Tuesday 30 January 2018

CHAPTER 27; PLAMPANG - KWANGKO

Selasa, 02 Februari 2016
Walaupun cuaca di Plampang pagi hari ini terlihat berawan namun kini sudah waktunya bagi kami untuk kembali melanjutkan perjalanan, menurut para pekerja bangunan yang berada di kediaman Mas Adi tantangan berikutnya yang akan kami hadapi adalah rute menanjak yang ada di wilayah Nangatumpu sampai menuju ke Dompu, menurut mereka lebih baik jika membagi etape ini menjadi dua bagian sebagai antisipasi karena di sepanjang medan tanjakan Nangatumpu tidak ada perkampungan dan berbahaya jika kami masih terjebak dan memaksakan menempuh rute tersebut pada malam hari, selain faktor minimnya penerangan juga dikarenakan tidak ada siapapun disana, alternatifnya adalah kami bisa berhenti dan stay untuk semalam di perkampungan yang berada tepat sebelum memasuki wilayah Nangatumpu yaitu di daerah Kwangko

Setelah berkemas dan berpamitan kepada para pekerja bangunan kami pun berangkat sekitar pukul 7 pagi, dan karena Mas Adi masih berada di Jogja untuk menemani istrinya yang melahirkan buah hati pertama mereka maka kami pun berpamitan via pesan singkat seluler serta tidak lupa mengucapkan banyak terimakasih atas bantuannya

Perlahan roda-roda sepeda kami pun mulai berputar dan beranjak menjauh meninggalkan Plampang dengan segala ceritanya, meninggalkan sepenggal kisah tentang “surga yang terancam” di Labangka, meninggalkan cerita tentang bagaimana para transmigran mulai membangun kehidupannya disana, dan mengalami sendiri bagaimana setiap harinya kami mengusir beberapa ular kecil yang terkadang menyelinap masuk ke tempat tinggal kami, serta melihat bagaimana hukum adat masih berlaku disini untuk menjaga keamanan dan mengatur pola kehidupan warganya. Semua itu kini telah terekam dalam ingatan kami dan tertuang melalui tulisan-tulisan yang sedang kalian baca ini

Selepas Plampang kini kami memasuki wilayah Ampang/Empang, disini kami pun mencoba untuk mampir sejenak melihat Pelabuhan Pantai Teluk Saleh, berdasarkan informasi yang kami baca dan peroleh dari hasil perbincangan dengan para pekerja di Plampang sebenarnya di Pelabuhan Pantai Teluk Saleh ini jika kondisi cuacanya sedang bagus dan kondisi perairan sedang tenang maka melalui pelabuhan ini kita bisa menyewa kapal boat milik nelayan untuk menyeberang mengunjungi salah satu Gili atau pulau kecil yang berada tidak jauh diperairan sekitar Pantai Teluk Saleh ini, namun dikarenakan akhir-akhir ini cuaca sedang buruk dan kondisi ombak juga sulit diprediksi maka situasi di sekitar Pelabuhan Perikanan Pantai Teluk Saleh ini pun juga terlihat tidak terlalu ramai dengan aktivitas para nelayan, hanya terlihat beberapa nelayan saja yang sedang memperbaiki kapal-kapal mereka



Dari Pelabuhan Perikanan Pantai Teluk Saleh kami pun kemudian kembali lanjut menyusuri ruas jalan utama sembari celingukan mencari warung makan untuk sarapan, disepanjang rute ini kondisi lalu lintasnya masih cenderung sepi dari kendaraan bermotor, satu-satunya kepadatan lalu-lintas justru disebabkan oleh banyaknya kambing-kambing yang tiduran di tengah jalan serta antrian rombongan kerbau yang melintas


Dan akhirnya kami pun menemukan warung makan yang buka, berada tepat disisi jalan dan berhadapan dengan salah satu sekolah dasar, saatnya sarapan mengisi energy dulu :), salah satu yang membuat kami takjub dengan sajian menu yang ditawarkan oleh warung makan ini selain faktor harganya adalah ukuran porsinya yang membuat kenyang, dengan harga 12rb/porsi kalian akan mendapat nasi sepiring penuh (piringnya cukup besar) lengkap dengan sayuran, tempe, kentang, kuah, sambel, serta udang yang ukurannya jumbo sekali (kalau di warteg mana dapet harga segini), setidaknya pagi hari ini kami menjadi ceria sekali dengan perut yang kenyang hohoho…:D

Semakin menuju kearah timur suasananya justru menjadi semakin sepi, padahal dengan kondisi aspal yang halus seperti ini kalau di Pulau Jawa pasti sudah banyak anak-anak alay yang menjadikan rute ini buat trek-trekan motor (sepertinya kondisi aspal disini malah jauh lebih bagus daripada aspal yang ada di sirkuit Sentul)

Untung saja di sepanjang Pulau Sumbawa ini rute utamanya hanya satu jalur sehingga walaupun suasana sekitarnya sepi seperti ini dan tidak ada papan keterangan penunjuk arah maka kalian tidak perlu takut tersesat, cukup ikuti saja jalan utama yang hanya satu-satunya ini, dari mulai rute yang datar-datar dan lurus-lurus saja di wilayah Ampang, kini medan rutenya menjadi mulai menanjak….. dan turun, lalu naik lagi, lalu turun lagi (tapi dikit), dan sedikit demi sedikit mulai menanjak lagi tanpa ada satu pun fasilitas tempat jajanan atau toilet disepanjang jalan seperti di wilayah Puncak Bogor


Satu-satunya “bagian” dari lalu-lintas yang paling sering ditemui


Dan berkilo-kilometer kemudian suasananya juga masih syahdu alias sepi seperti ini (mau tiduran ditengah jalan juga silahkan), entahlah ini sudah sampai wilayah mana karena tidak ada papan keterangannya sama sekali (perkampungan juga tidak ada)



Selepas tengah hari (sekitar pukul 2 siang) akhirnya kami pun sampai juga di salah satu bagian puncak bukit yang ada di sepanjang rute ini (dan masih tetap belum melihat ada perkampungan satu pun), sepertinya setelah melewati turunan yang ada di depan maka sudah waktunya bagi kami untuk mulai mencari tempat beristirahat hari ini, karena jika sampai kami melewatkan perkampungan berikutnya maka sudah bisa dipastikan jika nantinya kami pasti terjebak menghadapi medan tanjakan nangatumpu pada malam hari dengan kondisi gelap gulita dan tanpa adanya perkampungan sama sekali seperti yang kami tempuh hari ini


Menikmati medan turunan bukan berarti kini kami bisa leha-leha karena justru sekarang jari-jemari kami menjadi pegal karena sedikit-sedikit harus mengerem untuk menjaga kestabilan kecepatan dan keamanan, ada untungnya juga sepeda-sepeda kami dipenuhi oleh pannier-pannier yang terpasang di bagian depan-belakang dan sisi kanan-kiri karena ketika menghadapi turunan seperti ini maka sepeda menjadi lebih stabil dan tidak terlalu terpengaruh oleh hempasan angin, di kejauhan kami mulai melihat ada salah satu perkampungan pertanda bahwa sepertinya kami sudah tiba di wilayah Kwangko, tantangan berikutnya adalah mencari tempat untuk beristirahat hari ini karena diwilayah ini jangan harap ada penginapan seperti hotel (losmen saja tidak ada), kami pun tidak melihat adanya kantor polisi atau pos polisi satu pun, satu-satunya alternatif adalah dengan bertanya dan meminta ijin kepada warga sekitar untuk menumpang bermalam sehari saja, setidaknya dalam keadaan darurat kami pun bisa menggelar tenda dan tidak merepotkan pemilik rumah, satu-satunya yang paling kami butuhkan saat ini hanyalah menumpang toilet untuk bersih-bersih


Setelah bertanya ke salah satu warga sekitar kami pun dipersilahkan untuk menginap di rumahnya dan tidak perlu menggelar tenda segala karena mereka memiliki kamar kosong, awalnya ketika mereka menunjukkan kamar yang bisa kami pakai kami sedikit terkejut karena “kok kamarnya bagus amat ya?” ini beneran tidak apa-apa? Boleh kami pakai? Mereka pun menjawab tidak apa-apa silahkan pakai saja untuk beristirahat, kami pun kemudian bertanya “maaf ini bukannya kami tidak sopan tetapi sebelumnya kami ingin tahu apakah kami harus membayar atau boleh gratis ya pak?”, “bukannya apa-apa tetapi demi kenyamanan kita bersama saja dan biar kedua pihak juga sama-sama enak”, namun oleh sang empunya rumah mereka mempersilahkan kami untuk menggunakannya secara gratis, mereka juga menjelaskan bahwa dulunya rumah mereka juga pernah digunakan untuk menginap para pesepeda ketika ada event Tour de Tambora tahun lalu, sebuah event kegiatan bersepeda yang merupakan bagian dari program promosi pariwisata Pulau Sumbawa, event tersebut melibatkan banyak peserta yang datang dari seluruh daerah di Indonesia bahkan hingga mancanegara, acara tersebut secara tidak langsung membuat banyak pihak mulai melirik pesona pariwisata Pulau Sumbawa dan otomatis juga mengangkat kehidupan perekonomian warganya karena mereka semua juga dilibatkan untuk membantu sesuai etape pos yang dilewati atau menjadi pemberhentian peserta tour de Tambora tersebut, oleh karena itu mereka sangat senang sekali jika melihat ada orang dari luar daerah yang mengunjungi wilayah mereka, dan mereka juga berharap jika kedepannya nanti kegiatan-kegiatan seperti Tour de Tambora akan kembali dilaksanakan dan diikuti dengan event-event pariwisata lainnya

Mungkin beginilah seharusnya sebuah event diadakan, bagaimana melalui event tersebut masyarakat setempat dilibatkan dan dipersilahkan untuk ambil bagian sehingga mereka merasa dihargai dan menjadi satu kesatuan dengan seluruh pelaksana kegiatan tersebut, mungkin hal itu pulalah yang menjadi alasan mengapa di sepanjang perjalanan kami di Pulau Sumbawa ini hampir seluruh warga yang kami temui atau kami tanya selalu mengatakan bahwa kini Pulau Sumbawa aman dan tidak perlu takut untuk datang dan berwisata ke tempat ini, selama para pendatang juga menghargai aturan dan budaya yang ada di masyarakat setempat maka masyarakat Sumbawa pun pasti menerima dan akan menunjukkan bahwa keramahan khas Indonesia itu masih ada, dan karena masyarakat Sumbawa merasa telah menjadi satu bagian yang utuh dari mulai ujung bagian timur hingga ke baratnya maka mereka pun berusaha untuk menjaga keamanan dan citra pariwisata daerahnya dengan menerapkan aturan adat dan sanksi sosial bagi yang melanggarnya, bagi saya pribadi sebagai orang luar melihatnya justru dengan adanya aturan adat inilah kami merasa pola kehidupan masyarakat disini menjadi lebih harmonis, baik itu antar sesamanya maupun dengan bagaimana mereka memperlakukan alam sekitarnya, memberdayakan namun dengan tidak merusak atau mengeksploitasinya berlebihan

Sekarang saatnya kami untuk bersih-bersih dan beristirahat untuk hari ini sebelum keesokan harinya kami akan menghadapi medan tanjakan “the famous Nangatumpu” menuju ke Dompu, banyak sudah pengalaman dan pemikiran baru yang kami dapat sepanjang perjalanan ini, semoga kedepannya semua itu dapat menjadi bekal bagi kami berdua untuk berbenah diri dan menerapkan hal-hal positif tersebut kedalam lingkungan tempat kami tinggal

Pengeluaran hari ini :

- 2 porsi nasi campur = Rp 24.000,-
- 2 teh hangat = Rp 6.000,-
- 2 teh pucuk = Rp 8.000,-
- 1 es campur = Rp 8.000,-

Total = Rp 46.000,-

Total jarak tempuh hari ini : 78,89km

No comments:

Post a Comment