Thursday, 30 August 2018

CHAPTER 45; SAMARINDA

Selamat datang di Kota Samarinda, kota yang menjadi ibukota dari Propinsi Kalimantan Timur ini ternyata suasananya kota banget Bro, berbeda dari apa yang selama ini kami pikirkan jika mendengar nama Pulau Kalimantan, dimana hal yang pertama terlintas di kepala pastilah tentang hutan yang lebat dimana-mana, rawa-rawa, nyamuk-nyamuk ganas, kemudian sungai yang besar dengan buaya-buaya liar yang berenang didalamnya, serta keberadaan suku-suku etnik yang kehidupannya masih primitif, yang ternyata semuanya itu salah, karena suasana di Kota Samarinda kini tak ubahnya seperti suasana kota-kota besar lainnya yang ada di Pulau Jawa, bedanya hanya disini Sungainya sangat lebar oleh karena itu masyarakat disekitar sini akhirnya memanfaatkan keberadaan Sungai Mahakam ini sebagai jalur transportasi air menggunakan jukung (perahu panjang tanpa mesin) atau cess (perahu bermesin)

Sekilas tentang sejarah keberadaan Kota Samarinda ini sendiri berawal dari kedatangan orang-orang Bugis-Wajo ke Kalimantan Timur pada awal Tahun 1668. Mereka ini tak lain adalah pengikut Sultan Hasanuddin (Raja Gowa) yang melarikan diri dari Sulawesi karena tidak mau tunduk kepada penjajah Belanda.

Rombongan yang kala itu dipimpin oleh Lamohang Daeng Mangkona ini melabuhkan kapalnya di bagian Timur Pulau Kalimantan yang pada waktu itu masih merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Kutai, singkat cerita mereka akhirnya diterima oleh Raja Kutai dengan syarat harus bersedia membantu Kerajaan Kutai dalam menghadapi serangan musuh-musuhnya

Setelah menerima persyaratan tersebut, para imigran dari Bugis-Wajo ini kemudian diberikan lahan sebagai tempat tinggal mereka di kawasan Kampung Melantai, namun sebagian lainnya merasa lebih senang tinggal di kawasan Muara Karang Semumus yang dikelilingi wilayah Pegunungan Selili, akhirnya mereka pun mulai membuka dan membangun hunian disekitar wilayah tersebut, ditempat ini rumah-rumah mereka dibangun sama tinggi dan sama rendah, baik yang berada diatas air maupun yang berada didaratan atau tepian sungai karena bagi mereka hal ini melambangkan kesetaraan dalam hidup atau sederajat

Dari sinilah kemudian dikenal istilah Samarenda (sama rendah) yang lambat laun pengucapan atau pelafalannya berubah menjadi Samarinda, nama inilah yang pada akhirnya digunakan oleh wilayah kampung yang berada disekitar tepian Sungai Mahakam tersebut hingga wilayah ini berkembang sampai sekarang. Berdasarkan fakta sejarah itulah hari jadi Kota Samarinda ditetapkan jatuh pertama kali pada Tanggal 21 Januari 1668 sebagai pengingat tonggak awal kedatangan orang-orang Bugis-Wajo di wilayah Kalimantan Timur

Kami sendiri akhirnya mulai menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Kota yang juga dikenal sebagai wilayah pusat produksi dan perdagangan kayu dunia ini sekitar tengah hari, di hari ke-102 petualangan kami atau tepatnya Tanggal 27 Maret 2016, setelah kapal yang kami tumpangi berlabuh di Pelabuhan Samarinda

Hal pertama yang kami pikirkan setelah berada di Kota ini tentu saja mencari tempat untuk mandi, makan, dan beristirahat, karena jika kami memaksakan untuk terus melanjutkan perjalanan menuju ke Kota Balikpapan hari ini maka waktunya sudah tidak memungkinkan, ditambah lagi kami masih minim informasi mengenai kondisi rute yang menuju ke Kota Balikpapan

Begitu kami mulai keluar dari area Pelabuhan bersamaan dengan para penumpang kapal lainnya yang sedang menunggu jemputan, beberapa sorot mata dari orang-orang yang berada disekitar Pelabuhan tampak memandangi kami berdua dengan tatapan heran, hmmm…sepertinya di Pulau Kalimantan ini masih jarang dilintasi oleh para pesepeda jarak jauh, sehingga bagi mereka kedatangan kami yang menggunakan sepeda kayuh penuh gembolan ini tampak aneh dimata mereka

Perlahan kami mulai menyusuri ruas Jalan di Kota samarinda mengikuti garis tepian Sungai Mahakam, beberapa bangunan perkantoran, hotel-hotel mewah, restaurant, hingga aneka tempat kuliner dan bisnis lainnya tampak memenuhi sisi jalan dengan view yang menghadap kearah Sungai Mahakam, sampai kemudian di kejauhan kami melihat ada sebuah Jembatan besar dan panjang berwarna kuning, yaitu Jembatan Kertanegara yang bentuknya mirip seperti Jembatan Golden Gate di San Fransisco

Sebelum melintasi Jembatan ini kami sempat berhenti sejenak di Islamic Center Kota Samarinda, yaitu sebuah bangunan Masjid Agung berukuran besar untuk sekedar menumpang beristirahat dan bersih-bersih sembari mengatur rencana untuk hari ini, cuaca di Kota Samarinda sendiri hari ini terasa cukup panas dan menyengat oleh karena itu menyegarkan diri sejenak sambil beribadah sepertinya merupakan keputusan yang tepat





Setelah dirasa cukup beristirahat dan mengumpulkan informasi online seputar Kota ini kami memutuskan untuk kembali ke wilayah sekitar area Pelabuhan, karena berdasarkan hasil googling ternyata disekitar wilayah tersebut banyak terdapat penginapan dengan harga ekonomis jika dibandingkan dengan hotel atau penginapan lainnya yang ada di kawasan pusat kota

Setibanya disekitar kawasan tersebut maka perburuan penginapan dengan budget ekonomis pun dimulai, beberapa kali kami keluar masuk gang untuk sekedar bertanya harga penginapan, salah satu kendala disini adalah banyak dari penyedia jasa penginapan tersebut yang tidak mau menunjukkan kondisi kamarnya sebelum kami setuju untuk membayar (ini seperti membeli kucing dalam karung karena kami harus membayar terlebih dulu untuk fasilitas yang tidak kami ketahui seperti apa bentuknya), dan karena kami tidak mau mengulang kesalahan yang sama seperti waktu berada di Parepare maka kami pun akhirnya pergi dan mencari penginapan lainnya yang sesuai dengan budget kami namun memiliki fasilitas yang layak

Sampai akhirnya setelah kurang lebih 6 buah penginapan kami datangi, kami pun menemukan sebuah penginapan yang memiliki budget ekonomis dan fasilitas yang ditawarkan pun cukup layak serta higienis yaitu Penginapan Hidayah 2 dengan tarif per malam sebesar 100 ribu rupiah untuk jenis kamar single, sebenarnya pada awalnya kami tidak diperbolehkan untuk menyewa kamar single namun digunakan untuk dua orang, jadi mayoritas penginapan di Kota Samarinda ini memberlakukan harga sewa kamar sesuai jumlah tamunya, dengan kata lain kamar single hanya boleh untuk 1 orang tamu, jika lebih dari itu maka harus menggunakan kamar double, namun mungkin karena kebetulan penginapan tersebut juga sedang sepi pengunjung (dan mungkin juga kasihan melihat kami berdua yang lusuh hehe…) akhirnya kami pun diperbolehkan menyewa kamar single untuk digunakan berdua, kami pun menggunakan kamar yang berada di lantai atas, untungnya dilantai atas ini terdapat 2 kamar mandi luar yang bisa kami gunakan, kamar mandinya sendiri terhitung cukup bersih dan lega namun air hanya menyala sampai jam 7 malam saja, selebihnya jika kami ingin menggunakan kamar mandi harus menghubungi penjaga penginapan untuk menyalakan pompa air

Setelah menaruh semua barang bawaan kami ke dalam kamar (untuk sepeda-sepeda kami letakkan di lobby dekat meja penerima tamu), kami pun segera bersih-bersih menyegarkan diri dan bersiap jalan-jalan keluar untuk melihat suasana Kota di malam hari sekaligus mencari makan malam untuk kemudian kembali ke penginapan dan beristirahat karena rencananya besok kami akan kembali melanjutkan perjalanan menuju Kota berikutnya yaitu Kota Balikpapan

Pengeluaran hari ini :

- 2 porsi makan siang = Rp 22.000,-
- belanja indomart = Rp 32.700,-
- penginapan hidayah 2 1malam = Rp 100.000,-
- 2 porsi makan malam = Rp 26.000,-

Total = Rp 180.700,-

Total jarak tempuh hari ini : 18,12km
============================================

Selamat pagi dari Kota Samarinda :), di hari ke-103 petualangan goweswisata ini tepatnya Tanggal 28 Maret 2016, seperti apa yang telah direncanakan sebelumnya maka hari ini kami akan kembali melanjutkan perjalanan menuju ke Kota Balikpapan

Setelah proses beres-beres mempacking semua barang bawaan keatas sepeda dan melakukan check out dari Penginapan Hidayah 2, kini kami pun kembali menyusuri ruas jalan Kota Samarinda.

Dengan melalui rute yang sama seperti pada hari sebelumnya yaitu mengikuti jalan utama yang bersebelahan dengan tepian Sungai Mahakam, disepanjang sisi jalan kami melihat berbagai lokasi kuliner yang memajang keterangan sajian menu andalannya dimana hampir semuanya mengandalkan sajian menu seafood seperti Udang Galah dan beraneka menu seafood lainnya, bahkan berdasarkan informasi yang kami dapat secara online, di Kota Samarinda ini terdapat banyak tempat wisata kuliner lainnya yang menyajikan menu makanan ekstrem seperti sate buaya dan sop ular phyton, beberapa tempat bahkan menyajikan menu seperti telur penyu yang notabene hal tersebut dilarang karena telur penyu termasuk dalam daftar hewan yang dilindungi, namun para pedagang tersebut mengatakan bahwa telur penyu yang mereka jual adalah legal karena berasal dari penangkaran yang didistribusikan secara terbatas kepada para pedagang sehingga masih dalam batas yang diperbolehkan, entahlah apakah kebenarannya memang seperti itu atau tidak

Perlahan kami telah melewati bangunan Masjid Islamic Center yang kemarin kami sambangi, kini kami pun mulai melintasi Jembatan Kertanegara, dan tepat di pertigaan setelah Jembatan tersebut kami mengambil arah ke Kanan mengikuti keterangan papan petunjuk arah yang bertuliskan arah menuju Kota Balikpapan, satu hal yang mulai kami cermati dan rasakan ketika mengayuh sepeda di Pulau Kalimantan ini adalah “ini jalannya kok banyak banget tanjakannya padahal masih dalam lingkup area Kota, sedangkan Pulau Kalimantan sendiri kan tidak ada Gunung Berapinya”, awalnya kami menganggap hal seperti ini sebagai pemanasan namun lambat laun derajat dan jumlah tanjakannya kok sepertinya mulai kebangetan, ambil contoh ketika sedang enak-enaknya jalan lurus dan datar tiba-tiba setelah tikungan 90 derajat medannya mendadak langsung menanjak curam, mana belum sempat atur shifting pula, akhirnya beberapa kali adegan mendorong sepeda pun terpaksa dilakukan

Karena kebanyakan adegan mendorong sepeda tanpa terasa waktu mulai merangkak menuju tengah hari, kini tantangan semakin bertambah karena selain menghadapi medan tanjakan kini kami juga harus menghadapi panasnya sengatan matahari, terlebih posisi Pulau Kalimantan tepat berada digaris ekuator sehingga panasnya sinar matahari terasa lebih nyelekit kala menyentuh kulit, dari atas tanjakan-tanjakan ini pula kami juga melihat beberapa lokasi bukit yang mulai gundul dan tandus karena ditambang


Ketika sedang beristirahat sejenak di sebuah kios yang tutup di pinggir jalan kami juga sempat ditraktir 2 gelas es cendol oleh pemilik sebuah kios seluler yang berada di sebelahnya, awalnya ia bertanya dari mana asal kami dan hendak kemana, setelah Beliau mendengar penuturan cerita petualangan kami maka Beliau pun langsung memanggil dan mentraktir kami es cendol yang kebetulan sedang lewat, dan ketika kami hendak melanjutkan perjalanan kembali Beliau pun langsung meneriakkan kata-kata “Semangat Mas Mbak, semoga selamat sampai di tujuan”, seraya tersenyum dan melambaikan tangan

Namun tantangan sepertinya belumlah berakhir karena setibanya kami di wilayah Kutai Kertanegara tiba-tiba Agit mengeluh karena merasa perutnya sakit, dan setelah dicek ternyata eh ternyata kejadian seperti yang kami alami sewaktu perjalanan di Pulau Sumbawa kembali terulang, yaitu mendadak Agit mengalami datang bulan, nah kalau sudah begini situasinya kembali menjadi rumit, karena kalau dilanjutkan untuk mengayuh atau mendorong sepeda kondisi fisik Agit sudah tidak memungkinkan karena merasa sakit, sedangkan perjalanan menuju ke Kota Balikpapan masih sangat jauh, terlebih posisi kami saat ini sedang berada di awal perjalanan memasuki area Bukit Soeharto yang terkenal panjang, sepi, dan penuh tanjakan yang berliku-liku, untuk menyelesaikan etape ini maka pilihan satu-satunya dan terakhir adalah dengan cara loading menggunakan kendaraan bermotor, masalahnya adakah kendaraan yang mau mengangkut sepeda-sepeda serta seluruh barang bawaan kami?

Berdasarkan informasi dari pemilik kios seluler yang mentraktir kami es cendol sebelumnya, tidak banyak kendaraan pengangkut seperti pickup disekitar wilayah ini, satu-satunya kendaraan bermotor yang mau mengangkut penumpang umum adalah taksi, yang mana sebenarnya adalah kendaraan milik pribadi namun digunakan layaknya angkutan umum, biasanya taksi yang beroperasi di wilayah ini adalah kendaraan sejenis MPV seperti Toyota Kijang, Isuzu Panther, ataupun Avanza, itupun biasanya mereka mengambil penumpang di daerah Kukar dan entahlah apakah mereka mau mengangkut sepeda dan barang bawaan kami yang cukup banyak, daripada hanya menduga-duga lebih baik dicoba saja dulu

Karena “taksi” disini semuanya berplat hitam dan tidak ada ciri khusus yang menandakan kendaraan tersebut adalah taksi atau bukan, maka saya pun mencoba mengacungkan jempol ke setiap kendaraan jenis MPV yang sedang lewat, sampai akhirnya ada salah satu mobil yang mau berhenti dan menanyakan tujuan kami

Setelah saya bertanya kepada sang pengemudi berapa tarif yang dikenakan menuju ke Kota Balikpapan serta apakah ia bersedia mengangkut semua sepeda dan bawaan kami, akhirnya proses kesepakatan pun terjadi dan kami pun mulai mencoba untuk mengatur semua sepeda dan barang bawaan kami kedalam mobil tersebut, sepanjang petualangan goweswisata selama 103 hari, maka inilah pertama kalinya kami menggunakan jasa loading untuk menuju destinasi berikutnya


Selama perjalanan sang pengemudi yang bernama Pak Topo ini seperti biasa bertanya asal dan tujuan kami, dan seiring perbincangan tersebut lambat laun suasana pun mulai berubah menjadi lebih akrab. Ia pun mulai menceritakan tentang dirinya yang ternyata merupakan seorang Transmigran dari Pulau Jawa, ia datang ke Pulau Kalimantan ini berbekal ijazah SMU, kemudian seiring waktu ia pun mulai mengambil kesempatan untuk kuliah di sebuah Universitas Terbuka dan bekerja dibidang bangunan sebagai teknik sipil, namun karena profesinya sebagai teknik sipil tersebut mengharuskannya sering bepergian dan jarang pulang, maka setelah menikah dengan orang asli Kalimantan, istrinya yang berprofesi sebagai PNS menyarankannya untuk mencari pekerjaan lain, apa saja yang penting halal asalkan ia bisa memiliki waktu lebih banyak untuk keluarga, berawal dari kegiatannya yang mengantar-jemput sang istri menuju tempat kerjanya akhirnya ia pun mulai mencoba profesi lain sebagai seorang pengemudi taksi hingga akhirnya sekarang ia kerap mendapat order antar-jemput dari beberapa orang yang telah menjadi pengguna setia jasanya, ia sendiri tidak menyangka bahwa kini dirinya bisa memiliki rumah dan kehidupan yang terbilang cukup layak untuk keluarganya di Pulau Kalimantan, Pulau dimana ia mulai membangun impian dan menata hidupnya seorang diri jauh dari tempat asalnya

Oleh karena itu begitu mengetahui bahwa kami juga berasal dari Pulau Jawa, dan setibanya di Kota Balikpapan nanti kami juga sedang mencari tempat yang bisa digunakan sebagai tempat beristirahat sementara, setidaknya selama 1 minggu maka Pak Topo pun menawarkan tempat miliknya yang ternyata juga memiliki kamar-kamar kost yang diperuntukkan bagi para karyawan atau para pendatang yang sedang bekerja di Kota Balikpapan, kami pun akhirnya setuju untuk menyewa salah satu kamar kost dikediaman Beliau dengan tarif sewa yang didiskon

Ditengah perjalanan rute Bukit Soeharto ini Pak Topo sempat berhenti sejenak untuk mengisi bensin sembari membeli beberapa makanan kecil untuk kami makan selama perjalanan ini (jika biasanya penumpang yang menawarkan makanan kepada sang pengemudi maka kini kondisinya berbalik, justru kami yang dibelikan jajanan oleh sang pengemudi), sambil berbincang-bincang saya pun mencermati kondisi rute di sepanjang Bukit Soeharto ini, dalam hati saya sempat bersyukur bahwa pilihan kami untuk menggunakan jasa loading ini ternyata merupakan keputusan yang tepat karena selain rute ini sangat panjang, sepi, penuh tanjakan dan turunan yang seakan tak ada habisnya serta beberapa kali masuk kedalam area hutan jati, sepertinya jika malam tiba maka situasi di jalur ini akan sangat gelap dan berbahaya karena ketiadaan lampu penerangan jalan, kalau sudah begitu bisa dibayangkan seperti apa repotnya jika sampai sore hari kami belum juga bisa keluar dari rute ini

Selepas wilayah Bukit Soeharto, Pak Topo bertanya bolehkah ia mampir sebentar ke suatu tempat untuk menengok lokasi dan proses pengerjaan rumah baru yang sedang ia bangun untuk anaknya, dan karena kami juga sedang tidak terburu-buru maka kami pun menjawab silahkan saja toh nantinya kami juga akan menyewa kamar kost di rumahnya, ditengah perjalanan ia pun berkata :” rumah yang baru saya bangun ini nantinya akan saya kasihkan ke salah satu dari dua orang anak saya, kalau nanti yang satunya bertanya kenapa hanya satu orang yang dibikinkan rumah ya nanti saya jawab, ojo misuh opo ngiri yo Le, karena rejeki anak kan beda-beda, kalau nanti yang satu lebih sukses atau mampu daripada yang satunya lagi setidaknya nanti yang kekurangan masih punya tempat hunian, tidak terlantar, sebagai orangtua setidaknya hanya ini yang bisa saya siapkan untuk bekal anak nantinya”, sungguh sebuah pemikiran jangka panjang dari seseorang yang mungkin diremehkan oleh orang lain dikarenakan profesinya, namun bagi kami berdua yang mendengarnya pemikiran dari Pak Topo ini terasa sangat bersahaja dan bijak sekali

Setelah selesai menengok progress pembangunan rumah barunya tersebut yang kondisinya sudah mencapai 60% dari hasil akhir nantinya, kami pun kembali melanjutkan perjalanan menuju ke kediaman Pak Topo di Kota Balikpapan, setibanya di rumah Pak Topo dan menyelesaikan administrasi jasa taksi dan sewa kamar kami pun mulai meng-unpacking barang bawaan kami dan menaruhnya didalam kamar, hari ini terasa begitu berat, selain karena faktor fisik yang semakin lelah sepertinya kami juga harus menata kembali faktor mental yang merasa mulai jenuh dengan rutinitas dan perencanaan disetiap etape harian ini, hal ini terasa cukup wajar karena sudah 3 bulan lebih kami menjalani pola hidup nomaden seperti ini, bergerak berpindah-pindah mendatangi dan menjelajahi tempat-tempat baru yang belum pernah kami datangi sebelumnya, sebuah tempat baru dimana kami tidak memiliki sanak famili maupun orang-orang yang kami kenal sebelumnya, dimana hal seperti ini seharusnya semakin memicu semangat kami yang berpegang pada sebuah keyakinan “bahwa petualangan tidak akan pernah berakhir karena dimanapun dan kapanpun juga pasti selalu ada petualangan baru untuk dibuat, orang-orang baru untuk ditemui, dan hal-hal baru untuk dipelajari”.


Pengeluaran hari ini :

- loading dari kukar-Balikpapan = Rp 150.000,-
- kost pasutri 1 minggu = Rp 500.000,-
- 2 porsi makan malam = Rp 20.000,-

Total = Rp 670.000,-

Total jarak tempuh hari ini :25,10 km

Saturday, 25 August 2018

CHAPTER 44; HABIS GELAP TERBITLAH TERANG

Bertepatan di hari ke-100 petualangan goweswisata, kini saatnya bagi kami untuk kembali lagi ke Kota Parepare untuk mempersiapkan episode petualangan berikutnya.

Jika pada chapter sebelumnya kami telah menikmati suasana dan belajar mengenai tradisi serta kebudayaan masyarakat di Tana Toraja, maka hari ini (25 Maret 2016) kami akan kembali menuju ke Kota Parepare, karena rencananya kapal yang akan membawa kami bertolak dari Kota Parepare menuju ke Pulau Kalimantan, tepatnya menuju Kota Samarinda akan berangkat esok hari

Setelah melakukan check-out dari Penginapan Wisma Maria I kami pun mulai mencari angkutan yang dapat membawa kami kembali menuju ke Kota Parepare, menurut logika kami berdua seharusnya angkutan yang akan kami naiki kurang lebih sama dengan apa yang kami gunakan sewaktu berangkat dari Kota Parepare menuju ke Rantepao, yaitu menggunakan bus, namun setelah menunggu sekian lama kok tidak ada bus yang lewat sama sekali ya, kami pun kemudian mencoba bertanya kepada salah seorang agen bus yang berada tak jauh dari Monumen Tongkonan, olehnya kami pun dijelaskan bahwa tidak ada rute bus yang mengarah langsung ke Parepare, arah berangkat (Parepare-Rantepao) memang dapat menggunakan bus, namun untuk arah sebaliknya (Rantepao-Parepare) kami harus menggunakan mobil sewaan atau disini disebut taksi (sejenis Toyota Kijang atau Isuzu Panther, yaitu kendaraan milik pribadi yang digunakan layaknya omprengan), itupun tidak mengarah langsung menuju ke Kota Parepare melainkan hanya sampai ke Terminal Makale saja, nanti setibanya di Terminal Makale kami harus berganti dengan kendaraan yang rutenya menuju ke Parepare

Dengan menaiki “taksi” sejenis Isuzu Panther dengan tarif sebesar 10ribu rupiah per penumpang (baik warga lokal maupun turis dikenakan tarif yang sama), kami pun harus menunggu setidaknya sampai terisi 5 orang penumpang terlebih dahulu sebelum angkutan tersebut mulai berangkat menuju ke Terminal Makale


Perjalanan dari Rantepao menuju ke Terminal Makale sendiri terhitung cukup cepat, kira-kira hanya sekitar 1 jam perjalanan saja. Setibanya di Terminal Makale kami pun dibantu oleh sang pengemudi mencari kendaraan yang mau menuju ke Kota Parepare, disini ada satu hal yang membuat saya salut dengan karakter kejujuran masyarakatnya yaitu walaupun mereka tahu jika kami berdua bukanlah warga lokal melainkan wisatawan namun mereka tidak berusaha menipu kami dengan menaikkan harga angkutan, semua diberlakukan sama baik itu tarif yang dikenakan untuk warga lokal maupun untuk para wisatawan, coba kasus seperti ini terjadi di Pulau Jawa, sudah bisa dipastikan bahwa harga angkutannya pasti langsung dinaikkan begitu mereka tahu kalau para penumpangnya adalah wisatawan, kalau tidak percaya coba saja kalian bandingkan harga angkutan disekitar Candi Borobudur, antara tarif untuk warga lokal dengan tarif untuk wisatawan bisa dipastikan perbedaan harganya kebangetan

Kejujuran dan keramahan masyarakat di Tana Toraja sendiri sebenarnya sudah kami rasakan sejak pertama kali tiba dan sedang mencari makanan, mereka langsung memberitahukan dan menyarankan kami berdua untuk mencari warung makan muslim begitu mereka tahu jika kami berdua adalah Muslim, bahkan harga-harga makanan disekitar lokasi pun semua tergolong wajar dan ramah di kantong, padahal kita semua tahu jika Tana Toraja termasuk destinasi wisata yang populer di tingkat internasional, sekali lagi untuk hal ini (kejujuran) saya mengacungkan dua jempol untuk masyarakat Toraja

Setelah menemukan angkutan lain (sejenis “taksi” juga) yang rutenya menuju ke Kota Parepare kami pun kemudian meletakkan barang-barang bawaan di dalam mobil dan menunggu sang pengemudinya selesai makan dulu. Sambil menunggu saya pun melihat di kejauhan ada sebuah obyek menarik berupa Patung Yesus Kristus berukuran besar yang berada tepat diatas puncak sebuah bukit, sekilas baik bentuk dan ukurannya terasa mirip sekali dengan patung Yesus yang berada di Rio de Jainero, sayangnya kali ini kami tidak bisa menuju kesana dikarenakan keterbatasan waktu dan informasi yang kami miliki, atau mungkin juga dengan adanya beberapa obyek yang kami lewatkan saat ini justru memberi peluang bagi kami kedepannya supaya suatu saat nanti dapat kembali lagi ke tempat ini untuk menjelajahinya lebih detail


Akhirnya angkutan yang membawa kami menuju ke Kota Parepare pun mulai berangkat, dengan tarif per penumpang sebesar 70ribu rupiah rasanya hal ini terasa wajar mengingat jarak tempuh dari Terminal Makale menuju Ke Parepare sendiri tergolong cukup jauh serta melalui medan yang naik-turun melintasi pinggiran bukit, pemandangan yang tersaji disepanjang rute ini sebenarnya cukup indah berupa view lekuk perbukitan, sayangnya keindahan kali ini hanya bisa terdokumentasikan melalui mata dan ingatan kami saja karena kami tidak bisa berhenti seenaknya didalam angkutan ini untuk sejenak mengabadikan keindahan panorama sekitar

Setelah menempuh waktu yang cukup lama akhirnya kami mulai memasuki wilayah Kota Parepare, angkutan yang kami tumpangi pun beberapa kali masuk kedalam gang-gang dan jalan kecil untuk mengantarkan para penumpangnya sampai ke depan rumah atau tujuan mereka masing-masing, sang sopir pun menanyakan kepada kami berdua dimanakah kami hendak turun, dan karena hari ini kami belum menemukan tempat untuk bermalam maka kami pun memutuskan turun di sekitar Monumen Habibie-Ainun saja

Dari depan Monumen Habibie-Ainun kami pun mulai mencari penginapan yang bisa digunakan untuk hari ini dengan harga yang terjangkau, namun permasalahan kali ini adalah karena saat ini kami hanya berjalan kaki maka daya jelajah kami untuk mencari penginapan sangatlah terbatas terlebih mengingat waktu yang sudah semakin sore, akhirnya setelah berjalan cukup jauh kami pun melihat ada sebuah penginapan tua (bangunannya cukup besar namun sepertinya kurang terawat dan cukup sepi), setelah bertanya harga sewa kamar untuk semalamnya yaitu sebesar 80ribu rupiah, maka kami pun mengiyakannya dengan pikiran toh hanya untuk malam ini saja (dan pada akhirnya hal ini pun menjadi keputusan atau kesalahan yang kami sesali)

Mengapa kami menyesali keputusan untuk menginap di penginapan (atau hotel apalah itu namanya saja saya sudah lupa, yang pasti lokasinya berada tidak jauh dari Monumen Korban 40ribu Jiwa) tersebut? Tidak lain karena begitu kami masuk kedalam kamarnya ternyata isinya (yang sepertinya tidak niat untuk dijadikan hotel) sangat memprihatinkan, didalam kamar terdapat 2 buah ranjang (ranjang sih oke-oke saja) namun kondisi kasur dan spreinya sepertinya tidak pernah dicuci dan dibersihkan, kasur sangat lembab sedangkan kain spreinya bahkan sampai bau dan berbulu, kipas angin sudah rusak sampai perlu ditukar dengan kipas angin dari kamar lainnya, dan yang terparah adalah kondisi kamar mandi dalamnya, karena di gantungan pintu kamar mandinya ada celana panjang jeans entah milik siapa, serta bak mandi yang penuh jentik nyamuk dan kotor, yang pasti saat itu juga kami pun mengurungkan niat untuk mandi padahal kondisi badan sudah kotor dan penuh keringat, tapi daripada malah sakit lebih baik kami tidak jadi mandi dengan kondisi kamar mandi dan air yang tidak jelas begini, akhirnya kami pun memilih untuk tidur (yang tidak nyenyak) saja dengan beralaskan sarung dan jaket, disaat seperti ini kami berharap pagi cepatlah menjelang

Akhirnya pagi pun tiba, kami bergegas check out dan mencari kantor polisi untuk sekedar menumpang mandi, oleh para polisi yang bertugas mereka pun menanyakan asal kami dan hendak kemana, mereka pun meyakinkan kami apakah benar mau menumpang mandi di kamar mandi yang berada disamping, karena ukuran kamar mandinya kecil, kami pun menjawab tidak mengapa selama dikamar mandi tersebut ada air bersihnya saja itu pun sudah cukup, setidaknya untuk hari ini kami bisa mandi dan bersih-bersih terlebih dahulu sebelum naik ke Kapal

Sambil menunggu bergantian menggunakan kamar mandi, para petugas polisi tersebut pun berbincang-bincang dengan saya, setelah mereka mengetahui jika kami berdua bersepeda dari Yogyakarta dan telah melewati beberapa Pulau selama 101 hari, mereka pun bercerita bahwa sebagian dari mereka juga suka bersepeda, bahkan ada salah satu anggota yang menunjukkan sepeda gunung miliknya

Setelah selesai mandi dan mengucapkan terimakasih kepada para petugas polisi yang bertugas kini rencana berikutnya adalah mengambil sepeda-sepeda dan semua barang bawaan kami yang ada di sebuah bengkel sepeda milik salah satu komunitas sepeda di Kota Parepare

Untunglah lokasi kami saat ini berada tidak jauh dari bengkel tersebut sehingga kami cukup berjalan kaki saja untuk menuju kesana, setibanya disana kami pun mulai mengeluarkan sepeda-sepeda beserta seluruh barang bawaan kami dan mulai mengemasinya, tidak butuh waktu lama untuk mulai mempacking semua barang bawaan kedalam tas-tas panniers, karena seiring proses perjalanan ini kami mulai terbiasa untuk mengatur bagaimana mengemasi semua barang bawaan kami secara cepat, setelah semuanya beres kini saatnya untuk berpamitan dan mulai menuju ke Pelabuhan untuk mengambil tiket dan menunggu jadwal keberangkatan kapal yang akan kami naiki

Mengenai penyeberangan dari Parepare menuju ke Kota Samarinda menggunakan Kapal ini sendiri sebetulnya ada cerita yang sangat menarik, yaitu sebelum memutuskan untuk menyeberang dari Pulau Sulawesi menuju ke Pulau Kamantan kami sudah terlebih dahulu mencari informasi setibanya kami di Kota Parepare ini seputar wilayah mana dari Pulau Sulawesi ini yang memiliki akses pelayaran menuju Ke Pulau Kalimantan, nah dari hasil pengumpulan informasi tersebut itu kami mendapatkan bahwa jika kami ingin menuju ke Pulau Kalimantan menggunakan jalur laut maka ada beberapa lokasi yang dapat digunakan, antara lain dari Makassar, Parepare, Mamuju, dan Kota Palu.

Karena kami sudah meninggalkan Kota Makassar maka pilihannya kini hanya tersisa 3 saja, biasanya orang memilih untuk bertolak dari Kota Mamuju, entahlah apa sebabnya, namun karena sekarang posisi kami berada di Parepare yang mana ternyata juga memiliki akses jalur penyeberangan menuju ke Pulau Kalimantan maka kami pun memutuskan untuk menyeberang ke Pulau Kalimantan dari kota ini saja

Setelah memilih untuk menyeberang dari Kota Parepare, langkah berikutnya tentu saja mencari informasi seputar harga tiket kapal yang menuju ke Pulau Kalimantan, ternyata eh ternyata harga tiketnya muahal banget, untuk per penumpang dikenakan biaya sekitar 1 juta-an sekian-sekian belum lagi sepeda dan barang bawaan kami juga dikenai biaya tambahan yang jika ditotal semuanya maka masing-masing dari kami beserta sepeda full loaded harus membayar sebesar 2 juta rupiah, dan itu berarti untuk berdua dikenakan biaya 4 juta (dengan nominal sebesar itu kami bahkan bisa melintasi pulau Jawa, Bali, Lombok, dan Sumbawa sekaligus), seketika semua terasa berat dan sulit

Selain kendala biaya, faktor lainnya yang membuat penyeberangan ini terasa berat dan sulit dikarenakan tidak banyak jumlah kapal yang menuju ke Pulau Kalimantan, sehingga seandainya kami sudah deal dengan tarif penyeberangannya sekalipun kami tetap harus menunggu jadwal penyeberangan kapal yang biasanya memakan waktu sekitar 1 minggu berikutnya. Sedikitnya jumlah dan rute kapal yang menuju ke Pulau Kalimantan ini juga menjadi kendala dalam membandingkan harga tiket-tiket kapal dan mencari yang sesuai dengan budget kami

Disaat kami menceritakan hal ini ketika sedang berada di basecamp komunitas pesepeda lokal dimana kami menitipkan sepeda dan barang bawaan, ada salah seorang dari mereka (belakangan kami ketahui bernama Pak Bogart) yang bertanya memangnya setelah dari Kota Parepare ini kami hendak menuju kemana, sewaktu kami menjawab kemungkinan rencana berikutnya adalah menyeberang menuju ke Kalimantan, ia pun bertanya lagi “ke Kalimantannya mau ke mana?”, ia pun menambahkan “kalau kalian mau ke Kalimantan ayo bareng sama saya gratis pakai kapal saya tapi berangkatnya masih sekitar 6 hari lagi, kalau kalian mau nanti kalian sms saja tanggal 26 besok, nanti tiketnya saya kasih”, hah beneran nih pikir saya, tapi saat mendengar anggota komunitas lainnya mengatakan “wah kalau si Boss sudah bilang begitu berarti kalian tinggal siap-siap saja, beneran itu nanti nyebrang ke Kalimantannya pakai kapalnya dia, berangkat dari Pelabuhan gratis”. Antara percaya tidak percaya saya pun akhirnya meminta contact yang bisa dihubungi nantinya

Dan begitulah akhirnya setelah perbincangan itu kami berdua pun lalu memutuskan untuk menunggu 6 hari tersebut dengan traveling ke Tana Toraja hingga kini tiba waktunya kami kembali berada di Parepare lagi untuk bertemu “Pak Boss” alias Pak Bogart ditanggal yang telah disetujui yaitu 26 Maret 2016 untuk bertemu Beliau di kantornya yang berada dekat Pelabuhan untuk mengambil tiket kapal penyeberangan menuju ke Kota Samarinda, Kalimantan Timur, secara gratis


Saat kami bertemu Beliau pun ternyata “Pak Boss” ini benar-benar berpenampilan serta memiliki karakter yang sangat sederhana dan terbilang cukup akrab dengan para kru kapal yang bekerja di Kapal miliknya, padahal sejauh yang kami tahu Beliau ini adalah pemilik dari 2 kapal berukuran besar yang beroperasi yaitu MV Pantokrator dan Queen Soya, walaupun senang bercanda namun sepertinya para kru kapal serta orang-orang yang bekerja disekitar Pelabuhan sangat menghormatinya

Sambil menunggu jadwal keberangkatan kapal, ia pun memberi kami 2 buah tiket dan berbincang seputar pengalamannya sewaktu bersepeda di Pulau Jawa, di Yogyakarta sendiri ia pernah bersepeda sewaktu mengikuti event sepeda Jogja Heritage, yaitu sebuah event bersepeda melintasi beberapa obyek wisata sejarah yang berada di Jogja, ia juga menunjukkan beberapa foto yang ia ambil menggunakan smartphonenya

Ketika jarum jam menunjukkan waktu yang semakin mendekati jadwal keberangkatan kami pun diantar oleh Pak Bogart dan beberapa pekerjanya masuk kedalam area Pelabuhan, sepeda-sepeda kami kemudian diletakkan di bagian dalam Kapal MV Pantokrator menjadi satu dengan bagian yang digunakan sebagai area untuk memuat kendaraan bermotor seperti truk, mobil, dan beberapa sepeda motor. Setelah sepeda ditaruh pada posisi yang aman dan tidak mengganggu sirkulasi kami kemudian diajak masuk kedalam kabin kapal serta ditunjukkan ruangan kabin tempat kami akan beristirahat nantinya, seluruh ruangan dalam kabin kapal ini sangat luas dan rapi, semua dilengkapi penyejuk ruangan, kontras sekali dengan keadaan yang kami rasakan sewaktu menggunakan kapal Pelni dimana kami harus berpeluh keringat karena ketiadaan penyejuk ruangan, bahkan sesekali harus menghirup pengapnya asap rokok.


Sebelum meninggalkan kami Pak Bogart berpesan jika nanti diadakan pemeriksaan tiket kapal oleh petugas maka bilang saja kami disuruh oleh Pak Yasser untuk beristirahat dikabin ini, Beliau juga berkata semoga kami selamat sampai tiba ditujuan dan tidak mengalami kendala selama perjalanan bersepeda ini, akhirnya setelah saling berpamitan kami juga mengucapkan banyak terimakasih kepada Pak Bogart yang telah membantu kami dalam meneruskan sisa perjalanan ini, sebuah harapan dan keajaiban dikala semuanya terasa berat dan sulit bahkan mustahil bagi kami untuk dapat terus melaju meneruskan petualangan ini, setelah semua kesulitan yang kami alami sebelumnya membuat perjalanan ini seakan seperti sebuah perwujudan keajaiban kata-kata motivasi dari goresan pena R.A Kartini yaitu Habis Gelap Maka Terbitlah Terang

Sekarang kami telah berada diatas kapal yang akan membawa kami menuju episode baru petualangan goweswisata, menurut informasi yang saya dapat kemungkinan lama perjalanan kali ini akan memakan waktu tempuh selama 23 jam sehingga kami baru akan tiba di Kota Samarinda keesokan harinya, sambil menunggu dan menghabiskan waktu selama diperjalanan, saya dan Agit banyak berdiskusi mengenai banyak hal, tentang suka duka, serta pengalaman yang telah kami dapat selama petualangan ini

Pagi mulai menjelang, kami berdua pun berencana untuk berjalan-jalan mengitari dek kapal sekedar untuk melihat pemandangan sekitar, setidaknya hal ini terasa lebih menarik daripada hanya berdiam diri didalam ruang kabin, setibanya dibagian dek atas kapal sepertinya bukan hanya kami berdua saja yang memiliki rencana melihat pemandangan, tampak beberapa penumpang lainnya juga ada yang telah berada dan berjalan-jalan di atas dek untuk menikmati suasana pagi




Dikejauhan samar-samar kami melihat ada sebuah kapal lain yang mengangkut sesuatu, sepertinya kapal itu menarik muatan hasil tambang, secara tidak langsung hal ini berarti menunjukkan bahwa tujuan kami sudah mulai dekat, ya ini berarti bahwa sebentar lagi kami akan tiba di Pulau Kalimantan




Satu persatu kapal-kapal sejenis yang membawa muatan hasil tambang lainnya juga mulai terlihat, beberapa kapal besar yang membawa muatan box-box kontainer juga terlihat berpapasan dengan kapal kami, seakan tak mau ketinggalan beberapa perahu kecil dan sampan milik warga lokal juga sedang berkeliling tak jauh dari jalur kapal kami







Melihat sekilas dari suasana jalur perairan yang sekarang ini sedang kami lewatii sepertinya kami berada di hulu sungai yang sangat lebar, beberapa kapal lain terlihat sedang berlabuh dan membongkar muatan, disisi kanan dan kiri tampak beberapa tanaman air serta daratan perbukitan yang penuh oleh pepohonan dan rumah-rumah penduduk, sampai akhirnya kami melewati sebuah jembatan beton yang masih dalam tahap pembangunan, sepertinya nanti jembatan ini akan menjadi salah satu infrastruktur andalan yang memiliki peran penting dalam mendukung kelancaran jalur transportasi darat di Pulau ini, hati kami berdua semakin berdebar-debar, berbagai perasaan berkecamuk didalamnya, ada rasa takut, senang, hingga penasaran yang saling bercampur, semua perasaan ini menuju ke satu titik yang menjelma menjadi sebuah pertanyaan akan seperti apakah episode petualangan kami di Pulau besar ini?








Jangan lupa ikuti terus petualangan goweswisata.com berikutnya ya, kalian juga bisa membantu mensupport perjalanan kami dengan cara mem-follow, like, comment, atau subscribe salah satu dari channel petualangan kami yang ada dimedia sosial seperti Facebook, Instagram, dan Youtube. Karena setiap apresiasi dari kalian sangat membantu kami memotivasi diri untuk terus berusaha menyajikan informasi terbaik dari setiap petualangan yang kami lakukan, sampai jumpa di episode petualangan berikutnya :)

Wednesday, 8 August 2018

CHAPTER 43; TANA TORAJA

Tana Toraja atau dalam bahasa asli masyarakat sekitar disebut juga dengan Masyarakat Negeri Tondok Lepungan Bulan Tana Matarik Allo, nama tempat yang satu ini sudah sangat populer tidak hanya ditingkat nasional saja melainkan sudah dikenal sampai taraf internasional, hal ini dikarenakan wilayah ini memiliki keunikan berupa wisata budayanya. Sebagai salah satu destinasi wisata unggulan di propinsi Sulawesi Selatan rasanya belum lengkap dan sangat disayangkan jika kami tidak mengunjunginya selagi kami masih berada di bumi celebes ini, jadi tunggu apa lagi? sekarang saatnya merancang agenda petualangan menuju Tana Toraja :)

Secara administratif berdasarkan UU No.28 Tahun 2008, Tana Toraja dimekarkan menjadi 2 bagian, yaitu Kabupaten Toraja Utara yang beribukota di Rantepao, dan Kabupaten Toraja Selatan yang beribukota di Makale, namun biasanya lokasi yang paling sering dikunjungi oleh wisatawan ketika mereka berwisata ke Tana Toraja adalah wilayah Toraja Utara seperti Desa Ke'te Kesu (berada sekitar 4,5km dari Rantepao), Londa (26km dari Rantepao), serta Lemo.

Dari Parepare kami menggunakan bus umum untuk menuju ke Tana Toraja dengan harga tiket per orang sebesar 70ribu rupiah, sepeda-sepeda sengaja kami titipkan sementara waktu di rumah salah seorang teman di Parepare supaya setibanya di Toraja nanti kami lebih bebas berjalan kaki melihat dan menikmati keunikan yang ada di tempat tersebut

Perjalanan menggunakan bus dari Parepare menuju ke Toraja (tepatnya ke Rantepao) menghabiskan waktu tempuh sekitar 5-6jam melewati rute yang berkelok-kelok dan menanjak, setibanya di Rantepao kami kemudian turun di monumen tongkonan (sebuah bundaran kecil dengan hiasan berupa miniatur rumah adat tongkonan yang berada di perempatan jalan poros), berdasarkan hasil googling sebelumnya mengenai penginapan murah di Toraja, kami pun mendapati satu tempat penginapan yang banyak direkomendasikan oleh para backpacker, yaitu penginapan Wisma Maria 1 yang lokasinya berada tidak jauh dari monumen miniatur tongkonan tersebut (dari monumen tongkonan kalian tinggal belok kiri, berjalan kearah pos polisi atau patung pahlawan berkuda, lalu terus saja sampai pertigaan Indra Toraja Hotel, dari pertigaan tersebut kemudian belok ke kiri lagi kira-kira 50meter nanti ada papan nama Wisma Maria 1, letaknya tepat dikiri jalan)

Monumen Tongkonan



Memang setelah kami membandingkan dengan beberapa penginapan lainnya yang ada di Toraja maka Wisma Maria 1 ini adalah yang termurah (walaupun bagi kami tetap saja terasa mahal jika dibandingkan dengan fasilitas yang ditawarkan), sepertinya memang sulit mencari penginapan murah di Tana Toraja, di Penginapan Wisma Maria 1 ini pun akhirnya kami hanya menyewa kamar termurah yaitu single bed seharga 140ribu rupiah (harga Maret 2016) dengan fasilitas berupa ranjang berukuran single, meja, lemari, washtafel dan kamar mandi dalam dengan kloset duduk, padahal dengan kisaran harga tersebut jika di Pulau Jawa kita sudah bisa mendapatkan kamar dengan fasilitas dan kondisi yang lebih baik lagi, terlebih di penginapan ini tidak disediakan fasilitas pendingin ruangan seperti AC maupun kipas angin, hal ini dikarenakan kondisi geografis wilayah Rantepao yang berada di dataran tinggi dimana iklim disekitar wilayah ini cukup sejuk dan dingin, sehingga entahlah mengapa harga penginapan di wilayah ini mayoritas mahal, satu-satunya nilai plus dari penginapan Wisma Maria 1 ini adalah fasilitas free wifi dengan sinyal yang kuat dan kencang hehe... kami pun memanfaatkan jaringan wifi tersebut dengan mengupdate beberapa aplikasi dan mencari informasi online seputar tempat wisata di Tana Toraja, oya di penginapan ini juga disediakan sarapan berupa roti dan telur (sarapan ala orang Eropa) dan pilihan minuman yaitu teh hangat atau kopi toraja (silakan pilih), sedangkan waktu untuk check out di penginapan ini adalah pukul 12 siang)

Penginapan Wisma Maria I




Selain penginapan murah, hal lainnya yang sulit untuk ditemukan di Toraja adalah makanan halal (dan murah), rata-rata tempat makan disini menyajikan daging babi atau masakan lain yang digoreng menggunakan minyak babi (karena masyarakat disini mayoritas beragama Kristen), untunglah karena Agit mengenakan jilbab maka ketika kami sedang mencari makan, warga sekitar pun langsung menyarankan untuk mencari tempat dimana terdapat menu makanan halal atau rumah makan muslim, dan setelah berkeliling akhirnya kami pun menemukan sebuah warung makan muslim yang menyajikan nasi kuning campur seharga 8ribu rupiah per porsinya (setidaknya masih masuk dengan budget kami)

Dari penginapan kami kemudian berjalan kaki sejauh 4,4km menuju menuju patung sapi yang berada di wilayah Kecamatan Kesu (lumayanlah menghemat pengeluaran untuk ojek atau becak bermotor sembari menikmati pemandangan yang ada disini), dari patung sapi tersebut kemudian kami masih harus berjalan kaki lagi sejauh 1,5km masuk ke dalam menuju obyek wisata pertama yang kami temui yaitu Buntu Pune





Buntu Pune berlokasi di Desa Ba’Tang, Kecamatan Kesu, Kabupaten Toraja Utara, Propinsi Sulawesi Selatan. Tempat ini merupakan salah satu lokasi cagar budaya di wilayah Tana Toraja. Awalnya Buntu Pune merupakan kawasan milik pribadi dan keluarga, namun atas saran Pemda setempat akhirnya tempat ini pun dibuka untuk umum.

Mungkin karena mayoritas wisatawan yang berkunjung ke Tana Toraja ini hanya tahu dan terfokus kepada cagar budaya yang berada di Desa Ke'te Kesu maka ketika kami berkunjung ke Buntu Pune ini suasananya terasa sepi, hanya kamilah satu-satunya wisatawan yang ada, selebihnya hanya ada warga dan pemilik rumah adat tongkonan saja



Padahal jika kalian berkunjung ke Buntu Pune ini bisa dipastikan kalian tidak akan menyesalinya, selain karena tidak ada biaya retribusi alias gratis, suasana dan view rumah adat tongkonan yang ada disini juga lebih alami dan asli, tidak hanya melihat rumah adat tongkonan saja, disini kami juga melihat lokasi kubur batu khas warga Toraja yang letaknya berada di tebing-tebing batu, selain itu disekitar area ini juga terdapat jalan setapak yang menuju ke atas bukit dimana diatasnya terdapat Benteng peninggalan Pongtiku, Beliau salah seorang tokoh pahlawan asal Toraja saat masa penjajahan melawan Belanda

Di Buntu Pune ini kami juga sempat bertanya kepada salah seorang warga dan sang pemilik rumah adat tongkonan mengenai keunikan budaya masyarakat Tana Toraja, oleh mereka kami kemudian dijelaskan mengenai filosofi rumah adat tongkonan, menurut mereka di Tana Toraja ini memang banyak rumah-rumah yang "bergaya atau memiliki bentuk" seperti tongkonan, padahal tidak semua rumah-rumah tersebut bisa disebut sebagai tongkonan


Tongkonan sendiri berasal dari kata "tongkon" atau duduk, sehingga suatu rumah adat hanya dapat disebut sebagai rumah tongkonan jika rumah tersebut mempunyai fungsi sosial di lingkungannya, misalnya rumah tersebut pernah digunakan sebagai rumah pertemuan atau musyawarah dimana banyak orang dapat duduk bersama membicarakan kepentingan sosialnya, jika rumah tersebut "hanya" bergaya atau mempunyai bentuk seperti rumah tongkonan namun tidak mempunyai fungsi sosial dilingkungannya melainkan hanya dibuat sebagai fungsi komersiil biasa maka rumah tersebut belum dapat disebut sebagai rumah adat tongkonan

Selain itu rumah adat tongkonan memiliki bentuk atap yang khas yang ternyata memiliki filosofi tersendiri, karena berdasarkan sejarah diperkirakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja berasal dari para pendatang asal Cina dan Gujarat maka bentuk dari atap-atap rumah dibuat menyerupai perahu untuk mengingatkan mereka akan cara kedatangan para nenek moyang dan leluhur mereka jaman dahulu


Syarat untuk mendirikan sebuah rumah adat tongkonan pun ada 3, selain fungsi sosial tadi, syarat lainnya adalah keberadaan rumah tongkonan harus berdekatan, berkaitan atau berhubungan dengan sawah, biasanya pemilik rumah adat tongkonan pasti memiliki lahan persawahan, syarat kedua adalah memiliki komplek kuburan yang berada ditebing-tebing, karena bagi masyarakat Toraja mereka berpendapat bahwa tanah lebih baik difungsikan untuk hal-hal yang produktif dan dapat digunakan untuk generasi berikutnya, berdasarkan alasan itulah maka akhirnya masyarakat Toraja memilih untuk meletakkan jasad para leluhurnya yang sudah meninggal diatas tebing, syarat terakhir adalah adanya rante atau pelataran duka yang digunakan untuk mengadakan hajatan besar seperti penyembelihan hewan saat berlangsung prosesi rambu solo’ atau prosesi pemakaman





Posisi dari rumah adat tongkonan sendiri selalu menghadap ke Utara-Selatan karena menurut kepercayaan masyarakat Toraja perlintasan matahari dari Timur ke Barat merupakan penunjuk arah yang tidak boleh “ditantang”, hal inilah yang menyebabkan pada akhirnya posisi rumah menghadap Utara-Selatan. Posisi Timur sendiri merupakan perlambang dari matahari yang dianggap sebagai penanda sesuatu yang awal seperti pagi atau kelahiran, sedangkan posisi Barat berarti bulan dan bintang yang melambangkan sebuah akhir seperti malam atau kematian



selain itu jika kita melihat hiasan berupa susunan tanduk-tanduk kerbau yang diletakkan secara vertikal di bagian depan sebuah rumah adat tongkonan maka hal itu melambangkan kegigihan sebuah keluarga dalam berhemat, menabung kerbau, bersatu padu sampai menunggu tibanya hari perhelatan upacara Rambu Solo’, selain itu hal ini juga menandakan jika rumah tersebut sudah melalui proses syukuran atau peresmian, jumlah tanduk kerbau yang diletakkan bersusun secara vertikal juga melambangkan status sosial dari sang pemilik rumah, semakin banyak jumlah susunan tanduk yang terpasang berarti semakin tinggi pula status sosial sang pemilik rumah, begitupun halnya dengan setiap ukiran yang ada pada dinding rumah adat tongkonan, masing-masing ukiran tersebut juga mempunyai arti filosofi sendiri seperti ukiran spiral yang melambangkan tumbuhan, ayam yang melambangkan keadilan, dan masih banyak lagi motif ukiran lainnya






Selain rumah adat tongkonan, ada sebuah bangunan lagi yang berbentuk seperti tongkonan namun berukuran lebih kecil, bangunan tersebut disebut juga alang atau lumbung padi yang digunakan untuk menyimpan padi hasil panen, dan setiap generasi pasti memiliki lumbungnya sendiri, padi-padi yang disimpan dalam lumbung tersebut selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga pemilik rumah juga dapat digunakan oleh masyarakat Toraja lainnya yang berada dalam lingkungan sosial tersebut yang kebetulan sedang mengalami gagal panen atau kekurangan beras

Toraja memang terkenal karena tradisi pemakamannya, bagi masyarakat Toraja sendiri kematian bukanlah sebuah akhir melainkan suatu awal yang baru bagi jasad yang meninggal, oleh karena itu ketika seseorang meninggal maka keluarga yang ditinggalkan akan memberi penghormatan terakhir dengan mengadakan prosesi pemakaman yang meriah (dan menelan biaya yang sangat besar) sebagai pertanda bahwa jasad tersebut sudah membawa bekal yang lengkap untuk menempuh "perjalanan hidup" berikutnya, selama prosesi tersebut belum dilaksanakan maka jenazah akan dianggap dan diperlakukan layaknya orang yang masih hidup namun sedang sakit

Sebelum menggelar perhelatan Upacara Rambu Solo’ biasanya pihak keluarga sudah memiliki “tabungan” berupa beberapa ekor kerbau, mereka akan berusaha menyediakan kerbau terbaik yang mereka miliki sebagai bentuk penghormatan sekaligus untuk menunjukkan status sosial keluarga almarhum. Kerbau-kerbau itu sendiri berharga cukup mahal (sekitar 250 juta/ekor) terutama yang disebut Tedong yaitu sejenis kerbau belang yang berwarna merah muda

Selanjutnya memasuki tahap Mantunu atau hari pengorbanan kerbau yang merupakan rangkaian dari upacara pemakaman Rambu Solo’, acara ini merupakan semacam persiapan sebelum mengantar jenazah ke Benuang Tang Merambu atau rumah tanpa asap alias makam. Sepanjang Upacara ini para tamu akan ditempatkan pada Lantang atau salah satu pondok non permanen dimana para kerabat akan duduk selama perhelatan upacara Rambu Solo’, kemudian saat keranda mulai ditandu menuju makam di Tebing Batu maka seluruh pengantar wajib bersukacita sebagai bentuk memuliakan yang wafat dengan rasa syukur bahagia karena meyakini bahwa kini perjalanan hidup sang jenazah sudah sempurna

Setelah semua prosesi pemakaman dilakukan maka jasad akan diletakkan didalam peti-peti kayu yang disebut erong yang kemudian akan diletakkan didalam goa atau liang-liang tebing, nantinya setelah menjadi tulang belulang maka erong atau peti-peti kayu tersebut akan dipindahkan menggantung di dinding tebing. Selain didalam erong biasanya ada juga jasad yang diletakkan didalam rumah-rumah makam yang disebut Patane, didepan patane dan di atas tebing-tebing tersebut juga akan diletakkan Tau-tau yaitu boneka personifikasi si jenazah atau replika yang dibuat menyerupai sosok orang yang sudah meninggal, Tau-tau tersebut nantinya juga akan dipakaikan baju seperti yang biasa dikenakan sang almarhum semasa hidup, beberapa perhiasan dan benda-benda yang dianggap memiliki ikatan emosional dengan orang yang sudah meninggal tersebut biasanya juga turut dimasukkan kedalam peti jenazah atau diletakkan di dalam liang-liang tebing, untuk mencegah pencurian artefak-artefak dan tau-tau tersebut maka kini tau-tau tersebut diletakkan dalam sebuah liang tebing yang terkunci







Setelah mendengar penjelasan dari sang pemilik rumah adat tongkonan di Buntu Pune tersebut kini setidaknya kami mulai mendapat gambaran seperti apa kebudayaan masyarakat Toraja. Keramahan warga disini sangat terasa dan seakan menganggap kami sudah seperti saudara yang datang dari jauh, kami bahkan juga disuguhi teh hangat dan kopi khas toraja yaitu kopi torabika (Toraja Arabica) selama perbincangan tadi


Dari Buntu Pune kami kemudian melanjutkan perjalanan sejauh kira-kira 2km kali ini menuju ke Desa Ke'te Kesu. Ditempat ini suasananya kurang lebih hampir sama dengan yang ada di Buntu Pune, perbedaannya hanyalah di Ke'te kesu terdapat lebih banyak jumlah rumah adat tongkonannya, selain itu disini juga lebih terkelola sebagai tempat wisata cagar budaya, ditandai dengan adanya tiket masuk sebesar 10ribu rupiah per orang, selain itu juga ada museum, penjualan souvenir khas Toraja, jumlah dan bentuk patane yang lebih bervariasi serta kuburan yang lebih besar, dalam 1 buah patane atau erong sanggup menyimpan hingga lebih dari 5 generasi, sehingga usia dari peti kayu tersebut hingga kini diperkirakan telah berusia sekitar 200tahun








Sebenarnya masih banyak lokasi wisata cagar budaya lainnya yang ada di Tana Toraja seperti di Londa dan Kambira (tempat dimana terdapat pohon tarra yang digunakan untuk meletakkan mayat bayi), pohon tarra yang terdapat di Kambira ini diperkirakan telah berusia sekitar 300tahun, disini bayi-bayi yang meninggal akan diletakkan didalam lubang-lubang yang dibuat dipohon tersebut dan kemudian ditutup dengan pelepah, posisi dari jasad bayi yang meninggal tersebut pun tidak boleh diletakkan menghadap ke rumah keluarga yang ditinggalkan

Jika waktu wisata kalian di Tana Toraja ini cukup panjang kalian sebaiknya tidak melewatkan untuk berkunjung ke dataran tinggi Batutumonga yang memiliki arti batu yang mendongak menghadap matahari, dari atas ketinggian dataran ini kalian bisa melihat panorama Toraja yang sangat indah dikelilingi oleh perbukitan disekitarnya

Sayangnya karena di Toraja ini selalu turun hujan saat mendekati sore hari maka kami pun terpaksa menyudahi petualangan disini, tetapi setidaknya dari perjalanan ini kami telah mendapat banyak pengetahuan baru mengenai keberagaman budaya dari suku-suku yang ada di bumi nusantara ini, menyaksikan secara langsung bagaimana sebuah budaya tradisional dapat bertahan dari gempuran modernisasi



Dari sekian banyak suku yang ada di Indonesia sendiri setidaknya kini hanya tinggal 4 daerah yang masih tersisa dengan ciri khas rumah adatnya, daerah-daerah tersebut antara lain di Padang dengan rumah gadangnya, Papua dengan rumah honainya, Flores tepatnya di Desa Wae Rebo dengan Mbaru Niangnya, dan yang terakhir adalah Tana Toraja dengan rumah tongkonannya, dan kami masih bersyukur karena setidaknya kami masih bisa berkunjung dan melihat secara langsung salah satu dari rumah adat yang masih difungsikan tersebut, tidak hanya melihat saja namun kami juga mendapat banyak pengetahuan dan pengalaman baru

Jika kalian bingung memilih destinasi wisata untuk berlibur maka jangan lupa masukkan Tana Toraja ke dalam list tujuan kalian, karena hanya disinilah kalian akan mendapati perspektif baru tentang kematian, terdengar menyeramkan? Tidak juga, karena saat kalian melihatnya secara langsung maka bukan rasa takut yang akan kalian rasakan melainkan justru rasa takjub dengan prosesi perayaan dan pemaknaan sebuah kematian dalam lingkungan masyarakat Toraja, inilah Indonesia dengan beragam kekayaan budayanya jadi mulailah mengenal Negerimu dan banggalah menjadi orang Indonesia :)

Info tambahan seputar Tana Toraja :

- Untuk menuju ke Tana Toraja dari Kota Makassar kalian bisa menaiki bus tujuan Rantepao seperti Bus Litha dan Bus Bintang Timur
dengan tarif sebesar 80 ribu sampai 100 ribu per orang
- Waktu terbaik untuk berwisata ke Tana Toraja adalah sekitar Bulan April – Oktober karena banyak diselenggarakan berbagai acara
dan perayaan, mulai dari pemakaman Rambu Solo’ hingga perayaan potong padi
- Lokasi-lokasi wisata populer lainnya di Tana Toraja yang dapat kalian kunjungi antara lain adalah Londa, Lemo, dan Desa Kesu’
untuk melihat kubur batu, serta juga ada obyek wisata Batu-batu menhir raksasa di kompleks Megalith Kalimbuang Bori’, Kecamatan
Sesean
- Untuk wisatawan muslim yang suka berwisata kuliner tradisional maka perlu berhati-hati dan bertanya dulu sebelum kalian memesan
makanan di rumah makan yang ada, karena di Tana Toraja mayoritas masyarakatnya beragama Nasrani sehingga kebanyakan rumah makan
yang ada disini menyediakan makanan tradisional seperti Pa’piong yaitu sejenis masakan berbahan dasar daging ayam atau babi
yang
dibumbui rempah dan cacahan batang pisang muda yang dimatangkan dalam bambu