Wednesday 28 September 2016

CHAPTER 2; MENJADI NOMADEN

Jumat, 18 Desember 2015,

Sepertinya waktu terasa berjalan dengan cepat saja, setelah tidur dengan pulasnya tadi malam kini hari sudah berganti, sekarang adalah hari kedua petualangan kami dan untuk sesaat kami juga masih dalam tahap penyesuaikan diri dengan perubahan pola hidup dan rutinitas harian dari yang semula bersifat menetap kini berubah menjadi nomaden alias berpindah-pindah serta tidak terikat dengan satu tempat saja, di satu sisi kami merasa senang karena setiap harinya sejak saat ini kami akan selalu bertemu, melihat, dan mempelajari sesuatu yang baru, namun disisi lain terkadang ada rasa cemas karena kami tidak pernah tahu dimanakah kami akan beristirahat setiap harinya, biarlah semuanya tergantung Tuhan saja yang menempatkan kami entah dimana.

Setelah melaksanakan ibadah Sholat Subuh dan mandi, kami pun bergegas merapikan semua barang-barang bawaan dan memasangnya ke sepeda masing-masing, setidaknya kami sudah harus start sebelum aktivitas di Kantor Balai Nikah KUA Masaran ini dimulai supaya keberadaan kami tidak menghambat aktivitas mereka yang bekerja disini.

Sekitar pukul 06.30 WIB kami pun sudah beranjak start meninggalkan Kantor Balai Nikah ini menuju kearah Timur, kami juga tidak sempat berpamitan kepada Bapak pengurus mushalla karena belum ada satu pun orang yang datang ke Balai Nikah ini, suasana masih terlihat sepi dan aktivitas perkantoran pun belum dimulai.Di sepanjang jalan, suasana pagi yang dingin dan aktivitas warga di daerah Masaran ini belumlah terlalu ramai, hanya nampak kesibukan beberapa orang yang ada disekitar pasar tradisional dan rombongan anak-anak yang bersepeda menuju kesekolahnya, semua terasa begitu damai, jauh dari hiruk-pikuk layaknya yang terjadi di kota-kota besar dimana semuanya selalu tergesa-gesa.

Berdasarkan peta yang saya pelajari semalam, maka tujuan kami berikutnya adalah Kota Sragen dan jika semua berjalan lancar, hari ini pun kami sudah bisa keluar dari Propinsi Jawa Tengah dan mulai memasuki Propinsi Jawa Timur, tepatnya masuk ke Kabupaten Ngawi, semoga segala sesuatunya berjalan dengan baik sesuai rencana.

Sedikit demi sedikit kayuhan kami pada akhirnya membawa kami berdua sampai juga memasuki Kota Sragen (kira-kira satu jam perjalanan dari Masaran), kesan pertama kami ketika melihat kota ini adalah semuanya terlihat tertata rapi dan bersih, dengan ruas jalan yang cukup lebar dan kondisi aspal yang halus, serta adanya alun-alun atau ruang terbuka publik yang ada di tengah kota menjadikan suasana di kota ini terasa humanis, dengan suasana kota yang bersih seperti ini tidaklah mengherankan jika Kota Sragen meraih penghargaan Adipura, dan satu hal lagi yang saya suka adalah disini jalur pedestriannya cukup lebar dan cukup teduh karena disisinya banyak terdapat pohon-pohon, seandainya kondisi pedestrian yang “sangat layak” ini diterapkan di semua wilayah Indonesia saya yakin lambat laun masyarakat kita pun juga akan beralih dari kebiasaan menggunakan kendaraan pribadinya kemana-kemana termasuk untuk jarak dekat sekalipun menjadi mulai berjalan kaki setidaknya untuk jarak yang relatif dekat



Jalur pedestrian yang cukup lebar


Ruas jalan yang lebar dan bersih


Setelah puas mengambil beberapa dokumentasi foto perjalanan, kami pun kembali melanjutkan perjalanan lagi, dari alun-alun Kota Sragen menuju ke arah timur tepatnya setelah gerbang batas kota Sragen kami mulai merasakan suasana yang bernuansa Islami karena di sepanjang ruas jalan ini banyak sekali terdapat mushalla, masjid, dan Pondok Pesantren Gontor untuk putri, dimana-mana juga terdapat banyak spanduk yang bertuliskan perayaan acara bertema Islam. Kami masih meneruskan perjalanan ke arah timur sambil sesekali mengecek posisi GPS, berdasarkan peta online dan GPS tersebut sepertinya tidak lama lagi kami akan berpindah propinsi, dan akhirnya…

Hello Jawa Timur, Goodbye Jawa Tengah


Begitu melihat gerbang perbatasan wilayah Propinsi Jawa Tengah dengan Jawa Timur rasanya semangat kami semakin terpacu, perjalanan yang awalnya terasa tidak mungkin bagi kami berdua yang terhitung pemain baru dalam bersepeda jarak jauh ini kini akhirnya mulai terwujud sedikit demi sedikit, walau perlahan tetapi kami masih terus bergerak hingga akhirnya semua itu menjadi mungkin

Disekitar gerbang perbatasan ini kami berjumpa dengan beberapa anak sekolah yang sedang berkumpul, awalnya mereka melihat kami dengan tatapan heran (mungkin karena sepeda dan bawaan kami yang begitu banyak) sambil bertanya darimana asal dan tujuan kami, pertanyaan pertama tentu saja mudah sekali untuk dijawab karena kami memulai perjalanan ini dari Yogyakarta, namun untuk bagian pertanyaan “hendak kemana?”, nah bagian inilah yang agak susah untuk dijawab karena jika kami jawab keliling Indonesia kok kesannya muluk sekali ya, maka kami jawab saja hendak ke arah timur sampai Bali. Ketika mendengar tujuan kami bersepeda sampai Bali saja mereka merasa heran dan berusaha memastikan dengan ekspresi muka seakan tidak percaya, mungkin mereka belum pernah melihat pesepeda touring sehingga merasa heran ketika pada akhirnya melihat orang yang melakukan perjalanan jarak jauh dengan bersepeda, karena dengan kendaraan bermotor saja jarak dari gerbang perbatasan tersebut ke Bali terasa jauh dan melelahkan apalagi dengan bersepeda, selain itu mungkin juga karena mereka melihat postur tubuh kami yang tidak seperti para petouring profesional lainnya yang memiliki postur tubuh tinggi, tegap dan penampilan layaknya seorang adventurer, postur tubuh kami berdua memang cenderung pendek hehe… selain itu penampilan juga tidak mengesankan seorang adventurer yang biasanya terlihat urakan (sedikit gembel menurut kata orang), bagi kami penampilan adalah menyesuaikan dengan karakter masing-masing individu saja, bagi beberapa adventurer mungkin penampilan yang “Hobo style alias homeless boy” terasa nyaman, dan itu sah-sah saja karena memang tidak ada aturan baku yang mengharuskan seorang adventurer untuk berpenampilan seperti itu, namun karena kami berdua memang sudah terbiasa rapi maka secara tidak langsung hal tersebut berpengaruh kepada tampilan yang kami kenakan, intinya adalah kami berpenampilan senyamannya kami saja (kan kami juga ingin gaya saat difoto hehe…)

Selepas gerbang perbatasan tersebut kini kami telah resmi memasuki wilayah Propinsi Jawa Timur, tujuan kami berikutnya adalah menuju Kota Ngawi yang jaraknya masih sekitar 42km lagi, namun jarak tersebut rasanya terlalu jauh untuk ditempuh sekaligus dihari ini, sehingga kemungkinan besar kami akan memecah rute tersebut menjadi dua bagian, sisanya akan kami teruskan keesokan harinya dengan pertimbangan waktu yang mulai menjelang sore. Ya, sejak awal kami berdua juga sudah berkomitmen untuk tidak memaksakan melakukan gowes malam selama situasinya masih memungkinkan dengan pertimbangan faktor keselamatan, manajemen waktu perjalanan kami per harinya adalah kami usahakan untuk berhenti ketika sudah menjelang sore hari, patokannya adalah ketika waktu ibadah Sholat Ashar sudah berkumandang maka saat itulah kami sudah harus mulai mencari tempat untuk berhenti dan beristirahat hari itu

Rute hutan jati disepanjang rute menuju Kota Ngawi




Dan benar saja ketika kami mulai menempuh rute ini, pemandangan yang tersaji adalah suasana hutan jati di sepanjang sisi jalan, dengan kontur jalan yang sedikit rolling naik-turun dan dibeberapa titik, kondisi jalan sebelah kirinya agak rusak, berlubang dan bergelombang sehingga membuat kami harus ekstra waspada terhadap arus lalu lintas (bus dan truk) yang melaju cukup kencang, setelah beristirahat sejenak sambil melakukan ibadah sholat Jumat dan makan siang, kami pun kembali melanjutkan perjalanan, disepanjang rute ini minim perkampungan, hanya nampak beberapa warung peristirahatan oleh karena itulah kami pikir setidaknya hari ini kami akan berhenti untuk mencari tempat beristirahat ketika sudah memasuki wilayah perkampungan. Sambil terus gowes dan dengan kondisi tangan kami yang mulai terasa pegal karena sedari tadi menahan guncangan dari kondisi jalan yang rusak, mata kami pun sibuk mencari di sekeliling jika sekiranya nampak sebuah perkampungan hingga akhirnya tanpa sengaja mata saya melihat ada sebuah papan penanda yang menunjukkan lokasi obyek wisata Museum Trinil, dan dibawah papan tersebut juga ada keterangan fasilitas yang ada, salah satunya adalah camping ground, saat itu juga saya pikir inilah satu-satunya kesempatan kami untuk bermalam, lagipula kami juga membawa tenda dan berbagai peralatan camping lainnya sehingga cukup amanlah untuk beristirahat.

Satu hal yang tidak kami duga adalah ternyata jarak dari papan penunjuk tersebut hingga benar-benar sampai ke lokasi Museum Trinil cukup jauh, mungkin kira-kira 5km, itupun setelah kami mulai merasa heran sejak berbelok mengikuti arah papan petunjuk tersebut hingga kira-kira 3km kami tidak juga melihat lokasi museumnya hingga akhirnya kami mulai bertanya kepada anak-anak kecil di sekitar desa yang kebetulan sedang bermain sepeda, mereka pun lalu memandu kami sampai tiba ke lokasi Museum tersebut
Setibanya di pelataran parkir Museum Trinil, kami memang melihat ada sebuah gerbang lain menuju lokasi kegiatan outbond, namun setelah kami bertanya dan menjelaskan mengenai maksud kedatangan kami yang hendak menginap di area camping ground tersebut kepada warga sekitar dan penjaga Museum ternyata lokasi camping ground tersebut belum jadi, masih dalam tahap pembangunan, dengan kata lain untuk saat ini belum ada camping ground (kedepannya mungkin akan ada), lalu bagaimana ini? Karena saat ini waktu telah menunjukkan sekitar pukul 4 sore dan tidak mungkin bagi kami untuk berbalik meneruskan perjalanan dikarenakan rute hutan jati yang tadi kami lalui masih ada setengahnya lagi sebelum kami benar-benar keluar dan sampai di Kota Ngawi

Akhirnya setelah berbincang-bincang dengan beberapa warga yang kebetulan juga menjadi pengurus Museum, kami pun diperbolehkan untuk menginap di area Museum, lebih tepatnya lagi kami akhirnya menginap di salah satu bangunan kantor Museum yang pada saat ini masih dalam tahap pembangunan dan renovasi, dalam bangunan tersebut selain kami ternyata juga ada beberapa pekerja bangunan lainnya yang menggunakannya sebagai tempat untuk menginap (sebagai pengganti bedeng) supaya mereka tidak harus bolak-balik setiap harinya, kami pun kemudian ditunjukkan satu ruang yang sepertinya nanti akan menjadi ruang kerja pegawai, diruang inilah nantinya kami akan beristirahat, sedangkan para pekerja akan beristirahat diruang lain yang nantinya diperuntukkan sebagai kamar tamu wisatawan, sementara untuk sepeda-sepeda kami titipkan dirumah salah seorang pengurus kantor yang tempatnya memang dijadikan sebagai tempat penitipan kendaraan bermotor roda dua. Ketika kami bertanya berapakah biaya retribusi yang harus kami bayar ternyata mereka malah menggratiskannya
Tak pernah terbayangkan sedikitpun dalam benak kami berdua jika pada akhirnya suatu saat nanti dalam hidup kami akan bermalam di sebuah Museum, namun ternyata pada petualangan inilah kami mendapat dan mengalami semua hal yang benar-benar baru dan tidak terduga. Lantas bagaimanakah cerita selanjutnya?Apa saja yang kami alami dan rasakan selama menginap di Museum ini? Nantikan kelanjutan seri petualangan Goweswisata traveling around Indonesia ya, Chapter 3 coming soon

Pengeluaran hari ini :
- 2 porsi makan siang+2 gelas teh manis+3 buah gorengan = Rp 14.000,-
- 2 nasi bungkus+4 bungkus es teh = Rp 20.000,-
Total = Rp 34.000,-

Total jarak tempuh hari ini : 58,46km

Wednesday 21 September 2016

Gear Review; Sleeping Pad Naturehike

Bagi para penikmat kegiatan luar ruang atau outdoor adventure yang sudah sering berkelana kemana-mana dan mulai beranjak serius menekuni hobby yang satu ini tentunya kalian sudah sangat familiar dengan istilah sleeping pad atau air mattress, tetapi walaupun begitu bagi para pemula kegiatan outdoor yang hanya sekedar melakukan “kemping ceria” saja, penggunaan air mattress atau sleeping pad belumlah terlalu populer, keberadaannya masih terasa asing jika dibandingkan dengan sleeping bag dan matras, hal inilah yang menyebabkan sleeping pad seringkali tidak tercantum dalam list perlengkapan outdoor yang harus dibawa ketika hendak bepergian, lalu seberapa pentingnyakah fungsi sleeping pad serta bagaimana cara memilih sleeping pad yang baik? Hal ini akan kita bahas satu persatu :)

Ketika melakukan kegiatan luar ruang tentunya kondisi fisik kita akan menghadapi medan yang jauh dari kenyamanan, untuk itulah kondisi fisik yang prima menjadi syarat mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar lagi sebelum kalian memutuskan pergi bertualang

Selain tantangan dari alam berupa terpaan panas mentari serta dinginnya kabut dan hujan, fisik kita (terutama bagian pundak dan punggung) juga masih harus menanggung beratnya beban bawaan yang kita bawa, semakin lama kita menempuh perjalanan maka semakin terasa juga rasa lelah yang mendera tubuh, oleh karena itulah ketika pada akhirnya kalian tiba di destinasi akhir atau sekedar beristirahat semalam sebelum melanjutkan perjalanan di keesokan harinya maka satu-satunya hal yang terlintas di pikiran kalian dan memang dibutuhkan adalah kesempatan beristirahat yang maksimal untuk melakukan proses recovery tubuh, jika proses recovery ini tidak dimanfaatkan secara baik maka bisa dipastikan lambat laun tubuh kalian juga akan mengalami rasa fatique atau lelah yang teramat sangat dimana efek jangka panjangnya tentu saja akan berakibat negatif terhadap kondisi total kesehatan kita

Selama proses recovery atau beristirahat inilah maka tidur yang efektif dan efisien merupakan salah satu cara yang paling terasa manfaatnya di keesokan harinya, dengan tidur jugalah maka tubuh kalian akan merecovery seluruh sel yang rusak, meluruskan dan melemaskan syaraf yang sedari tadi dalam keadaan tegang akibat aktivitas fisik menjadi rileks, namun bagaimana caranya supaya tidur yang kita lakukan menjadi efektif dan efisien? Karena jika kita asal tidur saja tidak jarang di keesokan harinya justru badan kita akan mengalami rasa lelah yang jauh lebih terasa daripada sebelumnya dikarenakan posisi tidur atau kondisi tidur yang salah

Disinilah pentingnya penggunaan sebuah sleeping pad atau air mattress, karena jika kita hanya mengandalkan kepada matras dan sleeping bag saja maka hal tersebut belumlah cukup maksimal, terlebih dengan kontur topografi dimana kita mendirikan tenda yang tidak selalu datar, terkadang ada kontur yang tidak rata dan bahkan terasa keras atau berbatu, penggunaan matras saja sebagai alas tidur belumlah cukup untuk meminimalkan kerasnya kontur topografi yang terasa di bagian punggung kita, sedangkan fungsi sleeping bag hanyalah untuk menghangatkan, bukan untuk melembutkan alas tidur kita.

Dengan menggunakan sleeping pad maka ketika hendak beristirahat kita hanya tinggal meniup sleeping pad tersebut sehingga tidur kita pun akan menjadi nyaman tak ubahnya seperti tidur beralaskan kasur, kerasnya kontur topografi yang menjadi tempat dimana kita mendirikan tenda diatasnya pun menjadi tidak terasa, sehingga bagian punggung yang sejak awal menanggung beban berat tadi pun pada akhirnya dapat melakukan proses recoverynya secara maksimal

Selain untuk kegiatan outdoor penggunaan sleeping pad juga cukup berguna ketika kita melakukan traveling atau digunakan saat keadaan darurat lainnya, ketika kita tidak mendapatkan tempat bermalam atau penginapan yang kurang nyaman dikarenakan ketiadaan alas tidur maka kita tidak perlu mengeluh karena kita hanya tinggal meniup sleeping pad yang kita bawa tersebut

Lalu bagaimana cara memilih sleeping pad yang baik? Seberapa baik kualitas dari sebuah sleeping pad atau peralatan outdoor lainnya biasanya akan berbanding lurus dengan harga yang ditawarkan, namun selain faktor kualitas material yang digunakan maka faktor brand atau merk terkadang juga turut memengaruhi harga yang ditawarkan tersebut, terlebih dengan embel-embel ultralight dimana para produsen berusaha untuk memangkas bobot dari barang supaya tidak terlalu berat ketika dibawa namun tetap dengan tidak mengurangi kualitas dari barang tersebut

Dipasaran barang-barang keperluan outdoor sendiri saat ini sudah banyak beredar beberapa jenis sleeping pad dari berbagai produsen, nama-nama besar brand oudoor seperti therm-a rest, big agnes, expeed, dan lainnya telah menawarkan berbagai varian sleeping pad sesuai yang kita butuhkan, namun tentu saja disini faktor hargalah yang menjadi salah satu kendala, walaupun produk mereka memang bagus dan berkualitas namun tetap saja dengan frekuensi penggunaan yang hanya sesekali di medan yang tidak terlampau ekstrem maka penggunaan barang-barang tersebut akan menjadi terlihat overprice

Lantas bagaimana cara memilih sleeping pad yang baik sesuai kebutuhan kita? Disini tentu saja kita harus memperhatikan beberapa faktor supaya apa yang kita beli kedepannya sudah tepat atau sesuai dengan apa yang memang benar-benar kita butuhkan. Faktor pertama adalah tentu saja adalah menyangkut urusan budget, berapa dana yang kita siapkan untuk membeli sleeping pad tersebut, normalnya kisaran harga sleeping pad kelas ekonomis namun dengan kualitas yang tidak mengecewakan adalah sekitar 700 ribu sampai 900 ribu rupiah, di range harga ini ada beberapa merk yang layak untuk dijadikan pilihan seperti Klymit dan Naturehike (untuk Klymit Static V sendiri sudah pernah saya buat reviewnya di post terdahulu), sedangkan untuk sleeping pad dengan harga dibawahnya (kisaran 300 ribu sampai 500 ribu rupiah) jujur saja saya tidak terlalu menganjurkannya dikarenakan sampai saat ini sleeping pad di range harga tersebut daya tahan dan kualitasnya tidak begitu bagus, bahkan cenderung menimbulkan banyak masalah kedepannya. Untuk itulah pada post kali ini saya akan mengulas tentang sleeping pad dari brand Naturehike sehingga bagi kalian yang berbudget ekonomis bisa mendapat gambaran mengenai kelebihan dan kekurangan dari sleeping pad tersebut


Saya mendapatkan Sleeping pad Naturehike ini dari salah satu distributor brand Naturehike untuk Indonesia yaitu Pindon Outdoor yang mengirimkan sleeping pad tersebut untuk kami tes dan review, sleeping pad ini juga merupakan pengganti dari sleeping pad Naturehike versi sebelumnya yang berbeda, yang kami tes sewaktu melakukan petualangan bersepeda, namun pada versi awalnya sleeping pad tersebut ternyata mempunyai kekurangan yang sangat vital yaitu pada kualitas materialnya yang saya rasa terlalu tipis sehingga rentan berlubang dan pada akhirnya memang benar-benar bocor hanya karena gigitan semut, kelemahan ini tentu saja sangat mengecewakan karena bagaimana mungkin sebuah produk untuk aktivitas luar ruang nyatanya tidak tahan untuk digunakan di medan luar ruang yang sebenarnya, oleh karena itulah pada tes sleeping pad naturehike versi terbaru ini kami mempunyai ekspektasi yang setidaknya harus lebih baik daripada versi sebelumnya

Ketika pertama kali menerima paket kiriman sleeping pad ini hal yang terlintas dipikiran saya adalah excited karena ternyata sekarang dimensi packingnya lebih ringkas, jauh berbeda dari versi sebelumnya. Menurut deskripsi yang tertera di stuff sacknya sleeping pad ini memiliki ukuran dimensi terpacking yaitu 10,5 cm x 25 cm dan memang setelah saya ukur sendiri ternyata benar (dan bahkan bisa lebih kecil lagi menjadi 10 cm x 24,5 cm), dengan dimensi terpacking yang ringkas seperti ini nyatanya sleeping pad Naturehike ini kini hampir tidak jauh berbeda dengan dimensi terpacking dari sleeping pad Klymit Static V, hal ini menjadi nilai plus karena dengan dimensi yang kecil seperti ini memudahkan untuk dimasukkan kedalam tas untuk dibawa saat hendak traveling


Perbandingan dimensi terpacking antara NH dengan Klymit


Kelengkapan dari paket sleeping pad ini terdiri dari sleeping pad itu sendiri, sebuah airbag inflatable atau kantong drybag untuk memompanya, dan stuff sack.



Faktor berikutnya yang kami jadikan penilaian adalah bobot atau berat dari sleeping pad tersebut, dimana pada deskripsinya disebutkan berat dari sleeping pad naturehike ini adalah 550gr (mungkin jika yang ditimbang hanyalah sleeping padnya saja maka hal tersebut mungkin benar adanya), tetapi setelah saya timbang sendiri (Sleeping pad, stuff sack, dan airbag inflatablenya) ternyata berat totalnya adalah 600gr. Jika dibandingkan dengan berat dari sleeping pad Klymit static V maka beratnya hanya terpaut 50gr saja, dimana Sleeping pad Klymit static V beserta stuff sacknya setelah ditimbang ternyata menunjukkan angka 550gr, hasil ini menunjukkan bahwa berat total dari paket sleeping pad Naturehike ini tidaklah terlalu jauh dan masih bisa dikategorikan ultralight

Berat Sleeping Pad Naturehike



Berat Sleeping Pad Klymit Static V



Untuk cara memompanya sendiri, sleeping pad Naturehike ini menggunakan metode yang sama persis seperti halnya proses inflate sleeping pad dari brand expeed, yaitu menggunakan airbag inflatable atau seperti drybag dengan belalai dibagian bawahnya yang memiliki valve untuk memompa, sehingga kita hanya tinggal menyambungkan valve yang ada di ujung belalai airbag inflatable dengan lubang valve yang ada di sleeping pad, selanjutnya kita hanya tinggal membuka kantong airbag (drybag) tersebut untuk menangkap angin lalu perlahan-lahan menggulung airbag tersebut sambil menekannya sehingga udara langsung terpompa dari airbag menuju sleeping pad tersebut, lagi-lagi hal ini menjadi nilai plus karena kita tidak perlu bersusah payah meniup menggunakan mulut, setelah 4-5x pengisian maka sleeping pad tersebut sudah siap untuk kita gunakan, sangat mudah dan cepat

Valve yang terdapat pada airbag inflatable


Valve yang terdapat pada sleeping pad



Cara inflatenya


Dimensi dari sleeping pad naturehike ini sendiri dalam keadaan tergelar menurut deskripsi yang tertera adalah 60cm x 186cm, namun setelah saya ukur sendiri ternyata dimensinya berukuran 60cm x 184cm, tidak terpaut terlalu jauh dan dengan lebar 60cm itu sendiri saya rasa cukup pas dan nyaman dengan lebar bahu manusia kebanyakan, panjangnya yang 184-186cm itu sendiri saya rasa juga sudah cukup pas untuk ukuran tubuh orang asia kebanyakan sehingga bagian kaki kita juga tidak menggantung keluar dari sleeping pad tersebut


Dengan desain horizontal tube (disinilah perbedaannya dengan sleeping pad dari brand Expeed yang modelnya vertical tube) saya rasa justru lebih nyaman jika dibandingkan dengan model vertical tube, dan dengan lebarnya yang 60cm menjadikan tubuh tidak mudah tergelincir jatuh keluar sleeping pad ketika posisi tidur kita menghadap kearah samping. Sleeping pad ini juga sudah dilengkapi dengan bantal yang berada dibagian atas, namun saya rasa fungsi bantal ini sendiri tidak terlalu berpengaruh karena tetap saja kita harus menggunakan bantal tiup atau alas kepala lainnya supaya lebih nyaman, peletakkan bantal ini mungkin hanya sebagai penunjuk arah dimana bagian dari sleeping pad ini yang diperuntukkan untuk posisi kepala kita


Ketebalan dari sleeping pad ini juga cukup tebal menurut saya jika dibandingkan dengan sleeping pad Klymit static V. Pada sleeping pad naturehike ini ketebalannya sekitar 8,5cm sehingga jika disandingkan bersebelahan dengan sleeping pad Klymit static V maka akan terasa sekali perbedaan ketinggiannya. Letak valve yang berada di bagian bawah juga membuat keberadaanya tidak terlalu mengganggu ketika kita berbaring, namun karena posisi penutup valve yang ada di bawah ini pulalah maka ketika kita tidur dan sleeping pad bergesekan dengan matras atau alas lainnya seringkali membuat penutup valve terbuka (namun angin tidak akan keluar, karena yang terbuka hanyalah penutup valve untuk inflatenya saja)


Penggunaan material 40D yang lebih tebal dari versi pendahulunya membuat sleeping pad ini terkesan lebih kuat namun juga tetap nyaman ketika bergesekan dengan kulit kita, tidak berdecit dan panas. Nilai plus lainnya dari sleeping pad ini adalah proses deflatenya yang cukup mudah dan cepat karena kita tinggal membuka penutup valve deflatenya saja sambil menggulung sleeping pad tersebut, bukaan lubang valve deflate yang cukup besar ini juga membuat proses pengempesan menjadi lebih cepat, secara pribadi saya lebih menyukai proses inflate dan deflate dari sleeping pad naturehike ini dibandingkan dengan Klymit (yang walaupun proses inflatenya tergolong mudah juga hanya membutuhkan sekitar 15x tiupan mulut, namun proses deflatenya justru lebih susah dan memakan waktu lebih lama)

Tidak perlu kuatir dengan ketahanan sleeping pad ini saat menerima beban


Kesimpulannya adalah bagi kalian penikmat kegiatan luar ruang atau traveling maka sleeping pad Naturehike versi terbaru ini benar-benar worth to buy, dari segi beratnya yang ultralight, dimensi terpackingnya yang kecil, kemudahan proses inflate dan deflatenya, serta harganya yang sekitar 700rb-an membuat perlengkapan outdoor ini layak untuk dimasukkan dalam list kebutuhan perlengkapan kalian, karena dengan kesempatan dan proses beristirahat yang maksimal tentunya akan membuat kalian lebih menikmati setiap petualangan berikutnya kan? :)

Buatlah perjalanan dan petualangan kalian menjadi hal yang menyenangkan, bukan merupakan siksaan. Make it fun, don’t make it hard :)

Wednesday 7 September 2016

CHAPTER 1; MEMULAI ADALAH HAL YANG PALING SULIT

Kamis, 17 Desember 2015,

Sebuah ide gila yang selama ini tumbuh dan berkembang dalam benak kami tentang perjalanan bersepeda selama 1 tahun mengelilingi Indonesia kini sudah tiba saatnya untuk direalisasikan, mungkin terdengar muluk tetapi jangka waktu 1 tahun yang awalnya kami rencanakan bukanlah merupakan suatu hal yang baku, jika segala sesuatunya memungkinkan maka perjalanan bersepeda kali ini memang akan menghabiskan waktu selama satu tahun, tetapi pada prakteknya nanti kami yakin segala sesuatunya akan menjadi lebih fleksibel, oleh karena itulah rentang waktu satu tahun adalah batasan maksimal yang kami sepakati, tidak lebih dari itu, apalagi jika ternyata dalam jangka waktu kurang dari setahun tersebut kami sudah menemukan esensi perjalanan tentang apa arti hidup itu sebenarnya, maka saat itulah kami akan kembali pulang, membawa semua pengalaman, pelajaran, dan kenangan yang kami peroleh, semua hal yang telah mengubah pola pikir serta cara pandang kami dalam memaknai hidup.

“Kamu yakin mau memulai ini?”, “Apa tidak berbahaya?”, “Nanti bagaimana makan dan tidurnya?”. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu semakin sering kami dengar mendekati hari H petualangan goweswisata, kami pun hanya bisa menjawab entahlah sembari tersenyum, karena kami pun memang tidak tahu akan seperti apa cerita petualangan ini kedepannya, jujur saja kami pun termasuk orang baru dalam dunia bersepeda jarak jauh seperti ini, kami sama awamnya dengan mayoritas pesepeda lainnya yang menjadikan kegiatan bersepedanya hanya sebagai sarana penyaluran hobby dan rekreasi, berawal dari sekedar bersepedakeliling komplek perumahan, lalu mulai berlanjut mencari obyek-obyek wisata baru yang tersembunyi, kemudian semakin berkembang dengan mulai melakukan bike overnight atau bikecamping, dimana jika sebelumnya kegiatan bersepeda kami lebih banyak bersifat one day trip lama kelamaan berkembang menjadi multiday trip, dan ternyata kami menyukainya karena ada rasa kebebasan didalamnya, ada perasaan senang karena perjalanan kami tidak diburu waktu sehingga kami tidak harus memforsir tenaga seharian, selain itu kami pun bisa lebih leluasa dalam menjelajahi setiap tempat yang kami singgahi, karena itulah bagaimana jika multiday trip yang awalnya hanya 2-3hari saja kini kami kembangkan menjadi multiday trip sesungguhnya, menjadi perjalanan bersepeda dalam rentang waktu satu tahun dengan cakupan tujuan persinggahan yang lebih luas lagi, apakah rasa kebebasan itu akan tetap sama ataukah berbeda? Apakah kami akan menikmati dan ketagihan ataukah membencinya? Apakah kami akan merindukan setiap jejak dan cerita perjalanan ini? Itulah yang akan kami coba cari tahu.

Sejak pagi mendung sudah tampak menggelayut di langit Kota Yogyakarta ini, sudah hampir 1 minggu sejak kami tiba di kota ini untuk mempersiapkan perjalanan goweswisata multiday trip traveling around Indonesia selalu saja setiap harinya turun hujan, terkadang hujan turun sejak pagi hari, kadang dari sore sampai malam hari, bahkan beberapa kali hujan pun turun hingga seharian, efeknya tentu saja membuat beberapa pakaian yang kami cuci menjadi susah kering.

Kami mengawali start petualangan ini dari daerah Maguwoharjo, tidak jauh dari Bandara Adi Sucipto, sekitar pukul 05.00 WIB kami sudah bangun dan mulai bersiap-siap, bagaimanapun kondisi cuaca nantinya apakah turun hujan atau tidak, kami telah sepakat bahwa hari inilah awal petualangan goweswisata akan dimulai.

Sebelum berangkat saatnya melakukan cek dan ricek kelengkapan barang bawaan sekali lagi, karena setelah pedal dikayuh maka tidak ada kata kembali lagi. Sepeda cek, Panniers cek, kebutuhan primer sandang, pangan, dan papan semua cek oke, huff… kini saatnya berdoa dan berpamitan kepada semua yang telah banyak membantu dan mensupport kami untuk memulai petualangan ini

“Hati-hati ya, semoga selamat selama perjalanan dan Tuhan selalu memberkati”, begitulah pesan yang disampaikan oleh salah seorang orangtua sahabat kami yang melepas keberangkatan kami berdua, terimakasih semua :), sambil mulai mengayuh sepeda kami pun sesekali menoleh ke belakang, melambaikan tangan sembari tersenyum, ada banyak cerita dan kenangan di kota ini sejak kami memutuskan hijrah dari Jakarta dan mulai menetap di Yogyakarta, kurang lebih 3,5 tahun sudah kami menetap di Provinsi Istimewa ini, kini saatnya bagi kami untuk keluar dari zona nyaman dan mulai belajar mengenal wilayah-wilayah lain di Indonesia, mengeksplor potensi diri kami danbelajar untuk terbuka terhadap hal-hal baru yang nantinya akan kami temui.

Untuk masalah perencanaan rute, karena kami terhitung masih baru dibidang ini maka rute yang kami pilih adalah melalui rute tengah melalui ruas Jalan Jogja-Solo dengan pertimbangan rute ini lebih banyak flatnya alias datar-datar saja hehe…

Untunglah sejak awal perjalanan ini cuaca lumayan bersahabat, tidak hujan namun juga tidak terik, hanya berawan saja sehingga membuat hawa menjadi agak dingin. Kondisi ruas Jalan Jogja-Solo pun tidak terlalu ramai hari ini, mungkin karena bulan ini di Yogyakarta sedang musim hujan sehingga membuat beberapa orang menjadi malas bepergian.

15 menit pertama adalah waktunya membiasakan diri mengendalikan sepeda yang dipenuhi panniers di bagian depan serta belakang. Setidaknya untuk masing-masing sepeda kami membawa tujuh buah tas, terdiri dari sepasang pannier depan, sepasang pannier belakang, handlebar bag, trunk bag, serta sebuah backpack yang kami letakkan di atas trunk bag, backpack sengaja kami bawa karena ada saatnya ketika kami sejenak off from the bike dan ingin berjalan kaki berwisata kota maka backpack bisa berfungsi untuk menaruh perlengkapan dan bekal di perjalanan.


Sedikit demi sedikit tanpa terasa kami sudah melewati batas wilayah Provinsi DIY dengan Jawa Tengah yang terletak didekat Candi Prambanan, karena sudah beberapa kali melewati lokasi ini maka segala sesuatunya masih terasa biasa saja bagi kami, lanjut gowes lagi dengan santai kali ini lokasi Pabrik Gula Gondangwinangun pun juga sudah terlewati, suasana masih terasa aman secara psikis karena kami juga sudah familiar dengan rute ini hingga sampai ke Kota Solo.

Goodbye Yogyakarta




Setibanya di pertigaan (akhir dari Jalan Jogja-Solo) menuju Kota Solo kami pun beristirahat siang sejenak di sebuah Masjid yang berada tidak jauh dari pertigaan tersebut, sambil beristirahat saya pun mulai merencanakan rute berikutnya karena pada perjalanan bikeovernight sebelumnya perjalanan terjauh yang pernah kami lakukan berdua hanyalah sampai di Kota Solo saja, sehingga bisa dikatakan disinilah zona nyaman kami berakhir, kami tidak tahu lagi akan seperti apa suasana di rute berikutnya, rasa ketidaktahuan inilah yang secara tidak langsung nantinya juga akan mempengaruhi kondisi psikis kami, tetapi ya sudahlah perjalanan harus terus berlanjut, tidak ada kata kembali, lagipula kami juga sudah berkomitmen untuk meneruskan petualangan ini.

Begitu memasuki gerbang Kota Solo maka langkah berikutnya adalah mencari informasi arah menuju Kota Sragen, hmmm… informasi penunjuk arah yang ada di Kota Solo ini benar-benar membingungkan dan semrawut, daripada tersesat lebih baik bertanya saja ke pengguna jalan lain kemana arah menuju Sragen, dan ternyata kondisi lebar ruas jalan dari Solo menuju Sragen lebih sempit (jika dibandingkan dengan lebar ruas Jalan Jogja-Solo) padahal ada banyak truk dan bus yang melintasi rute ini, disini jugalah kami mulai menghadapi beberapa ruas jalan yang agak menanjak (kesenangan saat jalan datar di sepanjang ruas Jalan Jogja-Solo tadi kini berakhir sudah), yah setidaknya lumayanlah untuk latihan mengendalikan sepeda full beban begini supaya kedepannya nanti kami terbiasa.



Dari kondisi jalan yang sebelumnya terhitung ramai kini perlahan mulai terasa sepi (untuk ukuran kondisi lalu lintas Pulau Jawa), tampak beberapa truk diparkir di sisi kiri jalan, beberapa dari para sopir dan kernet truk tersebut pun terlihat sedang beristirahat diwarung-warung yang ada disepanjang sisi jalan tersebut. Jam yang ada dicyclocomp sudah menunjukkan waktu Ashar, sesuai perencanaan rute maka ini berarti sudah waktunya bagi kami untuk mulai mencari tempat pemberhentian hari ini, sambil terus mengayuh mata kami pun juga sibuk mencari lokasi yang pas untuk beristirahat dan berhenti hari ini, dan herannya semakin susah saja mencari lokasi yang pas karena tidak banyak bangunan atau masjid yang ada di sepanjang perlintasan ini padahal hari sudah semakin sore dan dikejauhan langit juga sudah tampak semakin gelap tertutup oleh mendung, untunglah akhirnya kami melihat ada sebuah bangunan mushalla milik sebuah instansi pemerintah di daerah Masaran, lebih tepatnya sebuah Balai Nikah KUA Masaran, setelah bertanya dan meminta ijin untuk menumpang menginap semalam saja kami pun dipersilahkan untuk menginap di dalam mushalla, pak penjaga Mushalla pun sempat berbincang-bincang menanyakan asal dan tujuan kami, ia juga menyarankan untuk mengunci pintu mushalla jika kami sudah mau tidur supaya semuanya aman.


Setelah bersih-bersih (mandi dan mencuci baju), kini waktunya untuk mencari makan di angkringan yang berada tidak jauh dari Mushalla tempat kami menginap tersebut, untungnya harga makanannya pun masih terbilang wajar, seporsi nasi rames dan segelas teh hangat terasa nikmat sekali di perut. Setelah selesai makan, sekarang saatnya beristirahat memulihkan kondisi tubuh sebelum esoknya melanjutkan perjalanan kembali, setidaknya babak awal petualangan kami baru saja dimulai dan kami juga masih membiasakan diri untuk menghadapi kondisi apapun yang akan terjadi berikutnya, hikmah yang kami dapat pada hari ini adalah kami menjadi lebih banyak bersyukur dengan apa yang kami miliki, mungkin di mata orang lain keadaan kami seakan terlihat seperti orang susah, sudah gowes jauh, tidur di mushalla tanpa kasur, makan seadanya, tetapi satu hal yang kami syukuri adalah setidaknya kami masih bisa makan hari ini dan diijinkan menginap oleh seseorang yang tidak pernah kami kenal sebelumnya, bukankah bertemu dengan orang-orang baik serta menikmati makanan juga adalah salah satu bentuk rezeki yang harus disyukuri? Bagi saya pribadi pun ada nikmat satu lagi yang paling penting untuk disyukuri yaitu di perjalanan ini saya didampingi oleh seseorang yang kini telah menjadi bagian hidup saya, yang mau dan mampu menerima saya serta petualangan ini bersama-sama, seseorang yang bisa menjadi tempat berbagi cerita dan pengalaman ini kepada kalian semua, oleh karena itu jika kami berdua yang notabene bukanlah seorang profesional cycle tourer saja mampu memulainya maka yakinlah bahwa sebenarnya kalian pun juga bisa memulai cerita petualangan kalian sendiri. Yang paling penting kita juga harus mau belajar mempersiapkan segala sesuatunya sebelum memulai untuk meminimalkan resiko dan masalah ke depannya, sehingga tidaklah cukup jika kemudian kita menjadi latah ingin mencoba namun hanya bermodal niat dan nekat saja.


“Memulai merupakan hal yang paling sulit tetapi jika kita tidak pernah memulainya maka kita tidak akan pernah tahu sampai seberapa jauh kemampuan kita untuk melangkah dan seberapa menakjubkannya diri kita sebenarnya”.

Pengeluaran hari ini :
- 2 porsi soto sapi+2 gelas teh manis = Rp 15.000,-
- 6 buah Roti = Rp 20.000,-
- 2 porsi makan malam+2 gelas teh hangat = Rp 15.000,-
Total = Rp 50.000,-

Total jarak tempuh hari ini :76,8km