Tuesday 24 October 2017

CHAPTER 17; GWK-TANJUNG BENOA

Sabtu, 9 Januari 2016
Setelah pada hari sebelumnya kami bersepeda keliling kota secara singkat sambil memetakan pola orientasi kota dan lokasi-lokasi obyek wisatanya maka dihari kedua di Denpasar ini kami memutuskan untuk sejenak off from the bicycle dan memilih untuk berwisata dengan menggunakan moda transportasi umum yang ada di Bali (sesekali menikmati menjadi turis hehe…).

Sebelumnya kami telah diberitahu oleh Bli Krisna bahwa di Bali (Denpasar) ada bus seperti trans jakarta atau trans jogja, masyarakat sekitar biasa menyebutnya bus sarbagita, bus dengan warna biru ini memiliki beberapa shelter pemberhentian, mirip sekali dengan trans jogja, bahkan ukuran busnya juga sama, sayangnya jumlah armadanya masih sangat sedikit (mungkin juga karena mayoritas warga Bali lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi seperti motor atau mobil). Sehingga walaupun hari ini adalah hari sabtu atau weekend namun jumlah penumpang yang menggunakan bus sarbagita tetap saja sangat sedikit, alasan lain mengapa masyarakat Bali enggan menggunakan bus sarbagita ini menurut kami adalah karena sistem pembayarannya yang tidak efektif, sistem pembayaran bus sarbagita ini masih belum menggunakan kartu yang terintegrasi untuk semua trayeknya sehingga setiap kali kita berganti shelter atau ketika turun dari bus dan menunggu di shelternya untuk berganti bus sarbagita trayek lainnya maka kita harus membayar lagi, sistem yang sedikit-sedikit harus bayar lagi ini lah yang membuat pengeluaran biaya transport menjadi lebih mahal, seandainya saja sistemnya dibuat seperti trans jogja yang menggunakan kartu terintegrasi dan kita hanya membayar sekali saja termasuk untuk berpindah trayek bus asalkan kita tidak keluar dari shelternya (keluar dari shelter pun terkadang tidak apa-apa, misalnya untuk ke toilet atau beli minum lalu kemudian kembali lagi ke shelter, itupun petugas jaganya masih memaklumi dan mengizinkan) mungkin masyarakat Bali akan beralih menggunakan bus sarbagita ini daripada harus terjebak kemacetan dengan kendaraan pribadinya masing-masing


Kali ini bus sarbagita yang kami naiki mengarah langsung ke GWK (Garuda Wisnu Kencana) yaitu sebuah monumen berbentuk patung berukuran raksasa yang menggambarkan sosok Dewa Wisnu sedang menunggangi burung Garuda, jika pembuatannya sudah selesai maka ukuran patung ini digadang-gadang akan mengalahkan patung liberty di Amerika, namun hingga saat ini pembuatannya belum rampung juga. Selain melihat patung Garuda Wisnu Kencana tersebut para pengunjung juga dapat menyaksikan pertunjukan tari tradisional Bali yang digelar di panggung yang ada disekitar lokasi patung



Satu hal yang membuat kami mengurungkan niat untuk masuk melihat patung GWK berukuran raksasa serta menyaksikan pementasan tari tradisional tersebut adalah selain patungnya juga belum jadi, juga dikarenakan faktor harga tiket masuknya, maklumlah bagi kami berdua harga tiket masuknya lumayan mahal sedangkan perjalanan kami juga masih panjang, masih banyak tempat-tempat yang kami tuju dan tentunya memerlukan biaya yang tidak sedikit, oleh karena itulah kami menggunakan skala prioritas dalam mengatur dan mengalokasikan budget anggaran perjalanan ini, rasanya sayang untuk mengeluarkan biaya yang tergolong besar hanya untuk melihat sesuatu yang merupakan buatan manusia sedangkan masih banyak obyek wisata lainnya yang bisa kami kunjungi dengan biaya yang jauh lebih murah, beberapa bahkan gratis


Harga tiket masuk GWK per Januari 2016

Lokal dewasa : Rp 60.000,-
Lokal anak-anak : Rp 50.000,-

Asing dewasa/anak : Rp 100.000,-



Dan jika kalian ingin menggunakan latar patung GWK atau menyewa lokasi tersebut untuk pemotretan profesional maka kalian akan dikenakan biaya tambahan lagi, tetapi walaupun kami tidak jadi masuk dan melihat patung GWK tersebut secara langsung, kami tetap dapat berfoto dengan miniatur patung tersebut yang berada tidak jauh dari gerbang masuk (tak ada rotan akar pun jadi :))



Selepas dari GWK kami pun berjalan menuju tempat pemberhentian angkutan feeder sarbagita (sejenis mobil Elf berwarna silver) yang mempunyai 2 trayek, yaitu menuju Tanjung Benoa, dan trayek satu lagi menuju Uluwatu, kami pun memilih untuk pergi ke Tanjung Benoa saja yang akhir-akhir ini sempat menjadi heboh dengan proyek reklamasi pantainya yang kontroversial karena mendapat tentangan dari para aktivis lingkungan. Dengan harga tiket angkot sebesar 3ribu rupiah per orang dan hanya kami berdua saja yang menjadi penumpangnya maka perjalanan kali ini serasa sedang naik angkutan travel pribadi hehe... kontur jalan yang naik turun dan seperti biasa dengan cuaca Bali yang sangat panas membuat kami bersyukur bahwa hari ini kami mengambil keputusan untuk berkeliling dengan menggunakan moda transportasi umum dan bukannya bersepeda


Sesampainya di Tanjung Benoa kami kemudian diturunkan dekat dengan Pantai Pandawa, pantai ini penuh dengan perahu-perahu milik warga lokal yang disewakan untuk berkeliling, beberapa dari mereka juga menawarkan kepada kami untuk ke pulau penyu dengan tarif 150ribu rupiah, dan tak hanya itu saja, disini kalian juga bisa menyewa motor boat atau sekedar berekreasi sambil naik banana boat, bagi yang ingin berlibur ke Tanjung Benoa dengan budget yang memadai jangan kuatir ada banyak penginapan disini (tetapi kebanyakan adalah Hotel bintang 3 keatas hehe...) sedangkan alfamart dan indomart juga cukup banyak disini





Akhirnya kami pun hanya berjalan kaki menyusuri bibir pantai Tanjung Benoa, kami tidak menyewa perahu untuk berkeliling ataupun pergi ke pulau penyu, selain karena faktor budget tadi juga karena kami kuatir jika kesorean dan angkot feeder sudah tidak ada lagi, karena jika angkot feeder sudah tidak ada maka opsi satu-satunya untuk kembali ke Denpasar hanyalah dengan menggunakan taksi yang biayanya sudah pasti mahal, oleh karena itu begitu jam sudah menunjukkan pukul 3 sore kami pun bergegas untuk segera mencari dan menunggu angkutan feeder sarbagita tersebut, dan ternyata saat pulang kami pun kembali naik angkot feeder dengan supir yang sama seperti saat berangkat (supir angkotnya mikir kali ya ni orang-orang cepet amat maen di pantainya)

Dengan rute yang sama seperti saat kami berangkat, kini kami pun kembali berganti angkutan setibanya di GWK, dan mulai menunggu bus sarbagita untuk nantinya kami akan turun di alun-alun nol km lagi, setidaknya kini kami jadi merasakan dan tahu mengapa sangat sedikit warga Bali yang menggunakan moda transportasi umum dan lebih memilih untuk menggunakan kendaraan pribadinya masing-masing, problem yang sama juga terjadi hampir diseluruh kota-kota besar lainnya di Indonesia, selain karena masih minimnya jumlah armada transportasi umum, daya jangkaunya yang belum merata, juga karena jam operasionalnya yang terbatas, sehingga ketidakpuasan masyarakat pengguna moda tranportasi umum itulah yang pada akhirnya dimanfaatkan oleh beberapa pihak dengan menyediakan fasilitas kredit dan rental kendaraan dengan harga yang murah sehingga “dagangan” mereka laris manis, sedangkan dari sisi konsumen pada akhirnya mereka hanya menikmati kenyamanan semu dikarenakan mereka sendiri justru terjebak dengan tagihan bunga kredit, biaya operasional perawatan kendaraan dan kemacetan lalu lintas yang ditimbulkan dari lingkaran roda permasalahan sistem transportasi seperti ini, entahlah apakah mereka menyadarinya atau tidak tetapi hal-hal seperti itu kini perlahan mulai merubah wajah Bali terutama bagian kotanya menjadi kota dengan lalu lintas yang semrawut dan semakin macet dari tahun ke tahun.

Pengeluaran hari ini :

- 2 botol air 1,5L = Rp 7.000,-
- 5 botol teh javana = Rp 15.000,-
- belanja swalayan tiara = Rp 31.500,-
- transport bus sarbagita kota-GWK = Rp 14.000,-
- 2 porsi nasi campur + es batu = Rp 13.000,-
- transport feeder GWK-Tanjung Benoa pp = Rp 12.000,-
- transport bus sarbagita GWK-Kota = Rp 7.000,-
- 2 porsi nasi+tempe orek+kentang = Rp 14.000,-

Total = Rp 113.500,-

No comments:

Post a Comment