya) dan bisa terus menyebarkan kebaikan-kebaikan lainnya


Menjelang pagi rutinitas perjalanan yang biasa kami jalani mulai kembali kami lakukan, dari mulai mandi hingga proses packing serta berpamitan kepada Pak Daleh, hari ini kami hanya tinggal menghabiskan sisa jarak tempuh 80km menuju ke Kota Pare-pare, pemandangan dan kondisi rute pun tidak jauh berbeda dengan hari sebelumnya, hal ini membuat hari ini kami jarang berhenti untuk berfoto, menurut rencana setibanya kami di Kota Pare-pare nanti akan ada beberapa teman pesepeda kenalan dari Mbak Darna yang akan menjemput dan menyediakan rumah singgah sementara yang bisa kami gunakan selama kami berada di Kota Pare-pare, dan akhirnya menjelang sore hari pun sampailah kami di gerbang perbatasan masuk menuju wilayah Kota Pare-pare, sebuah kota yang menjadi tempat kelahiran Presiden Republik Indonesia ke-3 yaitu Bapak Habibie, ada keunikan apa sajakah di Kota Pare-pare ini? tetap ikuti petualangan goweswisata kami berdua pada chapter berikutnya ya


Tuesday 5 June 2018

CHAPTER 40; LAST DAY IN MAKASSAR

Jika pada petualangan-petualangan sebelumnya kami berdua lebih banyak menghabiskan waktu dengan berkeliling mencari dan menikmati obyek wisata keindahan alam, maka di penghujung hari terakhir kami berada di Kota Makassar ini kami mencoba menyempatkan diri untuk sejenak bersantai menikmati suasana kota modern ini dengan berwisata menggunakan transportasi umumnya yaitu Bus Trans Mamminasata

Bus Trans Mamminasata ini tak ada bedanya dengan Bus Trans Jakarta, baik dari ukuran bus yang cukup besar (jauh lebih besar daripada Bus Trans Jogja maupun Bus Sarbagita di Bali) maupun sistem shelter busnya, hanya saja untuk sistem pembayarannya pada Bus Trans Mamminasata ini masih menggunakan sistem manual berupa karcis yang disobek, belum menggunakan sistem kartu yang terintegrasi. Dengan harga tiket sebesar lima ribu rupiah per penumpang untuk sekali jalan kami pikir tidak ada ruginya untuk mencoba berkeliling Kota Makassar menggunakan bus ini, jadi yuk kita let’s go tinggal duduk santai dan menikmati pemandangan di sepanjang rute trayek bus ini


Kami memulai perjalanan nge-bus ini dari shelter bus yang berada tepat di depan Mall Panakkukang, untuk menuju ke Mall ini kami harus berjalan kaki terlebih dulu dari tempat kost kami yang berada di daerah Panaikang melalui jalan pintas (Jalan Haji Kalla) dengan jarak yang “sebenarnya” cukup jauh terutama bagi kalian yang jarang berjalan kaki, namun karena kami berdua juga suka berjalan kaki maka jarak sekitar 3km ini tidaklah terlalu menjadi masalah



Dari shelter Mall Panakkukang Bus Trans Mamminasata yang kami tumpangi mulai bergerak melalui Jalan Boulevard dan Jalan A.P Pettarani menuju ke pusat kota, disepanjang rute ini kami bisa melihat suasana kemacetan khas kota besar, disisi jalannya tampak beberapa pusat perbelanjaan yang besar serta gedung-gedung tinggi, hmmm…suasananya benar-benar 11-12 dengan Kota Jakarta, beberapa ruas jalan yang dilalui oleh trayek bus ini sudah familiar dalam ingatan kami karena sebelumnya kami juga sudah pernah menyusuri rute jalan ini, gerimis kecil tampak mulai turun membasahi Kota Makassar, disaat seperti ini untunglah kali ini kami berkeliling menggunakan bus :)




Perlahan rute Bus Trans Mamminasata ini pun melewati lokasi wisata Benteng Fort Rotterdam dan Pantai Losari kemudian berbelok menuju kearah Barombong persis dengan rute yang kami lewati sewaktu kami bersepeda menuju ke Benteng Somba Opu, hanya saja kali ini pemberhentian Bus ini adalah sebuah pusat perbelanjaan besar yang menjadi terkenal karena didalamnya terdapat tempat rekreasi indoor terbesar yaitu Trans Studio Makassar, kami pun mencoba untuk turun dan melihat seperti apa sih Trans Studio yang terkenal itu

Dan ternyata “Mall nya gede amat yak”, begitulah kata-kata pertama yang terlintas dalam pikiran kami berdua (langsung deh mulai kumat udiknya hahaha…) maklumlah selama beberapa bulan terakhir ini pusat perbelanjaan yang rada lumayan besar yang kami kunjungi adalah Bolly di Kota Bima dan Hypermart yang ada di Kota Lombok, itupun keduanya cenderung biasa saja dan suasananya tidak semegah pusat perbelanjaan yang ada di Kota Makassar ini, suasana didalam Mall tempat Trans Studio ini berada mungkin hampir sama dengan suasana pusat perbelanjaan yang ada di kawasan Senayan Jakarta, semua tennantnya terkesan ekslusif





Namun mungkin karena suasananya yang “terlalu” ekslusif itu pulalah pada akhirnya justru membuat Mall ini terlihat sepi pengunjung (padahal interior didalamnya megah dan bagus), hanya tampak beberapa orang pengunjung saja yang mengunjungi mall ini, hal serupa pun tampak di kawasan foodcourtnya, jika biasanya suasana foodcourt sebuah pusat perbelanjaan selalu tampak ramai maka disini bahkan suasana foodcourtnya juga tampak sepi padahal hari sudah menjelang siang




Setelah berkeliling mulai dari lantai teratas sampai ke ground floor pusat perbelanjaan ini akhirnya kami pun mengambil beberapa dokumentasi di bagian depan dari tempat rekreasi Trans Studio Makassar ini (mau masuk tapi tiketnya mahal akhirnya ya sudah cukup dengan berfoto saja untuk kenang-kenangan perjalanan), kini saatnya melanjutkan perjalanan nge-bus dengan menunggu bus Trans Mamminasata berikutnya datang

Setelah Bus Trans Mamminasata datang kami pun kembali melanjutkan perjalanan menyusuri beberapa ruas jalan Kota Makassar sampai akhirnya Bus kembali ke titik awal dimana kami memulai perjalanan ini yaitu di shelter Mall Panakkukang

Sejenak mengulas perjalanan kali ini kami menyimpulkan bahwa ternyata di Kota Makassar ini memiliki banyak sekali pusat-pusat perbelanjaan yang tergolong besar, mulai dari Mall Panakkukang (salah satu pusat perbelanjaan yang menjadi favorit kami berdua), Mall Ratulangi, Trans Studio Makassar, Mall Karebosi, Sejumlah Carefour, Hypermart, dan Lottemart yang tersebar dimana-mana, serta beberapa pusat perbelanjaan lainnya yang tadi sempat kami lewati, intinya jika kalian tipikal orang yang tidak bisa lepas dari suasana Kota Besar maka di Makassar ini kalian pasti senang karena disini kalian bisa travelling dengan nyaman dan mudah untuk mencari segala keperluan yang kalian butuhkan

Untuk mengakhiri hari ini kami berdua memutuskan untuk menikmati suasana didalam Mall Panakkukang, mengapa Mall ini menjadi favorit kami berdua? Jawabannya adalah karena suasana didalam Mall ini terkesan merakyat, Mallnya besar tetapi suasananya terkesan hangat dan merangkul hampir semua lapisan masyarakat, disini kalian bisa menemukan tempat makan dengan harga yang cukup terjangkau (10 ribu-an per porsi, lokasinya berada tepat didepan bioskop XXI) dengan suasana yang nyaman dan bersih, kemudian tenant-tennant yang ada disini pun tidak semuanya berasal dari produk-produk mahal, bahkan didalam Mall ini pun juga masih ditemui beberapa penjual CD dan DVD seperti yang ada di Mangga Dua Mall Jakarta serta penjual baju-baju yang deretan kiosnya mirip dengan yang ada di ITC, dan pada lantai teratasnya terdapat area hiburan yang jarang ada yaitu Ice Skating, dan tahukah kalian berapa tarif untuk bermain Ice Skating di Mall Panakkukang ini? tarif untuk bermain Ice Skating disini hanya 10 ribu rupiah saja, cukup terjangkau bukan, dan bagi kalian yang suka membaca, kalian tidak perlu kuatir karena tepat disamping area Ice Skating ini terdapat Toko Buku Gramedia yang cukup besar, untuk urusan membeli keperluan rumah pun disini juga terdapat Hypermart, Carrefour, ACE Hardware, dan Lottemart, kami pun memanfaatkan adanya keempat retail ini untuk saling membandingkan harga dan membeli perlengkapan yang kami butuhkan di keempat tempat yang berbeda ini (tergantung harga dari produk tersebut lebih murah di tempat yang mana)


Tanpa terasa malam pun mulai menjelang, ini adalah malam terakhir kami berada di Kota Makassar, mungkin suatu saat kami akan merindukan tempat ini (coba Mall Panakkukang ditukar saja dengan Ambarukmo Plaza di Jogja), merindukan suasana Kota Makassar dengan segala jajanan dan transportasi umumnya yang terbilang cukup lengkap (untuk urusan transportasi umum, Makassar memiliki kelebihan dalam hal dimensi bus Transnya yang besar, namun untuk sistem pembayarannya harus diakui jika Jakarta dan Jogja masih jauh lebih baik karena sudah menggunakan sistem kartu yang terintegrasi, sedangkan untuk transportasi feeder atau penghubungnya maka Bali masih yang terbaik karena kendaraan feedernya memiliki pemberhentian yang teratur dan memiliki tarif yang murah dengan jarak yang terhitung cukup jauh, sedangkan di Makassar dan Jakarta maka kendaraan feedernya masih berupa angkot yang suka ngetem sembarangan).

Jika saja semua pemangku kebijakan di setiap kota di Indonesia saling belajar satu dengan lainnya bukan tidak mungkin jika kedepannya maka tidak akan terjadi gap atau kesenjangan pembangunan yang terlalu jauh antara satu kota dengan kota lainnya, tidak perlu jauh-jauh beralasan untuk kunjungan kerja ke luar negeri jika ternyata pada akhirnya justru tidak ada hasil nyata dari hasil kunjungan kerja tersebut, karena didalam negeri sendiri saja sebenarnya juga ada banyak kelebihan dan prestasi yang bisa dipelajari dan diterapkan untuk masing-masing kotanya