Monday 26 February 2024

MENCARI RUTE GOWES WISATA BLUSUKAN DARI CANDI SAMBISARI KE BENTENG JOLONTORO

Sabtu, 24 February 2024.

Hai..hai sobat Gowes Wisata, wah tak terasa sebentar lagi di Bulan Maret kita akan memasuki Bulan Suci Ramadhan alias bulan puasa, bagi kalian yang muslim biasanya nih nanti di bulan puasa beberapa dari kita yang melakukan ibadah puasa pasti merubah jadwal gowes rutinnya menjadi sore hari sekalian ngabuburit alias menunggu waktu berbuka, kalaupun ada yang tetap melakukan gowes di pagi hari biasanya jarak tempuh rutenya juga cenderung yang dekat-dekat saja.


Kali ini mumpung belum memasuki awal puasa sepertinya akan seru jika kita mencoba mencari rute gowes wisata yang agak blusukan alias yang meminimalisir penggunaan rute jalan raya utama, selain untuk menghindari lalu-lintas yang semrawut dan berbahaya, dengan melalui rute blusukan ini nilai plusnya adalah kita akan menikmati udara yang lebih bersih atau minim polusi, suasana tenang, serta mendapat bonus view pemandangan indah yang ada disepanjang rute tersebut.



Oya pada pencarian rute ini saya juga sekaligus melakukan tes record rute menggunakan aplikasi strava dan komoot, dengan terlebih dahulu saya menentukan dan mencari destinasi yang seru di hari sebelumnya melalui gmaps, selain itu gowes wisata kali ini juga saya manfaatkan untuk mencoba set-up kendaraan jelajah baru yang “mungkin” kedepannya akan lebih banyak saya gunakan saat mencari rute dan spot-spot baru yang unik dengan kondisi medan yang beragam (sepeda touring dignity velocity sementara di-istirahatkan dulu hehe…)


Baiklah tidak perlu berlama-lagi yuk kita let’s go, titik start pertama supaya lebih mudah akan saya mulai dari lokasi Candi Sambisari menuju ke titik akhir atau tujuan yaitu Benteng Jolontoro. Berdasarkan googlemaps (mode pejalan kaki) jarak tempuhnya sekitar 12km, sedangkan dari basecamp Gowes Wisata menuju ke Candi Sambisari sendiri berjarak sekitar 9km sehingga total jarak tempuh perjalanan ini nantinya dari titik A ke B kurang lebihnya sekitar 21-22km (dengan pertimbangan ada adegan nyasar sedikit), jadi metode recordnya kurang lebih seperti ini, panduan rute awal dari titik A ke B saya buat menggunakan googlemaps mode pejalan kaki, setelah rute terbentuk lalu saya buat beberapa titik cekpointnya di aplikasi komoot supaya saat record nanti hasil file GPX-nya mudah diunduh atau dishare ke device lain yang kompatibel gpsnya misalnya ke cyclocomp garmin, igpsport, atau bryton sehingga jika ada teman kita yang ingin mencoba rute tersebut maka mereka hanya tinggal mengikuti hasil file GPX yang sudah terekam dan terkoneksi ke cyclocomp tersebut, jadi tidak perlu repot membuka smartphone lagi untuk melihat peta online. Sedangkan aplikasi strava saya gunakan untuk me-record total semua jarak tempuh yang saya lalui mulai dari Basecamp Gowes Wisata hingga nanti kembali lagi atau rute loop pulang-pergi secara utuh, dengan kata lain seperti ini :


- Strava = rute loop utuh pulang pergi dari basecamp Gowes Wisata sampai kembali lagi.

- Komoot = saya bagi jadi 2, yang pertama start dari Candi Sambisari menuju Benteng Jolontoro, dan yang kedua dari Benteng Jolontoro menuju Basecamp Gowes Wisata

- Googlemaps = membuat patokan pedoman rute umum mode pejalan kaki dari Candi Sambisari menuju Benteng Jolontoro, walaupun dilapangan nanti pastinya rute ini akan berubah atau saya modifikasi tergantung sekiranya ada jalur lain yang asyik untuk dicoba tetapi tidak terbaca pada maps google.


Saatnya berangkat. Dari pintu gerbang Candi Sambisari kalian tinggal ikuti saja jalan tanah yang ada disisi kanan atau Timur Candi, medannya cukup asyik dan rindang karena banyak pepohonan sampai nantinya kalian bertemu persimpangan jalan aspal, ambil lurus saja, untuk lebih mudahnya kalian bisa ikuti peta atau file gpx yang sudah saya buat.



Nampang dulu sebelum blusukan

Track blusukan pertama

Jika jalur blusukan pertama adalah yang tadi sudah kalian lalui dipinggir area Candi Sambisari, maka track blusukan kedua adalah yang berada di wilayah kalasan sisi utara, medannya bisa kalian lihat dibawah ini, viewnya bagus dan suasananya tenang, tracknya sendiri juga cukup panjang. Ikuti saja jalur ini sampai mentok lalu ambil ke kanan atau Timur, disini rute yang kalian lalui kebanyakan adalah jalan desa sehingga jangan ugal-ugalan ya bersepedanya.









Jika kalian mengikuti peta gpx yang saya buat maka nantinya rute ini akan mengarah ke sisi utara dari Candi Prambanan, kalian akan melewati ex klinik randoegoenting (bisa juga mampir ke bekas cerobong Pabrik gula Randoegoenting jika kalian ingin berwisata sejarah)



Karena kebanyakan rute yang saya pilih dan lalui adalah jalan desa maka maklumi saja jika rutenya banyak belok-belok ya, pokoknya stick on the track/map karena hasil recordnya kebetulan tidak pake nyasar kok hehe…


Hingga akhirnya sampailah kita di Benteng Jolontoro, yang lokasi tepatnya berada di Dusun Padanjero, Desa Joho, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah.




Bangunan ini sendiri sebenarnya merupakan bekas saluran irigasi yang dibangun pada era kolonial, membentang dari Utara ke Selatan dan dahulu berfungsi untuk mengairi lahan persawahan dan area perkebunan tebu yang mana pada saat itu tebu sebagai bahan baku industri gula merupakan salah satu komoditas yang sangat berharga di pasar Eropa, tebu-tebu itu sendiri nantinya akan dikirim ke Pabrik Gula Gondangwinangoen di daerah Klaten. Di wilyah Yogyakarta sendiri pada masa itu cukup banyak pabrik-pabrik gula yang dibangun oleh kolonial oleh karena itu bangunan saluran irigasi semacam ini juga banyak ditemui dibeberapa pelosok wilayah Jogja, selain Jolontoro ini saluran bekas irigasi lainnya yang masih bisa kita jumpai dan cukup terawat adalah Buk Renteng yang berada di bagian Barat Jogja, tepatnya arah menuju Kulonprogo.




Nama Jolontoro sendiri asal katanya dari bahasa Jawa kuno yaitu “Jaladwara” yang berarti jalan air atau saluran air, seiring waktu dan penggunaan bahasa Jawa modern oleh warga sekitar bangunan ini juga kerap disebut dengan sebutan Plumpung Banyu atau pipa saluran air, dan karena sekilas sisa bangunan ini menyerupai sebuah tembok Benteng yang memiliki banyak gerbang akibat dari fasade lengkungan penopangnya maka akhirnya nama yang lebih populer untuk bangunan ini saat sekarang adalah Benteng Jolontoro.




Dahulu sistem pengairan pada saluran irigasi Benteng Jolontoro ini adalah dengan memompa air dari Kali Randukucir yang berada dibagian selatan Benteng Jolontoro, namun sekitar tahun 1960-an seiring perkembangan zaman dan dengan telah dibuatnya bendungan soronayan di Desa Nangsri, Kecamatan Manisrenggo yang berada dibagian Utara Desa Joho dimana secara kontur topografi juga lebih tinggi dari wilayah selatannya maka secara otomatis proses pengaliran air sudah tidak memerlukan pompa lagi, yang mana hal ini juga berarti dapat lebih menghemat biaya pemeliharaan dan perawatan pompa, dan akhirnya saluran air Jolontoro pun tidak difungsikan lagi, keberadaannya yang kini hanya tersisa puing-puing ditengah area persawahan seakan hanya berdiri sebagai saksi bisu sejarah era kolonial dan kejayaan industri gula pada masanya




Walaupun sudah tidak utuh lagi namun keberadaan sisa saluran irigasi ini kini seakan menjelma menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan yang senang berburu lokasi foto yang unik dan estetik, jika cuaca sedang cerah dan hamparan persawahan sedang menghijau maka kita akan mendapati latar untuk berswafoto yang sangat menarik di lokasi ini. kemegahan sisa reruntuhan Benteng Jolontor yang berpadu secara harmonis dengan area persawahan serta penampakan Gunung Merapi dikejauhan seakan menjadi satu paket komplit sebagai latar belakang atau obyek fotografi.


Usai berfoto-foto mendokumentasikan bangunan Benteng Jolontoro dan beristirahat sejenak kini saatnya melanjutkan perjalanan kembali pulang, nah disini kalian akan menemui dan melalui track terakhir yang cukup panjang dan asyik karena melalui jalur tanah gravel sembari blusukan di jalan desa yang suasananya cukup rindang, cukup ikuti peta gpx hingga nantinya kalian akan keluar di ruas jalan raya utama jogja-klaten, tepatnya bagian Timur dari Candi Prambanan-Plaosan, dari sini kalian bisa memilih untuk kembali ke pusat Kota Jogja melalui ruas Jalan Raya Utama Jogja-Solo, atau melalui Jalan Prambanan-Piyungan.








Saya pun menyempatkan untuk sekedar mampir melewati lokasi Tobong Gamping Pelem Golek yang dahulu pernah saya kunjungi dan ulas, hanya saja saat ini keberadaannya sudah hilang alias sudah dirobohkan, hanya tersisa bagian pondasi dan bagian mulut Tobong saja, entahlah kedepannya area ini akan dibangun menjadi apa.




Dari bekas lokasi Tobong Gamping saya pun melanjutkan mengunjungi Candi Kalasan yang berada tak jauh dari lokasi bekas Tobong ini, cuaca yang sangat panas membuat saya enggan berlama-lama disekitar lokasi Candi Kalasan, setelah mengambil beberapa foto saya pun melanjutkan perjalanan pulang melalui Berbah hingga tembus ke Blok O.



Kurang lebih seperti itulah cerita perjalanan Gowes Wisata kali ini, bagi kalian yang penasaran dan ingin mencoba rute ini maka kalian bisa mem-follow :

- Strava : Gowes Wisata

- Komoot : Gowes Wisata


Kedepannya disetiap petualangan Gowes Wisata saya akan berusaha me-record setiap rute yang dilalui (tergantung kondisi baterai HP juga ya) supaya suatu saat kalian juga bisa mencobanya sendiri, kalian hanya tinggal mendownload file gpx dan menyambungkannya ke cyclocomp gps kalian. Semoga informasi kali ini bermanfaat untuk kalian semua ya, selamat ber-gowes wisata.


Wednesday 7 February 2024

REVIEW FIRST IMPRESSION SEPEDA GRAVEL POLYGON TAMBORA G7

Hai..hai sobat goweswisata, senangnya bisa berjumpa lagi dengan kalian semua di Bulan Februari ini. Nah topik kita kali ini masih dalam rangka mengulas atau mereview sebuah produk sepeda gravel keluaran terbaru dari Brand Polygon, yaitu Polygon Tambora G7, seperti apa hasil pengetesannya? Yuk simak ulasan lengkapnya dari goweswisata dibawah ini.



Jika pada postingan sebelumnya kita sudah mengulas first impression pengetesan sepeda gravel Polygon Bend V9X, kali ini saya berkesempatan untuk mencoba seri sepeda gravel lainnya dari Brand Polygon, yaitu Polygon Tambora G7, oya sekedar informasi tambahan bahwa jika kalian tertarik untuk mencoba bagaimana sih sensasi mengendarai (test-ride) sepeda ini maka kalian juga bisa langsung datang ke Toko Sepeda Rodalink terdekat yang ada dikota kalian lho, jika kebetulan sepeda ini sedang available di gudang mereka maka kalian bisa meminjamnya untuk melakukan test-ride sebelum memutuskan untuk membelinya berdasarkan size dan seri sepeda gravel mana yang dirasa paling cocok dan nyaman berdasarkan postur tubuh dan riding style kalian masing-masing.



Kembali lagi kepada pengetesan sepeda gravel Polygon Tambora G7, kali ini saya melakukan pengetesan sembari cek ulang rute yang nantinya akan dilalui untuk acara Gowes Bareng Rodalink yang rutin diadakan setiap 2 minggu sekali pada Hari Sabtu (Sabtu minggu ke-2 dan minggu ke-4), gowes kali ini saya pun tidak sendirian karena ditemani oleh 2 orang teman dari Rodalink Jogja Timur (Rodalink Janti).


Sepeda gravel Polygon Tambora G7 yang saya gunakan kali ini memiliki ukuran frame  size M, yang mana jika dilihat berdasarkan tabel geometri sepeda gravel dari Polygon seharusnya size M ini on size atau sesuai untuk postur tubuh saya yang memiliki tinggi 168cm dengan jangkauan lengan sekitar 60cm, namun saat saya mencobanya berkeliling area parkir sebentar rasanya size M sepeda ini lebih cocok bagi cyclist yang memiliki tinggi badan 172cm keatas, dikarenakan panjang dari toptube (seatpost) ke titik tengah head tube (handle stem) terasa kepanjangan walaupun panjang stem bawaan yang digunakan sebenarnya juga tidak terlalu panjang (walaupun misalnya kita mengganti dengan ukuran stem yang lebih pendek rasanya saya juga berpendapat bahwa pada kasus kali ini panjang toptube lah yang paling berpengaruh dan memang terlalu panjang untuk postur saya), tapi ya sudahlah kita coba saja dahulu yang size M ini, yuk let’s go.



Rute dan medan yang digunakan pada pengetesan kali ini sebenarnya sama dengan rute dan medan yang kemarin dilalui sewaktu saya melakukan pengetesan sepeda gravel Polygon Bend V9X, sehingga karena rute dan medan pengetesannya relatif sama tentunya akan memudahkan saya untuk membuat perbandingan first impression antara sepeda Polygon Bend V9X dengan sepeda Polygon Tambora G7.





Disepanjang perjalanan sembari mencoba mengenali dan merasakan karakter dari sepeda ini sepertinya satu hal yang sangat terasa adalah sepeda ini berkarakter race, karena untuk medan atau trek yang lurus, sepeda ini terasa sangat ringan dan responsif dikala melakukan sprint, bahkan ketika beberapa kali melibas tanjakan-tanjakan yang landai pun effort yang dibutuhkan pun terbilang masih santai. Hmmm… sepertinya faktor penggunaan material carbon pada frame dan fork cukup terasa membantu untuk memangkas bobot sepeda dan meningkatkan kecepatan, begitupun faktor grupset 1x12speed dari SRAM APEX terasa cukup presisi saat melakukan shifting dan range gearnya sudah cukup untuk melahap berbagai jenis medan.



Penggunaan seatpost carbon (non-adjustable) juga terasa cukup solid dan ringan, oya satu hal yang membedakan sepeda ini dari sepeda-sepeda lainnya adalah untuk mengunci posisi ketinggian seatpost tidak dilakukan pada bagian seatclamp melainkan pada baut yang berada dibawah toptube tepatnya dibagian segitiga depan frame dari seattube (lihat gambar), sehingga keunikan dari frame sepeda gravel Polygon Tambora G7 ini adalah tidak adanya seatclamp yang biasanya berada dibagian paling atas seattube.




Pada area segitiga depan frame ini sendiri setidaknya sudah terdapat 12 titik eyelet (5 titik pada bagian atas downtube, 2 titik dibagian bawah down tube, 2 titik pada seattube, dan 3 titik pada bagian bawah toptube), fungsi dari banyaknya jumlah eyelet ini selain untuk pemasangan cage biddon juga bisa digunakan untuk memasang frame bag yang memiliki sistem pemasangan model baut bukan strap Velcro sehingga tampilan frame bag saat terpasang nantinya akan terlihat lebih rapi. Di bagian atas toptube sendiri yang berada dekat dengan headtube juga terdapat 2 baut eyelet tambahan yang bisa difungsikan untuk memasang toptube bag atau tambahan cage biddon.



Laju sepeda yang loncer dan ringan tentunya juga akan membutuhkan sistem pengereman yang mumpuni demi keamanan, dan sepertinya hal tersebut sudah tertangani dengan baik berkat penggunaan rem hydrolic yang responsif dan pakem dari SRAM APEX beserta piringan rotornya dari SRAM PACELINE, semua jalur perkabelan juga sudah menggunakan internal routing yang dimasukkan melalui bagian atas area headtube sehingga tampilan sepeda secara keseluruhan terlihat cukup clean tanpa adanya kabel yang berseliweran.




Hub dan Freehub dari Novatech juga sudah cukup teruji dalam hal memperlancar kayuhan dan durabilitynya, selain itu penggunaan ban dari Vee Rail 700x40c juga terbilang cukup baik di medan aspal (tidak terlalu berat) dan medan tanah basah (masih bisa menggigit), bahkan pada medan gravel yang menjurus ke XC kali ini handling sepeda pun masih cukup bisa dikontrol dengan baik berkat penggunaan handlebar model dropbar flare yang lazim digunakan pada sepeda-sepeda gravel.



Secara general bisa disimpulkan bahwa sepeda gravel Polygon Tambora G7 ini sangat cocok dan sesuai bagi kalian penikmat medan gravel atau blusukan yang mendambakan kecepatan, sepeda ini dirancang untuk menemani petualangan bersepeda kalian melalui medan yang penuh rintangan dimana jika kalian dihadapkan pada situasi yang tidak memungkinkan untuk mengayuh maka untuk mengangkat atau memanggul sepeda ini pun tidak terlalu berat atau menyulitkan sehingga petualangan kalian masih bisa terus berlanjut.





Pilihan warna yang tersedia untuk seri ini hanyalah satu warna saja yaitu cream, namun yang pasti jika kalian tertarik untuk memilikinya lebih baik pastikan untuk mencobanya terlebih dahulu sebelum membeli karena dari hasil test-ride tersebut kalian bisa menentukan size frame yang mana yang dirasa paling sesuai, cocok, dan nyaman untuk postur dan riding style kalian, berikut ini saya lampirkan ringkasan spesifikasi dari Polygon Tambora G7.


Spesifikasi :

Frame : ACX GRAVEL

Fork : CARBON RIGID, TAPER 1-1/8” TO 1-1/2”

Headset : TOKEN TK155SP-36 W/ SEALED BEARING, IS 52/28.6 I IS 52/40

Stem : ALLOY 90mm (S,M) / 100mm (L,XL) OS 31,8mm 7 Derajat

Handlebar : ALLOY FLARE 16degree, W: 420mm (S,M) / 440mm (L,XL) OS 31,8mm R/D: 125mm BEND 77degree

Rear Derailleur : SRAM APEX XPLR 12-SPEED

Shifter : SRAM APEX 12-SPEED BRIFTER

Bottom Bracket : SRAM DUB T47

Crankset : SRAM APEX 1 WIDE 40T, MAX 42T, CRANK ARM 170mm

Sprocket : CASSETTE SRAM XPLR PG-1231 12-SPEED 11-44T

Chain : SRAM RIVAL 12-SPEED

Brake : SRAM APEX HYDRAULIC DISC

Brake Lever : SRAM APEX

Rotor : SRAM PACELINE 160mm CENTER LOCK

Wheelset : NOVATEC G24 DISC (28mm) W/ TUBELESS TAPE INSTALLED

Front Hub : NOVATEC D791 12x100mm 24H CENTER LOCK

Rear Hub : NOVATEC D792 12x142mm 24H CENTER LOCK FOR SPROCKET

Spokes & Nipples : STAINLESS 14G NDS : 282 & DS: 284 W/ NIPPLE BRASS (front), STAINLESS 14G NDS: 284 & DS: 282 W/ NIPPLE BRASS (rear)

Tire : VEE RAIL 700x40C 622x40 TLR

Saddle : SELLE ITALIA MODEL X, CR-MO 7mm

Seatpost : CARBON 27,2x300mm (S,M,L) / 27,2x 350mm (XL)

Seatclamp : 31,8mm BOLT

Extras : DROPOUT : UNIVERSAL DERAILLEUR HANGER

Speed : 1x12 Speed

Wheel Size : 700C

Warna : CREAM

Bobot : 14,6kg (Size M)

Harga : Rp 33.000.000 (last update Feb 2024)


Nah kurang lebih seperti itulah kesimpulan pengetesan sepeda gravel Polygon Tambora G7 kali ini, semua hasil penilaian murni menurut apa yang saya rasakan selama durasi pengetesan sehingga hasilnya sedikit subyektif karena berdasarkan pengalaman (mungkin dibeberapa orang penilaiannya juga akan berbeda tergantung pengalaman dan riding style dari masing-masing cyclistnya). Semoga informasi review sepeda dari goweswisata kali ini cukup membantu bagi kalian yang sedang mencari-cari dan masih bingung menentukan sepeda gravel seperti apa ya yang paling sesuai dengan kebutuhan kalian. Yang pasti jangan lupa tetap ikuti petualangan goweswisata ya, sampai jumpa lagi di postingan berikutnya.


Ps:

Terimakasih kepada Rodalink Jogja (Janti) dan Polygon atas supportnya