(Minggu, 18 Februari 2018)
Ide destinasi petualangan goweswisata.blogspot.co.id kali ini sebenarnya baru saja di dapat pada malam sebelum keesokan harinya saya berencana untuk melakukan gowes iseng, jadi untuk para pembaca ketahui bahwasanya setiap destinasi petualangan yang saya lakukan kebanyakan selalu serba mendadak, misalnya jauh hari sebelum hari H tanggal sekian-sekian saya memang sudah berniat untuk melakukan gowes iseng tetapi tanpa tujuan, pokoknya gowes, soal nanti tujuannya apa atau kemana ya senemunya saja, sekuat dan sesampainya, kalau bisa nemu lokasi baru ya sukur, kalaupun tidak ya anggap saja latihan olahraga, mungkin itu pula sebabnya satu persatu rekan bersepeda saya saat ini mengundurkan diri karena setiap ikut gowes bareng pasti tanpa tujuan alias masih misteri, dan jaraknya kadang kebangetan, namanya saja sekuat dan senyampenya, kan saya tidak pernah bilang patokannya sekuat siapa hehe…:D
Jadi pada malam sebelumnya ketika saya sedang membaca status teman-teman di beranda facebook tanpa sengaja ada salah satu status yang menarik perhatian saya yaitu foto seorang pesepeda yang sedang narsis di sebuah kebun bunga matahari (nah kayanya asyik nih untuk dijadikan target petualangan goweswisata besok), langkah berikutnya tentu saja mencari tahu dimana lokasi kebun bunga matahari tersebut dengan membaca di kolom komentarnya, dan dari situlah akhirnya saya mengetahui lokasi kebun bunga matahari tersebut, walaupun untuk lokasi persisnya berada dimana saya juga tidak tahu karena satu-satunya petunjuk yang saya dapatkan di kolom komentarnya hanyalah kebun bunga matahari tersebut berada di daerah Baturono, tidak jauh dari lokasi Candi Borobudur
Langkah berikutnya tentu saja mencari lokasi pastinya menggunakan googlemaps, dimulai dengan keyword kebun bunga matahari, hasilnya malah menunjukkan lokasi kebun bunga matahari yang berada di Mojokerto, apa ya kira-kira keywordnya? Coba dengan keyword Baturono hasilnya malah lokasi sebuah Masjid di wilayah Baturono, coba dengan keyword sawah bunga matahari atau kebun bunga matahari Baturono hasilnya malah no result, hadeehhh masa sih tidak ada satu orang pun yang menandai lokasi ini, tapi ya sudahlah setidaknya lokasi wilayah Baturono sendiri sudah diketahui, tinggal mencatat patokan-patokannya di kertas buat jaga-jaga jika hp lowbat dijalan
Dan hari ini saatnya petualangan dimulai, patokan pertama adalah menuju ke gerbang perbatasan DIY dengan Jateng yang berada di ruas jalan Jogja-Magelang. Untuk menuju kesana cara termudahnya adalah melalui flyover Jombor kemudian terus saja ke arah utara (konturnya nanjak landau jadi nikmatin saja)
Setelah melewati gapura perbatasan DIY-Jateng tersebut patokan berikutnya menurut googlemaps adalah setelah melewati jembatan atau dua buah sungai nantinya di sisi kiri jalan ada toko Bakpia Djava, nah dari situ masih terus saja sampai melewati 1 buah jembatan lagi lalu ketemu toko Bakpia Nirmala barulah kemudian belok ke kiri.
Dan disinilah semua keruwetan tersebut bermula, karena smartphone saya rusak (semalam saya browsing menggunakan smartphone milik istri) jadinya kali ini saya hanya mengandalkan kertas corat-coret patokan semalam saja, tanpa peta online ataupun GPS, satu-satunya yang saya ingat hanyalah jaraknya dari kediaman saya sampai menuju ke lokasi wilayah Baturono sekitar 31km, sedangkan jarak dari Candi Borobudur menuju ke Baturono sendiri sekitar 16km (Setidaknya wilayah Baturono yang saya maksud benar adanya sesuai dengan keterangan si pengupload foto tersebut yang mengatakan jaraknya sekitar 10km dari Candi Borobudur)
Gapura Perbatasan oke sudah lewat, melewati 2 jembatan besar juga sudah, Toko Bakpia Djava juga sudah ketemu, perkaranya sekarang tinggal mencari Toko Bakpia Nirmala, dari tadi lurus terus sampai menyeberang Jembatan bahkan sampai memasuki wilayah Muntilan namun Toko Bakpia Nirmala tetap saja tidak ketemu (jangan-jangan tokonya sudah bubar), padahal di Muntilan sendiri saya sampai melihat ada penunjuk arah yang menunjukkan lokasi obyek wisata Candi Ngawen tapi ini kok tidak ada tanda-tandanya penampakan penunjuk arah yang menunjukkan lokasi menuju Jalan Ngluwar atau Desa Baturono
Ahirnya disinilah terpaksa menggunakan “GPS” alias “Gunakan Penduduk Sekitar” alias bertanya, oleh salah dua pesepeda yang saya temui di Muntilan (karena ketemunya dua orang jadinya salah dua, kalau cuma seorang kan salah satu) mereka mengatakan kalau saya sudah bablas angine eehhh salah maksudnya kebablasan atau kelewatan jauh, “wah harusnya mas nya tadi pas sampai daerah semen ambil ke kiri itu lebih deket”, kata mereka, hah daerah semen? Apalagi itu? Maklum karena saya notabene bukan asli “wong yojo” makanya sampai sekarang saya masih ga mudeng dengan nama-nama wilayah, “Semen itu maksudnya pabrik semen ya?” Tanya saya, “bukan mas, semen itu nama tempatnya memang semen, bukan pabrik semen atau patokannya tadi ada kuburan cina”, jawab mereka, “kalau gini enaknya gimana ya? Kalau masnya muter sudah kejauhan, mending nanti di depan sebelum Pasar Muntilan ada jalan masuk ke kiri, nah mas nya belok situ saja nanti kira-kira 7km ada belokan lagi ke kiri arah Desa Sriwedari nah masnya belok lalu nanti tanya lagi saja sama orang-orang disitu daripada mas nya muter balik jauh”, kata mereka berdua, baiklah saatnya mencoba saran dari “GPS” versi tradisional ini, setidaknya saran mereka lebih update daripada mengikuti mentah-mentah petunjuk googlemaps (yang ada malah nyasar, mana tuh Toko Bakpianya)
Akhirnya tepat sebelum Pasar Muntilan saya pun kemudian mengambil jalan masuk ke arah kiri, kontur jalannya kali ini menurun (semoga tidak nyasar, kalau nyasar sudah kebayang kaya apa capenya muter balik dan nanjak), patokannya tinggal jarak di cyclocomp saat ini ditambah sekitar 7km dan nanti kira-kira jika sudah mendekati angka 7km tinggal nanya orang lagi (malu bertanya sesat di jalan, kebanyakan nanya malah makin riweuh karena jawaban tiap orang beda-beda)
Dan setelah 5 km terlalui saya pun berinisiatif untuk bertanya lagi kepada salah seorang mekanik sebuah bengkel motor, ia pun memberitahu “nanti kira-kira 3 persimpangan lagi mas nya tinggal belok kiri menuju ke Desa Sriwedari”, dan setelah ketemu belokannya (tentunya hasil bertanya lagi dan memastikan bahwa ini adalah belokan yang benar) saya pun berbelok ke kiri mengikuti jalan utama sampai nanti mentok ketemu pertigaan besar kemudian belok ke kiri lagi, lalu setelah belak-belok melewati beberapa jembatan (saking banyaknya bertanya saya malah jadi lupa apa saja ya tadi patokannya huehehe…) singkat kata saya pun akhirnya tiba di pertigaan yang pada papan penunjuk arahnya menunjukkan nama Jalan Ngluwar (akhirnya ketemu juga ini jalan), dari sini daripada mumet lebih baik kalian bertanya saja kepada penduduk sekitar kemana arah menuju Desa Baturono atau lokasi sawah bunga matahari, mayoritas masyarakat diwilayah ini langsung paham kok dengan yang kalian maksud, dan dari yang katanya googlemaps jaraknya dari kediaman saya sekitar 31km ternyata eh ternyata begitu saya sampai di lokasi sawah bunga matahari Baturono angka di cyclocomp sepeda saya menunjukkan angka 48km (aih-aih nyasarnya banyak banget ya sekitar 17km, pantesan cape :P)
Karena hari ini adalah weekend dan bertepatan pula dengan long weekend libur Imlek pada hari Jumat kemarin, maka suasana di lokasi Sawah Bunga Matahari ini terlihat ramai oleh pengunjung yang ingin berfoto di tengah hamparan bunga matahari (ternyata banyak juga ya jumlah orang narsis di Indonesia), kendaraan-kendaraan para pengunjung tampak di parkir disepanjang sisi jalan. Selain ramai oleh pengunjung, suasana disekitar lokasi ini juga dipadati oleh para penjual jajanan jadi kalian tidak perlu kuatir kelaparan (tapi bagi saya kalau hanya makan jajanan mah kurang nampol, rasanya cuma numpang lewat, sayangnya disini belum ada warung nasi, prinsip saya kalau jajan yang penting harus wareg alias kenyang)
Berikut ini sedikit info bagi kalian yang ingin berkunjung ke Sawah Bunga Matahari di wilayah Baturono ini :
- Alamat lengkap lokasi Sawah Bunga Matahari ini berada di Dusun Kradenan Kalikuning, Desa Baturono, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah
- Tariff retribusi parkir motor = Rp 2.000,-
- Tariff retribusi parkir mobil = Rp 5.000,-
- Tiket masuk sebesar 5 ribu rupiah/orang (dibawah usia 3 tahun gratis)
- Denda jika kalian merusak tanaman bunga matahari baik itu disengaja/ tidak sebesar 50 ribu rupiah (makanya hati-hati ya)
- Jika kalian ingin membeli tanaman bunga matahari ini kalian tinggal merogoh kocek sebesar 25 ribu rupiah
- Jam buka operasional lokasi ini yaitu jam 08.00 – 18.00 WIB
- Dilarang membawa masuk hewan peliharaan
Setelah membayar tiket masuk sebesar 5 ribu rupiah saya pun kemudian memasuki lokasi Sawah Bunga Matahari ini. Oya sebenarnya nama resmi dari tempat ini adalah Taman Dewari (begitu yang tertera di tiket masuk), namun secara pribadi saya lebih suka menyebut tempat ini dengan sebutan Sawah Bunga Matahari Baturono dengan beberapa pertimbangan antara lain jika disebut taman rasanya kurang pas karena di tempat ini tidak disediakan fasilitas apapun seperti bangku-bangku ataupun sarana penghias yang lazimnya ditemukan pada sebuah taman, kemudian jika disebut kebun bunga matahari pun rasanya juga masih kurang pas karena alasannya kurang lebih hampir sama dengan penyebutan taman, nah penyebutan Sawah Bunga Matahari menurut saya terasa lebih pas karena selain lokasinya berada diantara hamparan persawahan, tata letak pengaturan tanaman bunga matahari disinipun tak ubahnya seperti tempat pembibitan dan budidaya agrowisata tanaman bunga matahari, ditambah lagi disini juga tidak disediakan fasilitas atau sarana penghias layaknya sebuah taman
Taman Dewari atau Sawah Bunga Matahari Baturono ini secara resmi dibuka untuk umum pada hari Sabtu, 10 Februari 2018 lalu atau 1 minggu sebelum Hari Raya Imlek, sebelumnya tempat ini dibiarkan bebas begitu saja dan tidak dikelola sehingga siapapun bisa memasuki tempat ini secara gratis, namun sifat jelek masyarakat kita dengan hal-hal yang berbau gratis adalah kurangnya kesadaran untuk menjaga kelestarian tempat, sehingga tak jarang ditemukan beberapa tanaman bunga matahari yang patah, rusak ataupun hilang, belum lagi dengan sampah-sampah sisa makanan dan minuman pengunjung, maka dari itulah kini atas prakarsa dan kreativitas warga sekitar tempat ini mulai dikelola secara profesional oleh warga, dan dengan cara seperti ini pada akhirnya memberikan efek positif dimana seluruh elemen masyarakat sekitar yang dilibatkan lambat laun belajar menjadi kelompok sadar wisata, dan untuk para pengunjung yang datang pun kini mereka juga mulai belajar untuk menikmati sebuah obyek wisata dengan cara yang bertanggung jawab
Menurut sang pemilik, Beta Zanial Amirin (31), Taman Dewari lahir dari kegemarannya berburu spot selfie bersama keluarganya di berbagai daerah. Hingga akhirnya tercetuslah ide untuk membuat spot foto sendiri di lahan atau ladang milik keluarga. Ia kemudian mengubah ladang cabai menjadi Taman Bunga Matahari. Dia membeli ribuan bibit bunga ini di daerah Tangerang dan mulai menaman sejak bulan November 2017.
Menurut Beta, tanaman bunga matahari dipilih karena termasuk tanaman yang mudah dirawat. Cukup disiram air, diberi pupuk dan disiangi rumput atau tanaman liarnya.Dan tidak butuh waktu lama, kira-kira pada Januari 2017, tanaman pun mulai berbunga.
"Kami tanam sekitar 8.000 pohon, dengan luasan lahan sekitar 2.800 meter persegi. Untuk tanaman cadangan, ada sekitar 2.000 bibit pohon. Semula ladang ini untuk menaman cabai dan padi seperti ladang di sekitarnya," jelas karyawan sebuah BUMN di Yogyakarta itu.
Berbeda dengan jenis tanaman bunga lainnya, fisik tanaman bunga matahari relatif lebih kuat, tidak mudah patah dan terinjak-injak. Sehingga risiko rusaknya lebih kecil. Meskipun masa mekar bunga hanya beberapa pekan saja.
"Memang kami belum tahu pasti mekarnya berapa lama, ini baru pertama kali mekar. Beberapa pekan ke depan mungkin masih mekar. Yang pasti tanaman bunga Matahari memiliki ketahanan fisik kuat, tingginya juga setara dengan tinggi orang jadi tidak gampang diinjak-injak," urai Beta. Menurut Beta, ketahanan bunga bisa lebih lama bila musim kemarau. Sebab hujan lebat yang mengguyur Magelang belakangan ini ternyata menyebabkan beberapa bunga cepat layu.
Nama Dewari sendiri diambil dari nama belakang anak semata wayangnya, Kairavi Isvara Zan Dewari. Konsep taman ini juga telah mendapat respon positif dari masyarakat dan Pemerintah Desa Baturono.
Ada belasan warga setempat yang ikut mengelola taman Dewari, ada yang bertugas menjaga pintu tiket, parkir dan petugas yang mengawasi di dalam taman. "Motivasi kami memang ingin mengembangkan potensi destinasi wisata baru di Magelang. Syukur-syukur menjadi lahan pekerjaan baru bagi warga, selain tetap mempertahankan pertaniannya," ucap Beta
Setelah puas berkeliling dan mendokumentasikan pemandangan Sawah Bunga Matahari Baturono ini kini saatnya untuk pulang kembali ke Jogja, lewat mana ya enaknya? Kalau lewat rute saat berangkat tadi berarti bakal tambah jauh dan muter-muter donk, ya sudah kali ini mencoba rute yang berbeda (tadi pas nanya sama salah satu petugas parkirnya katanya tinggal ikuti jalan utama saja nanti nembusnya ke Jalan Jogja-Magelang kok)
Sedang enak-enaknya mengikuti jalan utama eh tiba-tiba jalanan didepan ditutup karena sedang digunakan acara melayat (pertanda rute pulang pasti bakal nyasar dan banyak nanya lagi) akhirnya saya pun berbelok ke kiri, masuk ke salah satu gang, logikanya sih harusnya ini gang paling bentuknya kotak mengitari perumahan dan bisa nembus ke jalan utama lagi, tapi karena ternyata gangnya belok-belok akhirnya saya pun kehilangan orientasi arah atau dengan kata lain saya nyasar lagi, sepertinya tersesat adalah keahlian utama saya dari dulu hehe
Akhirnya trik “GPS” alias gunakan penduduk sekitar pun saya pakai lagi, dan setelah bertanya sana-sini akhirnya saya bisa menemukan jalan “yang katanya tinggal lurus doang ntar nembus ke Jalan Jogja-Magelang”, tapi karena cuaca yang puanass poll maklum pas tengah hari cuy, malah membuat dengkul jadi ngadat, sambil mengayuh perlahan saya pun berkata dalam hati pokoknya kalau ada warung makanan berhenti dulu ah, lapeerr dan haus, mana ini jalan sepi banget pula, disepanjang sisi jalan yang ada hanya sawah, untunglah tak berapa lama kemudian nampaklah sebuah warung kecil, akhirnya ada oase
Sambil beristirahat dan memesan segelas es teh saya pun menanyakan harga gorengan dan roti yang dijual diwarung tersebut, Alhamdulillahnya ternyata semua harganya tergolong murah ahaayyyy senangnya dompetku, segelas es teh dihargai seribu rupiah (akhirnya saya pun nambah jadi dua gelas), dan untuk berjaga-jaga jika nanti kelaperan diperjalanan saya pun akhirnya membeli 3 buah roti (masing-masing seharga seribu rupiah) serta 2 buah gorengan (masing-masing seharga 500 rupiah)
Saat sedang menyusuri “jalan yang katanya tinggal lurus doang ini” tiba-tiba malah bertemu percabangan jalan, nah lho ini lurusnya ikut yang kiri atau kanan? Untungnya ada ibu-ibu bawa motor (bukan tipe yang sein kanan tapi belok kiri) sedang lewat, saya pun akhirnya bertanya arah kepada beliau dan dia memberi arahan untuk mengikuti jalan yang ke kanan dan lurus saja nanti tembusnya ke Jalan Jogja-Magelang (dalam hati sih saya ga yakin, palingan nanti ketemu percabangan lagi), dan benar saja tidak berapa lama kemudian saya pun kembali menemui percabangan jalan, jalan yang lurus kondisinya rusak parah dan entahlah ini bisa nembus atau malah buntu, sedangkan jalan yang belok ke kiri merupakan jalan yang sepertinya baru dibuat, kondisi jalannya masih berupa beton halus dan dibuat menyeberangi aliran Sungai Serayu, beberapa motor yang berpapasan dengan saya kebanyakan datang dan pergi melalui jalan yang baru ini, saya berpikir bahwa secara logika pengguna motor pasti memilih rute jalan yang bagus dan bisa tembus ke jalan besar, oleh karena itulah akhirnya saya pun mengambil keputusan untuk belok ke kiri melalui jalan yang baru serta menyeberangi aliran Sungai Serayu ini
Saat sedang menyeberang inilah saya melihat diujung jalan yang baru ini tampak beberapa remaja sedang memarkirkan motornya dan asyik berfoto-foto, ada apakah gerangan? Ternyata tepat di bagian ujung jembatan ini pada bagian turap atau dinding jalannya dicat berwarna-warni pada setiap bongkahan batu penyusun turapnya, sehingga menimbulkan ide bagi beberapa orang untuk membuat foto diri yang unik dengan latar belakang yang berwarna-warni ini, wah menarik nih gratis pula hehe
Berkat banyaknya adegan nyasar inilah saya bisa menemukan beberapa spot baru yang mungkin terlihat biasa saja namun dengan sentuhan kreativitas maka spot tersebut bisa dijadikan lokasi atau latar untuk berfoto, dan setelah selesai mendokumentasikan detail yang menarik tersebut kini saatnya melanjutkan perjalanan lagi hingga akhirnya saya pun bisa tembus juga ke ruas Jalan Jogja-Magelang, kalau sudah sampai sini sih mudah, tinggal ambil arah yang menuju ke Jogja saja sampai nanti tiba kembali di flyover Jombor, dan satu lagi keuntungan dari perjalanan pulang kali ini adalah kontur jalannya mayoritas menurun landai, lumayanlah untuk menghemat tenaga, baiklah saatnya kembali pulang untuk kemudian menulis cerita petualangan hari ini, sampai jumpa di petualangan goweswisata.blogspot.co.id berikutnya ya
Oya jadi kapan kalian berencana mengunjungi Sawah Bunga Matahari Baturono atau Taman Dewari ini? jangan lupa masukkan tempat ini sebagai salah satu destinasi wisata liburan kalian ya, dan tetap ingat untuk selalu menjaga kelestarian dan kebersihan dari tempat yang kalian kunjungi, selamat bertualang :)
Tuesday, 20 February 2018
Tuesday, 13 February 2018
CHAPTER 29; LEARN TO DANCE IN THE RAIN
Kamis, 04 Februari 2016
Setelah pada chapter sebelumnya kami telah menempuh rute yang penuh dengan “drama dan emosi”, kali ini kami mengawali hari ini dengan sedikit lebih tenang di Kota Dompu walaupun Agit masih mengalami badmood dikarenakan kondisi kamar penginapan tempat kami stay sekarang ini keadaannya cukup mengecewakan (jika tidak boleh dibilang berantakan untuk sebuah penginapan yang berada dijalur strategis dan bayar pula), namun rasanya percuma dan sayang jika kami hanya menghabiskan waktu hari ini dengan berkeluh kesah saja, lebih baik mencoba memperbaiki mood dengan berkeliling ke lokasi sekitar penginapan sambil melihat bagaimana suasana dan aktivitas warga Kota Dompu
Mas Rezta sempat datang ke penginapan kami di pagi hari sambil menanyakan apa rencana kami hari ini jika sekiranya ada yang dapat ia bantu, namun karena saat itu kami belum punya rencana apa-apa maka kami pun menjawab jika hari ini kami berencana untuk beristirahat dan mungkin siangnya hanya berjalan kaki berkeliling ke pasar dan minimarket untuk melengkapi perbekalan karena besok rencananya kami akan kembali melanjutkan perjalanan menuju ke Kota Bima
Sambil berbincang Mas Rezta pun menjelaskan bahwa kebanyakan para wisatawan yang berkunjung ke Kota Dompu ini jika pengunjungnya adalah wisatawan domestic maka kebanyakan dari mereka hanya sekedar transit saja di Kota ini sebelum melanjutkan perjalanan dari ataupun menuju ke Kota Bima, karena luas Kota Dompu sendiri memang tidaklah terlalu besar, namun jika pengunjungnya adalah wisatawan asing maka kebanyakan dari mereka yang datang adalah para surfer, karena di Kota Dompu ini terdapat sebuah pantai yang memiliki ombak yang besar dan karakternya disukai oleh para penikmat olahraga surfing yaitu Pantai Lakey. Pantai Lakey sendiri juga sudah cukup terkenal sebagai salah satu surganya para surfer dan sering dijadikan sebagai lokasi lomba surfing tingkat internasional, namun karena pada bulan ini kondisi cuacanya sedang ekstrem dan mengingat kondisi Agit yang sedang mengalami kelelahan akibat menstruasi maka kami pun memilih untuk melewatkan Pantai Lakey (daripada nanti moodnya “si cinta” malah kumat bt lagi yang ada malah makin runyam hehe)
Akhirnya kami pun menghabiskan waktu hari ini sesuai dengan rencana sebelumnya yaitu berkeliling saja, namun berkat acara “jalan-jalan iseng” tersebut kami malah menemukan lokasi surga belanja yang nyaman hehe…, mungkin bisa menjadi masukan bagi kalian jika suatu saat nanti kalian berencana mengunjungi Kota Dompu dan hendak berbelanja perbekalan baik itu makanan, minuman, serta kebutuhan sandang maka lebih baik kalian membeli semuanya di sebuah toserba yang bernama Bolly, bukannya kami bermaksud mempromosikan tempat tersebut namun disinilah kami bisa berbelanja semua kebutuhan kami dengan harga yang murah layaknya harga di Pamella Jogja, bahkan untuk kebutuhan sandang pun harganya jauh lebih murah dan dengan kualitas yang lebih bagus daripada yang dijual di pasar setempat, begitupun dengan roti-roti yang dijual disini semuanya berukuran besar, enak dan bervariasi namun tetap murah padahal disini tempatnya jauh lebih nyaman, ber-AC, bersih dan modern (coba di Jogja ada yang kaya gini, tuker deh sama Pamella hahaha…)
Selalu ada hal baik yang terjadi dikala mood kami sedang menurun sehingga kami bisa kembali menikmati perjalanan dan petualangan ini, walaupun kami tidak tahu apa yang akan terjadi besok namun setidaknya untuk hari ini kami masih bisa tersenyum, bayangkan jika seharian tadi kami hanya berdiam diri dikamar sambil berkeluh kesah berharap keadaan akan menjadi lebih baik, pastinya suasana dan keadaan tetap tidak akan berubah dan yang terjadi justru sebaliknya, kami malah bertambah saling emosi, namun untunglah walaupun perasaan negatif tersebut ada di dalam diri namun kami tidak membiarkan perasaan negatif tersebut semakin berkembang menguasai pikiran dan mengubah hari kami menjadi hari yang buruk
“Life isn’t about waiting for the storm to pass… It’s about learning to dance in the rain”
Pengeluaran hari ini :
- 2 porsi nasi campur = Rp 20.000,-
- belanja swalayan = Rp 79.350,-
- belanja perlengkapan pribadi = Rp 165.950,-
- sandal jepit = Rp 10.000,-
- 2 porsi nasi campur = Rp 20.000,-
Total = Rp 295.300,-
============================================================
Jum’at, 05 Februari 2016
Hari ini kami kembali melanjutkan perjalanan menuju ke Kota Bima, setelah proses packing dan administrasi penginapan selesai semuanya maka sekarang saatnya back on the saddle meninggalkan Kota Dompu (meninggalkan roti-roti yang lezat di Bolly :p)
Kondisi cuaca yang mendung sedari pagi pada akhirnya berubah menjadi hujan tepat disaat kami sedang menempuh medan tanjakan, sehingga situasinya kini menjadi mirip dengan ketika kemarin kami berada di Nangatumpu, untungnya mood Agit tidak seburuk kemarin, kali ini perjalanan ditempuh dengan lumayan tenang tanpa adegan ngadat dan ngambek lagi hehe (satu-satunya yang tidak berubah adalah saya kembali menggunakan trik mendorong dan mengayuh dua sepeda secara bergantian seperti ketika menghadapi tanjakan Nangatumpu)
Tanjakan Dompu merupakan tanjakan terakhir yang menjadi tantangan kami sebelum bisa sampai di Kota Bima, medan tanjakan ini kurang lebih mirip dengan tanjakan yang menuju Deles di Jogja, bedanya hanyalah disini suasananya sepi sepanjang jalan serta minim warung, sekalinya ada warung pun mereka hanya menjual snack-snack serta minuman gelas, tidak ada warung yang menjual makanan berat mungkin karena diwilayah perkampungan ini semua warganya memasak sendiri dirumahnya masing-masing
Akibat efek belum sarapan dan diguyur hujan akhirnya membuat perut ini menjadi bereaksi antara masuk angin dikompilasi dengan perasaan ingin buang air besar, huaahhh mana disini titik perkampungan juga sangat jarang pula, terpaksa saya pun menggunakan jurus konsentrasi, mencoba memikirkan hal lain selain yang berhubungan dengan toilet supaya setidaknya sejenak bisa melupakan rasa mules ini, dan ajaibnya ternyata hal tersebut berhasil hingga usai melewati semua medan tanjakan, kini saatnya turunan dan beberapa medan datar saja
Sambil menikmati medan yang datar ini mata kami pun celingukan mencari tempat yang menjual makanan berat, untunglah kami kemudian menemukan sebuah warung tenda yang menjual menu nasi soto dan berada persis disamping Kantor PLN (saatnya mengisi perut dulu)
Puas mengisi perut dengan seporsi nasi soto daging yang hangat, tidak berapa lama kemudian perut mulai terasa mules lagi untungnya kali ini kami masih berada di dekat Kantor PLN ini sehingga saya pun kemudian meminta ijin untuk menggunakan toilet (akhirnya semua beban berat tersebut bisa lepas, leganya…:D)
Sebelum kembali melanjutkan perjalanan saya pun mengecek jarak tempuh dan arah rute melalui peta online yang ada dismartphone, beberapa pesan singkat dari Mbak Henni, salah satu sobat pesepeda yang direkomendasikan oleh teman-teman pesepeda lainnya yang kami jumpai disepanjang perjalanan kami di Pulau Sumbawa ini yang mana nantinya ia akan membantu serta menjadi host kami setibanya di Kota Bima menanyakan sudah sampai mana posisi kami saat ini, saya pun membalas jika jarak dari posisi kami saat ini menuju Kota Bima masih sekitar 32km dan saya akan mengabarinya lagi jika posisi kami sudah mendekati Kota Bima
Berkat rute yang kali ini datar-datar saja akhirnya kami pun perlahan semakin mendekati Kota Bima, satu-satunya yang membuat kami menjadi sedikit bingung adalah ketika usai melewati lokasi Bandara, pada sebuah pertigaan terdapat papan penunjuk arah yang menunjukkan belok kanan untuk menuju ke Kota Bima tetapi ketika melihat medan jalannya wadaaaww kok menanjak lagi, beneran nih harus lewat sini?
Usut punya usut ternyata rute tersebut memang bisa menuju ke Kota Bima dan baru saja dibuka, jaraknya memang lebih singkat jika melalui rute tersebut namun sepertinya rute itu lebih cocok untuk dilalui oleh kendaraan bermotor saja dikarenakan derajat tanjakannya yang aduhai. Oleh salah seorang pengendara mobil kami pun diberitahu bahwa lebih baik kami menggunakan rute yang lama saja yang mengelilingi pantai, walaupun jaraknya lebih jauh namun setidaknya rutenya hanya datar, selain itu kami juga bisa menikmati pemandangan bibir pantai disepanjang rute, baiklah kami pun kemudian memilih untuk menggunakan rute yang lama saja
Pada rute yang lama ini suasana jalannya lebih lengang dibandingkan rute baru yang menanjak tadi, disini hanya sesekali kami berpapasan dengan bus. Dengan rute yang meliuk-liuk mengikuti garis pantai ini setidaknya kali ini kami tidak harus bertemu dengan tanjakan lagi (untuk sementara rasanya kami memilih rehat sejenak dari adegan nanjak-nanjak)
Tinnn… Tinnn… tiba-tiba terdengar suara klakson mobil yang mendekati kami berdua, “hallo ini Masnya yang tadi sms-an sama Kak Henni ya?”, Tanya seorang wanita yang duduk disebelah pengemudi mobil, “Ha… oh iya ini Mbak Henni ya?”, Tanya saya kemudian, “Oh bukan saya adiknya Kak Henni, tadi Kak Henni pesan ke saya untuk menjemput Mas dan Mbaknya soalnya dia masih di Kantor”, “Oh ya sudah kalau begitu mobilnya jalan duluan saja nanti kami mengikuti dari belakang biar ga bikin macet kendaraan lainnya”, jawab saya.
Sambil mengikuti mobil tersebut, saya pun mengamati suasana yang ada disepanjang rute ini sampai akhirnya kami pun berhenti sejenak untuk mengambil foto tepat di depan gerbang batas wilayah Kota Bima, Alhamdulillah setelah menempuh perjalanan ratusan kilometer akhirnya kami bisa sampai juga ke Kota Bima dengan menggunakan kendaraan sepeda kayuh (terbukti human power is strong)
Sesampainya di kediaman Mbak Henni (yang ternyata juga merupakan pemilik kost-kost-an) kami pun diberi sebuah kunci kamar kost yang sedang kosong yang dapat kami gunakan untuk beristirahat selama berada di Kota Bima ini. Setelah meng-unpacking semua barang bawaan dan memasukkan sepeda-sepeda kami ke dalam kamar, saya pun berbincang-bincang dengan Mbak Henni dan keluarganya.
Kali ini tampaknya kami mendapat host seseorang yang merupakan penghobby traveling dan sepeda, perbincangan menjadi cair dan asyik karena Mbak Henni juga mengundang salah seorang temannya yang berprofesi sebagai seorang travel fotografer sehingga kami saling bertukar informasi seputar destinasi wisata menarik yang ada di sekitar Kota Bima ini, rasanya menyenangkan karena disini kami tidak terlalu membahas merk sepeda melainkan yang menjadi topik utama adalah seputar dunia perjalanan dan lokasi-lokasi unik yang sebaiknya tidak kami lewatkan selama berada disini, karena jujur saja kami berdua pun sebenarnya juga tidak terlalu peduli dengan merk sepeda kami masing-masing hehe (apalagi bagi Agit yang benar-benar tidak mudeng dengan sepeda, baginya selama sepedanya bisa nggelinding ga rusak, tidak kempes maka artinya bagus)… bagi kami berdua selama geometrinya sudah pas, aman, kuat, dan nyaman maka itu sudah cukup bagi kami, karena toh yang kami nikmati adalah perjalanannya, bukan sekedar merk sepedanya (brand hanya merupakan penjamin kualitas dari produk tersebut, namun faktor kenyamanan seringkali bersifat subjectif dan berbeda pada setiap orang, terlepas dari kualitas yang ditawarkan ataupun brand yang digunakan), lagipula seringkali kami juga hanya berkeliling dengan berjalan kaki atau mencoba menggunakan transportasi umum setempat supaya bisa merasakan dan menyatu dengan keadaan sekitar dimana kami berada. Mungkin cara setiap orang berbeda-beda dan tidak ada yang salah, namun bagi kami berdua beginilah cara kami menikmati setiap moment perjalanan ini :)
Pengeluaran hari ini :
- 2 porsi nasi soto daging = Rp 20.000,-
- 3 roti + 3 minuman gelas = Rp 6.000,-
Total = Rp 26.000,-
Total jarak tempuh hari ini : 65,54km
Setelah pada chapter sebelumnya kami telah menempuh rute yang penuh dengan “drama dan emosi”, kali ini kami mengawali hari ini dengan sedikit lebih tenang di Kota Dompu walaupun Agit masih mengalami badmood dikarenakan kondisi kamar penginapan tempat kami stay sekarang ini keadaannya cukup mengecewakan (jika tidak boleh dibilang berantakan untuk sebuah penginapan yang berada dijalur strategis dan bayar pula), namun rasanya percuma dan sayang jika kami hanya menghabiskan waktu hari ini dengan berkeluh kesah saja, lebih baik mencoba memperbaiki mood dengan berkeliling ke lokasi sekitar penginapan sambil melihat bagaimana suasana dan aktivitas warga Kota Dompu
Mas Rezta sempat datang ke penginapan kami di pagi hari sambil menanyakan apa rencana kami hari ini jika sekiranya ada yang dapat ia bantu, namun karena saat itu kami belum punya rencana apa-apa maka kami pun menjawab jika hari ini kami berencana untuk beristirahat dan mungkin siangnya hanya berjalan kaki berkeliling ke pasar dan minimarket untuk melengkapi perbekalan karena besok rencananya kami akan kembali melanjutkan perjalanan menuju ke Kota Bima
Sambil berbincang Mas Rezta pun menjelaskan bahwa kebanyakan para wisatawan yang berkunjung ke Kota Dompu ini jika pengunjungnya adalah wisatawan domestic maka kebanyakan dari mereka hanya sekedar transit saja di Kota ini sebelum melanjutkan perjalanan dari ataupun menuju ke Kota Bima, karena luas Kota Dompu sendiri memang tidaklah terlalu besar, namun jika pengunjungnya adalah wisatawan asing maka kebanyakan dari mereka yang datang adalah para surfer, karena di Kota Dompu ini terdapat sebuah pantai yang memiliki ombak yang besar dan karakternya disukai oleh para penikmat olahraga surfing yaitu Pantai Lakey. Pantai Lakey sendiri juga sudah cukup terkenal sebagai salah satu surganya para surfer dan sering dijadikan sebagai lokasi lomba surfing tingkat internasional, namun karena pada bulan ini kondisi cuacanya sedang ekstrem dan mengingat kondisi Agit yang sedang mengalami kelelahan akibat menstruasi maka kami pun memilih untuk melewatkan Pantai Lakey (daripada nanti moodnya “si cinta” malah kumat bt lagi yang ada malah makin runyam hehe)
Akhirnya kami pun menghabiskan waktu hari ini sesuai dengan rencana sebelumnya yaitu berkeliling saja, namun berkat acara “jalan-jalan iseng” tersebut kami malah menemukan lokasi surga belanja yang nyaman hehe…, mungkin bisa menjadi masukan bagi kalian jika suatu saat nanti kalian berencana mengunjungi Kota Dompu dan hendak berbelanja perbekalan baik itu makanan, minuman, serta kebutuhan sandang maka lebih baik kalian membeli semuanya di sebuah toserba yang bernama Bolly, bukannya kami bermaksud mempromosikan tempat tersebut namun disinilah kami bisa berbelanja semua kebutuhan kami dengan harga yang murah layaknya harga di Pamella Jogja, bahkan untuk kebutuhan sandang pun harganya jauh lebih murah dan dengan kualitas yang lebih bagus daripada yang dijual di pasar setempat, begitupun dengan roti-roti yang dijual disini semuanya berukuran besar, enak dan bervariasi namun tetap murah padahal disini tempatnya jauh lebih nyaman, ber-AC, bersih dan modern (coba di Jogja ada yang kaya gini, tuker deh sama Pamella hahaha…)
Selalu ada hal baik yang terjadi dikala mood kami sedang menurun sehingga kami bisa kembali menikmati perjalanan dan petualangan ini, walaupun kami tidak tahu apa yang akan terjadi besok namun setidaknya untuk hari ini kami masih bisa tersenyum, bayangkan jika seharian tadi kami hanya berdiam diri dikamar sambil berkeluh kesah berharap keadaan akan menjadi lebih baik, pastinya suasana dan keadaan tetap tidak akan berubah dan yang terjadi justru sebaliknya, kami malah bertambah saling emosi, namun untunglah walaupun perasaan negatif tersebut ada di dalam diri namun kami tidak membiarkan perasaan negatif tersebut semakin berkembang menguasai pikiran dan mengubah hari kami menjadi hari yang buruk
“Life isn’t about waiting for the storm to pass… It’s about learning to dance in the rain”
Pengeluaran hari ini :
- 2 porsi nasi campur = Rp 20.000,-
- belanja swalayan = Rp 79.350,-
- belanja perlengkapan pribadi = Rp 165.950,-
- sandal jepit = Rp 10.000,-
- 2 porsi nasi campur = Rp 20.000,-
Total = Rp 295.300,-
============================================================
Jum’at, 05 Februari 2016
Hari ini kami kembali melanjutkan perjalanan menuju ke Kota Bima, setelah proses packing dan administrasi penginapan selesai semuanya maka sekarang saatnya back on the saddle meninggalkan Kota Dompu (meninggalkan roti-roti yang lezat di Bolly :p)
Kondisi cuaca yang mendung sedari pagi pada akhirnya berubah menjadi hujan tepat disaat kami sedang menempuh medan tanjakan, sehingga situasinya kini menjadi mirip dengan ketika kemarin kami berada di Nangatumpu, untungnya mood Agit tidak seburuk kemarin, kali ini perjalanan ditempuh dengan lumayan tenang tanpa adegan ngadat dan ngambek lagi hehe (satu-satunya yang tidak berubah adalah saya kembali menggunakan trik mendorong dan mengayuh dua sepeda secara bergantian seperti ketika menghadapi tanjakan Nangatumpu)
Tanjakan Dompu merupakan tanjakan terakhir yang menjadi tantangan kami sebelum bisa sampai di Kota Bima, medan tanjakan ini kurang lebih mirip dengan tanjakan yang menuju Deles di Jogja, bedanya hanyalah disini suasananya sepi sepanjang jalan serta minim warung, sekalinya ada warung pun mereka hanya menjual snack-snack serta minuman gelas, tidak ada warung yang menjual makanan berat mungkin karena diwilayah perkampungan ini semua warganya memasak sendiri dirumahnya masing-masing
Akibat efek belum sarapan dan diguyur hujan akhirnya membuat perut ini menjadi bereaksi antara masuk angin dikompilasi dengan perasaan ingin buang air besar, huaahhh mana disini titik perkampungan juga sangat jarang pula, terpaksa saya pun menggunakan jurus konsentrasi, mencoba memikirkan hal lain selain yang berhubungan dengan toilet supaya setidaknya sejenak bisa melupakan rasa mules ini, dan ajaibnya ternyata hal tersebut berhasil hingga usai melewati semua medan tanjakan, kini saatnya turunan dan beberapa medan datar saja
Sambil menikmati medan yang datar ini mata kami pun celingukan mencari tempat yang menjual makanan berat, untunglah kami kemudian menemukan sebuah warung tenda yang menjual menu nasi soto dan berada persis disamping Kantor PLN (saatnya mengisi perut dulu)
Puas mengisi perut dengan seporsi nasi soto daging yang hangat, tidak berapa lama kemudian perut mulai terasa mules lagi untungnya kali ini kami masih berada di dekat Kantor PLN ini sehingga saya pun kemudian meminta ijin untuk menggunakan toilet (akhirnya semua beban berat tersebut bisa lepas, leganya…:D)
Sebelum kembali melanjutkan perjalanan saya pun mengecek jarak tempuh dan arah rute melalui peta online yang ada dismartphone, beberapa pesan singkat dari Mbak Henni, salah satu sobat pesepeda yang direkomendasikan oleh teman-teman pesepeda lainnya yang kami jumpai disepanjang perjalanan kami di Pulau Sumbawa ini yang mana nantinya ia akan membantu serta menjadi host kami setibanya di Kota Bima menanyakan sudah sampai mana posisi kami saat ini, saya pun membalas jika jarak dari posisi kami saat ini menuju Kota Bima masih sekitar 32km dan saya akan mengabarinya lagi jika posisi kami sudah mendekati Kota Bima
Berkat rute yang kali ini datar-datar saja akhirnya kami pun perlahan semakin mendekati Kota Bima, satu-satunya yang membuat kami menjadi sedikit bingung adalah ketika usai melewati lokasi Bandara, pada sebuah pertigaan terdapat papan penunjuk arah yang menunjukkan belok kanan untuk menuju ke Kota Bima tetapi ketika melihat medan jalannya wadaaaww kok menanjak lagi, beneran nih harus lewat sini?
Usut punya usut ternyata rute tersebut memang bisa menuju ke Kota Bima dan baru saja dibuka, jaraknya memang lebih singkat jika melalui rute tersebut namun sepertinya rute itu lebih cocok untuk dilalui oleh kendaraan bermotor saja dikarenakan derajat tanjakannya yang aduhai. Oleh salah seorang pengendara mobil kami pun diberitahu bahwa lebih baik kami menggunakan rute yang lama saja yang mengelilingi pantai, walaupun jaraknya lebih jauh namun setidaknya rutenya hanya datar, selain itu kami juga bisa menikmati pemandangan bibir pantai disepanjang rute, baiklah kami pun kemudian memilih untuk menggunakan rute yang lama saja
Pada rute yang lama ini suasana jalannya lebih lengang dibandingkan rute baru yang menanjak tadi, disini hanya sesekali kami berpapasan dengan bus. Dengan rute yang meliuk-liuk mengikuti garis pantai ini setidaknya kali ini kami tidak harus bertemu dengan tanjakan lagi (untuk sementara rasanya kami memilih rehat sejenak dari adegan nanjak-nanjak)
Tinnn… Tinnn… tiba-tiba terdengar suara klakson mobil yang mendekati kami berdua, “hallo ini Masnya yang tadi sms-an sama Kak Henni ya?”, Tanya seorang wanita yang duduk disebelah pengemudi mobil, “Ha… oh iya ini Mbak Henni ya?”, Tanya saya kemudian, “Oh bukan saya adiknya Kak Henni, tadi Kak Henni pesan ke saya untuk menjemput Mas dan Mbaknya soalnya dia masih di Kantor”, “Oh ya sudah kalau begitu mobilnya jalan duluan saja nanti kami mengikuti dari belakang biar ga bikin macet kendaraan lainnya”, jawab saya.
Sambil mengikuti mobil tersebut, saya pun mengamati suasana yang ada disepanjang rute ini sampai akhirnya kami pun berhenti sejenak untuk mengambil foto tepat di depan gerbang batas wilayah Kota Bima, Alhamdulillah setelah menempuh perjalanan ratusan kilometer akhirnya kami bisa sampai juga ke Kota Bima dengan menggunakan kendaraan sepeda kayuh (terbukti human power is strong)
Sesampainya di kediaman Mbak Henni (yang ternyata juga merupakan pemilik kost-kost-an) kami pun diberi sebuah kunci kamar kost yang sedang kosong yang dapat kami gunakan untuk beristirahat selama berada di Kota Bima ini. Setelah meng-unpacking semua barang bawaan dan memasukkan sepeda-sepeda kami ke dalam kamar, saya pun berbincang-bincang dengan Mbak Henni dan keluarganya.
Kali ini tampaknya kami mendapat host seseorang yang merupakan penghobby traveling dan sepeda, perbincangan menjadi cair dan asyik karena Mbak Henni juga mengundang salah seorang temannya yang berprofesi sebagai seorang travel fotografer sehingga kami saling bertukar informasi seputar destinasi wisata menarik yang ada di sekitar Kota Bima ini, rasanya menyenangkan karena disini kami tidak terlalu membahas merk sepeda melainkan yang menjadi topik utama adalah seputar dunia perjalanan dan lokasi-lokasi unik yang sebaiknya tidak kami lewatkan selama berada disini, karena jujur saja kami berdua pun sebenarnya juga tidak terlalu peduli dengan merk sepeda kami masing-masing hehe (apalagi bagi Agit yang benar-benar tidak mudeng dengan sepeda, baginya selama sepedanya bisa nggelinding ga rusak, tidak kempes maka artinya bagus)… bagi kami berdua selama geometrinya sudah pas, aman, kuat, dan nyaman maka itu sudah cukup bagi kami, karena toh yang kami nikmati adalah perjalanannya, bukan sekedar merk sepedanya (brand hanya merupakan penjamin kualitas dari produk tersebut, namun faktor kenyamanan seringkali bersifat subjectif dan berbeda pada setiap orang, terlepas dari kualitas yang ditawarkan ataupun brand yang digunakan), lagipula seringkali kami juga hanya berkeliling dengan berjalan kaki atau mencoba menggunakan transportasi umum setempat supaya bisa merasakan dan menyatu dengan keadaan sekitar dimana kami berada. Mungkin cara setiap orang berbeda-beda dan tidak ada yang salah, namun bagi kami berdua beginilah cara kami menikmati setiap moment perjalanan ini :)
Pengeluaran hari ini :
- 2 porsi nasi soto daging = Rp 20.000,-
- 3 roti + 3 minuman gelas = Rp 6.000,-
Total = Rp 26.000,-
Total jarak tempuh hari ini : 65,54km
Wednesday, 7 February 2018
CHAPTER 28; THE FAMOUS NANGATUMPU
Rabu, 03 Februari 2016
Waktu menunjukkan pukul 5 pagi, suara kokokan ayam dan kumandang adzan subuh yang mulai menggema melalui pengeras suara di surau setempat menandakan kini waktunya bagi kami untuk mulai bersiap walaupun sebenarnya badan masih enggan beranjak dari ranjang empuk yang sedang kami tiduri ini.
Huuaaahhhh…kretek…kretek, sambil menguap dan menggeliat seluruh badan rasanya masih terasa pegal setelah kemarin seharian melahap medan tanjakan, namun penderitaan belum usai saudara-saudara karena hari ini rute kami adalah harus menghadapi dan melewati medan tanjakan Nangatumpu untuk menuju ke Kota Dompu
Tanjakan Nangatumpu sendiri sejak awal kedatangan kami di Pelabuhan Pototano sering dibicarakan oleh beberapa orang yang kami jumpai sepanjang perjalanan ini, menurut mereka rute terberat kami untuk menuju ke Kota Bima salah satunya adalah pada titik tanjakan Nangatumpu yang menuju ke Kota Dompu, “apa ga ada jalan lainnya? Lewat mana gitu yang datar-datar saja, jauh dikit gapapa deh asal ga nanjak?”, pertanyaan tersebut sudah berulangkali kami tanyakan ketika mereka membahas medan tanjakan Nangatumpu ini, dan jawabannya pun selalu sama dan simple yaitu “ga ada mas, lha jalannya cuma satu itu saja, ga bercabang”, ya sudahlah berarti kami memang ditakdirkan untuk menghadapi tantangan yang satu ini
Begitupun sewaktu kami menumpang beristirahat sejenak di Kantor Polisi wilayah Rhee, menurut beberapa petugas disana tanjakan Nangatumpu sebenarnya ga berat-berat amat konturnya sekarang jika dibandingkan dengan kondisinya waktu dulu, “tanjakannya sebenarnya kalau dibilang tinggi ya ga tinggi-tinggi amat mas, tapi dibilang pendek ya engga juga”, (berarti tetep tinggi dunk namanya), kalau dilihat melalui peta (baik itu peta online maupun peta offline) medan nangatumpu sendiri sudah dipastikan konturnya menanjak karena melalui daerah berwarna hijau yang jaraknya lumayan panjang, “kalau sekarang tanjakan nangatumpu sudah diperlebar ruas jalannya dan ketinggiannya juga sudah dipapas sekitar 10 meter dibanding dulu, kalau dulu mah wuuu sudah jalannya kecil mepet tebing dan jurang, gelap kalau malam, banyak rampok, sepi ga ada perkampungan (yang rame ya rampoknya itu), kadang-kadang tebingnya longsor pula kalau pas hujan deras”, kata petugas kepolisian wilayah Rhee yang menemani kami kala sedang beristirahat (ini bapaknya lagi curhat atau lagi nakut-nakutin sih? Kok serem amat ceritanya) dan masih banyak lagi cerita-cerita seputar tanjakan ini yang sepertinya cukup terkenal di kalangan goweser lokal Sumbawa.
Nah dengan berbekal cerita-cerita “menyeramkan” seperti itu dan tidak ada bayangan sama sekali seperti apa nantinya medan tanjakan nangatumpu kini kami pun bersiap untuk mulai melanjutkan perjalanan, semangat kaka
Setelah proses packing selesai kami pun berpamitan dan mengucapkan banyak terimakasih kepada sang pemilik rumah dan keluarganya. Suasana pagi di wilayah Kwangko ini terlihat masih sangat sepi dibandingkan dengan wilayah-wilayah yang sebelumnya telah kami lewati, para warga di wilayah Kwangko ini mayoritas bekerja sebagai nelayan atau berladang. Selepas wilayah Kwangko kami menemui sebuah perkampungan lagi namun kami lupa apa namanya, disini ketika kami mencari toilet untuk buang air kecil ternyata susahnya minta ampun karena beberapa sumur warga sedang dalam kondisi kering (padahal sedang musim hujan) dan sumber airnya pun entah dimana sampai akhirnya dipinggir jalan saya melihat ada sebuah bangunan Mushalla kecil yang memiliki toilet luar dengan sebuah tandon air yang berada di bagian atas toilet tersebut, harusnya sih toilet tersebut berfungsi mari kita coba :).
Bangunan Mushalla tersebut sebenarnya entah masih digunakan atau tidak karena kondisinya cukup mengenaskan dengan kaca-kaca yang kusam dan bolong serta rumput liar yang mulai tinggi dibagian halamannya, untungnya pintu toilet tersebut hanya dipasang gembok yang menggantung saja dan tidak terkunci, srrrrr….suara air mulai mengucur ketika saya mengetes kran air yang berada didalamnya, Alhamdulillah setidaknya ada air, bodo amat mau bersih atau tidak yang penting ada air (logikanya sih harusnya air bersih karena berasal dari tandon diatasnya, paling kotor-kotor dikit bekas lumut tidak mengapa), kabar gembira ini pun saya sampaikan ke Agit yang menunggu diluar dan kami pun akhirnya bergantian menggunakannya (buat orang-orang yang suka boros air lebih baik cepetan insap deh sebelum kondisinya sulit air kaya gini)
Setelah puas mandi kini badan rasanya kembali segar, kami pun sempat membeli beberapa buah roti dan minuman gelas di sebuah warung kecil yang berada tidak jauh dari bangunan Mushalla tersebut, setidaknya lumayan untuk sarapan dan bekal untuk berjaga-jaga jika kondisinya medannya sepi seperti kemarin
Setelah beberapa kilometer kemudian dikejauhan kami mulai melihat medan tanjakan yang berada tepat menyusuri pinggir bukit, sepertinya medan tanjakan inilah yang disebut tanjakan Nangatumpu. Tepat sebelum mulai memasuki rute menanjak ada sebuah tempat makan yang sepertinya merupakan satu-satunya disini, tempat ini juga digunakan sebagai tempat pemberhentian atau transit bus, disinilah satu-satunya kesempatan bagi kalian untuk mengisi perbekalan dan makan karena setelah tempat ini maka yang kalian lihat nantinya hanyalah rute tanjakan yang sepi dan panjang, kami pun menyempatkan diri untuk berhenti sejenak dan mengisi perut sembari bertanya seputar rute ini
Karena tempat ini merupakan satu-satunya tempat makan yang beroperasi maka tidak perlu heran jika harga makanan disini sedikit lebih mahal dibanding biasanya (tenang saja harganya tidak semahal tempat-tempat makan tempat transit bus yang ada di jalur Pantura Pulau Jawa kok dimana harga mi gelasnya mencapai 9 ribu, itu pun bukan pop mie tapi mi gelas yang murahan, kampret emang harga di Pulau Jawa), disini seporsi nasi campur dihargai 15 ribu rupiah (hanya selisih 3 ribu dengan tempat lain di Pulau Sumbawa, jadi masih wajarlah), kali ini bukan cuma kami saja yang menjadi pengunjung warung makan ini, beberapa penumpang yang sedang menunggu bus transit juga tampak ramai memesan dan makan sebelum mereka kembali melanjutkan perjalanan.
Perlahan sedikit demi sedikit suasana kembali menjadi tenang karena beberapa bus tampak sudah mulai kembali berangkat melanjutkan perjalanan menuju Kota Sumbawa dan Pelabuhan Pototano, kami pun sempat bertanya seputar medan tanjakan Nangatumpu ini kepada sang pemilik warung makan ini, menurutnya dulu kondisi tanjakan Nangatumpu ini sangat menyeramkan, selain karena ketinggian tanjakannya juga dikarenakan banyaknya aksi perampok yang mencegat bus dan kendaraan pribadi, maraknya aksi kriminal tersebut tidak lepas karena ketiadaan pos-pos polisi disepanjang jalur ini serta masih belum meratanya pembangunan di Pulau Sumbawa, namun semenjak warung ini dibangun dan kondisi nangatumpu juga sudah dibenahi antara lain dengan memperluas lebar jalan, memapas ketinggiannya, pemberian pagar pembatas serta semakin meratanya pembangunan maka Alhamdulillah sekarang jalur nangatumpu sudah aman dari kriminalitas, walaupun jalur ini masih sepi namun sudah dipastikan bahwa jalur ini sekarang aman, jadi tenang saja kata sang pemilik warung dengan ramahnya
Akhirnya setelah selesai mengisi perut dan perbekalan kini kami pun mulai memasuki medan menanjak Nangatumpu ini, walaupun kondisi aspalnya bagus dan mulus namun tetap saja dimana-mana yang namanya menanjak itu pasti terasa berat dan melelahkan, dan mungkin karena terlalu stressnya karena dari kemarin selalu saja menanjak pada akhirnya membuat Agit menjadi ngadat dan kesal pada dirinya sekaligus pada medan tanjakannya, sambil menangis ia pun mulai merasa kesal dan tidak mau melanjutkan perjalanan ini lagi (mungkin ia lelah :D) nah dititik inilah saya pada akhirnya merasa medan ini menjadi benar-benar terasa berat (bagi saya pribadi derajat tanjakannya sih biasa saja dibandingkan tanjakan Menoreh), yang membuat berat disini adalah karena saya harus bisa mengatur emosi dan mencoba menenangkan Agit, karena mau sampai kapan kami hanya berdiam ditempat ini, yang ada nantinya malah keburu gelap sedangkan kondisi disekitarnya sudah tidak ada perkampungan sama sekali, mau balik lagi tetap saja harus menanjak, nunggu bus? Itu pun lewatnya jarang-jarang, mereka pun belum tentu mau mengangkut kami dan sepeda-sepeda kami, satu-satunya pilihan adalah kami harus tetap bergerak maju melanjutkan perjalanan, walau perlahan namun kami harus tetap maju, oleh karena itulah saya pun menyarankan kepada Agit “ya sudah begini saja, kalau tidak kuat mengayuh kamu jalan kaki saja nanti sepedanya saya yang dorong, pelan juga gapapa yang penting terus jalan”, dan walau sambil cemberut tapi akhirnya Agit mau juga saya suruh berjalan, sedangkan untuk sepedanya sendiri begini triknya, pertama saya mengayuh sepeda saya sendiri sampai ke titik dimana saya masih dapat mengawasinya, setelah itu saya berjalan kaki menuruni tanjakan kemudian kembali menanjak lagi sambil mengayuh sepeda milik Agit sehingga total saya menjadi dua kali kerja untuk menyelesaikan medan tanjakan ini (yang penting bisa terus maju)
Disalah satu tikungan ada seorang bapak-bapak yang sepertinya heran melihat saya mengayuh sepeda menaiki tanjakan ini, ia pun berkata “ini masih jauh lho mas tanjakannya”, “iya gapapa pak yang penting masih bisa didorong kalau capek”, jawab saya sambil tersenyum (yah anggap saja mencoba mengetes batas kemampuan diri hehe)
Dan sialnya cobaan belum berhenti sampai disitu saja, karena tidak berapa lama kemudian Agit mengeluh jika ia merasa perutnya sakit dan sepertinya mendadak ia mengalami menstruasi, nah lho komplit sudah mau cari toilet dimana, perkampungan saja tidak ada apalagi toilet, mau cari sungai juga mustahil karena disepanjang jalur ini tidak ada aliran sungai, yang ada hanya pohon, tebing, dan semak-semak, akhirnya dalam keadaan darurat saya pun menyarankan supaya ia mencari semak-semak dan memakai pampersnya disana saja, awalnya tentu saja ia marah, kesal, dan tambah nangis (habis mau gimana lagi namanya juga lagi bertualang), dan dengan segenap perasaan kesalnya (entah kesal dengan dirinya sendiri atau kesal dengan petualangan ini atau kesal sama saya) akhirnya perjalanan pun kembali berlanjut dengan adegan jalan kaki nuntun sepeda, daripada Agit dipaksa untuk mengayuh yang ada malah makin uring-uringan dianya (ntar malah jadi super saiya), sedikit demi sedikit setidaknya jarak ke kota tujuan mulai berkurang, sesekali saya mencoba mengalihkan focus perhatian Agit supaya lupa dengan rasa sakit dan kesalnya (bagi yang cowok kalau mau uji kesabaran emosi dengan pasangan tercinta silahkan dicoba, sudah sama-sama cape, cape’an saya sih sebenarnya karena jadi dorong dua sepeda dan gowes dua kali naik tanjakan, ditambah kuping harus dengerin segala keluh kesah pasangan yang lagi bad mood, dan disalah-salahin pula,hadeuh kalau bukan karena cinta ini mah tau dah gimana saya bisa bertahan, mana si cinta ngedumel-ngedumel wae)
Pemandangan dari atas (masih di tengah tanjakan) seperti ini, jadi silahkan bayangkan seperti apa ketinggian tanjakannya, mana panjang banget ga habis-habis pula
Masih dimedan tanjakan nangatumpu yang ga selesai-selesai karena kebanyakan adegan dramanya, dikejauhan mendung mulai tampak menggelayut, angin pun mulai bertiup kencang (jangan sampai hujan kek, bisa tambah runyam ntar situasinya) diseberang terlihat hujan tampaknya sudah turun dengan derasnya mengguyur wilayah yang berada dibagian bawah, untunglah tampaknya angin yang membawa awan hujan mulai berbelok menjauh dari wilayah nangatumpu sehingga kami tidak kehujanan, beberapa kali kami berhenti sejenak untuk beristirahat dan mengendalikan emosi masing-masing, beberapa orang pekerja yang kami temui terlihat sedang mengikis bagian tebing supaya tidak longsor turut menyemangati kami sambil mengatakan bagian puncak tanjakannya sudah tidak terlalu jauh lagi kok, terimakasih ya bapak-bapak semuanya
Dan setelah berkilo-kilometer kemudian akhirnya kini jalan terlihat mulai menurun (sepertinya kami sudah berhasil mencapai bagian puncak tanjakan nangatumpu), sayangnya justru dibagian puncak inilah hujan mulai turun mengguyur kami, namun setidaknya kini kami bisa kembali menaiki sepeda masing-masing karena jalur selanjutnya hanyalah medan turunan dan mulai datar
Kondisi hujan terus mengiringi kami sampai kami memasuki gerbang wilayah Kota Dompu, setidaknya kini waktunya bagi kami untuk mulai mencari tempat beristirahat hari ini karena hari sudah menjelang sore. Sambil celingak-celinguk mata kami mencari tempat penginapan yang sekiranya bisa kami jadikan tempat beristirahat, “Dari mana bang dan mau kemana?”, sapa seorang pengendara motor yang tiba-tiba menghampiri dan turut mengiringi kayuhan sepeda kami dengan sepeda motornya, “oh ini tadi pagi dari Kwangko dan sekarang lagi mau cari penginapan, kira-kira dimana ya ada penginapan yang murah?”, tanya saya pada mas pengendara motor tadi yang bernama Mas Rezta setelah kami saling berkenalan, “kalau penginapan coba saya tanya ke teman saya yang punya penginapan dulu ya mas kira-kira dia masih ada kamar kosong tidak, ikuti saya saja ya bang”,akhirnya kami pun mengikuti Mas Rezta dari belakang ia pun mengatakan: “iya, tadi saya liat abang dan mbaknya pas tikungan dekat jembatan tadi, saya pikir wah ini siapa gowes hujan-hujan begini mana bawaannya banyak banget, pasti lagi touring ini, makanya tadi langsung saya kejar karena bagi kami yang anggota komunitas motor ini siapapun yang memakai kendaraan roda dua baik itu motor maupun sepeda, selama kita sama-sama menggunakan jalan yang sama maka kita itu saudara dan harus saling membantu, kalau disini di Dompu ini kita menyebutnya dengan istilah Kalemboade bang”, oh begitu toh dari komunitas motor ternyata walaupun saya masih belum mudeng dengan istilah “kalemboade” tersebut
Sesampainya di sebuah penginapan di Jalan Soekarno-Hatta Mas Rezta pun bertanya apakah masih ada kamar kosong yang bisa kami gunakan, namun sayangnya ternyata semua kamar sedang dalam keadaan penuh, akhirnya kami pun mencoba bertanya ke penginapan lainnya yang berada tepat diseberang penginapan tadi, untunglah masih ada kamar kosong yang bisa kami gunakan, walaupun kondisi kamarnya jujur saja tidak terlalu menarik namun setidaknya ada kamar mandi dalam yang berfungsi, baiklah kami pun kemudian mengambil kamar ini dan menyelesaikan proses administrasinya di bagian resepsionis, paling tidak hari ini sudah terselamatkan dari segala cobaan dan drama disepanjang perjalanan, untuk dua hari kedepan ini rencananya kami akan stay sejenak di Kota Dompu ini sembari menunggu kondisi Agit kembali membaik
Pengeluaran hari ini :
- 2 porsi nasi campur = Rp 30.000,-
- 1 botol teh pucuk besar = Rp 10.000,-
- 5 roti = Rp 10.000,-
- 10 minuman gelas = Rp 10.000,-
- 2 porsi nasi campur = Rp 20.000,-
- 1 botol aqua 1,5L = Rp 6.000,-
- 1 botol teh pucuk sedang = Rp 4.000,-
- penginapan 2 malam = Rp 150.000,-
Total = Rp 240.000,-
Total jarak tempuh hari ini : 53,13km
Waktu menunjukkan pukul 5 pagi, suara kokokan ayam dan kumandang adzan subuh yang mulai menggema melalui pengeras suara di surau setempat menandakan kini waktunya bagi kami untuk mulai bersiap walaupun sebenarnya badan masih enggan beranjak dari ranjang empuk yang sedang kami tiduri ini.
Huuaaahhhh…kretek…kretek, sambil menguap dan menggeliat seluruh badan rasanya masih terasa pegal setelah kemarin seharian melahap medan tanjakan, namun penderitaan belum usai saudara-saudara karena hari ini rute kami adalah harus menghadapi dan melewati medan tanjakan Nangatumpu untuk menuju ke Kota Dompu
Tanjakan Nangatumpu sendiri sejak awal kedatangan kami di Pelabuhan Pototano sering dibicarakan oleh beberapa orang yang kami jumpai sepanjang perjalanan ini, menurut mereka rute terberat kami untuk menuju ke Kota Bima salah satunya adalah pada titik tanjakan Nangatumpu yang menuju ke Kota Dompu, “apa ga ada jalan lainnya? Lewat mana gitu yang datar-datar saja, jauh dikit gapapa deh asal ga nanjak?”, pertanyaan tersebut sudah berulangkali kami tanyakan ketika mereka membahas medan tanjakan Nangatumpu ini, dan jawabannya pun selalu sama dan simple yaitu “ga ada mas, lha jalannya cuma satu itu saja, ga bercabang”, ya sudahlah berarti kami memang ditakdirkan untuk menghadapi tantangan yang satu ini
Begitupun sewaktu kami menumpang beristirahat sejenak di Kantor Polisi wilayah Rhee, menurut beberapa petugas disana tanjakan Nangatumpu sebenarnya ga berat-berat amat konturnya sekarang jika dibandingkan dengan kondisinya waktu dulu, “tanjakannya sebenarnya kalau dibilang tinggi ya ga tinggi-tinggi amat mas, tapi dibilang pendek ya engga juga”, (berarti tetep tinggi dunk namanya), kalau dilihat melalui peta (baik itu peta online maupun peta offline) medan nangatumpu sendiri sudah dipastikan konturnya menanjak karena melalui daerah berwarna hijau yang jaraknya lumayan panjang, “kalau sekarang tanjakan nangatumpu sudah diperlebar ruas jalannya dan ketinggiannya juga sudah dipapas sekitar 10 meter dibanding dulu, kalau dulu mah wuuu sudah jalannya kecil mepet tebing dan jurang, gelap kalau malam, banyak rampok, sepi ga ada perkampungan (yang rame ya rampoknya itu), kadang-kadang tebingnya longsor pula kalau pas hujan deras”, kata petugas kepolisian wilayah Rhee yang menemani kami kala sedang beristirahat (ini bapaknya lagi curhat atau lagi nakut-nakutin sih? Kok serem amat ceritanya) dan masih banyak lagi cerita-cerita seputar tanjakan ini yang sepertinya cukup terkenal di kalangan goweser lokal Sumbawa.
Nah dengan berbekal cerita-cerita “menyeramkan” seperti itu dan tidak ada bayangan sama sekali seperti apa nantinya medan tanjakan nangatumpu kini kami pun bersiap untuk mulai melanjutkan perjalanan, semangat kaka
Setelah proses packing selesai kami pun berpamitan dan mengucapkan banyak terimakasih kepada sang pemilik rumah dan keluarganya. Suasana pagi di wilayah Kwangko ini terlihat masih sangat sepi dibandingkan dengan wilayah-wilayah yang sebelumnya telah kami lewati, para warga di wilayah Kwangko ini mayoritas bekerja sebagai nelayan atau berladang. Selepas wilayah Kwangko kami menemui sebuah perkampungan lagi namun kami lupa apa namanya, disini ketika kami mencari toilet untuk buang air kecil ternyata susahnya minta ampun karena beberapa sumur warga sedang dalam kondisi kering (padahal sedang musim hujan) dan sumber airnya pun entah dimana sampai akhirnya dipinggir jalan saya melihat ada sebuah bangunan Mushalla kecil yang memiliki toilet luar dengan sebuah tandon air yang berada di bagian atas toilet tersebut, harusnya sih toilet tersebut berfungsi mari kita coba :).
Bangunan Mushalla tersebut sebenarnya entah masih digunakan atau tidak karena kondisinya cukup mengenaskan dengan kaca-kaca yang kusam dan bolong serta rumput liar yang mulai tinggi dibagian halamannya, untungnya pintu toilet tersebut hanya dipasang gembok yang menggantung saja dan tidak terkunci, srrrrr….suara air mulai mengucur ketika saya mengetes kran air yang berada didalamnya, Alhamdulillah setidaknya ada air, bodo amat mau bersih atau tidak yang penting ada air (logikanya sih harusnya air bersih karena berasal dari tandon diatasnya, paling kotor-kotor dikit bekas lumut tidak mengapa), kabar gembira ini pun saya sampaikan ke Agit yang menunggu diluar dan kami pun akhirnya bergantian menggunakannya (buat orang-orang yang suka boros air lebih baik cepetan insap deh sebelum kondisinya sulit air kaya gini)
Setelah puas mandi kini badan rasanya kembali segar, kami pun sempat membeli beberapa buah roti dan minuman gelas di sebuah warung kecil yang berada tidak jauh dari bangunan Mushalla tersebut, setidaknya lumayan untuk sarapan dan bekal untuk berjaga-jaga jika kondisinya medannya sepi seperti kemarin
Setelah beberapa kilometer kemudian dikejauhan kami mulai melihat medan tanjakan yang berada tepat menyusuri pinggir bukit, sepertinya medan tanjakan inilah yang disebut tanjakan Nangatumpu. Tepat sebelum mulai memasuki rute menanjak ada sebuah tempat makan yang sepertinya merupakan satu-satunya disini, tempat ini juga digunakan sebagai tempat pemberhentian atau transit bus, disinilah satu-satunya kesempatan bagi kalian untuk mengisi perbekalan dan makan karena setelah tempat ini maka yang kalian lihat nantinya hanyalah rute tanjakan yang sepi dan panjang, kami pun menyempatkan diri untuk berhenti sejenak dan mengisi perut sembari bertanya seputar rute ini
Karena tempat ini merupakan satu-satunya tempat makan yang beroperasi maka tidak perlu heran jika harga makanan disini sedikit lebih mahal dibanding biasanya (tenang saja harganya tidak semahal tempat-tempat makan tempat transit bus yang ada di jalur Pantura Pulau Jawa kok dimana harga mi gelasnya mencapai 9 ribu, itu pun bukan pop mie tapi mi gelas yang murahan, kampret emang harga di Pulau Jawa), disini seporsi nasi campur dihargai 15 ribu rupiah (hanya selisih 3 ribu dengan tempat lain di Pulau Sumbawa, jadi masih wajarlah), kali ini bukan cuma kami saja yang menjadi pengunjung warung makan ini, beberapa penumpang yang sedang menunggu bus transit juga tampak ramai memesan dan makan sebelum mereka kembali melanjutkan perjalanan.
Perlahan sedikit demi sedikit suasana kembali menjadi tenang karena beberapa bus tampak sudah mulai kembali berangkat melanjutkan perjalanan menuju Kota Sumbawa dan Pelabuhan Pototano, kami pun sempat bertanya seputar medan tanjakan Nangatumpu ini kepada sang pemilik warung makan ini, menurutnya dulu kondisi tanjakan Nangatumpu ini sangat menyeramkan, selain karena ketinggian tanjakannya juga dikarenakan banyaknya aksi perampok yang mencegat bus dan kendaraan pribadi, maraknya aksi kriminal tersebut tidak lepas karena ketiadaan pos-pos polisi disepanjang jalur ini serta masih belum meratanya pembangunan di Pulau Sumbawa, namun semenjak warung ini dibangun dan kondisi nangatumpu juga sudah dibenahi antara lain dengan memperluas lebar jalan, memapas ketinggiannya, pemberian pagar pembatas serta semakin meratanya pembangunan maka Alhamdulillah sekarang jalur nangatumpu sudah aman dari kriminalitas, walaupun jalur ini masih sepi namun sudah dipastikan bahwa jalur ini sekarang aman, jadi tenang saja kata sang pemilik warung dengan ramahnya
Akhirnya setelah selesai mengisi perut dan perbekalan kini kami pun mulai memasuki medan menanjak Nangatumpu ini, walaupun kondisi aspalnya bagus dan mulus namun tetap saja dimana-mana yang namanya menanjak itu pasti terasa berat dan melelahkan, dan mungkin karena terlalu stressnya karena dari kemarin selalu saja menanjak pada akhirnya membuat Agit menjadi ngadat dan kesal pada dirinya sekaligus pada medan tanjakannya, sambil menangis ia pun mulai merasa kesal dan tidak mau melanjutkan perjalanan ini lagi (mungkin ia lelah :D) nah dititik inilah saya pada akhirnya merasa medan ini menjadi benar-benar terasa berat (bagi saya pribadi derajat tanjakannya sih biasa saja dibandingkan tanjakan Menoreh), yang membuat berat disini adalah karena saya harus bisa mengatur emosi dan mencoba menenangkan Agit, karena mau sampai kapan kami hanya berdiam ditempat ini, yang ada nantinya malah keburu gelap sedangkan kondisi disekitarnya sudah tidak ada perkampungan sama sekali, mau balik lagi tetap saja harus menanjak, nunggu bus? Itu pun lewatnya jarang-jarang, mereka pun belum tentu mau mengangkut kami dan sepeda-sepeda kami, satu-satunya pilihan adalah kami harus tetap bergerak maju melanjutkan perjalanan, walau perlahan namun kami harus tetap maju, oleh karena itulah saya pun menyarankan kepada Agit “ya sudah begini saja, kalau tidak kuat mengayuh kamu jalan kaki saja nanti sepedanya saya yang dorong, pelan juga gapapa yang penting terus jalan”, dan walau sambil cemberut tapi akhirnya Agit mau juga saya suruh berjalan, sedangkan untuk sepedanya sendiri begini triknya, pertama saya mengayuh sepeda saya sendiri sampai ke titik dimana saya masih dapat mengawasinya, setelah itu saya berjalan kaki menuruni tanjakan kemudian kembali menanjak lagi sambil mengayuh sepeda milik Agit sehingga total saya menjadi dua kali kerja untuk menyelesaikan medan tanjakan ini (yang penting bisa terus maju)
Disalah satu tikungan ada seorang bapak-bapak yang sepertinya heran melihat saya mengayuh sepeda menaiki tanjakan ini, ia pun berkata “ini masih jauh lho mas tanjakannya”, “iya gapapa pak yang penting masih bisa didorong kalau capek”, jawab saya sambil tersenyum (yah anggap saja mencoba mengetes batas kemampuan diri hehe)
Dan sialnya cobaan belum berhenti sampai disitu saja, karena tidak berapa lama kemudian Agit mengeluh jika ia merasa perutnya sakit dan sepertinya mendadak ia mengalami menstruasi, nah lho komplit sudah mau cari toilet dimana, perkampungan saja tidak ada apalagi toilet, mau cari sungai juga mustahil karena disepanjang jalur ini tidak ada aliran sungai, yang ada hanya pohon, tebing, dan semak-semak, akhirnya dalam keadaan darurat saya pun menyarankan supaya ia mencari semak-semak dan memakai pampersnya disana saja, awalnya tentu saja ia marah, kesal, dan tambah nangis (habis mau gimana lagi namanya juga lagi bertualang), dan dengan segenap perasaan kesalnya (entah kesal dengan dirinya sendiri atau kesal dengan petualangan ini atau kesal sama saya) akhirnya perjalanan pun kembali berlanjut dengan adegan jalan kaki nuntun sepeda, daripada Agit dipaksa untuk mengayuh yang ada malah makin uring-uringan dianya (ntar malah jadi super saiya), sedikit demi sedikit setidaknya jarak ke kota tujuan mulai berkurang, sesekali saya mencoba mengalihkan focus perhatian Agit supaya lupa dengan rasa sakit dan kesalnya (bagi yang cowok kalau mau uji kesabaran emosi dengan pasangan tercinta silahkan dicoba, sudah sama-sama cape, cape’an saya sih sebenarnya karena jadi dorong dua sepeda dan gowes dua kali naik tanjakan, ditambah kuping harus dengerin segala keluh kesah pasangan yang lagi bad mood, dan disalah-salahin pula,hadeuh kalau bukan karena cinta ini mah tau dah gimana saya bisa bertahan, mana si cinta ngedumel-ngedumel wae)
Pemandangan dari atas (masih di tengah tanjakan) seperti ini, jadi silahkan bayangkan seperti apa ketinggian tanjakannya, mana panjang banget ga habis-habis pula
Masih dimedan tanjakan nangatumpu yang ga selesai-selesai karena kebanyakan adegan dramanya, dikejauhan mendung mulai tampak menggelayut, angin pun mulai bertiup kencang (jangan sampai hujan kek, bisa tambah runyam ntar situasinya) diseberang terlihat hujan tampaknya sudah turun dengan derasnya mengguyur wilayah yang berada dibagian bawah, untunglah tampaknya angin yang membawa awan hujan mulai berbelok menjauh dari wilayah nangatumpu sehingga kami tidak kehujanan, beberapa kali kami berhenti sejenak untuk beristirahat dan mengendalikan emosi masing-masing, beberapa orang pekerja yang kami temui terlihat sedang mengikis bagian tebing supaya tidak longsor turut menyemangati kami sambil mengatakan bagian puncak tanjakannya sudah tidak terlalu jauh lagi kok, terimakasih ya bapak-bapak semuanya
Dan setelah berkilo-kilometer kemudian akhirnya kini jalan terlihat mulai menurun (sepertinya kami sudah berhasil mencapai bagian puncak tanjakan nangatumpu), sayangnya justru dibagian puncak inilah hujan mulai turun mengguyur kami, namun setidaknya kini kami bisa kembali menaiki sepeda masing-masing karena jalur selanjutnya hanyalah medan turunan dan mulai datar
Kondisi hujan terus mengiringi kami sampai kami memasuki gerbang wilayah Kota Dompu, setidaknya kini waktunya bagi kami untuk mulai mencari tempat beristirahat hari ini karena hari sudah menjelang sore. Sambil celingak-celinguk mata kami mencari tempat penginapan yang sekiranya bisa kami jadikan tempat beristirahat, “Dari mana bang dan mau kemana?”, sapa seorang pengendara motor yang tiba-tiba menghampiri dan turut mengiringi kayuhan sepeda kami dengan sepeda motornya, “oh ini tadi pagi dari Kwangko dan sekarang lagi mau cari penginapan, kira-kira dimana ya ada penginapan yang murah?”, tanya saya pada mas pengendara motor tadi yang bernama Mas Rezta setelah kami saling berkenalan, “kalau penginapan coba saya tanya ke teman saya yang punya penginapan dulu ya mas kira-kira dia masih ada kamar kosong tidak, ikuti saya saja ya bang”,akhirnya kami pun mengikuti Mas Rezta dari belakang ia pun mengatakan: “iya, tadi saya liat abang dan mbaknya pas tikungan dekat jembatan tadi, saya pikir wah ini siapa gowes hujan-hujan begini mana bawaannya banyak banget, pasti lagi touring ini, makanya tadi langsung saya kejar karena bagi kami yang anggota komunitas motor ini siapapun yang memakai kendaraan roda dua baik itu motor maupun sepeda, selama kita sama-sama menggunakan jalan yang sama maka kita itu saudara dan harus saling membantu, kalau disini di Dompu ini kita menyebutnya dengan istilah Kalemboade bang”, oh begitu toh dari komunitas motor ternyata walaupun saya masih belum mudeng dengan istilah “kalemboade” tersebut
Sesampainya di sebuah penginapan di Jalan Soekarno-Hatta Mas Rezta pun bertanya apakah masih ada kamar kosong yang bisa kami gunakan, namun sayangnya ternyata semua kamar sedang dalam keadaan penuh, akhirnya kami pun mencoba bertanya ke penginapan lainnya yang berada tepat diseberang penginapan tadi, untunglah masih ada kamar kosong yang bisa kami gunakan, walaupun kondisi kamarnya jujur saja tidak terlalu menarik namun setidaknya ada kamar mandi dalam yang berfungsi, baiklah kami pun kemudian mengambil kamar ini dan menyelesaikan proses administrasinya di bagian resepsionis, paling tidak hari ini sudah terselamatkan dari segala cobaan dan drama disepanjang perjalanan, untuk dua hari kedepan ini rencananya kami akan stay sejenak di Kota Dompu ini sembari menunggu kondisi Agit kembali membaik
Pengeluaran hari ini :
- 2 porsi nasi campur = Rp 30.000,-
- 1 botol teh pucuk besar = Rp 10.000,-
- 5 roti = Rp 10.000,-
- 10 minuman gelas = Rp 10.000,-
- 2 porsi nasi campur = Rp 20.000,-
- 1 botol aqua 1,5L = Rp 6.000,-
- 1 botol teh pucuk sedang = Rp 4.000,-
- penginapan 2 malam = Rp 150.000,-
Total = Rp 240.000,-
Total jarak tempuh hari ini : 53,13km
Subscribe to:
Posts (Atom)