Saturday 31 March 2018

CHAPTER 32; PANTAI AMAHAMI DAN PANTAI LAWATA

Jika pada chapter sebelumnya kami telah berkeliling menjelajah mencoba mencari keunikan yang dimiliki Kota Bima, maka selama seharian ini hingga 4 hari kedepan (09/02/2016 – 12/02/2016) kegiatan kami lebih banyak dihabiskan dengan menyusun dan mengatur ulang jadwal serta rute untuk perjalanan kami berikutnya

Disini kami dihadapkan dengan beberapa pilihan destinasi, antara lain kami bisa meneruskan perjalanan ke arah Timur melalui Sape untuk selanjutnya menyeberang menuju Labuan Bajo dan Flores, atau kami bisa sedikit turun ke arah Selatan dengan menyeberang menuju Pulau Sumba, atau malah bisa juga kearah Utara menuju Sulawesi dengan menyeberang menggunakan Kapal Pelni. Semua pilihan destinasi ini masing-masing memiliki nilai plus dan minusnya sendiri, oleh karena itu kami harus cermat mempelajari kelebihan serta kekurangan dari masing-masing destinasi tersebut yang mana pastinya kami juga harus menyesuaikan dengan budget anggaran perjalanan ini

Disatu sisi perjalanan yang semakin menuju ke arah Timur pastinya menawarkan keindahan panorama alam yang eksotis dan masih alami, namun konsekuensinya medan yang dihadapi pasti akan lebih berat dan sunyi, sehingga lagi-lagi faktor mental yang akan lebih banyak diuji, begitu pun jika kami menuju ke arah Selatan yaitu Pulau Sumba, kondisinya bisa dipastikan tidak akan jauh berbeda. Sebenarnya untuk faktor kondisi medan secara fisik tidaklah jauh berbeda dengan apa yang sudah pernah kami lalui sebelumnya, semua tanjakan pastinya akan terasa berat dan adegan mendorong sepeda pasti akan terus terjadi berulang-ulang, yang membedakan dan membuatnya terasa berat adalah suasana sepi dan minim perkampungan sehingga rasanya jarak yang harus ditempuh menjadi semakin jauh saja, apalagi bagi kami berdua yang lahir dan besar di lingkungan suasana perkotaan yang ramai, dimana hampir setiap bagian sudut kotanya selalu penuh sesak terisi oleh hunian, dimana hampir setiap 100 meter selalu ditemui minimarket Ind*m*rt dan Alf*m*rt yang berdiri berdampingan, maka ketika sekarang kami dihadapkan pada kondisi lingkungan yang sunyi, minim perkampungan, minim warung, dimana sepanjang perjalanan kami lebih banyak menjumpai sapi, kambing, dan kuda daripada berjumpa dengan manusianya di saat itulah mendadak alam bawah sadar kami mulai merindukan “peradaban kota besar” dengan segala hiruk pikuk dan kebisingannya, padahal ketika kami masih tinggal di kota besar terkadang kami malah menghindari semua itu dan justru mencari rute yang meminimalkan atau tidak bersinggungan dengan arus kendaraan bermotor, aneh tapi nyata terkadang suatu hal yang dulunya sering dihindari kini tiba-tiba mulai dirindukan dikala semua hal tersebut telah hilang.

Akhirnya setelah menimbang dan berdiskusi, kami pun memutuskan untuk meneruskan perjalanan menuju ke arah Utara, tepatnya petualangan kami berikutnya adalah menyeberang menuju ke Pulau Sulawesi

Ada beberapa hal yang membuat kami berdua memutuskan untuk menuju ke Sulawesi, antara lain karena Sulawesi terkenal dengan keindahan pantai-pantainya, selain itu di Sulawesi sendiri suasananya juga tidaklah terlalu sunyi karena disini terdapat Kota Makassar yang merupakan salah satu dari 5 Kota Besar yang ada di Indonesia, sehingga bisa dipastikan bahwa setidaknya kami bisa melepaskan rasa rindu terhadap suasana khas perkotaan dengan segala kebisingan dan kepadatannya

Untuk menuju ke Pulau Sulawesi kami pun mulai mencari info seputar jadwal penyeberangan kapal Pelni yang berangkat dari Pelabuhan Bima, untungnya kantor Pelni yang ada di Kota Bima ini berada tidak terlalu jauh dari kediaman Mbak Henni, kami pun langsung menuju ke kantor Pelni untuk bertanya-tanya sekaligus memesan tiket penyeberangannya.

Berdasarkan jadwal penyeberangan bulan ini yang tertera di papan informasi kantor Pelni, setidaknya ada dua kali penyeberangan yang dilakukan dari Pelabuhan Bima yang menuju ke Sulawesi, pilihan tujuannya bisa kalian pilih mau berhenti di Kota Makassar atau kalian bisa berhenti dan turun di Bau-bau, kami pun memilih pemberhentian yang berada di Kota Makassar

Harga tiket penyeberangan Kapal Pelni dari Pelabuhan Bima menuju ke Kota Makassar (Februari 2016) sebesar Rp 210.000,-/orang, sedangkan untuk sepeda dan bagasi dikenakan biaya sebesar Rp 300.000,-/ sepeda (lebih mahal tiket untuk sepedanya daripada untuk orangnya), sehingga untuk penyeberangan kali ini kami menghabiskan biaya sebesar Rp 1.020.000,- (rekor biaya penyeberangan termahal sepanjang perjalanan kami, karena kami harus membeli 2 tiket untuk orangnya, dan 2 tiket lagi untuk sepeda serta bagasinya), dengan pengeluaran sebesar ini berarti kami harus memperketat budget di perjalanan berikutnya, oya kami memilih menyeberang menggunakan jadwal kapal yang pertama yang rencananya akan berangkat sekitar 1 minggu lagi, sambil menunggu jadwal keberangkatan yang masih 1 minggu lagi itu enaknya ngapain ya? Biar tidak bosan lebih baik kami mencoba seru-seruan saja di Kota Bima ini, kira-kira ada destinasi unik apa lagi ya di Kota ini, yuk kita come on let’s find out

Pengeluaran hari ini :

- 2 tiket Pelni Bima-Makassar = Rp 420.000
- 2 tiket Pelni untuk sepeda+bagasi = Rp 600.000,-
- belanja pakaian = Rp 95.000,-
- 4 minuman gelas = Rp 4.000,-

- pulsa internet = Rp 55.000,-
- minuman gelas = Rp 5.000,-
- belanja swalayan = 24.500,-

- pos = Rp 66.000,-
- belanja swalayan = Rp 29.000,-

Total = Rp 1.119.000,-
===================================================

Akhirnya di hari ke 59 perjalanan kami (Sabtu,13 Februari 2016) kami pun mencoba untuk bersepeda keliling Kota Bima dengan melihat suasana di Pelabuhan Bima, tempat dimana nantinya kami akan berangkat menuju ke Sulawesi dari Pelabuhan ini, setelah itu kami kemudian menuju ke Pantai Amahami yang berada tidak jauh dari gerbang batas Kota Bima

Di Pantai Amahami ini jangan harap kalian bisa berenang atau bermain pasir di bibir pantainya layaknya pantai-pantai yang biasa kalian temui, karena di sepanjang garis pantai ini sama sekali tidak memiliki pasir di bibir pantainya, jadi di bagian bibir pantainya langsung berbatasan dengan turap pembatas

Walaupun tidak memiliki pasir pada bibir pantainya namun sebenarnya pantai ini memiliki air yang lumayan jernih lho, disini kalian bisa melihat barisan ikan-ikan kecil yang berenang atau bersembunyi di karang-karang dekat dinding turap pembatas sehingga tempat ini cocok untuk kegiatan memancing atau mencari ikan.


Namun sayangnya banyak dari pengunjung pantai ini yang masih belum memiliki kesadaran untuk menjaga kebersihan dari tempat ini, di beberapa titik masih sering kita dapati sampah-sampah sisa makanan yang dibuang sembarangan, padahal disekitar area ini terdapat banyak tempat sampah, nah jika kalian berkunjung ke tempat ini jangan malas untuk membuang sisa sampah kalian pada tempatnya ya, yaitu di tong sampah, bukan di air laut ataupun diselipkan di pojok-pojok turap, jadilah traveler yang smart dan beretika, setuju?


Suasana di sekitar Pantai dan Taman Amahami, tidak ada kemacetan lazimnya sebuah obyek wisata


Perahu nelayan yang sedang mencari ikan



Suasananya cocok untuk mencari ketenangan dan melepas stress


Kalau kondisi perairan sedang tenang kalian juga bisa menyewa perahu nelayan untuk menuju ke pulau yang berada tengahnya (kalau tidak salah namanya Pulau Kambing)



Jika terus menyusuri garis pantai ini maka kalian akan tiba di Pantai Lawata yang suasananya lebih ramai karena disana telah disediakan fasilitas-fasilitas hiburan seperti perahu bebek dan taman bermain serta gazebo-gazebo untuk beristirahat



Kota Bima memang indah dan seperti julukannya yaitu Kota Tepian Air maka disini kalian bisa menikmati suasana pantai atau menyusuri garis pantainya. Walaupun tempat ini merupakan salah satu wilayah kota yang terbilang cukup ramai dan besar di Pulau Sumbawa secara keseluruhan, namun di Kota Bima ini juga masih terdapat banyak beberapa spot wisata alam yang masih alami dan belum rusak oleh eksploitasi atau modernisasi pembangunan, jadi disini kalian bisa memilih mau berwisata alam yang alami ataukah mau menikmati keramaian dan fasilitas perkotaan seperti area perniagaan dan kuliner, untuk sekedar hangout tidak perlu bingung karena ruang terbuka publik juga ada yaitu di Alun-alun Kota, mau berwisata budaya juga lengkap karena di sini kalian bisa melihat kegiatan pacuan kuda dimana yang menjadi para jokinya adalah anak-anak kecil, yang paling penting apapun kegiatan berwisata kalian tetap ingat untuk menjaga kebersihan, kelestarian tempat serta menghargai budaya masyarakat setempatnya ya

Pengeluaran hari ini :

- belanja swalayan = Rp 41.500,-
- jajan gorengan+minuman = Rp 10.000,-
- baso tusuk = Rp 3.000,-
- gorengan = Rp 6.000,-

Total = Rp 60.500,-

Total jarak tempuh hari ini : 21km

Saturday 24 March 2018

CHAPTER 31; LAUT YANG TERBELAH DI PANTAI LARITI

Senin, 8 Februari 2016,
Belajar dari pengalaman sebelumnya dimana ketika kami baru pertama kali tiba dan selama berada serta melintasi beberapa wilayah di Pulau Sumbawa ini, ternyata ya kami memang benar-benar "hanya sekedar" melintasinya saja alias melewatkan beberapa keindahan dan keunikan yang dimiliki pulau ini, contohnya antara lain ketika kami melewatkan Pulau Kenawa padahal lokasinya ternyata sangat dekat dengan Pelabuhan Pototano, kemudian melewatkan air terjun di wilayah Utan, lalu Pulau Bungin yang merupakan pulau dengan jumlah penduduk terpadat di dunia, Pulau Moyo dengan air terjun mata jitunya dikarenakan kendala cuaca serta tidak adanya penyeberangan akibat ombak yang masih tinggi, serta melewatkan Gili-gili yang ada disekitar perairan Teluk Saleh yang lagi-lagi karena faktor cuaca. Semua itu terlewatkan begitu saja karena minimnya informasi seputar lokasi wisata dan aktivitas sosial masyarakatnya yang belum banyak diulas di media sosial (mungkin juga karena selama ini Pulau Sumbawa hanya dianggap sebagai titik transit atau persinggahan sementara saja, karena secara geografis letak pulau ini berada atau diapit oleh 2 pulau lain yang sudah lebih dulu populer sebagai destinasi wisata dunia, yaitu Pulau Lombok di sebelah barat, dan Pulau Komodo di sebelah timurnya)

Oleh karena itulah begitu kami tiba di Kota Bima, kami pun mulai mencari informasi baik secara online maupun dengan bertanya langsung kepada Mbak Henni dan teman-teman travelernya seputar tempat, budaya, dan ragam aktivitas sosial masyarakatnya. Dan dari mereka-mereka pulalah saya jadi tahu istilah "kalemboade" yang sering digunakan oleh masyarakat di wilayah Dompu dan Bima yang artinya kurang lebih seperti berbesar hati atau seperti ungkapan "torang semua basaudara", intinya adalah seperti bhinneka tunggal ika, jadi disini budaya tolong-menolong secara ikhlas tanpa pamrih ternyata masih ada, dan biasanya mereka (pihak yang membantu) hanya tersenyum sembari mengatakan "tidak usah sungkan, kalemboade", ketika kita mengucapkan terimakasih karena tidak enak telah merepotkan mereka (mungkin kalau di Jawa hampir sama situasi penggunaan kata-katanya dengan “woles aja bro” atau “santai saja masbro”)

Dari hasil bertanya-tanya dan mengumpulkan berbagai informasi itulah akhirnya kami menemukan dan memutuskan untuk memilih Pantai Lariti sebagai salah satu destinasi "wajib" yang harus kami kunjungi selagi kami berada disini, mengapa harus Pantai Lariti? Memangnya apa yang istimewa dengan pantai yang satu ini, nah itulah yang ingin kami cari tahu secara langsung :)

Peta menuju lokasi Pantai Lariti



Pernahkah kalian berjalan ditengah laut? Atau pernahkah kalian mendengar kisah tentang terbelahnya Laut Merah di saat Nabi Musa dan pengikutnya dikejar oleh pasukan Firaun? Saat itu dengan kuasa Tuhan Yang Maha Esa laut merah pun mendadak terbelah, menciptakan sebuah jalan diantara tingginya dinding yang terbuat dari gelombang air laut sehingga Nabi Musa dan pengikutnya dapat menyeberang, namun ketika pasukan Firaun mencoba mengikuti mereka melalui jalan tersebut tiba-tiba dinding yang tinggi dan terbuat dari gelombang air laut tersebut pun kembali menutup seluruh jalannya sehingga menenggelamkan seluruh pasukannya termasuk sang Firaun itu sendiri

Nah keistimewaan yang dimiliki oleh Pantai Lariti pun kurang lebih seperti itu. Pantai yang berada di Desa Soro, Kecamatan Lambu, wilayah Sape, Kabupaten Bima ini pada saat-saat tertentu (tergantung pasang-surut air lautnya) mempunyai keunikan dimana ketika air sedang pasang maka pemandangan disekitar pantai ini terlihat normal dan biasa saja layaknya sebuah pantai pada umumnya dengan beberapa pulau-pulau kecil yang terpisah oleh air laut dari pulau utamanya, namun ketika kondisi air sedang surut (biasanya pada pagi hari atau sore hari) maka antara pulau utama dengan pulau kecilnya akan tercipta sebuah jalan dari pasir sehingga kita dapat berjalan kaki menyeberang melalui jalan tersebut untuk menuju ke pulau kecilnya (fenomena ini sering disebut juga dengan istilah "moses miracle")

Di dunia hanya ada 2 pantai yang mempunyai fenomena unik seperti ini, selain Indonesia dengan Pantai Laritinya, negara lainnya adalah Korea, bedanya jika di Korea fenomena laut terbelah ini hanya terjadi sebanyak 2 kali dalam setahun dengan waktu yang relatif singkat, maka di Indonesia fenomena seperti ini terjadi setiap harinya, sehingga kita bisa kapan saja menikmati pesonanya (eh tidak kapan saja juga sih tergantung dari kondisi pasang-surut air lautnya, tetapi yang pasti fenomena tersebut tetap terjadi setiap hari, maka dari itu kalian patut bersyukur karena lahir dan besar di negara tercinta Indonesia Raya ini, Negara yang merupakan surganya traveling)

Karena dari Kota Bima menuju ke pantai ini medannya melalui bukit-bukit serta penuh tanjakan, maka tidak memungkinkan bagi kami untuk gowes kesana pergi-pulang dalam waktu 1 hari, oleh karena itulah atas saran dan bantuan dari Mbak Henni dan adiknya, hari ini mereka berdua meluangkan waktunya untuk mengantar kami menuju ke Pantai Lariti dengan mengendarai sepeda motor (berhubung saya dan Agit tidak bisa mengendarai sepeda motor maka saya pun dibonceng oleh adiknya Mbak Henni, sedangkan Agit dibonceng oleh Mbak Henni, maaf ya Mbak jadi ngerepotin hehe... :)

Dari Kota Bima kami tinggal mengikuti petunjuk arah yang menuju ke wilayah Sape, medan perbukitannya sendiri lebih panjang dan derajat kemiringannya juga lebih curam dan menanjak daripada di Nangatumpu, disepanjang wilayah perbukitan ini juga masih terdapat banyak monyet, biawak, dan hewan ternak seperti sapi, kambing, dan kerbau, jadi hati-hati ketika mengemudi ya






Sambil melewati jalan yang berkelok-kelok menuju ke atas bukit kalian juga dapat menikmati view yang menakjubkan yaitu hamparan bukit-bukit diantara kabut, dibeberapa titik juga terdapat spot yang dapat digunakan untuk beristirahat sejenak, spot ini dilengkapi dengan kursi-kursi dari bambu


Jika kalian melewati rute ini saat musim penghujan maka kalian juga perlu berhati-hati terhadap bahaya longsor dari dinding bukit yang belum dibuat turap penahan, sehingga kalau ingin beristirahat lebih baik jangan terlalu dekat dengan dinding bukit.


Setelah melalui kontur perbukitan akhirnya sampai juga kami di wilayah Sape, jika ingin menuju ke Pantai Lariti patokan termudahnya adalah ketika kalian tiba disebuah perempatan (yang kalau lurus itu menuju ke Pelabuhan Sape) maka kalian tinggal belok ke kanan, nanti setelah pasar dan setibanya di Desa Soro ada bangunan PNPM Mandiri di sisi kanan, nah di seberangnya ada jalan masuk, tinggal masuk dan ikuti jalan saja (oya kondisi jalan masuknya saat saya kesana masih berupa jalan tanah berbatu, sehingga kalau cuaca sedang kering sih kondisinya aman, tapi kalau hujan maka siap-siap saja tersiksa), dari awal jalan masuk menuju ke lokasi pantainya sendiri jaraknya masih sekitar 4-5km jadi pastikan kondisi kendaraan anda prima terutama ban dan remnya)


Ketika mulai mendekati Pantai Lariti kalian akan melihat banyak tambak-tambak udang, berdasarkan info yang saya peroleh, lahan-lahan disekitar pantai pun telah dibeli oleh sebuah perusahaan tambak udang, oleh karena itulah jalan masuk menuju ke pantai sendiri sebenarnya juga menggunakan jalur akses milik perusahaan tambak, entahlah mengapa dari pihak pemerintah melalui suku dinas pariwisatanya tidak membuat fasilitas dan jalur akses yang nyaman, padahal Pantai Lariti sendiri mempunyai potensi yang kuat untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata yang tidak kalah dengan destinasi wisata lainnya yang sudah lebih dulu populer


Akhirnya sampailah kami di Pantai Lariti ini, tepat disaat air sedang surut sehingga nampaklah jalan yang terbuat dari pasir pantai, membentang menuju ke pulau kecil yang berada tepat didepannya :)




Setidaknya kali ini kami bisa benar-benar menikmati keindahan Pulau Sumbawa, tidak sekedar melintas dan melewatkannya seperti yang sudah-sudah, apalagi fenomena unik seperti ini hanya ada di sini, di Pulau Sumbawa, sehingga sangat sayang untuk dilewatkan dalam perjalanan kami



Untuk naik ke bagian puncak dari pulau kecil yang ada di depannya kita harus membayar dua ribu rupiah per orang, cukup terjangkau dan aman di kantong bagi wisatawan lokal seperti kami, dari atas bukit yang ada di pulau kecil ini kita bisa melihat jalur jalan pasirnya secara jelas (sebenarnya tidak jauh dari pulau ini juga ada pulau lain tepat di sebelahnya yang juga memiliki fenomena "moses miracle" ini hanya saja durasi menutupnya air laut terjadi lebih cepat)


Kapal yang disediakan jika air laut menutup lebih cepat



Bersama Mbak Henni dan adiknya yang menjadi host sekaligus guide kami selama berada di Kota Bima


Pemandangan dari atas sini sangat awesome :)





Pulau kecil lainnya yang juga memiliki fenomena moses miracle





Bergegas menyeberang menuju Pulau utama sebelum jalannya tertutup oleh air pasang





Jadi masih ragu dan mikir-mikir untuk berwisata ke Pulau Sumbawa? Tidak perlu takut untuk berwisata kesini, segera atur jadwal liburan kalian dan mulai jadikan Pulau Sumbawa ini sebagai alternatif destinasi wisata kalian yang baru, jelajahi wilayahnya, nikmati pesona alamnya, rasakan keramahan masyarakatnya serta keunikan budayanya, dan yang paling penting "Kalemboade" :)

Pengeluaran hari ini :

- transport = Rp 50.000,-
- 2 porsi nasi campur = Rp 30.000,-
- belanja swalayan = Rp 36.500,-

Total = Rp 116.500,-

Tuesday 20 March 2018

GROJOKAN LEDOK WARU

Minggu, 18 Maret 2018.
Kali ini tujuan goweswisata.blogspot.co.id adalah mencari curug atau air terjun atau grojokan atau apalah kalian biasa menyebutnya, intinya petualangan kali ini adalah mencari tempat yang bisa untuk bermain air.

Nah mengenai Grojokan Ledok Waru sendiri saya mendapat infonya dari sebuah grup komunitas backpacker yang ada disosial media, walaupun informasi mengenai keberadaan lokasi ini terbilang masih sangat minim, namun setidaknya ada sebuah petunjuk yang membuat perasaan “sepertinya saya tahu deh kira-kira dimana lokasinya” kembali membara, sedikit cluenya adalah tempat ini berada tidak jauh dari Pabrik Gula Gondang Winangun

Alasan lainnya mengapa saya tertarik untuk mencoba mengeksplor tempat ini adalah karena tempat ini memenuhi beberapa kriteria yang saya terapkan untuk bertualang secara santai, antara lain :

1. Tempatnya keren banget tapi belum terlalu populer (jadi kemungkinan besar masih alami)
2. Karena belum populer itulah maka bisa dipastikan jika tempat ini bebas biaya retribusi alias masih gratis
3. Lokasinya berada tidak terlalu jauh dari kediaman saya di Jogja, yaitu sekitar 24km saja
4. Rutenya tergolong mudah dan ga pake adegan nanjak-nanjak segala ayeeyyyy

Nah karena semua kriteria yang saya gunakan tersebut sepertinya terpenuhi maka dari itu Grojokan Ledok Waru here I come… :)

Cara paling mudah untuk menuju ke lokasi Grojokan Ledok Waru adalah jika kalian start dari Kota Jogja maka kalian hanya tinggal melalui jalan raya Jogja-Solo yang menuju kearah timur sampai nantinya kalian tiba di traffic light Pabrik Gula Gondang Winangun, dari traffic light tersebut kemudian kalian tinggal belok ke kiri (Utara), terus saja kira-kira 150 meter nanti ada gang masuk Desa Ledok disisi kanan, masuk saja dan tanya dimanakah lokasi Grojokan Ledok Waru atau Makam Ledok Dusun Gondang, nanti lokasi dari Grojokan Ledok Waru sendiri berada persis dibawah area komplek Makam

Peta menuju lokasi Grojokan Ledok Waru




Untunglah pada petualangan goweswisata.blogspot.co.id kali ini saya menggunakan sepeda lipat, karena untuk turun ke lokasi grojokannya jalurnya masih berupa undakan tangga dari tanah yang licin sehingga sepeda terpaksa harus digotong


Dan akhirnya saatnya menikmati keindahan dari Grojokan Ledok Waru yang berada di Desa Ledok, Kelurahan Gondang, Kecamatan Kebonarum, Klaten




Sepintas karakteristik dari Grojokan Ledok Waru sendiri mirip seperti obyek wisata Blue Lagoon di Sleman dan obyek wisata Lava Bantal di Berbah, karena dengan bentuk grojokannya yang berundak-undak dan memiliki semacam kolam di bagian tengahnya yang bisa dijadikan lokasi terjun bebas menjadikan tempat ini mirip dengan obyek wisata Blue Lagoon, sedangkan dari segi lokasinya yang berada persis dipinggir jalan menjadikan posisinya mirip dengan obyek wisata Lava Bantal, hanya saja secara pribadi saya lebih menyukai Grojokan Ledok Waru dibanding kedua tempat tadi karena disini suasananya masih sangat alami, dan jumlah undakan dari grojokannya sendiri juga lebih banyak dan bervariasi



Dari yang semula hanya saya sendiri yang berada di grojokan ini tak berapa lama kemudian datanglah beberapa warga sekitar yang hendak melakukan kerja bakti untuk membersihkan dan merapikan lokasi sekitar Grojokan Ledok Waru ini.



Menurut penuturan Pak Waluyo dan Pak Kamto yang merupakan warga Desa Ledok, Grojokan Ledok Waru sendiri sebenarnya dulu pernah direncanakan untuk dibuat sebagai lokasi wisata, namun sayangnya sejak tahun 90-an ide tersebut hanya sebatas menjadi wacana saja tanpa pernah direalisasikan, untungnya kini di era sosial media yang serba cepat dan internet yang semakin merata serta masih ditambah lagi dengan adanya kebijakan dari Pihak Pemkot Klaten yang mencanangkan gerakan bahwa setiap desa harus memiliki minimal satu obyek wisata maka Grojokan Ledok Waru pun kini mulai berbenah dan bersiap untuk dipublikasikan secara luas.



Untuk memulai semua itu tentunya dibutuhkan beberapa tahap, salah satu tahap yang sedang dikerjakan saat ini adalah dengan menggandeng pihak tim konsultan yang berasal dari Jogja, Klaten, dan Jakarta. Nantinya setelah semua urusan penataan disekitar lokasi sudah selesai maka untuk pengelolaan dan penanggungjawab sekitar lokasi Grojokan Ledok Waru sendiri akan diserahkan kepada pihak desa, yang mana nantinya akan diurus bersama oleh warga dan pemuda-pemuda dari tiga desa yaitu Desa Ledok, Desa Karangasem, dan Desa Tegal.

Penataan dan pembangunan infrastruktur pendukung yang akan dilakukan nantinya akan meliputi pembukaan area parkir kendaraan yang rencananya akan dibuat di lokasi tanah kas desa, pelebaran akses jalan masuk supaya mobil dapat masuk (sementara ini bagi wisatawan yang ingin berkunjung dan menggunakan kendaraan roda 4 terpaksa memarkirkan kendaraannya disepanjang sisi jalan), pembuatan gazebo-gazebo dan bangku-bangku, pemasangan tempat sampah, pembuatan jembatan dari bambu, pemasangan pasak-pasak pagar pembatas dari bambu, pembangunan toilet umum dan penitipan barang, serta warung-warung, sementara untuk fasilitas pendukung wisata air ini nantinya bagi para pengunjung dapat menyewa ban-ban pelampung dan menikmati kegiatan susur sungai.




Walaupun nantinya akan dibuat beberapa fasilitas dan infrastruktur pendukung di sekitar lokasi, namun pihak desa meyakinkan bahwa semua pembangunan tersebut tidak akan sampai merusak kealamian Grojokan Ledok Waru, justru dengan menjadikan Grojokan Ledok Waru ini sebagai obyek wisata yang terbuka untuk umum maka secara tidak langsung warganya juga akan belajar beradaptasi dan berkembang menjadi kelompok sadar wisata yang merasa bertanggungjawab untuk terus menjaga kebersihan dan keindahan lokasi ini, sedangkan untuk retribusinya sendiri kemungkinan akan menggunakan karcis parkir untuk menghindari adanya oknum parkir liar, namun pihak desa berjanji untuk sedapat mungkin mengenakan tarif retribusi yang tergolong merakyat dan wajar

Sumber aliran air di Grojokan Ledok Waru sendiri berasal dari mata air yang ada di wilayah sekitar Gunung Merapi sehingga grojokan ini tidak pernah surut atau kering seperti curug-curug atau grojokan lainnya yang mengandalkan debit airnya dari air hujan, jadi bagi kalian yang ingin berwisata ketempat ini tidak perlu takut tidak bisa bermain air karena grojokannya kering, justru disaat musim kemarau biasanya air di Grojokan Ledok Waru ini menjadi jernih, oya kedalaman air disini juga relatif aman kok, bagian terdalam hanya berada disekitar kolam yang berada di undakan tengah dengan kedalaman sekitar 2 meter, selebihnya kedalaman air hanya berkisar sebatas paha orang dewasa saja.



Selain menikmati bermain air, disini kalian juga bisa melihat pemandangan hamparan sawah yang berada persis di sepanjang sisi aliran sungai ini, rencananya nanti dibeberapa titik juga akan ditanami pohon-pohon buah sehingga kalian juga bisa berwisata agro



Bagaimana sekarang bertambah lagi kan pilihan destinasi wisata liburan kalian? Jadi kapan kalian berkunjung ke Grojokan Ledok Waru? Kalau kalian berwisata kesini tetap ingat untuk menjaga kebersihan tempat ini ya, karena belum ada tong sampah di sekitar lokasi maka lebih baik kalian membawa plastik sendiri untuk mengumpulkan sisa sampah kalian dan membuangnya di tong sampah yang berada tidak jauh dari area makam, serta jangan merusak, mencorat-coret, dan melakukan perbuatan vandalisme lainnya ya, karena kalian datang untuk menikmati keindahannya maka alangkah lebih kerennya jika kalian pun bisa tetap menjaga keindahan tempat ini supaya semua bisa sama-sama menikmatinya