Thursday 23 July 2015

Benteng Keraton Yogyakarta

Sebelumnya saya ingin mengucapkan selamat Hari Raya Idul Fitri bagi yang merayakannya (walau telat hehe…), nah berhubung di bulan ini belum ada post yang baru dikarenakan sayanya lagi sibuk beres-beres rumah dan juga karena belum adanya rencana agenda goweswisata berikutnya maka dimulai dari nyicil late post dulu saja ya :)


Seperti yang sudah kita ketahui sebelumnya bahwa di Yogyakarta ini mempunyai beberapa bangunan peninggalan sejarah berupa Benteng, namun ada dua buah Benteng yang cukup terkenal yaitu Benteng Keraton dan Benteng Vredeburg, dimana yang satu dibuat pada masa kolonialisme Belanda yaitu Benteng Vredeburg, sedangkan yang satu lagi dibuat pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono II yaitu Benteng Baluwerti (atau lebih dikenal masyarakat luas dengan sebutan Benteng Keraton)

Uniknya kedua buah benteng tersebut berada dilokasi yang berdekatan, yaitu sama-sama di titik nol kilometer Kota Yogyakarta. Ya, Sri Sultan membangun Benteng Keraton sebagai sudut benteng pertahanan Keraton Yogyakarta untuk melindungi masyarakat Jogja sekaligus juga untuk menjaga bangunan serta lingkungan Keraton, sedangkan pihak Belanda membuat Benteng Vredeburg untuk mengawasi aktivitas dan pergerakan keluarga Keraton Yogyakarta yang dikhawatirkan dapat mengancam eksistensi bangsa kolonial di tanah Jawa pada masa penjajahan

Namun sayangnya sisa-sisa bangunan Cagar Budaya Benteng Keraton ini di beberapa bagiannya kurang terawat, bahkan tepat di bagian depan sekeliling benteng kini mulai tertutup oleh bangunan-bangunan komersial, dan tidak hanya itu saja, beberapa bagian pun akhirnya kini telah hilang entah kemana tergerus modernisasi

Hal yang berbeda justru terjadi pada bangunan Benteng Vredeburg peninggalan Belanda. Benteng tersebut justru mengalami peremajaan dan terpelihara dengan baik, pengecatan dinding dalam dan luar benteng serta pemeliharaan taman yang berada disekitar Benteng juga telah dilakukan, alhasil sungguh miris rasanya melihat situasi yang saling bertolak belakang ini dimana sebuah peninggalan sejarah karya putra terbaik bangsa justru diabaikan, sedangkan peninggalan para penjajah justru dijaga dan dilestarikan, secara tidak langsung hal ini semakin memperjelas dan membuat saya mengerti mengenai sikap masyarakat kita sekarang ini yang terkadang bersikap lebih hormat dan sopan kepada turis asing daripada ke turis lokal, atau menganggap apapun yang berasal dari dunia barat selalu (pasti) lebih keren dibanding melestarikan atau menghargai keragaman budaya negeri sendiri, pola pikir hipokrit sepertinya merasuk terlalu dalam ke benak atau mindset masyarakat kita (dan juga para pemegang kebijakan di Republik ini)

Kali ini saya dan pasangan saya mencoba menyusuri sisa-sisa peninggalan sejarah Benteng Keraton ini dengan berjalan kaki, tidak bersepeda seperti biasanya dengan pertimbangan karena dengan berjalan kaki maka kami bisa leluasa naik ke atas benteng (setidaknya kami masih berusaha menghargai peninggalan sejarah bangsa ini dengan tidak memaksakan “harus” berfoto dengan sepeda-sepeda kami naik ke atas Benteng Keraton, hal ini terkadang juga menjadi perdebatan antara kami dengan beberapa goweser lainnya, dimana mereka menganggap kami terlalu kaku dengan peraturan, well…menurut saya apa salahnya mencoba menghargai peraturan yang ada di suatu tempat, karena setidaknya peraturan itu pun diciptakan untuk menjadikan tempat tersebut lebih baik bukan, apakah untuk dibilang sebagai seorang goweser sejati maka harus memaksakan diri untuk selalu berfoto dengan sepeda?) maka dari itulah mungkin karena kami memang bukanlah “goweser sejati” atau apapun itu yang menurut orang lain dikatakan hebat (dan kami tidak terlalu peduli) maka di setiap catatan perjalanan ini kami selalu berusaha beradaptasi dengan kultur, budaya, serta peraturan atau tradisi yang berlaku di daerah tersebut yang notabene pasti mempunyai nilai-nilai kearifan lokal untuk sebuah tujuan yang baik

Kembali menyusuri Benteng Keraton (jadi sedikit curcol hehe…), kami memulainya dari Gapura Plengkung Gading yang berada tepat di sisi selatan dari Alun-alun kidul, dari situ kami kemudian menyusuri akses yang ada di bagian atas Benteng ke sisi Timur sebelum kemudian lanjut berjalan kaki ke arah Barat hingga tiba di Pojok Beteng

Tangga naik menuju bagian atas Gapura Plengkung Gading


Bagian atas dari Gapura Plengkung Gading



Suasana dari atas Gapura Plengkung Gading menghadap ke Alun-alun Selatan


Pos pengintaian


Akses penghubung menuju pojok Benteng disisi Timur



Pojok Benteng yang berada di sisi Timur



Di pojok Benteng Timur ini juga terdapat semacam parit yang memisahkan tembok luar dengan bagian dalam Benteng




Pos pengintaian yang terdapat di hampir semua sudut Benteng


Lanjut ke Pojok Beteng Barat, pada bagian ini taman yang berada di luar tembok Benteng cukup terpelihara dengan baik, namun beberapa peninggalan seperti jam kuno yang ada di taman tersebut telah rusak dan tidak terawat, begitupun dengan kondisi cat pada dinding Benteng yang mulai mengelupas dimana-mana


Walaupun telah ada peringatan seperti ini tetapi tetap saja


Membuktikan tingkat buta huruf masih cukup tinggi (padahal disebut sebagai Kota Pelajar)


Sisi pojok Benteng Barat di sebelah Utara telah di cat ulang (seadanya) dan semoga pelaku vandalisme segera mendapat karmanya


Sebenarnya sungguh sangat disayangkan minimnya keberadaan papan informasi seputar keberadaan bangunan Benteng ini, karena kelak di kemudian hari generasi penerus berikutnya mungkin tidak akan pernah tahu fungsi Benteng ini, dan tidak menutup kemungkinan jika kedepannya mereka bahkan tidak akan pernah melihat fisik bangunan Benteng ini lagi yang mungkin saja akan hilang tergerus modernisasi

Banyak bangunan-bangunan Cagar Budaya yang ada di Yogyakarta ini yang keberadaannya seakan antara ada dan tiada, mereka ada tetapi terabaikan, sedangkan generasi berikutnya tumbuh menjadi generasi penerus yang tidak menghargai sejarah perjuangan bangsanya (terlihat dari banyaknya vandalisme corat-coret dan perusakan situs cagar budaya), dan biasanya setelah cagar budaya tersebut hilang, digusur, dialih fungsikan dan diliput oleh media barulah semua pihak berteriak saling mengecam dan menyalahkan, tetapi jika kalian, saya, dan kita semua tidak pernah mau belajar, berkunjung, atau menjaga peninggalan cagar budaya ini lalu kepada siapa lagi kita berharap akan adanya perubahan yang lebih baik? Pilihan ada di tangan kita semua, akankah kita bergerak untuk memulai perubahan yang lebih baik tersebut ataukah hanya terdiam dan menjadi generasi yang saling menyalahkan? Waktulah yang akan menjawabnya

“Dengan mengunjungi sebuah cagar budaya maka secara tidak langsung kita telah membantu melestarikan dan menjaga eksistensi tempat tersebut, jadi ayo berkunjung dan belajar”