Wednesday 28 September 2016

CHAPTER 2; MENJADI NOMADEN

Jumat, 18 Desember 2015,

Sepertinya waktu terasa berjalan dengan cepat saja, setelah tidur dengan pulasnya tadi malam kini hari sudah berganti, sekarang adalah hari kedua petualangan kami dan untuk sesaat kami juga masih dalam tahap penyesuaikan diri dengan perubahan pola hidup dan rutinitas harian dari yang semula bersifat menetap kini berubah menjadi nomaden alias berpindah-pindah serta tidak terikat dengan satu tempat saja, di satu sisi kami merasa senang karena setiap harinya sejak saat ini kami akan selalu bertemu, melihat, dan mempelajari sesuatu yang baru, namun disisi lain terkadang ada rasa cemas karena kami tidak pernah tahu dimanakah kami akan beristirahat setiap harinya, biarlah semuanya tergantung Tuhan saja yang menempatkan kami entah dimana.

Setelah melaksanakan ibadah Sholat Subuh dan mandi, kami pun bergegas merapikan semua barang-barang bawaan dan memasangnya ke sepeda masing-masing, setidaknya kami sudah harus start sebelum aktivitas di Kantor Balai Nikah KUA Masaran ini dimulai supaya keberadaan kami tidak menghambat aktivitas mereka yang bekerja disini.

Sekitar pukul 06.30 WIB kami pun sudah beranjak start meninggalkan Kantor Balai Nikah ini menuju kearah Timur, kami juga tidak sempat berpamitan kepada Bapak pengurus mushalla karena belum ada satu pun orang yang datang ke Balai Nikah ini, suasana masih terlihat sepi dan aktivitas perkantoran pun belum dimulai.Di sepanjang jalan, suasana pagi yang dingin dan aktivitas warga di daerah Masaran ini belumlah terlalu ramai, hanya nampak kesibukan beberapa orang yang ada disekitar pasar tradisional dan rombongan anak-anak yang bersepeda menuju kesekolahnya, semua terasa begitu damai, jauh dari hiruk-pikuk layaknya yang terjadi di kota-kota besar dimana semuanya selalu tergesa-gesa.

Berdasarkan peta yang saya pelajari semalam, maka tujuan kami berikutnya adalah Kota Sragen dan jika semua berjalan lancar, hari ini pun kami sudah bisa keluar dari Propinsi Jawa Tengah dan mulai memasuki Propinsi Jawa Timur, tepatnya masuk ke Kabupaten Ngawi, semoga segala sesuatunya berjalan dengan baik sesuai rencana.

Sedikit demi sedikit kayuhan kami pada akhirnya membawa kami berdua sampai juga memasuki Kota Sragen (kira-kira satu jam perjalanan dari Masaran), kesan pertama kami ketika melihat kota ini adalah semuanya terlihat tertata rapi dan bersih, dengan ruas jalan yang cukup lebar dan kondisi aspal yang halus, serta adanya alun-alun atau ruang terbuka publik yang ada di tengah kota menjadikan suasana di kota ini terasa humanis, dengan suasana kota yang bersih seperti ini tidaklah mengherankan jika Kota Sragen meraih penghargaan Adipura, dan satu hal lagi yang saya suka adalah disini jalur pedestriannya cukup lebar dan cukup teduh karena disisinya banyak terdapat pohon-pohon, seandainya kondisi pedestrian yang “sangat layak” ini diterapkan di semua wilayah Indonesia saya yakin lambat laun masyarakat kita pun juga akan beralih dari kebiasaan menggunakan kendaraan pribadinya kemana-kemana termasuk untuk jarak dekat sekalipun menjadi mulai berjalan kaki setidaknya untuk jarak yang relatif dekat



Jalur pedestrian yang cukup lebar


Ruas jalan yang lebar dan bersih


Setelah puas mengambil beberapa dokumentasi foto perjalanan, kami pun kembali melanjutkan perjalanan lagi, dari alun-alun Kota Sragen menuju ke arah timur tepatnya setelah gerbang batas kota Sragen kami mulai merasakan suasana yang bernuansa Islami karena di sepanjang ruas jalan ini banyak sekali terdapat mushalla, masjid, dan Pondok Pesantren Gontor untuk putri, dimana-mana juga terdapat banyak spanduk yang bertuliskan perayaan acara bertema Islam. Kami masih meneruskan perjalanan ke arah timur sambil sesekali mengecek posisi GPS, berdasarkan peta online dan GPS tersebut sepertinya tidak lama lagi kami akan berpindah propinsi, dan akhirnya…

Hello Jawa Timur, Goodbye Jawa Tengah


Begitu melihat gerbang perbatasan wilayah Propinsi Jawa Tengah dengan Jawa Timur rasanya semangat kami semakin terpacu, perjalanan yang awalnya terasa tidak mungkin bagi kami berdua yang terhitung pemain baru dalam bersepeda jarak jauh ini kini akhirnya mulai terwujud sedikit demi sedikit, walau perlahan tetapi kami masih terus bergerak hingga akhirnya semua itu menjadi mungkin

Disekitar gerbang perbatasan ini kami berjumpa dengan beberapa anak sekolah yang sedang berkumpul, awalnya mereka melihat kami dengan tatapan heran (mungkin karena sepeda dan bawaan kami yang begitu banyak) sambil bertanya darimana asal dan tujuan kami, pertanyaan pertama tentu saja mudah sekali untuk dijawab karena kami memulai perjalanan ini dari Yogyakarta, namun untuk bagian pertanyaan “hendak kemana?”, nah bagian inilah yang agak susah untuk dijawab karena jika kami jawab keliling Indonesia kok kesannya muluk sekali ya, maka kami jawab saja hendak ke arah timur sampai Bali. Ketika mendengar tujuan kami bersepeda sampai Bali saja mereka merasa heran dan berusaha memastikan dengan ekspresi muka seakan tidak percaya, mungkin mereka belum pernah melihat pesepeda touring sehingga merasa heran ketika pada akhirnya melihat orang yang melakukan perjalanan jarak jauh dengan bersepeda, karena dengan kendaraan bermotor saja jarak dari gerbang perbatasan tersebut ke Bali terasa jauh dan melelahkan apalagi dengan bersepeda, selain itu mungkin juga karena mereka melihat postur tubuh kami yang tidak seperti para petouring profesional lainnya yang memiliki postur tubuh tinggi, tegap dan penampilan layaknya seorang adventurer, postur tubuh kami berdua memang cenderung pendek hehe… selain itu penampilan juga tidak mengesankan seorang adventurer yang biasanya terlihat urakan (sedikit gembel menurut kata orang), bagi kami penampilan adalah menyesuaikan dengan karakter masing-masing individu saja, bagi beberapa adventurer mungkin penampilan yang “Hobo style alias homeless boy” terasa nyaman, dan itu sah-sah saja karena memang tidak ada aturan baku yang mengharuskan seorang adventurer untuk berpenampilan seperti itu, namun karena kami berdua memang sudah terbiasa rapi maka secara tidak langsung hal tersebut berpengaruh kepada tampilan yang kami kenakan, intinya adalah kami berpenampilan senyamannya kami saja (kan kami juga ingin gaya saat difoto hehe…)

Selepas gerbang perbatasan tersebut kini kami telah resmi memasuki wilayah Propinsi Jawa Timur, tujuan kami berikutnya adalah menuju Kota Ngawi yang jaraknya masih sekitar 42km lagi, namun jarak tersebut rasanya terlalu jauh untuk ditempuh sekaligus dihari ini, sehingga kemungkinan besar kami akan memecah rute tersebut menjadi dua bagian, sisanya akan kami teruskan keesokan harinya dengan pertimbangan waktu yang mulai menjelang sore. Ya, sejak awal kami berdua juga sudah berkomitmen untuk tidak memaksakan melakukan gowes malam selama situasinya masih memungkinkan dengan pertimbangan faktor keselamatan, manajemen waktu perjalanan kami per harinya adalah kami usahakan untuk berhenti ketika sudah menjelang sore hari, patokannya adalah ketika waktu ibadah Sholat Ashar sudah berkumandang maka saat itulah kami sudah harus mulai mencari tempat untuk berhenti dan beristirahat hari itu

Rute hutan jati disepanjang rute menuju Kota Ngawi




Dan benar saja ketika kami mulai menempuh rute ini, pemandangan yang tersaji adalah suasana hutan jati di sepanjang sisi jalan, dengan kontur jalan yang sedikit rolling naik-turun dan dibeberapa titik, kondisi jalan sebelah kirinya agak rusak, berlubang dan bergelombang sehingga membuat kami harus ekstra waspada terhadap arus lalu lintas (bus dan truk) yang melaju cukup kencang, setelah beristirahat sejenak sambil melakukan ibadah sholat Jumat dan makan siang, kami pun kembali melanjutkan perjalanan, disepanjang rute ini minim perkampungan, hanya nampak beberapa warung peristirahatan oleh karena itulah kami pikir setidaknya hari ini kami akan berhenti untuk mencari tempat beristirahat ketika sudah memasuki wilayah perkampungan. Sambil terus gowes dan dengan kondisi tangan kami yang mulai terasa pegal karena sedari tadi menahan guncangan dari kondisi jalan yang rusak, mata kami pun sibuk mencari di sekeliling jika sekiranya nampak sebuah perkampungan hingga akhirnya tanpa sengaja mata saya melihat ada sebuah papan penanda yang menunjukkan lokasi obyek wisata Museum Trinil, dan dibawah papan tersebut juga ada keterangan fasilitas yang ada, salah satunya adalah camping ground, saat itu juga saya pikir inilah satu-satunya kesempatan kami untuk bermalam, lagipula kami juga membawa tenda dan berbagai peralatan camping lainnya sehingga cukup amanlah untuk beristirahat.

Satu hal yang tidak kami duga adalah ternyata jarak dari papan penunjuk tersebut hingga benar-benar sampai ke lokasi Museum Trinil cukup jauh, mungkin kira-kira 5km, itupun setelah kami mulai merasa heran sejak berbelok mengikuti arah papan petunjuk tersebut hingga kira-kira 3km kami tidak juga melihat lokasi museumnya hingga akhirnya kami mulai bertanya kepada anak-anak kecil di sekitar desa yang kebetulan sedang bermain sepeda, mereka pun lalu memandu kami sampai tiba ke lokasi Museum tersebut
Setibanya di pelataran parkir Museum Trinil, kami memang melihat ada sebuah gerbang lain menuju lokasi kegiatan outbond, namun setelah kami bertanya dan menjelaskan mengenai maksud kedatangan kami yang hendak menginap di area camping ground tersebut kepada warga sekitar dan penjaga Museum ternyata lokasi camping ground tersebut belum jadi, masih dalam tahap pembangunan, dengan kata lain untuk saat ini belum ada camping ground (kedepannya mungkin akan ada), lalu bagaimana ini? Karena saat ini waktu telah menunjukkan sekitar pukul 4 sore dan tidak mungkin bagi kami untuk berbalik meneruskan perjalanan dikarenakan rute hutan jati yang tadi kami lalui masih ada setengahnya lagi sebelum kami benar-benar keluar dan sampai di Kota Ngawi

Akhirnya setelah berbincang-bincang dengan beberapa warga yang kebetulan juga menjadi pengurus Museum, kami pun diperbolehkan untuk menginap di area Museum, lebih tepatnya lagi kami akhirnya menginap di salah satu bangunan kantor Museum yang pada saat ini masih dalam tahap pembangunan dan renovasi, dalam bangunan tersebut selain kami ternyata juga ada beberapa pekerja bangunan lainnya yang menggunakannya sebagai tempat untuk menginap (sebagai pengganti bedeng) supaya mereka tidak harus bolak-balik setiap harinya, kami pun kemudian ditunjukkan satu ruang yang sepertinya nanti akan menjadi ruang kerja pegawai, diruang inilah nantinya kami akan beristirahat, sedangkan para pekerja akan beristirahat diruang lain yang nantinya diperuntukkan sebagai kamar tamu wisatawan, sementara untuk sepeda-sepeda kami titipkan dirumah salah seorang pengurus kantor yang tempatnya memang dijadikan sebagai tempat penitipan kendaraan bermotor roda dua. Ketika kami bertanya berapakah biaya retribusi yang harus kami bayar ternyata mereka malah menggratiskannya
Tak pernah terbayangkan sedikitpun dalam benak kami berdua jika pada akhirnya suatu saat nanti dalam hidup kami akan bermalam di sebuah Museum, namun ternyata pada petualangan inilah kami mendapat dan mengalami semua hal yang benar-benar baru dan tidak terduga. Lantas bagaimanakah cerita selanjutnya?Apa saja yang kami alami dan rasakan selama menginap di Museum ini? Nantikan kelanjutan seri petualangan Goweswisata traveling around Indonesia ya, Chapter 3 coming soon

Pengeluaran hari ini :
- 2 porsi makan siang+2 gelas teh manis+3 buah gorengan = Rp 14.000,-
- 2 nasi bungkus+4 bungkus es teh = Rp 20.000,-
Total = Rp 34.000,-

Total jarak tempuh hari ini : 58,46km

2 comments:

  1. @Benny Adityawarman : Chapter 3 tuh baru diupload, maap lama maklum ngumpulin mood+niat buat nulis lagi payah nih hehe :)

    ReplyDelete