Tuesday 24 April 2018

CHAPTER 35; CITY OF MAKASSAR

Kamis, 18 Februari 2016,
Setelah selama 19 jam kami berada di kapal PELNI KM.Leuser yang menempuh perjalanan dari Pelabuhan Bima menuju ke Pelabuhan Makassar, Sulawesi Selatan, akhirnya sekitar jam 9 pagi kapal pun mulai merapat ke Dermaga Pelabuhan Makassar.

Beberapa penumpang tampak mulai bersiap untuk turun setelah kapten kapal memberitahukan jika kapal telah bersandar di Dermaga Pelabuhan Makassar, sedangkan sebagian lagi masih bertahan di dalam kapal untuk meneruskan perjalanan mereka menuju Bau-bau

Sedang asyiknya menunggu antrian penumpang yang mulai turun sambil membayangkan petualangan seperti apa lagi yang akan menanti kami di bumi Celebes ini tiba-tiba kami dikejutkan oleh kehadiran para porter pelabuhan yang mendadak berlarian masuk kedalam kapal sambil berteriak-teriak untuk mencari penumpang yang membutuhkan bantuan jasa angkut barang

Begitu para porter tersebut melihat sepeda-sepeda touring kami yang full loaded mereka pun menawarkan jasa untuk mengangkut sepeda-sepeda tersebut turun sampai dermaga dengan tarif 150ribu rupiah/sepeda, tentu saja secara spontan kami pun menolaknya karena harga yang mereka minta terlalu mahal, kami pun membandingkannya dengan para porter di Pelabuhan Bima yang menggotong sepeda-sepeda kami untuk naik dan masuk ke dalam kapal dengan tarif sebesar 100ribu rupiah untuk 2 sepeda, sedangkan menurut kami mereka bekerja lebih berat karena harus menggotong sepeda menaiki anak tangga, maka dari itu ketika para porter di Pelabuhan Makassar yang tugasnya sebenarnya lebih mudah karena hanya tinggal mendorong sepeda menuruni anak tangga namun meminta tarif sebesar itu tentu saja kami berkata "Big No", kami bersikukuh tidak mau menggunakan dan membayar jasa mereka jika tarifnya semahal itu, lebih baik kami mendorong sepeda sendiri saja, tampaknya para porter ini menganggap kami seperti turis yang merupakan "mesin atm" dan bisa diperas sesuka mereka

Agit pun langsung saya suruh untuk mengecek kondisi tangga yang menuju ke dermaga apakah memungkinkan untuk mendorong semua sepeda-sepeda kami sendiri saja tanpa bantuan porter, tidak lama kemudian setelah kami mengecek kondisi anak tangga yang keadaannya memungkinkan bagi kami untuk mendorong sendiri sepeda-sepeda tersebut, mulailah para porter tersebut membuat ulah dengan berdalih bahwa kami harus menggunakan jasa porter karena kuatir nanti tangganya rusak dan dimarahi kepala buruh (what the f...) benar-benar alasan yang mengada-ada, namun karena kami tetap bersikukuh tidak mau menggunakan jasa mereka dan mulai mendorong sendiri sepeda-sepeda kami, merekapun lantas menghadang jalan kami sambil mengatakan supaya kami jangan macam-macam dan harus menuruti kemauan mereka (oh come on seriously...akhirnya terbukalah kedok gaya preman mereka semua, seperti inikah wajah pariwisata kita?) sejak kapan ada aturan jika penumpang harus menuruti kemauan porter?

Suasana didalam kabin kapal pun sempat tegang dan memanas karena salah seorang dari mereka (yang sepertinya ketuanya) mulai berbicara dengan intonasi dan volume suara yang keras, akhirnya sebagai orang yang lebih waras saya pun mengajukan penawaran jika mereka bersikeras bahwa kami harus menggunakan jasa mereka maka kami hanya akan membayar tarif sebesar 100 ribu rupiah untuk dua sepeda, take it or leave it

Awalnya si "ketua preman" tersebut hanya tertawa sambil menggunakan bahasa daerah yang artinya saya pun tidak tahu (dan tidak peduli juga), tetapi ujung-ujungnya beberapa porter bawahannya akhirnya setuju untuk mendorong sepeda-sepeda kami hingga turun sampai ke dermaga (dan benar saja tebakan saya, ketika mulai menapaki anak tangga nyatanya sepeda-sepeda kami tidak digotong seperti pernyataan awal mereka melainkan justru didorong seperti biasa, kalau begini caranya kami pun bisa melakukannya sediri dengan jauh lebih baik)

Sesampainya di Dermaga pun si “ketua preman Porter Pelabuhan” masih sempat meminta kami untuk memberikan tips lebih (astaga ini orang benar-benar tidak punya rasa malu lagi ya, pikirannya benar-benar hanya memuja uang), tentu saja kami pun menolaknya dengan argumen bahwa sesuai kesepakatan awal kami hanya akan membayar 100ribu rupiah saja, karena permintaannya tidak dituruti ia pun akhirnya hanya melengos dengan kesal sembari mengomel dan menyuruh kami untuk secepatnya keluar dari Pelabuhan (lha sapa juga yang mau berlama-lama di Pelabuhan kalau isinya orang-orang seperti situ, dan lagi emang ini Pelabuhan milik keluarga situ) huff benar-benar kesan awal yang buruk begitu menginjakkan kaki pertama kali di Bumi Celebes ini, semoga setelahnya keadaan akan jauh lebih baik

Begitu keluar dari Pelabuhan hal pertama yang langsung terpikir di benak kami adalah mencari tempat untuk singgah dan beristirahat sekaligus menaruh barang-barang kami supaya kami bisa leluasa menjelajah Kota Besar Makassar ini. Dari hasil googling kami pun mendapatkan banyak opsi atau pilihan tempat dan lokasi-lokasi dimana terdapat banyak penginapan, mulai dari yang bertarif murah hingga mahal, tentu saja tarif yang ekonomis menjadi pilihan nomer satu kami

Sambil berkeliling menyusuri ruas jalan di Kota Makassar untuk mencari penginapan, saya pun sedikit banyak mulai melihat gambaran suasana kota ini, Makassar terasa familiar sekali, suasananya tidak jauh berbeda dengan Kota Jakarta, di Kota Makassar ini suasana khas Kota Besar sangatlah terasa dan terlihat, banyak terdapat bangunan perkantoran, gedung-gedung tinggi, pusat-pusat perbelanjaan yang mewah, ruas jalan yang lebar dan dipenuhi dengan kendaraan bermotor, kemacetan layaknya sebuah kota besar yang sibuk, jalan layang, angkutan kota yang berjejer nge-tem dimana-mana, bus trans Makassar yang ukurannya jauh lebih besar daripada bus trans Jogja, dan lainnya. Setelah selama beberapa waktu yang lalu di Pulau Sumbawa perjalanan kami lebih banyak ditemani dengan suasana yang sepi dan alami kini tiba-tiba kami kembali dihadapkan dengan suasana dan keriuhan peradaban khas kota metropolitan


Setelah berkeliling keluar masuk gang dan bertanya sana-sini ke setiap penginapan yang kami temui, ternyata untuk mencari penginapan yang bertarif murah cukup sulit di Kota ini, sebenarnya sewaktu kami mencari info di internet tentang penginapan murah di Kota Makassar ini ada salah satu website yang mengatakan ada sebuah penginapan dengan harga yang terjangkau dan lokasinya tidak terlalu jauh dari Pantai Losari namun setelah kami menuju ke alamat yang tertera ternyata kini penginapan tersebut sudah tutup.

Akhirnya setelah membandingkan daftar harga sewa kamar dari berbagai penginapan yang telah kami datangi dan hubungi via telepon kami pun sepakat untuk menuju ke sebuah penginapan yang kebetulan lokasinya berada tidak terlalu jauh dari Pantai Losari dan dekat dengan penginapan murah yang telah tutup tadi, penginapan ini bernama Hotel Lydiana (walaupun namanya berawalan “Hotel”, namun tampilannya lebih mirip losmen menurut saya), di penginapan Hotel Lydiana ini kami menyewa sebuah kamar single dengan tarif sebesar 140ribu rupiah/malam dengan fasilitas AC (model jadul), single bed, selimut, dan kamar mandi dalam dengan water heater (yang penting hari ini kami telah menemukan tempat untuk bermalam dan bisa menikmati mandi dengan air hangat, rasanya mandi dengan air hangat ini menjadi satu kemewahan tersendiri disepanjang perjalanan kami berdua hehe…), bagi kalian yang sedang atau berencana traveling ke Kota Makassar sepertinya Hotel Lydiana yang berada di daerah Bontolempangan ini bisa kalian pertimbangkan sebagai salah satu pilihan penginapan murah di Kota Makassar

Puas menikmati mandi dengan air hangat dan pikiran juga sudah tenang karena sudah ada tempat bermalam untuk hari ini maka mumpung hari masih siang lebih baik kami memanfaatkan waktu dengan berjalan-jalan (jalan kaki) menuju ke Pantai Losari, sebuah Pantai yang menjadi ikon Kota Makassar dan terkenal sebagai tempat kumpul-kumpul atau hangoutnya orang-orang Makassar



Jarak dari penginapan tempat kami berada ke Pantai Losari sekitar 2-3 km, setibanya kami di Pantai ini suasananya terlihat cukup rapi dan bersih, biasanya menjelang sore hingga malam hari di sekitar tempat ini banyak dijajakan berbagai jajanan, jadi buat kalian yang suka berwisata kuliner nah disini kalian bisa mencoba langsung jajanan seperti pisang epe, es pisang ijo, es palubutung, dan berbagai jajanan tradisional lainnya khas Kota Makassar



Menurut penuturan salah seorang warga dulunya area Pantai Losari ini tidaklah semenarik seperti sekarang, dulu di sekitar area Pantai ini banyak terdapat preman dan pengamen yang menjadikan suasana di sekitar pantai menjadi tidak aman dan rawan kriminalitas, namun semenjak pihak Pemkot mulai merapikan dan menata tempat ini akhirnya kini Pantai Losari bisa menjadi tempat yang jauh lebih menarik dan aman untuk berwisata bersama keluarga



Karakteristik dari Pantai Losari sendiri bukanlah sebuah pantai yang bisa dijadikan sebagai tempat untuk berenang atau bermain air karena Pantai Losari tidak memiliki bibir pantai yang berpasir sehingga antara air laut dan daratannya hanya dibatasi dengan sebuah dinding turap saja. Namun walaupun bukan merupakan sebuah pantai yang bisa dijadikan sebagai tempat untuk bermain air atau berenang bukan berarti Pantai Losari tidak menarik seperti pantai lainnya, menyadari akan kelemahannya sebagai pantai yang tidak memiliki bibir pantai maka pihak Pemkot menata Pantai Losari sebagai sebuah Public area dimana di tempat ini para warganya bisa bebas berkumpul, berolahraga, jogging, bersepeda, sekedar duduk-duduk santai menikmati pemandangan, maupun sebagai tempat berkumpul berbagai komunitas hobby.


Masjid Apung yang berada di area Pantai Losari



Disekitar area Pantai Losari ini para pedagang yang menjajakan makanan juga diatur sedemikian rupa supaya suasana dilingkungan ini tetap rapi dan terjaga, tidak semrawut tersebar dimana-mana, dibeberapa sudut pantai juga terdapat banyak sculpture huruf-huruf yang membentuk nama-nama dari suku yang berada di Makassar seperti Bugis, Toraja, dan lainnya, selain sculpture dari huruf-huruf tersebut disini juga terdapat patung-patung para pahlawan yang berasal dari Sulawesi, patung-patung yang menggambarkan kesenian khas dan bangunan rumah adat Sulawesi hingga sculpture dari perahu phinisi





Setidaknya kesan awal yang kurang menyenangkan ketika pertama kali kami menginjakkan kaki di Bumi Celebes ini perlahan terganti dengan lembaran putih baru berisi passion dan keingintahuan kami untuk mulai menjelajahi dan menikmati pesona dari Pulau Sulawesi ini

Seperti apakah keseruan petualangan goweswisata.co.id selama berada di Kota Makassar ini? tetap ikuti cerita perjalanan kami berdua ya

Pengeluaran hari ini :

- jasa porter 2 sepeda = Rp 100.000,-
- penginapan hotel lydiana = Rp 140.000,-
- belanja swalayan = Rp 19.000,-
- baju agit = Rp 19.000,-
- 4 botol teh javanna = Rp 12.000,-
- makan malam = Rp 24.000,-

Total = Rp 314.000,-

Total jarak tempuh hari ini : 14,14km

No comments:

Post a Comment