Wednesday 8 August 2018

CHAPTER 43; TANA TORAJA

Tana Toraja atau dalam bahasa asli masyarakat sekitar disebut juga dengan Masyarakat Negeri Tondok Lepungan Bulan Tana Matarik Allo, nama tempat yang satu ini sudah sangat populer tidak hanya ditingkat nasional saja melainkan sudah dikenal sampai taraf internasional, hal ini dikarenakan wilayah ini memiliki keunikan berupa wisata budayanya. Sebagai salah satu destinasi wisata unggulan di propinsi Sulawesi Selatan rasanya belum lengkap dan sangat disayangkan jika kami tidak mengunjunginya selagi kami masih berada di bumi celebes ini, jadi tunggu apa lagi? sekarang saatnya merancang agenda petualangan menuju Tana Toraja :)

Secara administratif berdasarkan UU No.28 Tahun 2008, Tana Toraja dimekarkan menjadi 2 bagian, yaitu Kabupaten Toraja Utara yang beribukota di Rantepao, dan Kabupaten Toraja Selatan yang beribukota di Makale, namun biasanya lokasi yang paling sering dikunjungi oleh wisatawan ketika mereka berwisata ke Tana Toraja adalah wilayah Toraja Utara seperti Desa Ke'te Kesu (berada sekitar 4,5km dari Rantepao), Londa (26km dari Rantepao), serta Lemo.

Dari Parepare kami menggunakan bus umum untuk menuju ke Tana Toraja dengan harga tiket per orang sebesar 70ribu rupiah, sepeda-sepeda sengaja kami titipkan sementara waktu di rumah salah seorang teman di Parepare supaya setibanya di Toraja nanti kami lebih bebas berjalan kaki melihat dan menikmati keunikan yang ada di tempat tersebut

Perjalanan menggunakan bus dari Parepare menuju ke Toraja (tepatnya ke Rantepao) menghabiskan waktu tempuh sekitar 5-6jam melewati rute yang berkelok-kelok dan menanjak, setibanya di Rantepao kami kemudian turun di monumen tongkonan (sebuah bundaran kecil dengan hiasan berupa miniatur rumah adat tongkonan yang berada di perempatan jalan poros), berdasarkan hasil googling sebelumnya mengenai penginapan murah di Toraja, kami pun mendapati satu tempat penginapan yang banyak direkomendasikan oleh para backpacker, yaitu penginapan Wisma Maria 1 yang lokasinya berada tidak jauh dari monumen miniatur tongkonan tersebut (dari monumen tongkonan kalian tinggal belok kiri, berjalan kearah pos polisi atau patung pahlawan berkuda, lalu terus saja sampai pertigaan Indra Toraja Hotel, dari pertigaan tersebut kemudian belok ke kiri lagi kira-kira 50meter nanti ada papan nama Wisma Maria 1, letaknya tepat dikiri jalan)

Monumen Tongkonan



Memang setelah kami membandingkan dengan beberapa penginapan lainnya yang ada di Toraja maka Wisma Maria 1 ini adalah yang termurah (walaupun bagi kami tetap saja terasa mahal jika dibandingkan dengan fasilitas yang ditawarkan), sepertinya memang sulit mencari penginapan murah di Tana Toraja, di Penginapan Wisma Maria 1 ini pun akhirnya kami hanya menyewa kamar termurah yaitu single bed seharga 140ribu rupiah (harga Maret 2016) dengan fasilitas berupa ranjang berukuran single, meja, lemari, washtafel dan kamar mandi dalam dengan kloset duduk, padahal dengan kisaran harga tersebut jika di Pulau Jawa kita sudah bisa mendapatkan kamar dengan fasilitas dan kondisi yang lebih baik lagi, terlebih di penginapan ini tidak disediakan fasilitas pendingin ruangan seperti AC maupun kipas angin, hal ini dikarenakan kondisi geografis wilayah Rantepao yang berada di dataran tinggi dimana iklim disekitar wilayah ini cukup sejuk dan dingin, sehingga entahlah mengapa harga penginapan di wilayah ini mayoritas mahal, satu-satunya nilai plus dari penginapan Wisma Maria 1 ini adalah fasilitas free wifi dengan sinyal yang kuat dan kencang hehe... kami pun memanfaatkan jaringan wifi tersebut dengan mengupdate beberapa aplikasi dan mencari informasi online seputar tempat wisata di Tana Toraja, oya di penginapan ini juga disediakan sarapan berupa roti dan telur (sarapan ala orang Eropa) dan pilihan minuman yaitu teh hangat atau kopi toraja (silakan pilih), sedangkan waktu untuk check out di penginapan ini adalah pukul 12 siang)

Penginapan Wisma Maria I




Selain penginapan murah, hal lainnya yang sulit untuk ditemukan di Toraja adalah makanan halal (dan murah), rata-rata tempat makan disini menyajikan daging babi atau masakan lain yang digoreng menggunakan minyak babi (karena masyarakat disini mayoritas beragama Kristen), untunglah karena Agit mengenakan jilbab maka ketika kami sedang mencari makan, warga sekitar pun langsung menyarankan untuk mencari tempat dimana terdapat menu makanan halal atau rumah makan muslim, dan setelah berkeliling akhirnya kami pun menemukan sebuah warung makan muslim yang menyajikan nasi kuning campur seharga 8ribu rupiah per porsinya (setidaknya masih masuk dengan budget kami)

Dari penginapan kami kemudian berjalan kaki sejauh 4,4km menuju menuju patung sapi yang berada di wilayah Kecamatan Kesu (lumayanlah menghemat pengeluaran untuk ojek atau becak bermotor sembari menikmati pemandangan yang ada disini), dari patung sapi tersebut kemudian kami masih harus berjalan kaki lagi sejauh 1,5km masuk ke dalam menuju obyek wisata pertama yang kami temui yaitu Buntu Pune





Buntu Pune berlokasi di Desa Ba’Tang, Kecamatan Kesu, Kabupaten Toraja Utara, Propinsi Sulawesi Selatan. Tempat ini merupakan salah satu lokasi cagar budaya di wilayah Tana Toraja. Awalnya Buntu Pune merupakan kawasan milik pribadi dan keluarga, namun atas saran Pemda setempat akhirnya tempat ini pun dibuka untuk umum.

Mungkin karena mayoritas wisatawan yang berkunjung ke Tana Toraja ini hanya tahu dan terfokus kepada cagar budaya yang berada di Desa Ke'te Kesu maka ketika kami berkunjung ke Buntu Pune ini suasananya terasa sepi, hanya kamilah satu-satunya wisatawan yang ada, selebihnya hanya ada warga dan pemilik rumah adat tongkonan saja



Padahal jika kalian berkunjung ke Buntu Pune ini bisa dipastikan kalian tidak akan menyesalinya, selain karena tidak ada biaya retribusi alias gratis, suasana dan view rumah adat tongkonan yang ada disini juga lebih alami dan asli, tidak hanya melihat rumah adat tongkonan saja, disini kami juga melihat lokasi kubur batu khas warga Toraja yang letaknya berada di tebing-tebing batu, selain itu disekitar area ini juga terdapat jalan setapak yang menuju ke atas bukit dimana diatasnya terdapat Benteng peninggalan Pongtiku, Beliau salah seorang tokoh pahlawan asal Toraja saat masa penjajahan melawan Belanda

Di Buntu Pune ini kami juga sempat bertanya kepada salah seorang warga dan sang pemilik rumah adat tongkonan mengenai keunikan budaya masyarakat Tana Toraja, oleh mereka kami kemudian dijelaskan mengenai filosofi rumah adat tongkonan, menurut mereka di Tana Toraja ini memang banyak rumah-rumah yang "bergaya atau memiliki bentuk" seperti tongkonan, padahal tidak semua rumah-rumah tersebut bisa disebut sebagai tongkonan


Tongkonan sendiri berasal dari kata "tongkon" atau duduk, sehingga suatu rumah adat hanya dapat disebut sebagai rumah tongkonan jika rumah tersebut mempunyai fungsi sosial di lingkungannya, misalnya rumah tersebut pernah digunakan sebagai rumah pertemuan atau musyawarah dimana banyak orang dapat duduk bersama membicarakan kepentingan sosialnya, jika rumah tersebut "hanya" bergaya atau mempunyai bentuk seperti rumah tongkonan namun tidak mempunyai fungsi sosial dilingkungannya melainkan hanya dibuat sebagai fungsi komersiil biasa maka rumah tersebut belum dapat disebut sebagai rumah adat tongkonan

Selain itu rumah adat tongkonan memiliki bentuk atap yang khas yang ternyata memiliki filosofi tersendiri, karena berdasarkan sejarah diperkirakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja berasal dari para pendatang asal Cina dan Gujarat maka bentuk dari atap-atap rumah dibuat menyerupai perahu untuk mengingatkan mereka akan cara kedatangan para nenek moyang dan leluhur mereka jaman dahulu


Syarat untuk mendirikan sebuah rumah adat tongkonan pun ada 3, selain fungsi sosial tadi, syarat lainnya adalah keberadaan rumah tongkonan harus berdekatan, berkaitan atau berhubungan dengan sawah, biasanya pemilik rumah adat tongkonan pasti memiliki lahan persawahan, syarat kedua adalah memiliki komplek kuburan yang berada ditebing-tebing, karena bagi masyarakat Toraja mereka berpendapat bahwa tanah lebih baik difungsikan untuk hal-hal yang produktif dan dapat digunakan untuk generasi berikutnya, berdasarkan alasan itulah maka akhirnya masyarakat Toraja memilih untuk meletakkan jasad para leluhurnya yang sudah meninggal diatas tebing, syarat terakhir adalah adanya rante atau pelataran duka yang digunakan untuk mengadakan hajatan besar seperti penyembelihan hewan saat berlangsung prosesi rambu solo’ atau prosesi pemakaman





Posisi dari rumah adat tongkonan sendiri selalu menghadap ke Utara-Selatan karena menurut kepercayaan masyarakat Toraja perlintasan matahari dari Timur ke Barat merupakan penunjuk arah yang tidak boleh “ditantang”, hal inilah yang menyebabkan pada akhirnya posisi rumah menghadap Utara-Selatan. Posisi Timur sendiri merupakan perlambang dari matahari yang dianggap sebagai penanda sesuatu yang awal seperti pagi atau kelahiran, sedangkan posisi Barat berarti bulan dan bintang yang melambangkan sebuah akhir seperti malam atau kematian



selain itu jika kita melihat hiasan berupa susunan tanduk-tanduk kerbau yang diletakkan secara vertikal di bagian depan sebuah rumah adat tongkonan maka hal itu melambangkan kegigihan sebuah keluarga dalam berhemat, menabung kerbau, bersatu padu sampai menunggu tibanya hari perhelatan upacara Rambu Solo’, selain itu hal ini juga menandakan jika rumah tersebut sudah melalui proses syukuran atau peresmian, jumlah tanduk kerbau yang diletakkan bersusun secara vertikal juga melambangkan status sosial dari sang pemilik rumah, semakin banyak jumlah susunan tanduk yang terpasang berarti semakin tinggi pula status sosial sang pemilik rumah, begitupun halnya dengan setiap ukiran yang ada pada dinding rumah adat tongkonan, masing-masing ukiran tersebut juga mempunyai arti filosofi sendiri seperti ukiran spiral yang melambangkan tumbuhan, ayam yang melambangkan keadilan, dan masih banyak lagi motif ukiran lainnya






Selain rumah adat tongkonan, ada sebuah bangunan lagi yang berbentuk seperti tongkonan namun berukuran lebih kecil, bangunan tersebut disebut juga alang atau lumbung padi yang digunakan untuk menyimpan padi hasil panen, dan setiap generasi pasti memiliki lumbungnya sendiri, padi-padi yang disimpan dalam lumbung tersebut selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga pemilik rumah juga dapat digunakan oleh masyarakat Toraja lainnya yang berada dalam lingkungan sosial tersebut yang kebetulan sedang mengalami gagal panen atau kekurangan beras

Toraja memang terkenal karena tradisi pemakamannya, bagi masyarakat Toraja sendiri kematian bukanlah sebuah akhir melainkan suatu awal yang baru bagi jasad yang meninggal, oleh karena itu ketika seseorang meninggal maka keluarga yang ditinggalkan akan memberi penghormatan terakhir dengan mengadakan prosesi pemakaman yang meriah (dan menelan biaya yang sangat besar) sebagai pertanda bahwa jasad tersebut sudah membawa bekal yang lengkap untuk menempuh "perjalanan hidup" berikutnya, selama prosesi tersebut belum dilaksanakan maka jenazah akan dianggap dan diperlakukan layaknya orang yang masih hidup namun sedang sakit

Sebelum menggelar perhelatan Upacara Rambu Solo’ biasanya pihak keluarga sudah memiliki “tabungan” berupa beberapa ekor kerbau, mereka akan berusaha menyediakan kerbau terbaik yang mereka miliki sebagai bentuk penghormatan sekaligus untuk menunjukkan status sosial keluarga almarhum. Kerbau-kerbau itu sendiri berharga cukup mahal (sekitar 250 juta/ekor) terutama yang disebut Tedong yaitu sejenis kerbau belang yang berwarna merah muda

Selanjutnya memasuki tahap Mantunu atau hari pengorbanan kerbau yang merupakan rangkaian dari upacara pemakaman Rambu Solo’, acara ini merupakan semacam persiapan sebelum mengantar jenazah ke Benuang Tang Merambu atau rumah tanpa asap alias makam. Sepanjang Upacara ini para tamu akan ditempatkan pada Lantang atau salah satu pondok non permanen dimana para kerabat akan duduk selama perhelatan upacara Rambu Solo’, kemudian saat keranda mulai ditandu menuju makam di Tebing Batu maka seluruh pengantar wajib bersukacita sebagai bentuk memuliakan yang wafat dengan rasa syukur bahagia karena meyakini bahwa kini perjalanan hidup sang jenazah sudah sempurna

Setelah semua prosesi pemakaman dilakukan maka jasad akan diletakkan didalam peti-peti kayu yang disebut erong yang kemudian akan diletakkan didalam goa atau liang-liang tebing, nantinya setelah menjadi tulang belulang maka erong atau peti-peti kayu tersebut akan dipindahkan menggantung di dinding tebing. Selain didalam erong biasanya ada juga jasad yang diletakkan didalam rumah-rumah makam yang disebut Patane, didepan patane dan di atas tebing-tebing tersebut juga akan diletakkan Tau-tau yaitu boneka personifikasi si jenazah atau replika yang dibuat menyerupai sosok orang yang sudah meninggal, Tau-tau tersebut nantinya juga akan dipakaikan baju seperti yang biasa dikenakan sang almarhum semasa hidup, beberapa perhiasan dan benda-benda yang dianggap memiliki ikatan emosional dengan orang yang sudah meninggal tersebut biasanya juga turut dimasukkan kedalam peti jenazah atau diletakkan di dalam liang-liang tebing, untuk mencegah pencurian artefak-artefak dan tau-tau tersebut maka kini tau-tau tersebut diletakkan dalam sebuah liang tebing yang terkunci







Setelah mendengar penjelasan dari sang pemilik rumah adat tongkonan di Buntu Pune tersebut kini setidaknya kami mulai mendapat gambaran seperti apa kebudayaan masyarakat Toraja. Keramahan warga disini sangat terasa dan seakan menganggap kami sudah seperti saudara yang datang dari jauh, kami bahkan juga disuguhi teh hangat dan kopi khas toraja yaitu kopi torabika (Toraja Arabica) selama perbincangan tadi


Dari Buntu Pune kami kemudian melanjutkan perjalanan sejauh kira-kira 2km kali ini menuju ke Desa Ke'te Kesu. Ditempat ini suasananya kurang lebih hampir sama dengan yang ada di Buntu Pune, perbedaannya hanyalah di Ke'te kesu terdapat lebih banyak jumlah rumah adat tongkonannya, selain itu disini juga lebih terkelola sebagai tempat wisata cagar budaya, ditandai dengan adanya tiket masuk sebesar 10ribu rupiah per orang, selain itu juga ada museum, penjualan souvenir khas Toraja, jumlah dan bentuk patane yang lebih bervariasi serta kuburan yang lebih besar, dalam 1 buah patane atau erong sanggup menyimpan hingga lebih dari 5 generasi, sehingga usia dari peti kayu tersebut hingga kini diperkirakan telah berusia sekitar 200tahun








Sebenarnya masih banyak lokasi wisata cagar budaya lainnya yang ada di Tana Toraja seperti di Londa dan Kambira (tempat dimana terdapat pohon tarra yang digunakan untuk meletakkan mayat bayi), pohon tarra yang terdapat di Kambira ini diperkirakan telah berusia sekitar 300tahun, disini bayi-bayi yang meninggal akan diletakkan didalam lubang-lubang yang dibuat dipohon tersebut dan kemudian ditutup dengan pelepah, posisi dari jasad bayi yang meninggal tersebut pun tidak boleh diletakkan menghadap ke rumah keluarga yang ditinggalkan

Jika waktu wisata kalian di Tana Toraja ini cukup panjang kalian sebaiknya tidak melewatkan untuk berkunjung ke dataran tinggi Batutumonga yang memiliki arti batu yang mendongak menghadap matahari, dari atas ketinggian dataran ini kalian bisa melihat panorama Toraja yang sangat indah dikelilingi oleh perbukitan disekitarnya

Sayangnya karena di Toraja ini selalu turun hujan saat mendekati sore hari maka kami pun terpaksa menyudahi petualangan disini, tetapi setidaknya dari perjalanan ini kami telah mendapat banyak pengetahuan baru mengenai keberagaman budaya dari suku-suku yang ada di bumi nusantara ini, menyaksikan secara langsung bagaimana sebuah budaya tradisional dapat bertahan dari gempuran modernisasi



Dari sekian banyak suku yang ada di Indonesia sendiri setidaknya kini hanya tinggal 4 daerah yang masih tersisa dengan ciri khas rumah adatnya, daerah-daerah tersebut antara lain di Padang dengan rumah gadangnya, Papua dengan rumah honainya, Flores tepatnya di Desa Wae Rebo dengan Mbaru Niangnya, dan yang terakhir adalah Tana Toraja dengan rumah tongkonannya, dan kami masih bersyukur karena setidaknya kami masih bisa berkunjung dan melihat secara langsung salah satu dari rumah adat yang masih difungsikan tersebut, tidak hanya melihat saja namun kami juga mendapat banyak pengetahuan dan pengalaman baru

Jika kalian bingung memilih destinasi wisata untuk berlibur maka jangan lupa masukkan Tana Toraja ke dalam list tujuan kalian, karena hanya disinilah kalian akan mendapati perspektif baru tentang kematian, terdengar menyeramkan? Tidak juga, karena saat kalian melihatnya secara langsung maka bukan rasa takut yang akan kalian rasakan melainkan justru rasa takjub dengan prosesi perayaan dan pemaknaan sebuah kematian dalam lingkungan masyarakat Toraja, inilah Indonesia dengan beragam kekayaan budayanya jadi mulailah mengenal Negerimu dan banggalah menjadi orang Indonesia :)

Info tambahan seputar Tana Toraja :

- Untuk menuju ke Tana Toraja dari Kota Makassar kalian bisa menaiki bus tujuan Rantepao seperti Bus Litha dan Bus Bintang Timur
dengan tarif sebesar 80 ribu sampai 100 ribu per orang
- Waktu terbaik untuk berwisata ke Tana Toraja adalah sekitar Bulan April – Oktober karena banyak diselenggarakan berbagai acara
dan perayaan, mulai dari pemakaman Rambu Solo’ hingga perayaan potong padi
- Lokasi-lokasi wisata populer lainnya di Tana Toraja yang dapat kalian kunjungi antara lain adalah Londa, Lemo, dan Desa Kesu’
untuk melihat kubur batu, serta juga ada obyek wisata Batu-batu menhir raksasa di kompleks Megalith Kalimbuang Bori’, Kecamatan
Sesean
- Untuk wisatawan muslim yang suka berwisata kuliner tradisional maka perlu berhati-hati dan bertanya dulu sebelum kalian memesan
makanan di rumah makan yang ada, karena di Tana Toraja mayoritas masyarakatnya beragama Nasrani sehingga kebanyakan rumah makan
yang ada disini menyediakan makanan tradisional seperti Pa’piong yaitu sejenis masakan berbahan dasar daging ayam atau babi
yang
dibumbui rempah dan cacahan batang pisang muda yang dimatangkan dalam bambu

No comments:

Post a Comment