Thursday 19 February 2015

Catatan gowes seorang teman

Post kali ini merupakan kontribusi dari seorang teman, sahabat, sekaligus rekan gowes petualang dari Amerika Serikat bernama Penny Jansen ketika ia dan suaminya berkunjung ke Indonesia dan singgah di tempat saya, Yogyakarta

Dari pertemuan ini kami saling bertukar pikiran dan cerita tentang apa saja, tidak hanya soal sepeda, melainkan juga bagaimana sebuah sepeda, perjalanan, dan petualangan ini membawa perubahan dalam diri kami masing-masing, termasuk mengubah cara perpikir kami dalam mensyukuri sesuatu dan memahami arti hidup serta kebahagiaan (*baca juga post terdahulu, small world of cyclist tourer)

Selamat membaca :)


Doing the Small Things

“You don’t have to be rich with money to do goodness.” Akuntanu Widyantono

How one guy’s love of cycling is making a difference in his country.

Eric and I has the pleasure of cycling with Akuntanu Widyantono, or Anto as he likes to be called, a twenty-somthing cyclist/explorer/writer/blogger in Jogyakarta. The more I got to know him, the more impressed I became with the simple things he is doing to promote cycling and camping in his country. He calls himself “just a normal guy” but his simple approach to cycling and writing about his experiences are having a big impact on the younger generation.

We met Anto through Warmshowers, a group for cycling enthusiasts to share lodging and a love for a common sport. Although we did not stay with Anto, we had the pleasure of local expertise to tour some local sights: an old bridge that was a relic of the Dutch colonization, an obscure Hindu temple, another temple, and some caves built by the Japanese to hide munitions during WWII.

The sites are very interesting and off the radar screen of the regular tourist paths. But even more interesting to me is how Anto finds these places and what he does once he find them.

Several times a week Anto starts off on his bicycle with no particular destination in mind. He just rides and takes the paths not well traveled. Often he gets lost and carries an old-fashioned compass, in case GPS signals are not working, and makes his way somewhere. More often than not, he stumbles across waterfalls, mud bridges, hidden caves, beautiful lookouts at the top of hills, or old temples covered with trash or graffiti. Then he wanders into the nearest village, finds an older person in the village and asks for the history or folklore about the place. For destinations farther away from home, he might also ask for permission to camp.

When he gets home, he write details about that day’s ride including the history of the place and how to find it. He has an active blog that gets over 4500 visits per month. And, from what we witnessed, people are using his suggestions about local attractions to plan their free time.

What really sets him apart from other bloggers is that he takes some of his “finds” to the government to help promote tourism by the local residents. For example, recently he round a hidden Hindi temple that was filled with trash and being used by local teenagers at the “hangout and party” place. After he learned the history of the temple from some local villagers, he wrote to the government and asked them if they want to let their national treasures be destroyed and lost to future generations.

Within a week, the temple was “found” and cleaned up. The relics were labeled and catalogued. Signs were placed on the nearby roads to direct people to the temple. Signs were placed at the site explaining the meaning of the carvings. Today there was a school group of about 30 students who had ridden their bicycles with their teachers to the temple for a small field trip. They were enjoying the ride and the different location of the “classroom.”

The bridge that Anto rediscovered and wrote about in his blog has become so popular that a small parking lot has been built. Many locals come to this bridge for wedding photographs and to enjoy the salt water flowing over the lava formations below.

The temple mound at the top of a small mountain was another discovery. Today there were many groups enjoying the 360 degree view and taking lovely photos. There were mountain bikers using the path for a challenging training loop. The villagers below were enjoying the increased traffic to the ancient temple and had opened up small food and beverage stalls and a way to earn some money.

Anto would like to see more people ride bicycles to enjoy the local scenery. But he is concerned about the obstacles. There is a anti-bicycle culture that we’ve seen in many SE Asia countries – the perception that bicycle riding is for the poor. Status is achieved by buying motorcycles and cars. The motorcycle manufacturers have made it very easy for Indonesians to buy new motorcycles with very little cash and it’s common to see families where each child has his or her own motorcycle.

He’s had people comment that their bicycle isn’t good enough for these short journeys to the countryside. He tries to convince them to ride whatever bicycle they have laying around. He even has a small repair shop in his home to help get people back on their “working” bicycles.

Aside from Anto’s encouraging cycling and camping, he’s educating about pollution – no small feat in a country where throwing rubbish anywhere and everywhere is common practice and old engines from motorcycles, cars, trucks, and buses fill the air with black smoke all the time.

Anto says, “Don’t be affraid with what other people thinking about you (sic), your life is not just to impress others but doing your life in a positive way (and of course you like it) sooner people(s) from everywhere will appreciate and get inspired because of you .”

As I’ve mentioned before, Indonesia has been a difficult country for us to visit because of the infrastructure, pollution, and hesitation on the part of the locals to interact or smile at strangers. But meeting and cycling with Anto, a “regular guy” with a vision for the future of his country, has made our pedals spin easier and our smiles much bigger.

Untuk link asli dan mengikuti cerita petualangan mereka silahkan klik disini http://cycle4retirement.com/doing-the-small-things/

Thank you Penny for your contribution (even it's kinda weird for me because i usually wrote the story about them)

See you maybe on the road :)

Candi Gebang


Ingin mengunjungi Candi-candi yang ada di Yogyakarta tetapi malas karena faktor lokasi yang umumnya berada jauh dari pusat kota?

Mungkin bagi sebagian orang yang baru pertama kali berkunjung ke Yogyakarta jika mendengar kata candi maka yang terlintas di benak mereka hanyalah Candi Borobudur dan Prambanan, tetapi di kota 1000 candi ini (saya menyebutnya seperti itu karena memang banyak sekali terdapat candi-candi, baik itu yang berukuran besar maupun candi-candi kecil yang ada dan tersebar di Yogyakarta) ternyata ada candi (yang walau tidak sepopuler Borobudur-Prambanan) tetapi berlokasi cukup dekat dengan pusat kota, yaitu Candi Gebang

Candi Gebang yang berlokasi di Dusun Gebang,Desa Wedomartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman ini merupakan alternatif wisata Candi yang berlokasi tidak jauh dari pusat kota. Patokannya jika ingin berkunjung kesini maka tinggal arahkan kendaraan ke Stadion Maguwoharjo, dari stadion nanti terus saja ke utara sampai perempatan kemudian belok kiri (barat) menyeberangi jembatan, dan tidak jauh dari situ nanti ada Indomart di sisi kiri jalan, sampingnya ada jalan masuk dengan papan penunjuk arah menuju lokasi candi, jangan kuatir petunjuk yang ada cukup jelas kok sehingga kita tinggal mengikuti saja

Bangunan candi seluas 27,56 m2 dan menempati lahan seluas 2260 m2 ini berada cukup terpencil dengan dikelilingi persawahan milik warga di sekitarnya, jika kita berkunjung pada hari libur maka untuk masuk ke areal candi kita harus membayar retribusi sebesar Rp 2000,- sedangkan untuk hari biasa tidak ada biaya retribusi alias gratis, cukup mengisi buku tamu saja

Kali ini ternyata juga banyak pengunjung yang datang bersepeda :)


Papan informasi candi yang cukup lengkap


Candi Gebang pertama kali ditemukan pada bulan November tahun 1936 oleh penduduk setempat. Awalnya yang ditemukan adalah arca Ganesha, kemudian dengan merujuk pada hasil temuan tersebut diadakan penggalian lebih lanjut oleh instansi terkait. Berdasarkan hasil penelitian itu diketahui bahwa arca tersebut tidak berdiri sendiri namun merupakan bagian dari suatu bangunan, dari hasil penggalian tersebut ditemukan reruntuhan bangunan yang terdiri dari atap candi, sebagian kecil tubuh, dan sebagian kaki yang masih utuh. Selanjutnya mulai dilakukan proses rekonstruksi dengan menggunakan beberapa batu pengganti untuk menggantikan batuan penyusun yang rusak. Pemugaran Candi Gebang dilakukan pada tahun 1937 sampai dengan tahun 1939 dan dipimpin oleh Prof. Dr. Ir. V.R. Von Romondt




Candi beraliran Hindu ini dapat diketahui dengan adanya arca Ganesha serta Lingga dan Yoni yang terdapat di dalam bilik candi. Selain itu berdasarkan bentuk kaki candi yang mempunyai proporsi tinggi menunjukkan bahwa Candi Gebang berasal dari periode yang tua sekitar abad ke VIII – IX (730-800M), menurut Van Romondt, Candi Gebang yang kecil tersebut berdiri pada masa awal Jawa Tengah


Lingga dan Yoni yang berada di dalam bilik candi


Arca Ganesha


Salah satu keistimewaan candi ini yaitu tidak ditemukannya tangga masuk menuju ke dalam bilik candi, kemungkinan tangga masuk terbuat dari kayu atau bahan lain yang mudah rusak sehingga sampai sekarang tidak ditemukan kembali, keistimewaan lainnya adalah titik pusat candi yang bertepatan dengan titik pusat halaman candi


Bangunan Candi Gebang menghadap kearah timur. Di dalam bangunan terdapat Yoni, di kiri-kanan pintu masuk terdapat relung dengan arca Nandiswara, sedangkan relung yang seharusnya berisi arca Mahakala terlihat kosong, di sebelah barat terdapat relung yang berisi arca Ganesha yang duduk di atas sebuah Yoni, Ganesha sendiri disebut juga Vighnecvara yang bertugas menghilangkan semua rintangan

Pada bagian puncak atap candi terdapat lingga yang di tempatkan di atas bantalan seroja, dan di bagian luarnya terdapat relief berbentuk kepala manusia



Mengunjungi suatu lokasi wisata sejarah seperti ini tentunya akan lebih berarti jika kita mengetahui sejarahnya sehingga kita dapat menarik pelajaran tentang sejarah peradaban bangsa ini, dan tentunya dengan proses belajar seperti ini (berkunjung langsung) juga akan lebih menarik jika dibandingkan dengan hanya membaca dari buku-buku sejarah atau mendengar didalam kelas. Jika generasi saat ini sudah tidak mau peduli lagi terhadap sejarah peradaban bangsanya sendiri lalu apa yang kelak kita ajarkan kepada generasi penerus berikutnya, ataukah kita nantinya hanya menjadi generasi penerus bangsa tanpa identitas?

Sunday 8 February 2015

Jembatan Babarsari

(01/02/15), bagi warga Jogja terutama yang berdomisili di wilayah Babarsari pastinya sering melintasi Jembatan ini. Jembatan yang berada di sebelah timur dari perempatan selokan mataram Babarsari ini mungkin terlihat biasa-biasa saja, bahkan jika kita mengendarai kendaraan bermotor dan melintas di atas jembatan ini pasti hanya sekedar melintas saja tanpa menyadari jika dibawah jembatan tersebut ada sebuah tempat yang cukup menarik, bahkan bisa dijadikan sebagai alternatif tempat wisata air dalam kota yang murah meriah hehe :)

Aliran air sungai yang jernih dan cukup tenang ditambah dengan hijaunya pepohonan yang berada disekitarnya seakan menjadikan tempat ini cukup ideal bagi kalian yang suka bermain air atau sebagai tempat rekreasi keluarga, nilai plus lainnya adalah jaraknya yang cukup dekat dan berada didalam kota, sehingga tempat ini juga strategis sebagai media pembelajaran bagi orangtua yang ingin mencoba mengenalkan alam kepada anak-anaknya sejak usia dini

Ketika kami mengunjungi tempat ini (bisa masuk melalui turunan jalan tanah yang berada disamping jembatan), suasana yang sejuk dan asri langsung terasa, terlihat dari banyaknya kupu-kupu yang beterbangan di sekitar sungai, oya di sekitar sungai juga terdapat tempat budidaya ikan nila yang dikelola oleh warga sekitar


Tempat budidaya ikan nila milik warga sekitar


Selain menikmati bermain air, biasanya pada hari libur, diatas jembatan babarsari (yang lama) ini juga dijadikan tempat berlatih menuruni jembatan menggunakan tali oleh komunitas pecinta alam, sayangnya mungkin karena kali ini cuaca sering hujan maka di hari minggu ini tidak ada kegiatan latihan oleh komunitas tersebut


Suasana di tempat ini






Bukti kalau airnya masih jernih



Ternyata tidak hanya kami yang menyadari keindahan tempat ini, karena tidak berapa lama kemudian ada beberapa warga lokal yang datang bersama anaknya, mereka memancing dan mencari ikan, bahkan si anak mendapat tangkapan seekor ikan nila yang cukup besar, beberapa yuyu (kepiting kecil) juga banyak terdapat dan bersembunyi dibalik bebatuan sungai, hal ini seakan menjadi salah satu indikator bahwa tempat ini masih cukup terjaga keasriannya


Semakin siang tempat ini juga mulai ramai, kali ini sekelompok anak-anak dengan sepedanya juga ikut bergabung dengan kami menikmati bermain air di tempat ini. Sangat menyenangkan melihat tingkah polah mereka yang khas anak-anak, bersenda- gurau dengan teman sebayanya, tertawa lepas dan menggunakan imajinasinya tanpa takut dibatasi, disaat seperti ini saya berpikir jika dunia anak-anak memang seharusnya seperti ini, lepas dari belenggu teknologi atau berbagai gadget yang menjadikan mereka “mengisolasikan dan mengekslusifkan diri” dari lingkungan sosialnya, justru dengan hal-hal yang sederhana seperti ini mereka menjadi belajar bersosialisasi secara nyata, melatih kemampuan motoriknya, serta berimajinasi, dunia dan alam disekitar mereka seakan menjadi tempat bermain dan berpetualang mereka





“Dunia anak-anak adalah dunia bermain”, ungkapan tersebut terasa sangat tepat karena dengan begitu energy mereka bisa tersalurkan secara positif, sayangnya hanya karena prestise terkadang banyak orangtua yang cenderung memaksakan kehendaknya dan menuntut si anak supaya berprestasi secara akademik, dan dengan dalih tersebut kemudian menjejalkan berbagai les tambahan kepada si anak, yang secara tidak langsung juga mematikan waktu bermain dan bersosialisasi yang seyogyanya menjadi hak si anak, dan sebagai kompensasinya para orangtua kemudian menghadiahkan berbagai gadget dengan fitur teknologi terkini kepada si anak, anak tersebut memang terlihat seperti menikmati dan bermain, tetapi hanya sebagai individu tanpa imajinasi, bukan sebagai bagian dari dunia anak-anak yang seharusnya penuh dengan imajinasi mereka sendiri. Terkadang gadget tersebut justru menjadi alat yang menciptakan sekat atau dinding pemisah antara anak dengan dunia nyata dimana mereka hidup sebenarnya

Dari tempat yang terlihat biasa seperti ini saja banyak cerita yang bisa saya petik, terkadang lucu juga melihat beberapa kawan yang berpandangan untuk bisa punya cerita petualangan yang bagus maka haruslah menempuh perjalanan jauh dulu, tetapi saat mereka melakukan perjalanan jauh yang kemudian menjadi fokus perhatian mereka hanyalah kepada sederetan angka-angka speedometer tentang jarak dan kecepatan serta perkataan orang lain yang berkata “wah kau hebat sekali”, mereka seakan lupa bahwa apa yang terjadi, mereka lihat, alami, rasakan selama perjalanan tersebut juga merupakan sebuah cerita yang menanti untuk ditulis. Dan pada post kali ini seakan juga menjadi sebuah contoh sederhana bahwa “ you don’t have to be rich to travel well” seperti kata Eugene Fodor :) karena your journey of life is also a traveling it self