Friday, 3 January 2014

Panggung Krapyak

Sekilas bangunan berbentuk persegi empat berukuran 17,6m x 15m dengan dinding setinggi 10m yang terbuat dari bata merah dilapisi semen cor itu tak ubahnya seperti sebuah Benteng kecil atau pos jaga. Dengan dinding yang kini tampak kusam, menunjukkan usianya yang hampir menyamai usia Kota Yogyakarta, seperempat millenium, bangunan masih terlihat kokoh, walau di beberapa bagian masih nampak sisa kerusakan akibat gempa bumi yang terjadi di Yogyakarta pada 27 Mei 2006 lalu


Panggung Krapyak, begitulah orang menyebut bangunan ini. Ketika pertama saya melihat bangunan ini dan mencoba mengelilinginya, berharap bisa menemukan keterangan yang terkait dengan keberadaan bangunan ini, ternyata hasilnya nihil. Di lokasi saya hanya menemukan papan bertuliskan nama bangunan yaitu Panggung Krapyak dan sebuah papan lain yang berisi keterangan bahwa bangunan ini telah diresmikan sebagai salah satu cagar budaya Kota Yogyakarta, lebih dari itu tidak ada keterangan lain lagi mengenai tempat ini, bahkan sebuah papan reklame berisi iklan sebuah tempat usaha cuci motor milik warga sekitar yang diletakkan persis didepan Panggung Krapyak seolah menjadi bukti kurangnya perhatian pemerintah melalui instansi terkait dan warga sekitar terhadap salah satu bangunan peninggalan sejarah ini.

Dengan rute yang cukup mudah untuk dikunjungi, yaitu jika kita datang dari alun-alun selatan keraton,kemudian melalui plengkung gading, dari perempatan lampu merah plengkung gading itu lurus saja kearah selatan melalui jalan D.I Panjaitan maka kurang lebih 3km kemudian tepat di tengah jalan kita akan melihat bangunan Panggung Krapyak


Panggung Krapyak yang berusia hampir 250 tahun ini termasuk bangunan yang terletak di poros imajiner Kota Yogyakarta, menghubungkan Gunung Merapi, Tugu Jogja, Keraton Yogyakarta, Pangung Krapyak, dan Laut Selatan. Poros Panggung Krapyak hingga Keraton menggambarkan perjalanan manusia dari lahir hingga dewasa. Wilayah sekitar panggung melambangkan kehidupan manusia saat masih dalam kandungan, ditandai dengan adanya kampung Mijen di sebelah utara Panggung Krapyak sebagai perlambang benih manusia

Dengan mengumpulkan informasi terkait Panggung Krapyak dari beberapa sumber, maka saya akan memaparkan fakta sejarah dibalik bangunan ini, sehingga jika para pembaca kebetulan berkunjung ke tempat ini dapat mengetahui sejarah dan semakin mengenal betapa indahnya Negeri ini dengan segala kekayaan budaya dan sejarahnya

Dahulu, wilayah Krapyak yang kini berada di selatan Keraton Yogyakarta adalah sebuah hutan yang lebat dan menjadi tempat tinggal banyak satwa liar. Para raja Mataram kala itu gemar berburu rusa (dalam bahasa jawa disebut menjangan) dihutan ini.

Salah satu raja yang memanfaatkan Hutan Krapyak sebagai tempat berburu adalah Raden Mas Jolang yang bergelar Prabu Hanyokrowati, raja kedua Kerajaan Mataram Islam dan merupakan putra dari Panembahan Senopati. Pada tahun 1613, beliau mengalami kecelakaan saat berburu dan akhirnya meninggal disini. Beliau kemudian dimakamkan di Kotagede dan diberi gelar Panembahan Seda Krapyak (yang berarti raja yang meninggal di Hutan Krapyak)

Raja lain yang gemar berburu di Hutan Krapyak adalah Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwono I). Beliau-lah yang kemudian mendirikan Panggung Krapyak ini lebih dari 140 tahun setelah wafatnya Prabu Hanyokrowati di hutan ini sebagai sebuah pos berburu yang sekaligus juga menjadi tempat berlindung dari serangan binatang buas saat tengah berburu

Arsitektur bangunan ini cukup unik, pada setiap sisinya terdapat sebuah pintu dengan dua buah jendela yang masing-masing berada di sebelah kanan dan kirinya. Bangunan ini terdiri dari dua lantai. Lantai bawah terbagi menjadi empat ruangan dengan lorong pendek yang menghubungkan pintu dari setiap sisinya, sedangkan lantai atas atau atapnya adalah sebuah tempat terbuka yang cukup luas dan dibatasi oleh pagar berlubang di keempat sisinya yang digunakan sebagai tempat untuk memanah binatang




Jika menuju salah satu ruang dibagian tenggara dan barat daya bangunan dan menatap keatas, ada sebuah lubang yang cukup lebar. Dari lubang itulah raja-raja yang hendak berburu menuju kelantai dua dengan dibantu sebuah tangga kayu, diatas juga terdapat sebuah atap untuk menaungi lubang yang berfungsi untuk mencegah air masuk saat cuaca hujan

Dengan arsitektur seperti ini bisa dibayangkan kenyamanan yang diperoleh raja saat sedang berburu. Ketinggian bangunan membuat raja dapat berburu dengan rasa aman dan nyaman, leluasa mengintai tanpa perlu khawatir diserang oleh hewan buas ketika berburu, sedangkan ruangan di lantai bawah digunakan untuk mengumpulkan hewan hasil buruan untuk selanjutnya dibawa menggunakan kereta kuda ke Keraton

Ketinggian bangunan yang seperti ini menyebabkan beberapa orang menduga bahwa Panggung Krapyak juga digunakan oleh para prajurit sebagai pos pertahanan. Konon dari tempat ini gerakan musuh yang datang dari arah selatan bisa dipantau, sehingga bisa memberikan peringatan dini kepada prajurit yang sedang berjaga di Keraton Yogyakarta bila terjadi serangan. Para prajurit secara bergantian ditugaskan untuk berjaga di tempat ini sekaligus berlatih berburu dan olah kanuragan (kemampuan bela diri)

Tambahan sumber referensi :
- http://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/historic-and-heritage-sight/panggung-krapyak/
- http://gudeg.net/id/directory/12/1744/Panggung-Krapyak-Yogyakarta.html#.UsO7GjfwzkU

No comments:

Post a Comment