Thursday, 30 August 2018

CHAPTER 45; SAMARINDA

Selamat datang di Kota Samarinda, kota yang menjadi ibukota dari Propinsi Kalimantan Timur ini ternyata suasananya kota banget Bro, berbeda dari apa yang selama ini kami pikirkan jika mendengar nama Pulau Kalimantan, dimana hal yang pertama terlintas di kepala pastilah tentang hutan yang lebat dimana-mana, rawa-rawa, nyamuk-nyamuk ganas, kemudian sungai yang besar dengan buaya-buaya liar yang berenang didalamnya, serta keberadaan suku-suku etnik yang kehidupannya masih primitif, yang ternyata semuanya itu salah, karena suasana di Kota Samarinda kini tak ubahnya seperti suasana kota-kota besar lainnya yang ada di Pulau Jawa, bedanya hanya disini Sungainya sangat lebar oleh karena itu masyarakat disekitar sini akhirnya memanfaatkan keberadaan Sungai Mahakam ini sebagai jalur transportasi air menggunakan jukung (perahu panjang tanpa mesin) atau cess (perahu bermesin)

Sekilas tentang sejarah keberadaan Kota Samarinda ini sendiri berawal dari kedatangan orang-orang Bugis-Wajo ke Kalimantan Timur pada awal Tahun 1668. Mereka ini tak lain adalah pengikut Sultan Hasanuddin (Raja Gowa) yang melarikan diri dari Sulawesi karena tidak mau tunduk kepada penjajah Belanda.

Rombongan yang kala itu dipimpin oleh Lamohang Daeng Mangkona ini melabuhkan kapalnya di bagian Timur Pulau Kalimantan yang pada waktu itu masih merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Kutai, singkat cerita mereka akhirnya diterima oleh Raja Kutai dengan syarat harus bersedia membantu Kerajaan Kutai dalam menghadapi serangan musuh-musuhnya

Setelah menerima persyaratan tersebut, para imigran dari Bugis-Wajo ini kemudian diberikan lahan sebagai tempat tinggal mereka di kawasan Kampung Melantai, namun sebagian lainnya merasa lebih senang tinggal di kawasan Muara Karang Semumus yang dikelilingi wilayah Pegunungan Selili, akhirnya mereka pun mulai membuka dan membangun hunian disekitar wilayah tersebut, ditempat ini rumah-rumah mereka dibangun sama tinggi dan sama rendah, baik yang berada diatas air maupun yang berada didaratan atau tepian sungai karena bagi mereka hal ini melambangkan kesetaraan dalam hidup atau sederajat

Dari sinilah kemudian dikenal istilah Samarenda (sama rendah) yang lambat laun pengucapan atau pelafalannya berubah menjadi Samarinda, nama inilah yang pada akhirnya digunakan oleh wilayah kampung yang berada disekitar tepian Sungai Mahakam tersebut hingga wilayah ini berkembang sampai sekarang. Berdasarkan fakta sejarah itulah hari jadi Kota Samarinda ditetapkan jatuh pertama kali pada Tanggal 21 Januari 1668 sebagai pengingat tonggak awal kedatangan orang-orang Bugis-Wajo di wilayah Kalimantan Timur

Kami sendiri akhirnya mulai menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Kota yang juga dikenal sebagai wilayah pusat produksi dan perdagangan kayu dunia ini sekitar tengah hari, di hari ke-102 petualangan kami atau tepatnya Tanggal 27 Maret 2016, setelah kapal yang kami tumpangi berlabuh di Pelabuhan Samarinda

Hal pertama yang kami pikirkan setelah berada di Kota ini tentu saja mencari tempat untuk mandi, makan, dan beristirahat, karena jika kami memaksakan untuk terus melanjutkan perjalanan menuju ke Kota Balikpapan hari ini maka waktunya sudah tidak memungkinkan, ditambah lagi kami masih minim informasi mengenai kondisi rute yang menuju ke Kota Balikpapan

Begitu kami mulai keluar dari area Pelabuhan bersamaan dengan para penumpang kapal lainnya yang sedang menunggu jemputan, beberapa sorot mata dari orang-orang yang berada disekitar Pelabuhan tampak memandangi kami berdua dengan tatapan heran, hmmm…sepertinya di Pulau Kalimantan ini masih jarang dilintasi oleh para pesepeda jarak jauh, sehingga bagi mereka kedatangan kami yang menggunakan sepeda kayuh penuh gembolan ini tampak aneh dimata mereka

Perlahan kami mulai menyusuri ruas Jalan di Kota samarinda mengikuti garis tepian Sungai Mahakam, beberapa bangunan perkantoran, hotel-hotel mewah, restaurant, hingga aneka tempat kuliner dan bisnis lainnya tampak memenuhi sisi jalan dengan view yang menghadap kearah Sungai Mahakam, sampai kemudian di kejauhan kami melihat ada sebuah Jembatan besar dan panjang berwarna kuning, yaitu Jembatan Kertanegara yang bentuknya mirip seperti Jembatan Golden Gate di San Fransisco

Sebelum melintasi Jembatan ini kami sempat berhenti sejenak di Islamic Center Kota Samarinda, yaitu sebuah bangunan Masjid Agung berukuran besar untuk sekedar menumpang beristirahat dan bersih-bersih sembari mengatur rencana untuk hari ini, cuaca di Kota Samarinda sendiri hari ini terasa cukup panas dan menyengat oleh karena itu menyegarkan diri sejenak sambil beribadah sepertinya merupakan keputusan yang tepat





Setelah dirasa cukup beristirahat dan mengumpulkan informasi online seputar Kota ini kami memutuskan untuk kembali ke wilayah sekitar area Pelabuhan, karena berdasarkan hasil googling ternyata disekitar wilayah tersebut banyak terdapat penginapan dengan harga ekonomis jika dibandingkan dengan hotel atau penginapan lainnya yang ada di kawasan pusat kota

Setibanya disekitar kawasan tersebut maka perburuan penginapan dengan budget ekonomis pun dimulai, beberapa kali kami keluar masuk gang untuk sekedar bertanya harga penginapan, salah satu kendala disini adalah banyak dari penyedia jasa penginapan tersebut yang tidak mau menunjukkan kondisi kamarnya sebelum kami setuju untuk membayar (ini seperti membeli kucing dalam karung karena kami harus membayar terlebih dulu untuk fasilitas yang tidak kami ketahui seperti apa bentuknya), dan karena kami tidak mau mengulang kesalahan yang sama seperti waktu berada di Parepare maka kami pun akhirnya pergi dan mencari penginapan lainnya yang sesuai dengan budget kami namun memiliki fasilitas yang layak

Sampai akhirnya setelah kurang lebih 6 buah penginapan kami datangi, kami pun menemukan sebuah penginapan yang memiliki budget ekonomis dan fasilitas yang ditawarkan pun cukup layak serta higienis yaitu Penginapan Hidayah 2 dengan tarif per malam sebesar 100 ribu rupiah untuk jenis kamar single, sebenarnya pada awalnya kami tidak diperbolehkan untuk menyewa kamar single namun digunakan untuk dua orang, jadi mayoritas penginapan di Kota Samarinda ini memberlakukan harga sewa kamar sesuai jumlah tamunya, dengan kata lain kamar single hanya boleh untuk 1 orang tamu, jika lebih dari itu maka harus menggunakan kamar double, namun mungkin karena kebetulan penginapan tersebut juga sedang sepi pengunjung (dan mungkin juga kasihan melihat kami berdua yang lusuh hehe…) akhirnya kami pun diperbolehkan menyewa kamar single untuk digunakan berdua, kami pun menggunakan kamar yang berada di lantai atas, untungnya dilantai atas ini terdapat 2 kamar mandi luar yang bisa kami gunakan, kamar mandinya sendiri terhitung cukup bersih dan lega namun air hanya menyala sampai jam 7 malam saja, selebihnya jika kami ingin menggunakan kamar mandi harus menghubungi penjaga penginapan untuk menyalakan pompa air

Setelah menaruh semua barang bawaan kami ke dalam kamar (untuk sepeda-sepeda kami letakkan di lobby dekat meja penerima tamu), kami pun segera bersih-bersih menyegarkan diri dan bersiap jalan-jalan keluar untuk melihat suasana Kota di malam hari sekaligus mencari makan malam untuk kemudian kembali ke penginapan dan beristirahat karena rencananya besok kami akan kembali melanjutkan perjalanan menuju Kota berikutnya yaitu Kota Balikpapan

Pengeluaran hari ini :

- 2 porsi makan siang = Rp 22.000,-
- belanja indomart = Rp 32.700,-
- penginapan hidayah 2 1malam = Rp 100.000,-
- 2 porsi makan malam = Rp 26.000,-

Total = Rp 180.700,-

Total jarak tempuh hari ini : 18,12km
============================================

Selamat pagi dari Kota Samarinda :), di hari ke-103 petualangan goweswisata ini tepatnya Tanggal 28 Maret 2016, seperti apa yang telah direncanakan sebelumnya maka hari ini kami akan kembali melanjutkan perjalanan menuju ke Kota Balikpapan

Setelah proses beres-beres mempacking semua barang bawaan keatas sepeda dan melakukan check out dari Penginapan Hidayah 2, kini kami pun kembali menyusuri ruas jalan Kota Samarinda.

Dengan melalui rute yang sama seperti pada hari sebelumnya yaitu mengikuti jalan utama yang bersebelahan dengan tepian Sungai Mahakam, disepanjang sisi jalan kami melihat berbagai lokasi kuliner yang memajang keterangan sajian menu andalannya dimana hampir semuanya mengandalkan sajian menu seafood seperti Udang Galah dan beraneka menu seafood lainnya, bahkan berdasarkan informasi yang kami dapat secara online, di Kota Samarinda ini terdapat banyak tempat wisata kuliner lainnya yang menyajikan menu makanan ekstrem seperti sate buaya dan sop ular phyton, beberapa tempat bahkan menyajikan menu seperti telur penyu yang notabene hal tersebut dilarang karena telur penyu termasuk dalam daftar hewan yang dilindungi, namun para pedagang tersebut mengatakan bahwa telur penyu yang mereka jual adalah legal karena berasal dari penangkaran yang didistribusikan secara terbatas kepada para pedagang sehingga masih dalam batas yang diperbolehkan, entahlah apakah kebenarannya memang seperti itu atau tidak

Perlahan kami telah melewati bangunan Masjid Islamic Center yang kemarin kami sambangi, kini kami pun mulai melintasi Jembatan Kertanegara, dan tepat di pertigaan setelah Jembatan tersebut kami mengambil arah ke Kanan mengikuti keterangan papan petunjuk arah yang bertuliskan arah menuju Kota Balikpapan, satu hal yang mulai kami cermati dan rasakan ketika mengayuh sepeda di Pulau Kalimantan ini adalah “ini jalannya kok banyak banget tanjakannya padahal masih dalam lingkup area Kota, sedangkan Pulau Kalimantan sendiri kan tidak ada Gunung Berapinya”, awalnya kami menganggap hal seperti ini sebagai pemanasan namun lambat laun derajat dan jumlah tanjakannya kok sepertinya mulai kebangetan, ambil contoh ketika sedang enak-enaknya jalan lurus dan datar tiba-tiba setelah tikungan 90 derajat medannya mendadak langsung menanjak curam, mana belum sempat atur shifting pula, akhirnya beberapa kali adegan mendorong sepeda pun terpaksa dilakukan

Karena kebanyakan adegan mendorong sepeda tanpa terasa waktu mulai merangkak menuju tengah hari, kini tantangan semakin bertambah karena selain menghadapi medan tanjakan kini kami juga harus menghadapi panasnya sengatan matahari, terlebih posisi Pulau Kalimantan tepat berada digaris ekuator sehingga panasnya sinar matahari terasa lebih nyelekit kala menyentuh kulit, dari atas tanjakan-tanjakan ini pula kami juga melihat beberapa lokasi bukit yang mulai gundul dan tandus karena ditambang


Ketika sedang beristirahat sejenak di sebuah kios yang tutup di pinggir jalan kami juga sempat ditraktir 2 gelas es cendol oleh pemilik sebuah kios seluler yang berada di sebelahnya, awalnya ia bertanya dari mana asal kami dan hendak kemana, setelah Beliau mendengar penuturan cerita petualangan kami maka Beliau pun langsung memanggil dan mentraktir kami es cendol yang kebetulan sedang lewat, dan ketika kami hendak melanjutkan perjalanan kembali Beliau pun langsung meneriakkan kata-kata “Semangat Mas Mbak, semoga selamat sampai di tujuan”, seraya tersenyum dan melambaikan tangan

Namun tantangan sepertinya belumlah berakhir karena setibanya kami di wilayah Kutai Kertanegara tiba-tiba Agit mengeluh karena merasa perutnya sakit, dan setelah dicek ternyata eh ternyata kejadian seperti yang kami alami sewaktu perjalanan di Pulau Sumbawa kembali terulang, yaitu mendadak Agit mengalami datang bulan, nah kalau sudah begini situasinya kembali menjadi rumit, karena kalau dilanjutkan untuk mengayuh atau mendorong sepeda kondisi fisik Agit sudah tidak memungkinkan karena merasa sakit, sedangkan perjalanan menuju ke Kota Balikpapan masih sangat jauh, terlebih posisi kami saat ini sedang berada di awal perjalanan memasuki area Bukit Soeharto yang terkenal panjang, sepi, dan penuh tanjakan yang berliku-liku, untuk menyelesaikan etape ini maka pilihan satu-satunya dan terakhir adalah dengan cara loading menggunakan kendaraan bermotor, masalahnya adakah kendaraan yang mau mengangkut sepeda-sepeda serta seluruh barang bawaan kami?

Berdasarkan informasi dari pemilik kios seluler yang mentraktir kami es cendol sebelumnya, tidak banyak kendaraan pengangkut seperti pickup disekitar wilayah ini, satu-satunya kendaraan bermotor yang mau mengangkut penumpang umum adalah taksi, yang mana sebenarnya adalah kendaraan milik pribadi namun digunakan layaknya angkutan umum, biasanya taksi yang beroperasi di wilayah ini adalah kendaraan sejenis MPV seperti Toyota Kijang, Isuzu Panther, ataupun Avanza, itupun biasanya mereka mengambil penumpang di daerah Kukar dan entahlah apakah mereka mau mengangkut sepeda dan barang bawaan kami yang cukup banyak, daripada hanya menduga-duga lebih baik dicoba saja dulu

Karena “taksi” disini semuanya berplat hitam dan tidak ada ciri khusus yang menandakan kendaraan tersebut adalah taksi atau bukan, maka saya pun mencoba mengacungkan jempol ke setiap kendaraan jenis MPV yang sedang lewat, sampai akhirnya ada salah satu mobil yang mau berhenti dan menanyakan tujuan kami

Setelah saya bertanya kepada sang pengemudi berapa tarif yang dikenakan menuju ke Kota Balikpapan serta apakah ia bersedia mengangkut semua sepeda dan bawaan kami, akhirnya proses kesepakatan pun terjadi dan kami pun mulai mencoba untuk mengatur semua sepeda dan barang bawaan kami kedalam mobil tersebut, sepanjang petualangan goweswisata selama 103 hari, maka inilah pertama kalinya kami menggunakan jasa loading untuk menuju destinasi berikutnya


Selama perjalanan sang pengemudi yang bernama Pak Topo ini seperti biasa bertanya asal dan tujuan kami, dan seiring perbincangan tersebut lambat laun suasana pun mulai berubah menjadi lebih akrab. Ia pun mulai menceritakan tentang dirinya yang ternyata merupakan seorang Transmigran dari Pulau Jawa, ia datang ke Pulau Kalimantan ini berbekal ijazah SMU, kemudian seiring waktu ia pun mulai mengambil kesempatan untuk kuliah di sebuah Universitas Terbuka dan bekerja dibidang bangunan sebagai teknik sipil, namun karena profesinya sebagai teknik sipil tersebut mengharuskannya sering bepergian dan jarang pulang, maka setelah menikah dengan orang asli Kalimantan, istrinya yang berprofesi sebagai PNS menyarankannya untuk mencari pekerjaan lain, apa saja yang penting halal asalkan ia bisa memiliki waktu lebih banyak untuk keluarga, berawal dari kegiatannya yang mengantar-jemput sang istri menuju tempat kerjanya akhirnya ia pun mulai mencoba profesi lain sebagai seorang pengemudi taksi hingga akhirnya sekarang ia kerap mendapat order antar-jemput dari beberapa orang yang telah menjadi pengguna setia jasanya, ia sendiri tidak menyangka bahwa kini dirinya bisa memiliki rumah dan kehidupan yang terbilang cukup layak untuk keluarganya di Pulau Kalimantan, Pulau dimana ia mulai membangun impian dan menata hidupnya seorang diri jauh dari tempat asalnya

Oleh karena itu begitu mengetahui bahwa kami juga berasal dari Pulau Jawa, dan setibanya di Kota Balikpapan nanti kami juga sedang mencari tempat yang bisa digunakan sebagai tempat beristirahat sementara, setidaknya selama 1 minggu maka Pak Topo pun menawarkan tempat miliknya yang ternyata juga memiliki kamar-kamar kost yang diperuntukkan bagi para karyawan atau para pendatang yang sedang bekerja di Kota Balikpapan, kami pun akhirnya setuju untuk menyewa salah satu kamar kost dikediaman Beliau dengan tarif sewa yang didiskon

Ditengah perjalanan rute Bukit Soeharto ini Pak Topo sempat berhenti sejenak untuk mengisi bensin sembari membeli beberapa makanan kecil untuk kami makan selama perjalanan ini (jika biasanya penumpang yang menawarkan makanan kepada sang pengemudi maka kini kondisinya berbalik, justru kami yang dibelikan jajanan oleh sang pengemudi), sambil berbincang-bincang saya pun mencermati kondisi rute di sepanjang Bukit Soeharto ini, dalam hati saya sempat bersyukur bahwa pilihan kami untuk menggunakan jasa loading ini ternyata merupakan keputusan yang tepat karena selain rute ini sangat panjang, sepi, penuh tanjakan dan turunan yang seakan tak ada habisnya serta beberapa kali masuk kedalam area hutan jati, sepertinya jika malam tiba maka situasi di jalur ini akan sangat gelap dan berbahaya karena ketiadaan lampu penerangan jalan, kalau sudah begitu bisa dibayangkan seperti apa repotnya jika sampai sore hari kami belum juga bisa keluar dari rute ini

Selepas wilayah Bukit Soeharto, Pak Topo bertanya bolehkah ia mampir sebentar ke suatu tempat untuk menengok lokasi dan proses pengerjaan rumah baru yang sedang ia bangun untuk anaknya, dan karena kami juga sedang tidak terburu-buru maka kami pun menjawab silahkan saja toh nantinya kami juga akan menyewa kamar kost di rumahnya, ditengah perjalanan ia pun berkata :” rumah yang baru saya bangun ini nantinya akan saya kasihkan ke salah satu dari dua orang anak saya, kalau nanti yang satunya bertanya kenapa hanya satu orang yang dibikinkan rumah ya nanti saya jawab, ojo misuh opo ngiri yo Le, karena rejeki anak kan beda-beda, kalau nanti yang satu lebih sukses atau mampu daripada yang satunya lagi setidaknya nanti yang kekurangan masih punya tempat hunian, tidak terlantar, sebagai orangtua setidaknya hanya ini yang bisa saya siapkan untuk bekal anak nantinya”, sungguh sebuah pemikiran jangka panjang dari seseorang yang mungkin diremehkan oleh orang lain dikarenakan profesinya, namun bagi kami berdua yang mendengarnya pemikiran dari Pak Topo ini terasa sangat bersahaja dan bijak sekali

Setelah selesai menengok progress pembangunan rumah barunya tersebut yang kondisinya sudah mencapai 60% dari hasil akhir nantinya, kami pun kembali melanjutkan perjalanan menuju ke kediaman Pak Topo di Kota Balikpapan, setibanya di rumah Pak Topo dan menyelesaikan administrasi jasa taksi dan sewa kamar kami pun mulai meng-unpacking barang bawaan kami dan menaruhnya didalam kamar, hari ini terasa begitu berat, selain karena faktor fisik yang semakin lelah sepertinya kami juga harus menata kembali faktor mental yang merasa mulai jenuh dengan rutinitas dan perencanaan disetiap etape harian ini, hal ini terasa cukup wajar karena sudah 3 bulan lebih kami menjalani pola hidup nomaden seperti ini, bergerak berpindah-pindah mendatangi dan menjelajahi tempat-tempat baru yang belum pernah kami datangi sebelumnya, sebuah tempat baru dimana kami tidak memiliki sanak famili maupun orang-orang yang kami kenal sebelumnya, dimana hal seperti ini seharusnya semakin memicu semangat kami yang berpegang pada sebuah keyakinan “bahwa petualangan tidak akan pernah berakhir karena dimanapun dan kapanpun juga pasti selalu ada petualangan baru untuk dibuat, orang-orang baru untuk ditemui, dan hal-hal baru untuk dipelajari”.


Pengeluaran hari ini :

- loading dari kukar-Balikpapan = Rp 150.000,-
- kost pasutri 1 minggu = Rp 500.000,-
- 2 porsi makan malam = Rp 20.000,-

Total = Rp 670.000,-

Total jarak tempuh hari ini :25,10 km

No comments:

Post a Comment