Wednesday 20 June 2018

CHAPTER 41; PAK DALEH

Setelah sebelumnya kami menetap cukup lama dan menikmati pola aktivitas sehari-hari masyarakat di Kota Makassar, tepatnya di wilayah Panaikang, maka hari ini sudah waktunya bagi kami untuk kembali melanjutkan perjalanan menuju ke arah Utara Pulau Sulawesi

Setidaknya selama kami berada di Kota Makassar ini banyak pengalaman baru yang kami dapatkan, disini kami belajar untuk beradaptasi dengan budaya baru yang berbeda dengan tempat asal kami, mencicipi aneka jajanan khas dan wisata kulinernya, melihat dan mencoba meresapi nilai-nilai sejarah perjuangan bangsa melalui obyek cagar budaya yang banyak tersebar disekitar wilayah ini, semua itu pada akhirnya membuka wawasan dan cara pandang kami terhadap bangsa ini, tentang bagaimana besarnya Indonesia baik itu dari segi luas wilayah maupun dari segi keanekaragaman budaya, sumberdaya alam, agama, dan lainnya. Setiap wilayahnya jelas memiliki perbedaan dan terpisah secara geografis namun entah bagaimana sejak dahulu hingga sampai saat ini kita semua masih saling menyatu, secara sadar dan sukarela kita saling mengikatkan diri satu sama lainnya dibawah satu nama yaitu Indonesia

Mungkin Indonesia bukanlah sebuah bangsa yang sempurna diantara sekian banyak bangsa dan Negara-negara lainnya di dunia, namun yang pasti Indonesia itu luar biasa, “maybe Indonesia is not perfect but Indonesia is awesome”, karena dari sekian banyak perbedaan tersebut kita sepakat untuk berikrar dalam persatuan dan menjadikan perbedaan itu untuk saling menguatkan satu sama lainnya, percaya atau tidak tetapi itulah faktanya, oleh karena itulah banyak pihak-pihak lain baik dari dalam maupun luar yang berusaha untuk mencerai-beraikan persatuan kita melalui politik adu domba yang ujung-ujungnya semua itu semata-mata untuk kekuasaan, karena pihak-pihak tersebut secara sadar mengakui dan takut jika bangsa kita menjadi bangsa yang mandiri, maka dari itu sebagai generasi penerus dan putra-putri terbaik bangsa ini kita harus menjadi individu yang cerdas supaya tidak mudah terhasut dengan politik adu domba melalui isu atau sentimen-sentimen suku, agama, dan ras. Belajarlah dari sejarah perjuangan bangsa ini, ambil semangat kebangsaannya dan jangan pernah mengulangi kesalahannya

Setelah proses packing selesai, kami pun mengembalikan kunci kamar kepada pemilik kost serta berpamitan. Jalur dan kondisi aspal disekitar wilayah Panaikang ini sepertinya termasuk yang berkualitas bagus karena walaupun kami hanya mengayuh pelan tetapi putaran roda yang melintas dijalan raya ini terasa sangat enteng sekali, alhasil tanpa terasa kami pun sudah melewati wilayah Sudiang dan Maros

Selepas wilayah Maros cuaca mendung yang menggelayut akhirnya berubah menjadi hujan, kami pun menepi dan berteduh di salah satu bangunan kios yang terbengkalai, namun melihat kondisi awan yang sepertinya termasuk kategori hujan awet dan merata ini kami pun memutuskan untuk kembali melanjutkan perjalanan ketika hujan mulai mereda menjadi hanya tinggal gerimis kecil

Pemandangan di sepanjang rute selepas wilayah Maros ini sekilas mirip dengan rute Pantura jaman dahulu, medan aspal sesekali berganti dengan lintasan beton cor, pemandangan di sepanjang sisi jalan kebanyakan hanya berupa perkebunan, tanah kosong, dan rumah-rumah panggung milik warga, dengan jalur yang didominasi hanya lurus lempeng dan datar ini tak urung membuat kami berdua menjadi agak bosan dan mengantuk terlebih karena pemandangan di sepanjang sisi jalannya juga kurang menarik

Perlahan kami pun mulai memasuki gapura perbatasan wilayah Pangkep alias Pangkajene Kepulauan, kenapa dinamakan kepulauan? Karena disekitar wilayah Pangkajene ini terdapat beberapa pulau-pulau kecil di bagian pesisir pantainya, kami pun sempat melihat adanya dermaga-dermaga kecil milik warga sekitar yang menawarkan wisata perairan menggunakan perahu nelayan untuk berkeliling melintasi pulau-pulau kecil tersebut


Menjelang Adzan Dzuhur kami pun berhenti sejenak di sebuah Masjid yang berada di pinggir jalan, selain untuk beristirahat dan beribadah kami juga memanfaatkan waktu untuk mengisi perut sebelum kembali melanjutkan perjalanan, cuaca yang sedang “galau” alias gerimis-reda-gerimis-reda membuat kami berkali-kali memakai dan melepas jas hujan, tak jauh dari lokasi Masjid ini sebenarnya ada sebuah wahana rekreasi keluarga atau Theme Park namun saya lupa apa namanya, yang pasti di wahana ini saya melihat adanya jalur roller coaster dan bianglala, tapi kok sepi ya pengunjungnya, apa mungkin bukanya hanya pada malam hari saja


Sekitar pukul 1 siang kami kembali melanjutkan perjalanan kembali menyusuri jalur utama yang lurus-lurus saja, mungkin karena sebelumnya kami telah berkali-kali diguyur hujan dan kondisi cuaca yang tidak jelas “hujan-berhenti-hujan-berhenti” maka pada etape kali ini irama kayuhan sepeda kami berdua mulai menurun

Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan sekitar pukul tiga sore, Adzan Ashar pun mulai berkumandang melalui pengeras suara yang ada di surau-surau sekitar, saya pun mengecek jarak yang tersisa untuk menuju ke Kota Pare-pare, hmmm…jaraknya masih sekitar 80km lagi, sepertinya agak susah untuk dipaksakan selesai dalam satu hari ini karena Agit tampaknya sudah kelelahan (bagi saya pribadi sebenarnya jarak 80km ini masih bisa dipaksakan selesai dalam satu hari ini, namun karena perjalanan ini adalah perjalanan kami berdua maka saya pun enggan untuk memaksakannya daripada malah ngadat nantinya, bisa repot cuy)

Ketika sedang beristirahat inilah tiba-tiba kami didatangi oleh seorang bapak pengendara motor yang bertanya darimana dan hendak kemana tujuan kami, ketika kami menjawab hendak ke Pare-pare namun untuk hari ini sepertinya kami akan mencari tempat beristirahat seperti kantor polisi atau masjid atau pekarangan rumah warga ia pun menawarkan kepada kami untuk beristirahat dirumahnya yang kebetulan hanya berjarak sekitar 2km dari tempat kami beristirahat saat ini, dan untuk sesaat situasi canggung pun terjadi mengingat sebelumnya kami pernah punya pengalaman buruk di Pulau Lombok ketika ada seorang warga yang menawarkan tempatnya untuk beristirahat dengan harga sewa yang kebangetan, “ayo kalau mau ke tempat saya saja, rumah saya dekat kok hanya sekitar 2km dari sini, nanti ikuti motor saya saja”, kata sang Bapak pengendara motor yang belakangan kami ketahui bernama Pak Daleh ini, “eehhh ini beneran ga apa-apa pak kalau kami menumpang nginap sehari saja?”, tanya saya, “tidak apa-apa kok, mau menumpang sehari atau dua hari juga boleh”, jawab Pak Daleh, “oya Pak sebelumnya mohon maaf kalau kami kurang sopan tapi kami mau nanya ini nginepnya gratis atau kami harus bayar ya? Biar sama-sama enak saja”, tanya saya, “nginep mah gratis kok, saya ada rumah juga biasanya dipakai untuk nginep para pekerja ladang kalau pas lagi musim panen, nah karena bulan ini belum musim panen jadi sekarang tempatnya kosong, cuma ada saya berdua dengan ibu saya saja”, jawabnya

Akhirnya kami berdua pun sepakat untuk menumpang menginap hari ini di kediaman Pak Daleh, beliau pun memandu kami dengan sepeda motornya sampai tiba dirumahnya, lingkungan di sekitar kediaman Pak Daleh mayoritas warganya adalah petani, tidak jauh dari rumahnya juga terdapat lahan pertanian milik warga yang terhampar luas, rumah-rumah milik warga yang ada disekitar wilayah ini kebanyakan berupa rumah panggung dengan dinding berbahan seng, pada bagian bawah bangunan biasanya digunakan untuk garasi motor merangkap gudang peralatan pertanian, sedangkan untuk kamar mandi berada tepat di bagian depan pekarangannya


Kami pun menaruh semua barang bawaan kami di ruang tamu dekat dengan ruang televisi, sedangkan untuk sepeda-sepeda cukup ditaruh di garasi bilik bambu diruang bawah, “disini kita tidak ada yang masak karena orangnya hanya sedikit, jadi kebanyakan untuk makanan kita beli diluar, tapi kalau kalian mau memasak disitu ada dapur dan kompor juga bisa dipakai”, kata Pak Daleh

Setelah mandi dan bersih-bersih kami pun minta izin untuk ke depan sebentar mencari makan malam, satu-satunya warung makanan terdapat persis di seberang ruas jalan utama, sehingga kami harus berjalan kaki keluar dari wilayah perkampungan warga dulu, sambil menyantap makanan dengan menu seadanya yang disesuaikan dengan budget kami berdua, saya pun mendiskusikan rencana esok hari menuju Pare-pare

Seusai makan dan kembali ke kediaman Pak Daleh, saya pun berbincang-bincang dengan Pak Daleh yang “sepertinya sudah kecanduan merokok karena tidak berhenti-henti alias menyambung terus begitu rokok pertama habis langsung nyambung ke rokok berikutnya”, bagi saya yang notabene anti dengan asap dan aroma rokok ini tak urung perbincangan kali ini terasa cukup menyiksa mata dan pernapasan

“Dulu rumah ini belum besar seperti sekarang, saya kerja serabutan sampai keluar pulau dan nabung pelan-pelan kemudian pulang kampung untuk mengelola sawah, dan setelah rumah ini mulai jadi saya pun berpikir untuk apa rumah besar-besar kalau penghuninya hanya sedikit dan akhirnya rumah jadi terasa kosong, makanya sekarang setiap musim panen banyak pekerja-pekerja ladang dari luar wilayah ini yang menumpang nginap dirumah saya, toh mereka juga hanya pekerja musiman saja di sawah ini, daripada rumah besar tapi tidak bermanfaat lebih baik saya buka rumah ini bagi siapapun yang sedang membutuhkan, saya mungkin bukan orang pintar atau orang kaya tapi setidaknya saya bisa membantu dengan apa yang saya punya disisa umur saya”, ujar Pak Daleh ketika menuturkan awal mula ia membuka kediamannya bagi siapapun yang membutuhkan

Bahkan ketika kami berdua tadi sedang mencari warung makanan pun Pak Daleh bercerita jika tetangga-tetangganya banyak yang menanyakan mengenai siapa kami karena mereka melihat kedatangan kami berdua yang memakai sepeda kayuh dan membawa begitu banyak barang bawaan, kebanyakan dari mereka merasa was-was dan curiga untuk membuka rumahnya bagi orang asing yang tidak mereka kenal sebelumnya, sebenarnya saya pun memaklumi dan merasa pemikiran tersebut cukup wajar apalagi mengingat sebelumnya cukup banyak isu teroris yang berkembang di sekitar wilayah Sulawesi khususnya di daerah Poso, namun Pak Daleh menjelaskan kepada mereka semua jika kami berdua berasal dari Yogyakarta dan mengendarai sepeda kayuh selama beberapa bulan menuju beberapa pelosok nusantara untuk menulis pengalaman perjalanan, bagi beberapa orang pada umumnya ide perjalanan keliling nusantara saja sudah terasa aneh, apalagi jika berkelilingnya menggunakan sepeda kayuh, mungkin mereka menyangka jika kami berdua sudah gila hehe…namun biarlah toh semua penemuan-penemuan dan ide-ide hebat mayoritas berawal dari pemikiran orang-orang yang dianggap gila oleh orang-orang disekitarnya

Menjelang malam sambil menonton siaran televisi (yang menurut kami kualitas acara yang ditayangkannya semakin hari semakin menurun kualitasnya) saya pun mulai berpikir bahwa ternyata nilai-nilai kemanusiaan justru banyak saya dapatkan dari orang-orang yang secara tampilan fisik atau materi malah berasal dari mereka-mereka yang hidup jauh dari peradaban kota besar, dari mereka yang secara profesi bukanlah berasal dari profesi yang penuh prestise dan gemerlap, bukan dari mereka yang menempuh jenjang akademis dan meraih gelar berderet, melainkan justru dari mereka yang telah memiliki dan memahami arti hidupnya, dari mereka yang mengerti bahwa tidak perlu menjadi sebuah pohon besar yang menjulang sampai kelangit namun tidak bermanfaat bagi sekitarnya, melainkan cukup menjadi pohon yang walau tidak terlalu tinggi namun daunnya bisa meneduhi siapapun yang berada dibawahnya, batangnya bisa memberi oksigen dan kesejukan bagi siapapun yang bersender didekatnya, bagi mereka yang memiliki pemahaman bahwa selama hidupnya sebisa mungkin mereka menjadi layaknya mata air yang memberi penghidupan bagi sekitarnya bahkan walau nantinya mereka sudah tidak ada lagi, bukan malah menghasilkan air mata dari orang-orang yang dicurangi atau direnggut paksa apa yang telah menjadi haknya

Pendidikan bukannya tidak penting, namun jika sistem pendidikan yang dibangun hanya untuk mencetak manusia-manusia pintar yang nantinya minterin/menipu yang lain lalu apa gunanya, hanya untuk mencetak sarjana-sarjana hukum yang nantinya malah menggunakan kelemahan dari sistem hukum untuk menekan yang lemah, mencetak sarjana kedokteran untuk menciptakan virus baru kemudian membuat vaksinnya untuk dijual dengan harga tinggi, mencetak sarjana ekonomi yang menghalalkan dan meminimalkan modal sekecil-kecilnya untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya, jika sudah seperti itu lalu apa makna dari deretan gelar akademis yang dicapai? mungkin benar seperti apa yang sedari dulu diucapkan bahkan ditulis pada penggalan lirik lagu kebangsaan kita bahwa untuk menciptakan dan menjadi sebuah bangsa yang besar maka sebaiknya kita harus membangun jiwanya terlebih dahulu sebelum membangun badannya, membenahi mentalitas manusianya terlebih dahulu sebelum berlomba meninggikan dan memoles tampilan luarnya, ahhh… di malam yang semakin larut ini justru pendidikan yang berharga kembali saya dapatkan di tempat ini, dari seorang Petani yang bernama Pak Daleh, semoga sehat selalu ya Pak (kalau bisa kurangin merokoknya) dan bisa terus menyebarkan kebaikan-kebaikan lainnya


Menjelang pagi rutinitas perjalanan yang biasa kami jalani mulai kembali kami lakukan, dari mulai mandi hingga proses packing serta berpamitan kepada Pak Daleh, hari ini kami hanya tinggal menghabiskan sisa jarak tempuh 80km menuju ke Kota Pare-pare, pemandangan dan kondisi rute pun tidak jauh berbeda dengan hari sebelumnya, hal ini membuat hari ini kami jarang berhenti untuk berfoto, menurut rencana setibanya kami di Kota Pare-pare nanti akan ada beberapa teman pesepeda kenalan dari Mbak Darna yang akan menjemput dan menyediakan rumah singgah sementara yang bisa kami gunakan selama kami berada di Kota Pare-pare, dan akhirnya menjelang sore hari pun sampailah kami di gerbang perbatasan masuk menuju wilayah Kota Pare-pare, sebuah kota yang menjadi tempat kelahiran Presiden Republik Indonesia ke-3 yaitu Bapak Habibie, ada keunikan apa sajakah di Kota Pare-pare ini? tetap ikuti petualangan goweswisata kami berdua pada chapter berikutnya ya


No comments:

Post a Comment