Tuesday 15 August 2017

GUNUNG TIGO DAN GUNUNG KRINJINGAN



(13/08/2017)
Sektor pariwisata di Propinsi DIY nampaknya kini semakin menggeliat, hal ini bisa dilihat dari semakin banyaknya spot-spot wisata baru yang bermunculan yang kebanyakan berawal dari hasil swadaya masyarakat dalam mengembangkan potensi wisata yang ada di wilayahnya masing-masing.

Saat ini sudah tak terhitung lagi jumlah spot-spot wisata baru yang bertebaran hampir merata di seluruh pelosok dan Kabupaten Propinsi DIY ini, sebagian besar bahkan mungkin belum terdata oleh Suku Dinas Pariwisata Pemda DIY walaupun tempat tersebut sudah dibuka untuk masyarakat umum.

Kabupaten Kulonprogo yang mempunyai julukan “the jewel of java” pun tak luput memaksimalkan setiap potensi wisata yang dimilikinya, Kabupaten yang posisinya berada di sebelah Barat Kota Jogja ini seakan tidak mau ketinggalan dengan Kabupaten-kabupaten lainnya dalam mengembangkan sektor pariwisatanya, untuk itulah pada post goweswisata.blogspot.co.id kali ini saya akan mencoba menggali potensi wisata tersembunyi apa saja yang ada di balik kemegahan pesona jejeran pegunungan Menoreh ini.

Pada petualangan goweswisata.blogspot.co.id kali ini saya sudah mempersiapkan diri dengan melakukan technical check sepeda sebelum berangkat, dikarenakan rute dan kontur jalan yang nantinya akan saya hadapi bakal didominasi oleh tanjakan-tanjakan yang memiliki derajat kemiringin yang cukup membuat dengkul terasa ngilu dan paha terasa kencang.

Kali ini saya melakukan penjelajahan seorang diri dengan pertimbangan lebih bebas menikmati perjalanan. Mengawali start sekitar pukul 07.00 WIB saya mengambil rute melalui Tugu Jogja terus ke arah Barat melewati Jalan Godean, ini merupakan rute yang sudah sering saya lalui setiap kali saya melakukan nyekar ke makam keluarga, rutenya hanya lurus saja ke arah Barat dan cenderung flat sampai melewati Jembatan Sungai Progo hingga kemudian tibalah kita di perempatan Kenteng-Nanggulan (terminal kenteng), dari perempatan terus saja lurus ke Barat, di sepanjang sisi jalan juga sudah terdapat papan petunjuk arah menuju obyek-obyek wisata apa saja yang ada di sekitar Menoreh ini antara lain curug bendo, kedung ratmi, belik kayangan, gunung lanang, goa kiskenda, dan lainnya (namun jangan senang dulu karena jarak menuju spot-spot wisata tersebut masih cukup jauh)

Tantangan baru dimulai di km 27, setelah melewati papan nama Dusun Tileng, disini sebaiknya kalian mulai mempersiapkan diri dan kendaraan (apapun jenis kendaraan yang kalian gunakan) karena kontur jalan berikutnya akan terus menanjak (dan tidak ada SPBU)

Perlahan saya mulai melakukan shifting menggunakan grainy gear alias gowes ngicik, selain karena derajat kemiringannya yang menyebalkan, sepeda serta beban di pannier yang saya bawa juga cukup menguras tenaga oleh karena itu saya tidak mau memforsir seluruh stamina saya diawal perjalanan ini karena lokasi yang saya tuju masih cukup jauh.

Kira-kira pada 1,5km awal tanjakan saya bertemu dengan rombongan goweser lainnya berjumlah 4 orang yang berasal dari Gamping, kami pun saling menyapa dan menanyakan tujuan masing-masing, mereka menjawab hendak mencoba sekuatnya saja rute ini, sedangkan saya sendiri menjawab entahlah karena jujur saja saya pun tidak tahu apa saja yang ada di sepanjang rute ini, satu-satunya tempat yang pernah saya datangi pada perjalanan goweswisata terdahulu hanyalah sampai di titik spot puncak Moyeng yang berada kira-kira 2 km dari titik awal tanjakan

Sambil beristirahat di pinggir jalan mereka lalu bertanya saya berasal dari komunitas sepeda apa, saya pun menjawab bahwa saya tidak bergabung dengan komunitas sepeda apapun karena saya lebih menikmati gowes sendirian seperti ini, karena saat sendiri seperti ini saya bisa lebih bebas menikmati perjalanan sambil melakukan kontemplasi diri, “Tapi yo opo ra mangkel mas nek ngepit dewe’an, ra ono kancane nggo ngobrol-ngobrol?”, Tanya salah seorang dari mereka, “nek butuh konco nggo ngobrol yo sak ketemune wae neng dalan Mas, sopo wae, mbuh goweser opo dudu ra masalah”, jawab saya, Ya mereka bertanya apa saya tidak takut atau bosan ketika gowes sendirian menuju tempat yang tidak pernah dilalui sebelumnya, hanya bertualang seorang diri tanpa ada teman ngobrol, bagi saya pribadi berbincang-bincang dengan orang lain bisa saya lakukan disepanjang perjalanan ini, terkadang saya berbincang dengan pemilik warung disaat saya beristirahat, atau kepada petani ketika saya bertanya arah, dan masih banyak lagi orang-orang yang saya ajak berbincang ketika saya melakukan petualangan seorang diri seperti sekarang ini, setidaknya walaupun bertualang seorang diri tapi saya tidak pernah merasa kesepian

Setelah saya rasa cukup beristirahat, saya pun berniat kembali melanjutkan perjalanan, “kalian mau ikut lanjut?”, Tanya saya kepada 4 orang goweser tadi, “monggo duluan saja Mas, ngko tak susul, masih kesel dengkul’e”, jawab mereka, sebuah jawaban yang pada akhirnya tidak pernah terlaksana karena hingga saya tiba di tujuan, mereka pun tidak pernah terlihat dan menyusul, mungkin pada akhirnya mereka berhenti di Puncak Moyeng karena titik itulah yang paling dekat dengan tempat mereka beristirahat tadi lalu mereka kembali pulang, sedangkan saya masih meneruskan perjalanan tanpa tujuan, hanya mengikuti rute ini saja karena didorong oleh rasa penasaran “apa ya yang ada di atas sana?”.

Beberapa kali saya berhenti mengayuh dan melanjutkan perjalanan dengan mendorong sepeda, kombinasi antara mengayuh dan mendorong ini saya lakukan berulangkali tergantung kontur jalan, untunglah selain bersepeda saya juga suka berjalan kaki sehingga bagi saya kegiatan mendorong sepeda sambil berjalan kaki ini tidaklah terlalu menyiksa.

Disepanjang rute ini saya juga melihat ada beberapa kendaraan bermotor (mobil) yang tidak kuat menanjak sehingga harus diganjal bannya supaya tidak mundur, sepertinya kasus seperti ini sering terjadi karena di beberapa titik ada beberapa orang yang berjaga sambil membawa pengganjal ban, bahkan motor pun ada yang sambil zig-zag jalannya atau menggeber gasnya supaya kuat menanjak, untunglah kendaraan saya hanyalah sepeda kayuh sehingga maju atau tidaknya saya hanya tergantung kepada stamina dan semangat saya saja


Papan petunjuk berikutnya (lokasinya masih jauh lagi)


Beberapa pengguna kendaraan bermotor bahkan ada yang sampai melongokan kepalanya keluar dari jendela mobilnya hanya untuk memastikan bahwa saya benar-benar menggunakan sepeda melalui rute ini, sebagian lagi hanya memberi senyum dan acungan jempol (mungkin mereka berpikir ada saja orang “gila” yang membawa sepeda touring dengan bebannya melewati rute menanjak seperti ini)

Di sepanjang rute ini saya juga melihat banyak masyarakat yang melakukan kerja bakti membersihkan lingkungannya serta memasang gapura dan umbul-umbul dalam rangka menyambut HUT kemerdekaan RI ke-72 yang akan jatuh pada tanggal 17 Agustus nanti.

“Piyamba’an Mas? Bade tindak pundi?’, Tanya beberapa warga yang melihat saya mengayuh, mendorong, dan menuntun sepeda, “hanya jalan-jalan saja bu”, jawab saya sambil tersenyum, entahlah mereka percaya atau tidak karena ya kali hari gini ada orang yang jalan-jalan sambil mendorong sepeda membawa beban melalui medan menanjak hehe…

Tetapi berkat gaya bertualang seperti inilah pada akhirnya saya bisa menangkap detail perjalanan dan berinteraksi dengan orang-orang yang saya temui selama perjalanan ini, selama tidak dibawa kesal maka seberat apapun perjalanannya kita akan lebih menikmati detail yang ada, salah satunya seperti menemukan spot wisata yang baru saja dilaunching belum lama ini


Bahkan pemandangan yang ada di sepanjang sisi jalan pun tak kalah indahnya dengan spot-spot wisata yang sudah lebih dulu dikelola secara professional



Hingga akhirnya sampailah saya di sebuah pertigaan, untunglah ada papan penunjuk arah sehingga kita tinggal memutuskan hendak menuju kemana


Beberapa penunjuk arah lokasi obyek wisata yang ada di sekitar wilayah ini, banyak kan? Membuktikan bahwa semakin sulit rute yang kita lalui pada akhirnya akan membawa kita menuju kepada lokasi yang indah, mungkin sama halnya dalam hidup ini bahwa semakin sulit tantangan yang kita hadapi dalam hidup namun jika kita berhasil menyelesaikannya dan tidak menyerah maka yakinlah semua itu akan membawa kita kepada hasil yang manis (proses tidak akan mengkhianati hasil)


Sepertinya daftar yang ada masih akan bertambah lagi kedepannya seiring dengan bermunculannya spot-spot wisata baru, beberapa spot wisata lain yang berada tidak jauh satu sama lainnya dan masih dalam satu rute antara lain : (dari yang terjauh hingga terdekat perempatan kenteng, dari Kota Jogja menuju lokasi-lokasi tersebut kurang lebih 27 – 40 km)

- Wisata Tebing Gunung Gajah
- Hutan Pinus
- Kedung Pedut
- Curug Kembang Soka
- Grojogan Mudal
- Goa Kiskenda
- Gunung Lanang
- Gunung Tigo dan Gunung Krinjingan
- Gunung Bolong, Gunung Pawon, Gunung Manten
- Watu Blencong
- Watu Tumpang
- Goa Kidang Kencana
- Grojogan Sewu
- Curug Setawing
- Goa Maria Lawangsih
- Puncak Watu Jendhul
- Puncak Moyeng
- Curug Bendho
- Kedung Ratmi
- Belik Kayangan


Dari pertigaan tadi saya lalu mengambil arah ke kanan menuju arah Goa Kiskenda, hingga setelah pasar nanti akan ada pertigaan lagi seperti ini



Disini saya lalu mengambil arah lurus menuju Goa Kiskenda dan Kedung Pedut, dan setelah melewati beberapa tanjakan akhirnya sampailah saya di spot wisata ini, yaitu Gunung Tigo dan Gunung Krinjingan (dari basecamp goweswisata menuju lokasi ini berjarak sekitar 34 km).

Sambil beristirahat dan memesan segelas es teh manis di warung yang berada tepat di seberang akses masuk Gunung Tigo, saya lalu bertanya kepada Ibu pemilik warung mengenai obyek wisata Gunung Tigo dan Gunung Krinjingan ini, menurutnya spot wisata Gunung Tigo dan Gunung Krinjingan ini baru saja dipersiapkan pada pertengahan bulan puasa 2017 lalu (kira-kira awal Juli 2017), dan sampai tulisan ini saya buat proses pembangunan fasilitas yang akan dipersiapkan juga masih berlangsung, dengan kata lain berarti kali ini saya lagi-lagi menemukan spot wisata baru yang belum banyak diketahui oleh masyarakat umum, hmmm… sepertinya menarik untuk di ulas, baiklah saya pun lalu memutuskan untuk menyudahi petualangan goweswisata.blogspot.co.id hari ini dengan membahas tentang obyek wisata Gunung Tigo dan Gunung Krinjingan


Seperti bisa kita lihat pada banner petunjuk yang berada tepat disamping akses masuknya, obyek wisata Gunung Tigo dan Gunung Krinjingan ini menawarkan fasilitas berupa jalur trekking, Taman yang ada di bagian puncak gunung, spot terbaik untuk menyaksikan matahari terbit dan matahari terbenam, spot untuk kalian berfoto selfie dan spot-spot lain yang instagram-able, serta wisata religi, berikut ini akan saya bahas satu persatu.

Begitu kita mulai masuk maka kita akan langsung disuguhi dengan jalur trekking yang telah dibuka dan dibersihkan


Namun begitu kita tiba dipersimpangan maka jalurnya akan berubah dan menanjak seperti ini


Sebenarnya jika kita mengambil kearah kiri (bukan jalur yang menanjak) maka kita juga bisa melihat Sendang Manten, berupa sebuah cerukan yang menjadi tempat penampungan air, mengenai asal-usul namanya mengapa disebut Sendang Manten entahlah, saya pun tidak begitu tahu

Dan jika kita mengambil jalur yang menanjak menuju ke Puncak Gunung Tigo ini maka pastikan kalian mengenakan alas kaki yang sesuai karena medannya berupa jalan tanah yang sebagian masih licin dan belum dirapikan (kedepannya masih akan dibuat fasilitas bambu dan tali tambang untuk pegangan, juga akan dilengkapi dengan papan penunjuk arah)


Begitu kita tiba di puncaknya kita dapat melihat panorama jejeran pegunungan menoreh, Kota Yogya, hingga perbatasan Purworejo dari atas ketinggian, dan mengapa dinamakan Gunung Tigo karena gunung ini mempunyai tiga puncak, jadi selain di Sumatra ternyata di Propinsi DI Yogyakarta ini, tepatnya di Desa Sebolong, Kelurahan Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulonprogo juga terdapat sebuah tempat wisata yang bernama Gunung Tigo.

Di bagian puncak gunung ini juga disediakan tiga spot yang cocok bagi kalian yang suka ber-selfie ria, masing-masing spot diletakkan di setiap puncaknya, dari puncak Gunung Tigo dan Gunung Krinjilan ini kalian juga bisa melihat Gunung Lanang yang sudah lebih dulu dibangun dan populer, dari atas sini ternyata ketinggian puncak gunung lanang masih kalah tinggi jika dibandingkan dengan puncak Gunung Tigo ini, oya dahulu Gunung Tigo, Gunung Krinjilan, dan Gunung Lanang merupakan satu kesatuan, namun seiring adanya pembukaan dan pembangunan akses jalan raya maka akhirnya gunung ini pun dibelah hingga akhirnya Gunung lanang terpisah dan berdiri sendiri

Spot selfie pertama




Puncak gunung lanang bisa dilihat dari spot ini



Spot selfie kedua


Spot selfie ketiga


Dari spot selfie ketiga ini kita bisa melihat panorama gunung-gunung lain yang belum dimaksimalkan potensi wisatanya antara lain seperti Gunung bolong yang mempunyai lubang yang cukup besar dan menembus kedua sisinya maka dari itu dinamakan gunung bolong, namun sayangnya gunung tersebut belum dibuka untuk spot wisata dan bagian lubangnya masih tertutup oleh pepohonan. Selain itu juga ada Gunung Pawon (bahasa Jawa; Pawon = Dapur) dinamakan seperti itu karena katanya gunung ini juga mempunyai lubang dimana jika digambarkan sirkulasi lubangnya akan menyerupai sebuah tungku, kemudian ada Gunung Manten, kita juga bisa melihat tebing Gunung Gajah dari kejauhan, hutan pinus, area kedung pedut, hingga perbatasan Kota Purworejo




Sedangkan untuk wisata religinya dikarenakan pada puncak Gunung Tigo ini juga terdapat sebuah Makam yang dipercaya oleh masyarakat sekitar sebagai petilasan Makam Eyang Tegopati, selain itu tempat ini juga diyakini merupakan salah satu tempat persinggahan dari Dewi Rantamsari.


Pada masyarakat Jawa terutama yang hidup di desa-desa, hal-hal klenik seperti fenomena metafisika, mitos, legenda, dan cerita rakyat masih banyak dipercaya. Hal-hal seperti itu tumbuh berdampingan dengan budaya masyarakat setempat, dan secara tidak langsung juga mempunyai andil dalam membentuk sebuah tatanan pola kehidupan masyarakat dan menciptakan kearifan lokal yang hingga kini masih dipertahankan.

Mengenai siapakah Eyang Tegopati dan bagaimana awal mula dibukanya Gunung Tigo ini menjadi spot wisata baru ternyata semuanya masih berhubungan dengan sejarah Tanah Jawa, berikut kisahnya yang saya ringkas dari hasil perbincangan dengan Mas Bayu yang menjadi pemrakarsa dan penanggung jawab obyek wisata Gunung Tigo ini serta hasil dari perbincangan dengan beberapa warga masyarakat sekitar, selain itu juga saya lengkapi dengan sumber sejarah dari buku “Babad Tanah Kendal” karya Ahmad Hamam Rochani, 2003.

Alkisah dahulu ketika belum ada pusat pemerintahan Kota Yogyakarta, Tanah Jawa ini masih diperintah oleh Sultan Agung dari Mataram, dari sekian banyak prajurit yang dimilikinya ada beberapa orang yang ia anggap terbaik, antara lain Tumenggung Tegopati (yang makamnya berada di puncak Gunung Tigo), Tumenggung Singokerti (konon makamnya berada di Jawa Timur), Tumenggung Singowongso, dan Tumenggung Bahurekso.

Dalam rangka menghadapi penjajahan oleh kolonial terkadang mereka harus berpindah-pindah tempat supaya pergerakan mereka tidak terdeteksi oleh musuh. Gunung Tigo kebetulan adalah salah satu lokasi yang dahulu mereka gunakan untuk bertemu dan menyusun siasat untuk menghadapi penjajah.

Pada suatu ketika Sultan Agung menyuruh salah seorang prajuritnya yaitu Tumenggung Bahurekso untuk menjemput seorang gadis dari Desa Kalisalak untuk dipersuntingnya menjadi selir, atas titah Raja maka berangkatlah Tumenggung Bahurekso menuju Desa Kalisalak, setibanya ia di Desa Kalisalak ia pun mencari gadis yang dimaksud yang bernama Dewi Rantamsari, saat bertemu ia pun menjelaskan maksud kedatangannya dan tujuannya menjemput Dewi Rantamsari atas perintah Sultan Agung yang menginginkannya untuk dijadikan sebagai selir.

Dewi Rantamsari pun menolak “Duhai kisanak sungguh aku tidak mau dipersunting olehnya, lebih baik aku menikah denganmu daripada dipersunting sebagai selir oleh sang Raja”, Tumenggung Bahurekso pun menjadi bingung, di satu sisi ia merasa benih-benih cinta telah tumbuh dalam hatinya kepada Dewi Rantamsari, namun disisi lain ia tidak mungkin mengkhianati perintah Raja, Dewi Rantamsari pun menyarankan kepada Tumenggung Bahurekso untuk menjemput gadis lain yang lebih cantik dari dirinya untuk dipersunting oleh Raja menggantikan dirinya, Mendengar usul tersebut Tumenggung Bahurekso pun merasa gembira karena setidaknya ia mendapatkan cintanya namun tidak mengecewakan Rajanya dengan mengganti calon selirnya dengan calon lain yang lebih cantik maka berangkatlah ia menjemput gadis lain yang disarankan oleh Dewi Rantamsari.

Setelah menjemput gadis lain untuk dijadikan selir Sultan Agung ia pun kembali menghadap Sultan Agung, namun betapa kecewanya Sultan Agung ketika mengetahui bahwa gadis yang dibawa oleh Tumenggung Bahurekso tersebut ternyata bukanlah Dewi Rantamsari, ia pun tidak jadi mempersunting gadis tersebut dan menyuruhnya untuk kembali ke desanya serta memberi imbalan materi sebagai modal usahanya, sedangkan sang Dewi Rantamsari sendiri ternyata akhirnya menikahi Tumenggung Bahurekso hingga melahirkan seorang putra yaitu Raden Mas Sulamjono. Sultan Agung pun berniat membalas kekesalannya kepada Tumenggung Bahurekso dengan menyuruhnya membuka suatu wilayah hutan yang terkenal berbahaya dan angker karena dipenuhi binatang buas dan lelembut, namun akhirnya hal tersebut berhasil diselesaikan oleh Tumenggung Bahurekso.

Alasan lain mengapa Sultan Agung sangat menginginkan Dewi Rantamsari adalah ia percaya bahwa Dewi Rantamsari merupakan penjelmaan dari Dewi Nawangsari yang merupakan adik dari Dewi Nawangwulan (ingat legenda Jaka Tarub), sehingga ia berkeyakinan bahwa jika ia menikahi seorang Dewi atau bidadari maka kekuasaannya akan langgeng dan keturunannya akan disegani.
Dikisahkan akhirnya Nawangwulan berhasil kembali ke kahyangan setelah menemukan selendang bidadarinya yang dicuri dan disembunyikan oleh Jaka Tarub, namun ternyata di Kahyangan ia di tolak oleh bidadari-bidadari lainnya karena mereka menganggap Nawangwulan sudah bukan lagi bagian dari mereka disebabkan ia telah menikahi manusia dan memliki anak, satu-satunya yang merasa iba dan menerima Nawangwulan adalah Dewi Nawangsari, namun Nawangwulan yang merasa dikucilkan pada akhirnya memilih untuk terjun ke Laut Selatan dan belajar untuk menaklukkan lelembut-lelembut yang menguasai Pantai Selatan Jawa hingga akhirnya ia menjadi penguasa Laut Selatan (pada versi lain disebutkan juga bahwa penguasa Laut Selatan adalah Dewi Kandita), kepergian Dewi Nawangwulan tentu saja membuat Dewi Nawangsari merasa sedih namun Nawangwulan yang kini telah menjadi penguasa Laut Selatan beberapa kali masih menemui Dewi Nawangsari sambil berpesan untuk tidak mencemaskan dirinya, ia kemudian menyuruh Dewi Nawangsari untuk terjun ke kali opak serta mulai belajar untuk mengendalikan lelembut yang berdiam di Kali opak seperti halnya dirinya ketika menaklukkan lelembut Laut Selatan, hingga akhirnya Dewi Nawangsari pun menjadi penguasa Laut utara dan menitis atau menjelma kembali menjadi Dewi Rantamsari.

Walau telah menjelma menjadi manusia kembali namun Dewi Rantamsari pun berulangkali masih dikunjungi oleh Nawangwulan, Nawangwulan sering menasehati Rantamsari ketia ia mendapat masalah, bahkan karena saking seringnya dikunjungi dan lebih mendengar nasehat dari Nawangwulan ketimbang mendengar nasehat dari suaminya sendiri pada akhirnya membuat Tumenggung Bahurekso menjadi kesal sampai akhirnya mereka memutuskan untuk berpisah walaupun sebenarnya Dewi Rantamsari sendiri merasa sedih dan berat hati karena ia masih sangat mencintai Tumenggung Bahurekso.

Setelah menjanda kecantikan dari Dewi Rantamsari ternyata tidak serta merta sirna, ia masih saja terlihat cantik dan awet muda sehingga membuat banyak kaum lelaki tertarik untuk mendekati dan melamarnya, namun semua lamaran tersebut ditolak secara halus oleh Dewi Rantamsari, karena kecantikannya yang seakan abadi itulah maka Dewi Rantamsari sering disebut juga dengan sebutan Dewi Lanjar, dan karena ia masih sangat mencintai Tumenggung Bahurekso maka sampai kapanpun ia memutuskan untuk membantu dan menjaga keturunan-keturunannya ketika mereka dalam kesulitan terlebih di masa perang melawan penjajahan pihak kolonial.

Dalam kehidupan masyarakat pedesaan di Tanah Jawa yang sebagian besar masih sangat mempercayai adanya mitos-mitos atau larangan tentulah tidak mengherankan jika kita sering melihat diselenggarakannya upacara-upacara atau ritual tertentu yang bertujuan meminta keselamatan, rasa bersyukur, perlindungan, maupun ketenangan dari roh para pendahulu atau nenek moyangnya, begitu pula yang terjadi pada masyarakat Desa sebolong ini, masyarakat disekitar sini terutama yang sudah sepuh masih banyak yang melakukan olah batin seperti meditasi atau bertapa, beberapa orang yang memang sudah sampai pada titik mencari ketenangan dalam hidupnya juga terkadang ada yang melakukan meditasi seperti itu hingga pada suatu ketika ada seseorang yang mendapat wangsit untuk merawat gunung Tigo ini, dalam bisikan wangsit tersebut berpesan bahwa jika mereka merawat dan menjaga Gunung ini maka kedepannya kelak gunung ini akan dapat membantu kehidupan generasi berikutnya, dilihat dari titik ini mungkin ada benarnya karena jika masyarakat menjaga alamnya maka alam pun pasti akan membalasnya dengan menjaga keseimbangan dari hubungan timbal-balik itu sendiri, dan jika manusia merusak alam maka alam pun pasti akan membalas ulah manusia tersebut melalui beragam bencana yang diakibatkan oleh terganggunya keseimbangan alam.

Dan setelah dirembukkan bersama oleh seluruh perangkat Desa maka akhirnya diputuskan untuk mulai merapikan dan mengelola kawasan sekitar Gunung Tigo dan Gunung Krinjingan ini menjadi spot wisata dengan memberdayakan seluruh warganya menjadi kelompok sadar wisata, dimana semua pembangunan fasilitas merupakan hasil swadaya masyarakat, oleh karena itulah hingga kini semua pembiayaan pembangunan fasilitas yang ada masih mengandalkan kas masyarakat dan hasil sumbangan pengunjung, setidaknya jika tempat ini kemudian pada akhirnya berkembang menjadi destinasi wisata maka secara tidak langsung juga akan mengangkat perekonomian warga sekitarnya mungkin hal itulah yang secara tidak langsung tersirat dari pesan wangsit tersebut

Nah bagaimana apakah kalian tertarik untuk mengunjungi obyek wisata Gunung Tigo dan Gunung Krinjingan ini? selain menikmati panorama alam yang ada disekitarnya, disini kalian juga berkesempatan mempelajari sejarah masa lalu pada masa para Raja-raja masih memegang kekuasaan di Tanah Jawa dan korelasinya dengan fenomena yang terjadi di masa sekarang, karena bagaimana pun juga jangan sampai hanya karena alasan modernisasi maka kita melupakan sejarah yang seyogyanya menjadi landasan atau dasar dalam membangun jiwa manusianya

Satu hal lagi bagi kalian yang ingin mengunjungi tempat ini pastikan untuk tetap menjaga kebersihan disekitar lokasi ini ya, karena kalian datang tentunya ingin menikmati keindahan tempat ini kan? Jadi jangan membuang sampah sembarangan, mencorat-coret atau vandalism, dan merusak apapun yang ada di sekitar lokasi, seorang petualang yang baik tentunya hanya meninggalkan kenangan yang indah, dan hanya membawa pulang cerita atau dokumentasi. Selamat bertualang

No comments:

Post a Comment