Sabtu, 16 Januari 2016
Hari ini kami kembali melanjutkan perjalanan lagi setelah sebelumnya selama 3 hari (Rabu sampai dengan Jumat) kami hanya beristirahat memulihkan stamina di rumah salah seorang warga di daerah Ireng Jaya. Tampaknya efek dari kondisi badan yang kurang sehat semenjak meninggalkan Pulau Bali ditambah lagi dengan kehujanan begitu kami tiba di Pulau Lombok pada akhirnya semakin membuat kondisi badan kami berdua menjadi drop
Untungnya hampir di setiap perumahan warga di Pulau Lombok ini memiliki Berugak (semacam gazebo) yang berada di halamannya, sehingga sewaktu kami meminta izin beristirahat selama beberapa hari ini kami diperbolehkan untuk beristirahat di dalam Berugak tersebut (terlebih kami juga membawa tenda, sehingga untuk urusan tempat beristirahat kami pun bisa lebih fleksibel, selama ada spot dan fasilitas air bersih maka semua bisa diatur) dan kehadiran kami pun tidak mengganggu rutinitas harian dari sang pemilik rumah
Keuntungan lainnya dari adanya waktu off from the bicycle ini adalah kami bisa memanfaatkan waktu untuk sekedar berjalan kaki berkeliling, melihat aktivitas harian warga sekitar, mencicipi jajanan pasar, dan menyempatkan diri untuk ikut menjadi bagian dari aktivitas tersebut. Kami mencoba menggunakan transportasi umum (seperti KWK atau omprengan) untuk pergi ke Pasar Kebon Rowek yaitu sebuah pasar tradisional masyarakat sekitar, disini kami menjadi tahu tentang komoditi apa saja yang ada dan banyak diperjualbelikan yang berbeda dengan pasar-pasar di Pulau Jawa, sedangkan untuk urusan harga kalian tidak perlu kuatir karena harga-harga kebutuhan pokok di Pulau Lombok ini tidak jauh berbeda dengan harga-harga di Pulau Jawa, selain itu jika kalian ingin berbelanja ke minimarket dengan harga murah cobalah datang ke minimarket milik lokal seperti J-mart, mungkin bagi kalian yang berasal dari Jogja atau pernah ke Jogja pasti kalian paham dengan konsep minimarket milik lokal ini, ya harga-harga di J-mart tak ubahnya sama seperti harga-harga barang di Pamella atau Progo (di Yogyakarta), jauh lebih murah dibandingkan dengan harga-harga barang di minimarket modern seperti Indomart dan Alfamart
Dan mengapa Pulau Lombok sering disebut juga sebagai Pulau 1000 Masjid? hal ini dikarenakan disini banyak sekali bangunan Masjid yang tersebar di berbagai pelosok Pulau ini, mulai dari Masjid besar hingga Masjid lingkungan perumahan, semua Masjid ini dihiasi dengan ukiran yang indah pada pilar dan atapnya, mayoritas masyarakat Lombok memang beragama Islam sehingga untuk urusan kuliner halal pun hal ini tidak menjadi masalah jika suatu saat kalian ingin berwisata ke Pulau ini. Sesekali sempat terlintas di pikiran saya ketika melihat banyaknya jumlah Masjid yang tersebar hingga ke lingkungan komplek perumahan ini, apakah dengan banyaknya jumlah fasilitas ibadah ini maka otomatis meningkatkan jumlah jemaatnya juga? Karena jika setiap lingkungan perumahan memiliki bangunan Masjid sedangkan jumlah warga komplek perumahan tersebut tidaklah terlalu padat, bukankah pada akhirnya ketika waktu ibadah dilaksanakan maka Masjid akan terlihat lengang, sedangkan jarak antar komplek perumahan satu sama lainnya tidak terlalu jauh, bukankah lebih baik membangun satu buah Masjid yang besar sekalian di lokasi yang strategis sehingga para Jemaah antar komplek perumahan satu dan lainnya dapat menggunakannya secara bersama dimana secara otomatis mereka juga akan saling mengenal hingga pada akhirnya terciptalah ukhuwah Islamiyah yang sebenarnya, tetapi ini hanyalah menurut pendapat saya pribadi yang beranggapan daripada hanya sekadar berlomba membangun jumlah masjid dimana-mana dan memperindahnya tetapi terasa kosong bukankah lebih baik merangkul dan memperbanyak jumlah Jemaah supaya mau beribadah di Masjid tersebut, yah semua memang berpulang kepada individunya masing-masing, mereka juga pasti punya alasan untuk membangun Masjid-masjid tersebut sekian banyaknya.
Dahulu sebelum Pulau Lombok berkembang seperti sekarang, embel-embel istilah “Pulau 1000 Masjid” tidak hanya berhenti sampai disitu saja melainkan masih ada kelanjutannya yaitu “Pulau 1000 Masjid, sejuta maling”, karena menurut penuturan beberapa warga yang berbincang-bincang dengan kami, dulu ketika Bandara masih berlokasi di Kota Mataram, pembangunan infrastruktur hanya terpusat di sekitar kawasan Kota Mataram saja sehingga beberapa wilayah di Pulau Lombok seperti Lombok Timur menjadi terabaikan dan menimbulkan kesenjangan sosial, oleh karena itulah dahulu banyak terjadi kasus pencurian dan perampokan di sekitar wilayah tersebut (padahal jumlah Masjid juga sudah banyak), namun seiring dengan semakin meratanya pembangunan infrastruktur, terlebih ketika Bandara mulai dipindah ke Lombok Tengah maka perlahan kesenjangan pembangunan pun menjadi berkurang, terlebih jumlah lapangan pekerjaan yang baru tumbuh juga turut membuka peluang bagi warga sekitar untuk terlibat didalamnya, sehingga pada akhirnya lambat laun jumlah kriminalitas pun berkurang.
Dan di Hari Sabtu ini sekitar pukul 8 pagi WITA kami pun sudah mulai start lagi menuju ke arah Pantai Senggigi. Beberapa teman di media sosial yang mengetahui perjalanan kami berdua selalu menyarankan jika berkunjung ke Lombok jangan lupa untuk mampir ke Pantai Senggigi karena keindahannya, baiklah kita lihat saja nanti bagaimana keadaannya sekarang secara langsung
Mungkin karena sebelumnya kami berdomisili di sebuah kota dan propinsi yang juga terkenal akan pariwisatanya dan menjadi salah 1 destinasi wisata favorit di Pulau Jawa, maka kami pun menjadi tidak terlalu "surprise" lagi jika melihat keindahan obyek wisata yang dimata kami sudah cukup umum dan sering kami lihat selama kami menetap di Yogyakarta, misalnya disaat banyak orang mengatakan Pantai Kuta di Bali sangat indah namun setelah kami mengunjunginya bagi kami Pantai Kuta terlihat biasa-biasa saja, pantainya memang indah dengan pasir pantai yang berwarna putih kecoklatan, namun karakter pantai seperti itu juga sudah pernah kami lihat di pantai kukup atau pantai Drini di Gunungkidul sehingga tidak terlalu membuat kami "excited", entahlah mungkin penilaiannya akan berbeda jika kalian sendiri yang mengunjungi dan merasakannya
Begitu pula halnya ketika banyak orang mengatakan jika ke Lombok jangan lupa mampir ke Senggigi atau ke Gili Trawangan, baiklah sebenarnya kami pun senang-senang saja jika bisa berkunjung atau mendapat kesempatan bermain kesana namun seperti yang sudah kita ketahui bersama dan menjadi rahasia umum jika semua tempat wisata yang bagus saat ini sepertinya sudah dikomersialisasi oleh beberapa pihak dan "oknum" tertentu sehingga tidak ada pariwisata bagus yang gratis, dan slogan traveling murah seakan-akan hanya rayuan manis saja karena tidak ada angka atau batasan pasti tentang "murah" yang dimaksud jika kita bertanya berapa angka pastinya, yang menurut mereka murah kan belum tentu juga murah menurut saya.
Dari wilayah Ireng Jaya kami mengambil rute menyusuri jalur pantai Lombok Barat, disini kontur rutenya rolling, naik dan turun. Salah satu tantangan ketika bersepeda di Pulau Lombok menyusuri rute ini selain faktor tanjakannya yang banyak banget adalah entah mengapa material aspal jalannya terasa berat dan lengket sekali, mirip dengan aspal di daerah Kenteng yang menuju perbukitan menoreh di Kabupaten Kulonprogo, DIY. Selain itu cuaca kali ini juga sangat cerah (cenderung panas), oleh karena itu kami tidak memasang target pencapaian jarak, pokoknya sesampai dan sekuatnya saja sambil menikmati pemandangan di perjalanan, apalagi dengan beban sepeda dan panniernya tentu bukanlah hal mudah untuk bisa melaju dengan konstan di medan tanjakan seperti ini, beberapa kali kami harus mendorong sepeda-sepeda untuk bisa sampai di atas puncak tanjakan, di salah satu tanjakan bahkan ada beberapa pekerja bangunan yang membantu untuk mendorong sepeda milik Agit, terimakasih ya bapak-bapak semuanya :)
Dan setelah menempuh salah satu tanjakan sampailah kami di Gardu Pandang Makam Batu Layar, suasana disini relatif masih sepi hanya terdapat beberapa orang dengan sepeda motornya yang tampaknya juga sedang menikmati pemandangan di sekitar Gardu Pandang ini
Karena rute yang kami pilih adalah menyusuri jalur Pantai Lombok Barat maka secara otomatis pemandangan yang selalu kami lihat adalah suasana Pantai. Pantai-pantai di Pulau Lombok memang sangat indah dengan pasir pantainya yang berwarna putih kecoklatan dan gradasi air lautnya yang berwarna hijau-biru, oleh karena itu tidaklah mengherankan jika saat ini wisata di Pulau Lombok mulai bergerak maju menyaingi Pulau Bali sebagai salah satu tujuan wisata favorit para pecinta Pantai, namun sayangnya pemandangan tersebut hanya dapat kami nikmati dari kejauhan saja, tepatnya dari atas tanjakan-tanjakan yang ada, karena banyaknya pembangunan hotel-hotel berskala internasional dan bar yang semakin menjamur menutupi akses masuk ke area pantainya, kecuali jika kalian memiliki budget lebih mungkin kalian bisa masuk ke area pantai melalui area hotel dan bar tersebut
Begitu pula halnya disaat kami memasuki daerah Senggigi, sejak mulai masuk hingga hampir keluar wilayah Senggigi nyaris di sepanjang jalan yang berbatasan dengan pesisir pantainya tertutup dan dipenuhi oleh Hotel-hotel mulai dari yang bintang 3 hingga bintang 5, bar, jasa travel agent, penjualan merchandise dan souvenir, dan berbagai kegiatan ekonomi lainnya. Hal ini membuat kami jadi tidak bisa menyaksikan keindahan Pantai Senggigi secara langsung, karena semua akses menuju ke pantai tersebut harus melalui fasilitas hotel, restaurant, bar, dan lainnya. Hal ini semakin membuat kami merasa menjadi tamu di negeri sendiri, lucu bukan karena semua keindahan obyek wisata tersebut ada di negara kita tetapi bahkan kita sendiri tidak bisa leluasa berkunjung dan bermain kesana (kecuali jika kalian membawa budget yang cukup), selain itu entahlah ada apa dengan pola pikir orang-orang lokal kita yang merupakan penduduk asli namun bekerja menjual jasa travel maupun guide, dalam benak mereka selalu berpikiran jika semua pendatang atau pengunjung yang datang ke suatu lokasi wisata tertentu pasti adalah orang kaya (menurut anggapan warga local karena turis tersebut adalah orang kaya maka mereka mampu untuk traveling) begitulah logika yang ada di benak mereka sehingga tidak jarang mereka akan mencari cara untuk mengeruk keuntungan dari para wisatawan tersebut, pernahkah mereka berpikir bahwa tidak semua wisatawan tersebut adalah orang kaya? Karena mungkin ada beberapa dari para wisatawan tersebut yang sebelumnya sudah menabung selama bertahun-tahun, menyisihkan budget penghasilannya dan membuat alokasi anggaran khusus hanya supaya mereka dapat melakukan traveling seperti ini, dengan pengorbanan seperti itu tentunya tidak etis jika mereka ditipu atau dianggap "tambang uang berjalan" oleh beberapa oknum yang hanya mengedepankan keuntungan pribadinya sesaat dengan mengorbankan atau meninggalkan citra negatif pariwisata di daerahnya
Selain itu terkadang kita juga bisa mendapati bentuk pelayanan yang diterapkan berbeda untuk wisatawan lokal dan wisatawan mancanegara, seperti yang pernah kami alami sendiri saat sedang gowes, tiba-tiba ada warga lokal yang tersenyum dan melambaikan tangan sembari berkata "hallo mister", namun setelah ia menyadari bahwa kami adalah wisatawan lokal maka ia pun berhenti melambaikan tangan dan secara refleks berkata "oh lokal", dengan intonasi suara yang tidak se-excited seperti sebelumnya saat ia masih mengira kami adalah turis asing, mengapa harus ada kata "oh lokal", seakan-akan ia kecewa karena kami hanyalah turis lokal? Apa yang salah dengan menjadi wisatawan lokal? Apakah karena wisatawan lokal dianggap lebih tidak mampu secara ekonomi? Entahlah dengan mereka tetapi setidaknya saya tetap bangga menjadi orang lokal atau turis domestik, menjadi anak bangsa yang berkeinginan untuk menjelajah dan melihat keindahan negerinya sendiri serta membuktikan apakah budaya keramahan penduduknya yang sedari dulu selalu diajarkan dan diulang-ulang oleh para guru dan orangtua kita masih ada di zaman sekarang ataukah semua itu pada akhirnya hanya menjadi cerita nostalgia semata.
Selepas dari wilayah Senggigi (yang hingga kini saya pun tetap tidak tahu dimana indahnya), kami mulai melalui rute dan kontur jalan yang mulai sepi dan naik-turun hingga tiba-tiba tepat di pinggir jalan raya saya melihat ada jalan masuk kecil yang langsung menuju ke bibir pantai, Pantai Pojok namanya (mungkin karena letaknya yang memang di pojok jalan tanpa fasilitas apa pun, hanya ada sebuah warung kecil disana), kami pun kemudian menyenderkan sepeda-sepeda kami ke pepohonan dan mulai menyiapkan kamera serta melepas sandal, saatnya bermain air :)
Pantai Pojok yang serasa milik pribadi
Walaupun letaknya persis berada di pinggir jalan namun jika kalian melalui rute ini dengan kendaraan bermotor pasti kalian akan melewatkan tempat ini, selain karena aksesnya yang rada tersembunyi, juga karena papan namanya yang sangat kecil, tetapi bagi kami yang berbudget minim maka inilah keindahan dari sebuah perjalanan dan salah satu pantai yang paling pas untuk kami berdua.
Dengan butiran pasir pantainya yang besar-besar berwarna putih kecoklatan sehingga tidak membuat lengket di kaki, serta bibir pantai yang dangkal dengan air jernih hingga bebatuan dan rumput lautnya dapat terlihat dengan jelas, menjadikan pantai ini aman untuk berenang dan bermain air. Terlihat sebuah kapal nelayan juga sedang ditambatkan tidak jauh dari tempat kami bermain, dan yang paling mengasyikkan adalah hanya kami berdualah satu-satunya pengunjung di pantai ini asyiiiikkkk... benar-benar serasa pantai milik pribadi, akhirnya kami mulai bisa menikmati keindahan hidden paradise Pulau Lombok tanpa gangguan dan pastinya secara gratis
Tidak hanya berfoto dan membuat video, disini kami juga puas berenang dan menyelam hingga tanpa terasa waktu sudah menunjukkan jam 12.30 WITA, saatnya bagi kami untuk menyudahi bermain di pantai ini dan mulai kembali melanjutkan perjalanan lagi sebelum kesorean, dan ternyata setelah jam 12 siang ombak di pantai ini pun sedikit demi sedikit mulai agak naik, sepertinya air laut mulai pasang setelah tengah hari, untunglah kami sudah puas bermain disini
Setelah puas menikmati keindahan Pantai Pojok kami kembali lanjut gowes lagi, awan mendung yang menggelayut sedari tadi perlahan kini mulai berubah menjadi gerimis kecil dan semakin lebat, dan semua terjadi tepat disaat kami harus menghadapi tanjakan yang ada di depan kami, tidak ada jalan lain selain mendorong sepeda-sepeda kami hingga ke puncak tanjakan karena jika kami memaksakan untuk mengayuh maka dikuatirkan akan tergelincir dan itu akan menjadi masalah baru bagi kami berdua
Setelah sampai di puncak tanjakan, hujan malah turun semakin deras, kabut juga mulai turun secara merata, akhirnya daripada terus kehujanan tanpa ada tempat berteduh, kami pun kembali menuntun sepeda-sepeda kami menuruni turunan bukit, setidaknya kami harus beranjak maju walau sedikit demi sedikit. Setelah sampai dibawah kami kemudian menumpang berteduh di sebuah warung ikan bakar sembari bertanya harga makanan disini, karena kami baru menyadari bahwa perut kami belum terisi apapun sedari pagi, apalagi dengan guyuran hujan deras dan hawa dingin seperti ini semakin membuat perut kelaparan, akhirnya ya sudahlah daripada badan sakit lagi akibat kelaparan, kami pun memesan ikan bawal dan 2 porsi nasi putih, setidaknya cukup untuk mengganjal perut-perut yang kelaparan ini sampai kami menemukan tempat untuk beristirahat malam nanti
Akhirnya setelah hujan mulai mereda dan kabut sudah mulai berganti terang, kami kembali lanjut gowes lagi untuk menemukan tempat beristirahat hari ini, awalnya di salah satu perkampungan kami sempat bertanya kepada salah seorang warga kira-kira bisakah kami menumpang beristirahat untuk semalam saja, namun karena ia meminta bayaran "yang kebangetan mahalnya" bagi kami berdua yaitu sebesar 200ribu rupiah padahal kami hanya meminta ijin mendirikan tenda saja akhirnya membuat kami memutuskan untuk meneruskan perjalanan saja hingga ke desa berikutnya (bahkan warga tersebut sempat menakut-nakuti kami dengan mengatakan tidak ada penginapan lain disekitar situ dan harga yang ia tawarkan sudah termasuk murah, murah ndasmu), kun fayakun sajalah lanjut terus hingga akhirnya kami sampai di dusun Malaka, dekat dengan Pantai Nipah, disitu kami sempat melihat ada sebuah Mushalla kecil, akhirnya kami pun memberanikan diri untuk bertanya dan meminta ijin bermalam ditempat itu, dan sungguh diluar dugaan, kami bahkan diajak masuk dan ditawarkan menginap di salah satu rumah yang kebetulan mempunyai 1 kamar kosong, "lebih baik tidur dikamar ini saja daripada di mushalla tapi keadaannya ya begini agak berantakan", kata Pak Haji Mastur sambil tersemyum dengan ramahnya, ia adalah salah seorang tokoh masyarakat di Dusun tersebut yang kami temui saat meminta ijin tadi, usai unpacking semua barang dan mandi, kami diundang untuk makan malam bersama keluarganya dan berbincang-bincang tentang keadaan Pulau Lombok dengan aktivitas dan budaya masyarakatnya, setidaknya di pulau 1000 Masjid yang dinobatkan menjadi destinasi wisata halal Tahun 2015 lalu ini akhirnya kami bisa mendapati dan merasakan nilai kemanusiaan yang sepertinya mulai terhimpit gempuran pengaruh modernisasi dan kapitalisme efek dari pembangunan sektor pariwisata yang cenderung mengkomersialkan setiap aspek kehidupan wilayah dan masyarakatnya, bahkan Pak Haji sendiri juga mengkuatirkan perkembangan budaya asli dan mental dari masyarakat Lombok sendiri dalam menyikapi pengaruh negatif perkembangan pariwisata di Lombok, menurutnya Lombok saat ini semakin penuh dengan turis dan "turas", turas sendiri adalah istilah dalam bahasa Lombok yang berarti perilakunya mengikuti atau terpengaruh gaya dan budaya para turis (menjadi barat melebihi orang barat itu sendiri, supaya terlihat kekinian atau modern), dan hal itulah yang kini semakin kentara dirasakan
Walaupun perekonomian Pulau Lombok sedikit banyaknya terbantu dengan perkembangan pariwisata di ketiga Gili, terutama Gili Trawangan, namun tak sedikit pula dari masyarakat Lombok yang beranggapan bahwa walau Gili adalah bagian dari Lombok namun kini seakan-akan Gili sudah berdiri sendiri dan lepas dari Lombok, dengan kata lain Gili hanya menumpang formalitas administratif saja dari Lombok, karena suasana di Gili terutama Gili Trawangan kini tak ubahnya seperti di luar negeri karena dipenuhi oleh hotel, bar, dan cafe, begitu pula dengan keriuhan kehidupan malamnya, bahkan jumlah turis asing yang berkunjung ke Gili jauh lebih banyak dari wisatawan lokal.
Meningkatnya perekonomian Pulau Lombok dan sekitarnya juga disebabkan karena jenuhnya minat wisatawan yang berkunjung ke Bali, karena suasana di Bali yang semakin ramai dan semrawut hal inilah yang membuat pada akhirnya para wisatawan tersebut mulai mengalihkan tujuannya ke tempat-tempat masih alami dan belum begitu banyak dikunjungi seperti Pulau Lombok dan Gili yang relatif lebih sepi dibanding Bali, namun bagaimanapun juga inilah hasil dari kemajuan pariwisata yang tidak diimbangi dengan kesiapan mental masyarakatnya, sehingga hasil akhir kemajuan pariwisata tersebut seakan menjadi pisau bermata dua, di mana satu sisinya bersifat positif yaitu mengangkat taraf perekonomian masyarakatnya, namun di sisi lain hal tersebut juga merusak mental masyarakat dan generasi mudanya menjadi "turas", sedikit demi sedikit mengikis budaya asli yang awalnya menjadi identitas mereka namun kini menjadikan budaya tersebut hanya sebagai salah satu produk keemasan paket wisata secara komersil
Hmmm...semoga Lombok dan wilayah lainnya di Indonesia yang saat ini sedang mengalami kemajuan sektor pariwisatanya dapat mengimbangi semua kemajuan tersebut dengan mempersiapkan mental masyarakat dan generasi mudanya supaya dapat mempertahankan budaya dan kearifan lokal yang dimilikinya serta tetap bangga dengan keunikan ciri dan identitas budayanya tersebut
Pengeluaran hari ini :
- cilok = Rp 2.000,-
- 2 botol teh javanna = Rp 6.000,-
- 1 botol aqua 750ml = Rp 5.500,-
- makan sore = Rp 45.000,-
Total = Rp 58.500,-
Total jarak tempuh hari ini : 23,03km
No comments:
Post a Comment