Wednesday 7 February 2018

CHAPTER 28; THE FAMOUS NANGATUMPU

Rabu, 03 Februari 2016
Waktu menunjukkan pukul 5 pagi, suara kokokan ayam dan kumandang adzan subuh yang mulai menggema melalui pengeras suara di surau setempat menandakan kini waktunya bagi kami untuk mulai bersiap walaupun sebenarnya badan masih enggan beranjak dari ranjang empuk yang sedang kami tiduri ini.

Huuaaahhhh…kretek…kretek, sambil menguap dan menggeliat seluruh badan rasanya masih terasa pegal setelah kemarin seharian melahap medan tanjakan, namun penderitaan belum usai saudara-saudara karena hari ini rute kami adalah harus menghadapi dan melewati medan tanjakan Nangatumpu untuk menuju ke Kota Dompu

Tanjakan Nangatumpu sendiri sejak awal kedatangan kami di Pelabuhan Pototano sering dibicarakan oleh beberapa orang yang kami jumpai sepanjang perjalanan ini, menurut mereka rute terberat kami untuk menuju ke Kota Bima salah satunya adalah pada titik tanjakan Nangatumpu yang menuju ke Kota Dompu, “apa ga ada jalan lainnya? Lewat mana gitu yang datar-datar saja, jauh dikit gapapa deh asal ga nanjak?”, pertanyaan tersebut sudah berulangkali kami tanyakan ketika mereka membahas medan tanjakan Nangatumpu ini, dan jawabannya pun selalu sama dan simple yaitu “ga ada mas, lha jalannya cuma satu itu saja, ga bercabang”, ya sudahlah berarti kami memang ditakdirkan untuk menghadapi tantangan yang satu ini

Begitupun sewaktu kami menumpang beristirahat sejenak di Kantor Polisi wilayah Rhee, menurut beberapa petugas disana tanjakan Nangatumpu sebenarnya ga berat-berat amat konturnya sekarang jika dibandingkan dengan kondisinya waktu dulu, “tanjakannya sebenarnya kalau dibilang tinggi ya ga tinggi-tinggi amat mas, tapi dibilang pendek ya engga juga”, (berarti tetep tinggi dunk namanya), kalau dilihat melalui peta (baik itu peta online maupun peta offline) medan nangatumpu sendiri sudah dipastikan konturnya menanjak karena melalui daerah berwarna hijau yang jaraknya lumayan panjang, “kalau sekarang tanjakan nangatumpu sudah diperlebar ruas jalannya dan ketinggiannya juga sudah dipapas sekitar 10 meter dibanding dulu, kalau dulu mah wuuu sudah jalannya kecil mepet tebing dan jurang, gelap kalau malam, banyak rampok, sepi ga ada perkampungan (yang rame ya rampoknya itu), kadang-kadang tebingnya longsor pula kalau pas hujan deras”, kata petugas kepolisian wilayah Rhee yang menemani kami kala sedang beristirahat (ini bapaknya lagi curhat atau lagi nakut-nakutin sih? Kok serem amat ceritanya) dan masih banyak lagi cerita-cerita seputar tanjakan ini yang sepertinya cukup terkenal di kalangan goweser lokal Sumbawa.

Nah dengan berbekal cerita-cerita “menyeramkan” seperti itu dan tidak ada bayangan sama sekali seperti apa nantinya medan tanjakan nangatumpu kini kami pun bersiap untuk mulai melanjutkan perjalanan, semangat kaka

Setelah proses packing selesai kami pun berpamitan dan mengucapkan banyak terimakasih kepada sang pemilik rumah dan keluarganya. Suasana pagi di wilayah Kwangko ini terlihat masih sangat sepi dibandingkan dengan wilayah-wilayah yang sebelumnya telah kami lewati, para warga di wilayah Kwangko ini mayoritas bekerja sebagai nelayan atau berladang. Selepas wilayah Kwangko kami menemui sebuah perkampungan lagi namun kami lupa apa namanya, disini ketika kami mencari toilet untuk buang air kecil ternyata susahnya minta ampun karena beberapa sumur warga sedang dalam kondisi kering (padahal sedang musim hujan) dan sumber airnya pun entah dimana sampai akhirnya dipinggir jalan saya melihat ada sebuah bangunan Mushalla kecil yang memiliki toilet luar dengan sebuah tandon air yang berada di bagian atas toilet tersebut, harusnya sih toilet tersebut berfungsi mari kita coba :).

Bangunan Mushalla tersebut sebenarnya entah masih digunakan atau tidak karena kondisinya cukup mengenaskan dengan kaca-kaca yang kusam dan bolong serta rumput liar yang mulai tinggi dibagian halamannya, untungnya pintu toilet tersebut hanya dipasang gembok yang menggantung saja dan tidak terkunci, srrrrr….suara air mulai mengucur ketika saya mengetes kran air yang berada didalamnya, Alhamdulillah setidaknya ada air, bodo amat mau bersih atau tidak yang penting ada air (logikanya sih harusnya air bersih karena berasal dari tandon diatasnya, paling kotor-kotor dikit bekas lumut tidak mengapa), kabar gembira ini pun saya sampaikan ke Agit yang menunggu diluar dan kami pun akhirnya bergantian menggunakannya (buat orang-orang yang suka boros air lebih baik cepetan insap deh sebelum kondisinya sulit air kaya gini)

Setelah puas mandi kini badan rasanya kembali segar, kami pun sempat membeli beberapa buah roti dan minuman gelas di sebuah warung kecil yang berada tidak jauh dari bangunan Mushalla tersebut, setidaknya lumayan untuk sarapan dan bekal untuk berjaga-jaga jika kondisinya medannya sepi seperti kemarin

Setelah beberapa kilometer kemudian dikejauhan kami mulai melihat medan tanjakan yang berada tepat menyusuri pinggir bukit, sepertinya medan tanjakan inilah yang disebut tanjakan Nangatumpu. Tepat sebelum mulai memasuki rute menanjak ada sebuah tempat makan yang sepertinya merupakan satu-satunya disini, tempat ini juga digunakan sebagai tempat pemberhentian atau transit bus, disinilah satu-satunya kesempatan bagi kalian untuk mengisi perbekalan dan makan karena setelah tempat ini maka yang kalian lihat nantinya hanyalah rute tanjakan yang sepi dan panjang, kami pun menyempatkan diri untuk berhenti sejenak dan mengisi perut sembari bertanya seputar rute ini

Karena tempat ini merupakan satu-satunya tempat makan yang beroperasi maka tidak perlu heran jika harga makanan disini sedikit lebih mahal dibanding biasanya (tenang saja harganya tidak semahal tempat-tempat makan tempat transit bus yang ada di jalur Pantura Pulau Jawa kok dimana harga mi gelasnya mencapai 9 ribu, itu pun bukan pop mie tapi mi gelas yang murahan, kampret emang harga di Pulau Jawa), disini seporsi nasi campur dihargai 15 ribu rupiah (hanya selisih 3 ribu dengan tempat lain di Pulau Sumbawa, jadi masih wajarlah), kali ini bukan cuma kami saja yang menjadi pengunjung warung makan ini, beberapa penumpang yang sedang menunggu bus transit juga tampak ramai memesan dan makan sebelum mereka kembali melanjutkan perjalanan.

Perlahan sedikit demi sedikit suasana kembali menjadi tenang karena beberapa bus tampak sudah mulai kembali berangkat melanjutkan perjalanan menuju Kota Sumbawa dan Pelabuhan Pototano, kami pun sempat bertanya seputar medan tanjakan Nangatumpu ini kepada sang pemilik warung makan ini, menurutnya dulu kondisi tanjakan Nangatumpu ini sangat menyeramkan, selain karena ketinggian tanjakannya juga dikarenakan banyaknya aksi perampok yang mencegat bus dan kendaraan pribadi, maraknya aksi kriminal tersebut tidak lepas karena ketiadaan pos-pos polisi disepanjang jalur ini serta masih belum meratanya pembangunan di Pulau Sumbawa, namun semenjak warung ini dibangun dan kondisi nangatumpu juga sudah dibenahi antara lain dengan memperluas lebar jalan, memapas ketinggiannya, pemberian pagar pembatas serta semakin meratanya pembangunan maka Alhamdulillah sekarang jalur nangatumpu sudah aman dari kriminalitas, walaupun jalur ini masih sepi namun sudah dipastikan bahwa jalur ini sekarang aman, jadi tenang saja kata sang pemilik warung dengan ramahnya


Akhirnya setelah selesai mengisi perut dan perbekalan kini kami pun mulai memasuki medan menanjak Nangatumpu ini, walaupun kondisi aspalnya bagus dan mulus namun tetap saja dimana-mana yang namanya menanjak itu pasti terasa berat dan melelahkan, dan mungkin karena terlalu stressnya karena dari kemarin selalu saja menanjak pada akhirnya membuat Agit menjadi ngadat dan kesal pada dirinya sekaligus pada medan tanjakannya, sambil menangis ia pun mulai merasa kesal dan tidak mau melanjutkan perjalanan ini lagi (mungkin ia lelah :D) nah dititik inilah saya pada akhirnya merasa medan ini menjadi benar-benar terasa berat (bagi saya pribadi derajat tanjakannya sih biasa saja dibandingkan tanjakan Menoreh), yang membuat berat disini adalah karena saya harus bisa mengatur emosi dan mencoba menenangkan Agit, karena mau sampai kapan kami hanya berdiam ditempat ini, yang ada nantinya malah keburu gelap sedangkan kondisi disekitarnya sudah tidak ada perkampungan sama sekali, mau balik lagi tetap saja harus menanjak, nunggu bus? Itu pun lewatnya jarang-jarang, mereka pun belum tentu mau mengangkut kami dan sepeda-sepeda kami, satu-satunya pilihan adalah kami harus tetap bergerak maju melanjutkan perjalanan, walau perlahan namun kami harus tetap maju, oleh karena itulah saya pun menyarankan kepada Agit “ya sudah begini saja, kalau tidak kuat mengayuh kamu jalan kaki saja nanti sepedanya saya yang dorong, pelan juga gapapa yang penting terus jalan”, dan walau sambil cemberut tapi akhirnya Agit mau juga saya suruh berjalan, sedangkan untuk sepedanya sendiri begini triknya, pertama saya mengayuh sepeda saya sendiri sampai ke titik dimana saya masih dapat mengawasinya, setelah itu saya berjalan kaki menuruni tanjakan kemudian kembali menanjak lagi sambil mengayuh sepeda milik Agit sehingga total saya menjadi dua kali kerja untuk menyelesaikan medan tanjakan ini (yang penting bisa terus maju)


Disalah satu tikungan ada seorang bapak-bapak yang sepertinya heran melihat saya mengayuh sepeda menaiki tanjakan ini, ia pun berkata “ini masih jauh lho mas tanjakannya”, “iya gapapa pak yang penting masih bisa didorong kalau capek”, jawab saya sambil tersenyum (yah anggap saja mencoba mengetes batas kemampuan diri hehe)

Dan sialnya cobaan belum berhenti sampai disitu saja, karena tidak berapa lama kemudian Agit mengeluh jika ia merasa perutnya sakit dan sepertinya mendadak ia mengalami menstruasi, nah lho komplit sudah mau cari toilet dimana, perkampungan saja tidak ada apalagi toilet, mau cari sungai juga mustahil karena disepanjang jalur ini tidak ada aliran sungai, yang ada hanya pohon, tebing, dan semak-semak, akhirnya dalam keadaan darurat saya pun menyarankan supaya ia mencari semak-semak dan memakai pampersnya disana saja, awalnya tentu saja ia marah, kesal, dan tambah nangis (habis mau gimana lagi namanya juga lagi bertualang), dan dengan segenap perasaan kesalnya (entah kesal dengan dirinya sendiri atau kesal dengan petualangan ini atau kesal sama saya) akhirnya perjalanan pun kembali berlanjut dengan adegan jalan kaki nuntun sepeda, daripada Agit dipaksa untuk mengayuh yang ada malah makin uring-uringan dianya (ntar malah jadi super saiya), sedikit demi sedikit setidaknya jarak ke kota tujuan mulai berkurang, sesekali saya mencoba mengalihkan focus perhatian Agit supaya lupa dengan rasa sakit dan kesalnya (bagi yang cowok kalau mau uji kesabaran emosi dengan pasangan tercinta silahkan dicoba, sudah sama-sama cape, cape’an saya sih sebenarnya karena jadi dorong dua sepeda dan gowes dua kali naik tanjakan, ditambah kuping harus dengerin segala keluh kesah pasangan yang lagi bad mood, dan disalah-salahin pula,hadeuh kalau bukan karena cinta ini mah tau dah gimana saya bisa bertahan, mana si cinta ngedumel-ngedumel wae)


Pemandangan dari atas (masih di tengah tanjakan) seperti ini, jadi silahkan bayangkan seperti apa ketinggian tanjakannya, mana panjang banget ga habis-habis pula




Masih dimedan tanjakan nangatumpu yang ga selesai-selesai karena kebanyakan adegan dramanya, dikejauhan mendung mulai tampak menggelayut, angin pun mulai bertiup kencang (jangan sampai hujan kek, bisa tambah runyam ntar situasinya) diseberang terlihat hujan tampaknya sudah turun dengan derasnya mengguyur wilayah yang berada dibagian bawah, untunglah tampaknya angin yang membawa awan hujan mulai berbelok menjauh dari wilayah nangatumpu sehingga kami tidak kehujanan, beberapa kali kami berhenti sejenak untuk beristirahat dan mengendalikan emosi masing-masing, beberapa orang pekerja yang kami temui terlihat sedang mengikis bagian tebing supaya tidak longsor turut menyemangati kami sambil mengatakan bagian puncak tanjakannya sudah tidak terlalu jauh lagi kok, terimakasih ya bapak-bapak semuanya


Dan setelah berkilo-kilometer kemudian akhirnya kini jalan terlihat mulai menurun (sepertinya kami sudah berhasil mencapai bagian puncak tanjakan nangatumpu), sayangnya justru dibagian puncak inilah hujan mulai turun mengguyur kami, namun setidaknya kini kami bisa kembali menaiki sepeda masing-masing karena jalur selanjutnya hanyalah medan turunan dan mulai datar

Kondisi hujan terus mengiringi kami sampai kami memasuki gerbang wilayah Kota Dompu, setidaknya kini waktunya bagi kami untuk mulai mencari tempat beristirahat hari ini karena hari sudah menjelang sore. Sambil celingak-celinguk mata kami mencari tempat penginapan yang sekiranya bisa kami jadikan tempat beristirahat, “Dari mana bang dan mau kemana?”, sapa seorang pengendara motor yang tiba-tiba menghampiri dan turut mengiringi kayuhan sepeda kami dengan sepeda motornya, “oh ini tadi pagi dari Kwangko dan sekarang lagi mau cari penginapan, kira-kira dimana ya ada penginapan yang murah?”, tanya saya pada mas pengendara motor tadi yang bernama Mas Rezta setelah kami saling berkenalan, “kalau penginapan coba saya tanya ke teman saya yang punya penginapan dulu ya mas kira-kira dia masih ada kamar kosong tidak, ikuti saya saja ya bang”,akhirnya kami pun mengikuti Mas Rezta dari belakang ia pun mengatakan: “iya, tadi saya liat abang dan mbaknya pas tikungan dekat jembatan tadi, saya pikir wah ini siapa gowes hujan-hujan begini mana bawaannya banyak banget, pasti lagi touring ini, makanya tadi langsung saya kejar karena bagi kami yang anggota komunitas motor ini siapapun yang memakai kendaraan roda dua baik itu motor maupun sepeda, selama kita sama-sama menggunakan jalan yang sama maka kita itu saudara dan harus saling membantu, kalau disini di Dompu ini kita menyebutnya dengan istilah Kalemboade bang”, oh begitu toh dari komunitas motor ternyata walaupun saya masih belum mudeng dengan istilah “kalemboade” tersebut

Sesampainya di sebuah penginapan di Jalan Soekarno-Hatta Mas Rezta pun bertanya apakah masih ada kamar kosong yang bisa kami gunakan, namun sayangnya ternyata semua kamar sedang dalam keadaan penuh, akhirnya kami pun mencoba bertanya ke penginapan lainnya yang berada tepat diseberang penginapan tadi, untunglah masih ada kamar kosong yang bisa kami gunakan, walaupun kondisi kamarnya jujur saja tidak terlalu menarik namun setidaknya ada kamar mandi dalam yang berfungsi, baiklah kami pun kemudian mengambil kamar ini dan menyelesaikan proses administrasinya di bagian resepsionis, paling tidak hari ini sudah terselamatkan dari segala cobaan dan drama disepanjang perjalanan, untuk dua hari kedepan ini rencananya kami akan stay sejenak di Kota Dompu ini sembari menunggu kondisi Agit kembali membaik

Pengeluaran hari ini :

- 2 porsi nasi campur = Rp 30.000,-
- 1 botol teh pucuk besar = Rp 10.000,-
- 5 roti = Rp 10.000,-
- 10 minuman gelas = Rp 10.000,-
- 2 porsi nasi campur = Rp 20.000,-
- 1 botol aqua 1,5L = Rp 6.000,-
- 1 botol teh pucuk sedang = Rp 4.000,-
- penginapan 2 malam = Rp 150.000,-

Total = Rp 240.000,-

Total jarak tempuh hari ini : 53,13km

No comments:

Post a Comment