Minggu, 17 Januari 2016
Hari ini mungkin menjadi rekor jarak tempuh terpendek kami dari sepanjang perjalanan ini, yaitu hanya 8,54km saja jarak yang berhasil kami selesaikan, mengapa bisa begitu? Baiklah mari kita kilas balik dulu sebentar :)
Setelah pada malam hari sebelumnya kami menumpang beristirahat di rumah Pak Haji Mastur, nampaknya kondisi badan kami berdua benar-benar sangat kelelahan sampai-sampai kumandang adzan Subuh pun tidak terdengar padahal jarak antara Mushalla dengan tempat kami menginap tepat bersebelahan, dan usut punya usut ternyata pada pagi hari ini adzan Subuhnya memang tidak berkumandang dari Mushalla dikarenakan Pak Haji Mastur yang biasa menjadi Muadzin ternyata juga bangun kesiangan hehe…
Kami baru terbangun sekitar pukul 06.30 WITA kemudian bergegas mandi untuk mulai bersiap melanjutkan perjalanan lagi
Setelah kami selesai mandi dan mempacking barang, Pak Haji pun memanggil dan mengajak kami untuk sarapan bersama (walaupun kami tidak terbiasa untuk sarapan pagi namun akhirnya kami pun mengiyakan tawaran tersebut), sambil makan dan berbincang-bincang mengenai tujuan kami berikutnya, Pak Haji pun meminta nama dan alamat kami berdua (sebagai semacam testimonial dan menambah ukhuwah Islamiyah katanya)
Berfoto bersama Pak Haji Mastur yang mukanya mirip artis sinetron (tebak hayo mirip siapa :))
Akhirnya setelah berpamitan dan mengucapkan terimakasih kepada Pak Haji dan keluarganya, sekitar jam 8 WITA kami pun mulai start lagi. Mengawali start hari ini kami sudah harus langsung menyiapkan mental karena tepat di depan kami rute jalan yang akan kami lalui ini sudah mulai terlihat menanjak (Pak Haji pun sudah memberitahu bahwa nantinya tanjakan sepanjang kurang lebih 900m ini akan terasa berat karena derajat kemiringannya yang curam), ya sudahlah mau bagaimana lagi tidak ada kata mundur karena hanya ini satu-satunya jalan yang ada jadi kami harus menghadapinya
Dan benar saja tanjakan ini terasa sangat berat dan panjang (mirip dengan tanjakan di perbukitan Menoreh, Kulonprogo), mobil dan bus wisata yang melalui rute ini saja sampai memacu gas dan persneling satunya dengan berat, apalagi bagi kami berdua yang hanya mengandalkan kekuatan semangat serta dengkul ini, sudah terbayangkan bagaimana beratnya mendorong sepeda full loaded di tanjakan yang curam dengan kualitas aspal yang terasa lengket dan diterpa sinar matahari yang cukup panas, energi sarapan tadi pagi rasanya langsung habis tak tersisa hehe... (kali ini setiap menghadapi atau melihat tanjakan lebih baik langsung nyengir saja dulu daripada merasa kesal sendiri)
Hampir 45 menit sudah waktu yang kami habiskan hanya untuk melewati tanjakan ini, tepat di puncak tanjakan ini ada semacam spot parkir dan beberapa pedagang cenderamata yang menjajakan dagangannya kepada setiap wisatawan yang mampir (kecuali kami hehe), dari atas sini kita juga bisa melihat 3 Gili dari kejauhan (Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili air), selain itu keindahan pesisir pantai disepanjang rute jalan ini pun juga tidak kalah indahnya
Salah satu Gili sudah tampak dari kejauhan
Sehabis tanjakan, otomatis pasti akan mendapat bonus pemandangan dan turunan, namun pada turunan kali ini juga harus berhati-hati, jangan sampai terlena karena rutenya berkelok-kelok. Awalnya kami mengira tanjakan yang tadi sebelumnya merupakan tanjakan terakhir, tapi eh ternyata didepan masih ada banyak lagi tanjakan yang walaupun tidak sepanjang tadi namun derajatnya sama menyebalkannya, dorong lagi-dorong lagi ini mah...
Mungkin ada sekitar 3-4 tanjakan yang sudah kami lalui sejak tanjakan pertama yang panjang tersebut, namun karena di zona waktu Indonesia Tengah ini (menurut perasaan saya) waktunya cepat sekali berlalu, tahu-tahu sudah jam 1 siang saja, mana di depan konturnya masih naik-turun pula, situasi seperti ini akhirnya membuat Agit menjadi kesal sendiri (dan ngadat), karena bosan dan lelah akibat dari tadi lebih banyak dorongnya daripada gowesnya. Kami pun akhirnya beristirahat sebentar di pinggir jalan sambil berdiskusi apa sebaiknya gowes hari ini disudahi saja dulu walaupun hari masih siang, dan mulai mencari tempat beristirahat saja
Namun setelah bertanya-tanya tampaknya tidak ada penginapan disekitar sini, yang ada hanyalah patok-patok keterangan bahwa tanah ini sudah dibeli Hotel S dan tanah itu sudah dibeli Hotel K (mungkin 10 tahun kemudian kedepannya daerah ini sudah dipenuhi oleh Hotel-hotel mewah dan menjadi seperti Bali), entahlah bagaimana dengan masyarakat aslinya, apakah mereka akan dapat bertahan ataukah menjadi terpinggirkan?
Selagi kami beristirahat di depan kantor LIPI, tiba-tiba ada seseorang yang hendak keluar (yang bernama Fauzan), saya sempat bertanya dan meminta ijin kepadanya kira-kira bolehkah kami menumpang beristirahat dan mendirikan tenda kami disini, oleh Mas Fauzan kami kemudian disarankan untuk menanyakan langsung ke kepala koordinator pekerja yang ada di mess rumah singgah LIPI, ia pun kemudian menemani mengantarkan saya untuk berbicara dan meminta ijin langsung ke kepala koordinatornya bernama Mas Hendra. Setelah menjelaskan maksud dan tujuan kami akhirnya Mas Hendra mempersilahkan kami untuk menumpang beristirahat, bahkan ia menawarkan sebuah kamar kosong di rumahnya sebagai tempat kami beristirahat daripada kami harus repot-repot mendirikan tenda, karena di rumah dinasnya ia hanya tinggal sendirian (dimana dalam 1 rumah dinas ada 3 kamar yang bisa digunakan untuk 3 orang) akhirnya kamar kosong itulah yang kami gunakan sebagai tempat beristirahat hari ini, setidaknya oleh Mas Hendra kami berdua diizinkan untuk beristirahat memulihkan stamina dulu sampai kondisi badan kami benar-benar fit kembali untuk melanjutkan perjalanan ini, akhirnya hari ini setelah mandi dan menumpang mencuci pakaian-pakaian kotor, sorenya kami pun memasak nasi dan telor yang kami beli sewaktu berbelanja di pasar tradisional sebelumnya, karena di tempat ini jarak ke warung-warung juga cukup jauh sehingga lebih baik kami memasak sendiri saja, malamnya setelah selesai memindahkan dan memback-up file-file foto dan video kini saatnya kami beristirahat total dan besoknya mungkin kami off from the bicycle dulu sejenak untuk benar-benar memulihkan stamina kami sebelum nantinya lanjut lagi menghadapi kontur jalan yang naik-turun di Pulau Lombok ini :)
Pemandangan pantai yang berada tepat di belakang rumah dinas LIPI
Pengeluaran hari ini :
- tidak ada karena masak sendiri
Total jarak tempuh hari ini : 8,54 km
Tak terasa 3 hari sudah (Minggu sampai dengan Selasa) kami menumpang beristirahat di rumah dinas LIPI, selama waktu istirahat off from the bicycle ini kami mendapat pengalaman dan pengetahuan baru dari orang-orang yang tinggal dan bekerja di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) ini, Mereka yang berada dan bekerja disini kebanyakan adalah orang-orang muda yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, ada yang dari Medan, Jawa, dan daerah lainnya, semuanya berkumpul dan menyatukan keahlian yang mereka miliki untuk memajukan potensi Indonesia melalui penerapan teknologi yang mereka kuasai untuk mengoptimalkan sumberdaya alam di daerah tersebut.
Dan tidak hanya di Pulau Lombok saja, masih banyak kantor-kantor LIPI lainnya yang tersebar di berbagai pelosok lainnya di seantero Indonesia Raya ini, semuanya disesuaikan dengan potensi yang ada di daerah tersebut masing-masing, salah satunya seperti yang ada di Teluk Kode, Pulau Lombok ini, para peneliti muda yang berada disini mencoba untuk mengoptimalkan metode pembudidayaan kerang mutiara, mereka memasang jaring-jaring yang telah dilengkapi dengan semacam rumah sebagai tempat menempelnya kerang-kerang dan terumbu di sepanjang pantai, mereka juga meneliti berbagai jenis kerang tersebut, mana jenis kerang yang produktivitasnya paling tinggi serta cara untuk meningkatkan hasil mutiara selama proses pembentukannya didalam kerang tersebut, semua hasil penelitian tersebut mereka catat dan laporkan untuk kemudian disusun dalam bentuk proposal yang ditujukan kepada pemerintah daerah dan instansi terkait supaya dapat ditindak lanjuti dalam bentuk program kerja nyata yang diharapkan kedepannya juga dapat meningkatkan taraf perekonomian masyarakat sekitar serta meningkatkan kesadaran mereka terhadap upaya pelestarian alam dan cara memanfaatkan hasil alam dengan tidak merusak atau mengeksplorasinya secara berlebihan
Para peneliti muda ini mempunyai semangat dan daya juang yang tinggi, mereka mempunyai harapan bahwa suatu saat nanti seluruh potensi sumberdaya alam yang ada di bumi nusantara ini dapat dikelola sendiri oleh putra-putri terbaik bangsa ini, dan hasilnya dapat digunakan untuk mensejahterakan seluruh lapisan rakyat tanpa terkecuali sehingga pada akhirnya sila kelima dari dasar Negara kita ini yaitu Pancasila yang berbunyi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” ini benar-benar dapat dirasakan secara langsung
Namun semua ini bukannya tanpa kendala, terkadang beberapa hasil laporan yang telah diusulkan kepada instansi terkait tidak jarang hanya akan berakhir didalam lemari dan menjadi berkas semata, tidak ada kelanjutan tanggapan dan program kerja yang terwujud, dengan alasan tidak adanya dana operasional dan berbagai dalih lainnya tentu saja hal ini mengecewakan mereka-mereka yang telah bekerja meneliti dan menemukan sebuah terobosan dalam mengoptimalkan sumberdaya tersebut, tetapi para peneliti muda tersebut tidak patah semangat karena mereka juga punya keyakinan bahwa suatu saat akan ada pihak yang benar-benar mendengar dan menghargai seluruh jerih payah mereka
Saat ini kebanyakan hasil-hasil penelitian mereka justru dihargai oleh pihak-pihak luar dan investor asing yang jeli melihat peluang tersebut, beberapa hasil budidaya kerang mutiara tersebut pada akhirnya justru dibeli oleh investor dari Australia, sungguh suatu ironi mengingat semua itu sebenarnya merupakan sumberdaya alam yang kita miliki dan telah diteliti oleh putra-putri terbaik bangsa namun malah ditolak oleh para pemangku kebijakan negeri ini dan justru malah dihargai dan disupport oleh Negara-negara lain, selama pola pikir para pejabat kita masih berpikir untuk kemakmuran perutnya sendiri maka jangan harap Indonesia akan mampu mengejar ketertinggalannya dibanding Negara lain, tetapi inilah realita yang saat ini sedang terjadi dan berlangsung di Bumi nusantara yang membuat sang Ibu Pertiwi semakin bersedih, namun janganlah kita sebagai generasi penerus bangsa ini kehilangan semangat dan menjadi generasi yang hanya “nyinyir” saja, karena masa depan itu masih ada, dan Indonesia masih memiliki masa depannya sendiri selama generasi penerusnya seperti kita sekarang juga masih memiliki keyakinan dan terus berkarya di bidang kita masing-masing secara positif dan mampu menciptakan sebuah terobosan dan mengharumkan nama bangsa sebagai solusi di tengah carut-marutnya generasi yang semakin darurat nyinyir tanpa solusi ini
“The planet doesn’t need more successful people. The planet desperately needs more peacemakers, healers, restorers, storytellers, and lovers of all kinds”
Pengeluaran hari Senin, 18/01/16 :
- belanja sayur (6 butir telur+daun bawang+roti+cemilan+air mineral 1,5L = Rp 25.000,-
- 2 porsi nasi campur = Rp 30.000,-
- pulsa internet 4Gb = Rp 62.000,-
Pengeluaran hari Selasa, 19/01/16 :
- belanja sayur = Rp 9.000,-
- jajan roti+air mineral 1,5L = Rp 10.000,-
Total = Rp 136.000,-
Sunday, 26 November 2017
Sunday, 19 November 2017
CHAPTER 19; PULAU 1000 MASJID
Sabtu, 16 Januari 2016
Hari ini kami kembali melanjutkan perjalanan lagi setelah sebelumnya selama 3 hari (Rabu sampai dengan Jumat) kami hanya beristirahat memulihkan stamina di rumah salah seorang warga di daerah Ireng Jaya. Tampaknya efek dari kondisi badan yang kurang sehat semenjak meninggalkan Pulau Bali ditambah lagi dengan kehujanan begitu kami tiba di Pulau Lombok pada akhirnya semakin membuat kondisi badan kami berdua menjadi drop
Untungnya hampir di setiap perumahan warga di Pulau Lombok ini memiliki Berugak (semacam gazebo) yang berada di halamannya, sehingga sewaktu kami meminta izin beristirahat selama beberapa hari ini kami diperbolehkan untuk beristirahat di dalam Berugak tersebut (terlebih kami juga membawa tenda, sehingga untuk urusan tempat beristirahat kami pun bisa lebih fleksibel, selama ada spot dan fasilitas air bersih maka semua bisa diatur) dan kehadiran kami pun tidak mengganggu rutinitas harian dari sang pemilik rumah
Keuntungan lainnya dari adanya waktu off from the bicycle ini adalah kami bisa memanfaatkan waktu untuk sekedar berjalan kaki berkeliling, melihat aktivitas harian warga sekitar, mencicipi jajanan pasar, dan menyempatkan diri untuk ikut menjadi bagian dari aktivitas tersebut. Kami mencoba menggunakan transportasi umum (seperti KWK atau omprengan) untuk pergi ke Pasar Kebon Rowek yaitu sebuah pasar tradisional masyarakat sekitar, disini kami menjadi tahu tentang komoditi apa saja yang ada dan banyak diperjualbelikan yang berbeda dengan pasar-pasar di Pulau Jawa, sedangkan untuk urusan harga kalian tidak perlu kuatir karena harga-harga kebutuhan pokok di Pulau Lombok ini tidak jauh berbeda dengan harga-harga di Pulau Jawa, selain itu jika kalian ingin berbelanja ke minimarket dengan harga murah cobalah datang ke minimarket milik lokal seperti J-mart, mungkin bagi kalian yang berasal dari Jogja atau pernah ke Jogja pasti kalian paham dengan konsep minimarket milik lokal ini, ya harga-harga di J-mart tak ubahnya sama seperti harga-harga barang di Pamella atau Progo (di Yogyakarta), jauh lebih murah dibandingkan dengan harga-harga barang di minimarket modern seperti Indomart dan Alfamart
Dan mengapa Pulau Lombok sering disebut juga sebagai Pulau 1000 Masjid? hal ini dikarenakan disini banyak sekali bangunan Masjid yang tersebar di berbagai pelosok Pulau ini, mulai dari Masjid besar hingga Masjid lingkungan perumahan, semua Masjid ini dihiasi dengan ukiran yang indah pada pilar dan atapnya, mayoritas masyarakat Lombok memang beragama Islam sehingga untuk urusan kuliner halal pun hal ini tidak menjadi masalah jika suatu saat kalian ingin berwisata ke Pulau ini. Sesekali sempat terlintas di pikiran saya ketika melihat banyaknya jumlah Masjid yang tersebar hingga ke lingkungan komplek perumahan ini, apakah dengan banyaknya jumlah fasilitas ibadah ini maka otomatis meningkatkan jumlah jemaatnya juga? Karena jika setiap lingkungan perumahan memiliki bangunan Masjid sedangkan jumlah warga komplek perumahan tersebut tidaklah terlalu padat, bukankah pada akhirnya ketika waktu ibadah dilaksanakan maka Masjid akan terlihat lengang, sedangkan jarak antar komplek perumahan satu sama lainnya tidak terlalu jauh, bukankah lebih baik membangun satu buah Masjid yang besar sekalian di lokasi yang strategis sehingga para Jemaah antar komplek perumahan satu dan lainnya dapat menggunakannya secara bersama dimana secara otomatis mereka juga akan saling mengenal hingga pada akhirnya terciptalah ukhuwah Islamiyah yang sebenarnya, tetapi ini hanyalah menurut pendapat saya pribadi yang beranggapan daripada hanya sekadar berlomba membangun jumlah masjid dimana-mana dan memperindahnya tetapi terasa kosong bukankah lebih baik merangkul dan memperbanyak jumlah Jemaah supaya mau beribadah di Masjid tersebut, yah semua memang berpulang kepada individunya masing-masing, mereka juga pasti punya alasan untuk membangun Masjid-masjid tersebut sekian banyaknya.
Dahulu sebelum Pulau Lombok berkembang seperti sekarang, embel-embel istilah “Pulau 1000 Masjid” tidak hanya berhenti sampai disitu saja melainkan masih ada kelanjutannya yaitu “Pulau 1000 Masjid, sejuta maling”, karena menurut penuturan beberapa warga yang berbincang-bincang dengan kami, dulu ketika Bandara masih berlokasi di Kota Mataram, pembangunan infrastruktur hanya terpusat di sekitar kawasan Kota Mataram saja sehingga beberapa wilayah di Pulau Lombok seperti Lombok Timur menjadi terabaikan dan menimbulkan kesenjangan sosial, oleh karena itulah dahulu banyak terjadi kasus pencurian dan perampokan di sekitar wilayah tersebut (padahal jumlah Masjid juga sudah banyak), namun seiring dengan semakin meratanya pembangunan infrastruktur, terlebih ketika Bandara mulai dipindah ke Lombok Tengah maka perlahan kesenjangan pembangunan pun menjadi berkurang, terlebih jumlah lapangan pekerjaan yang baru tumbuh juga turut membuka peluang bagi warga sekitar untuk terlibat didalamnya, sehingga pada akhirnya lambat laun jumlah kriminalitas pun berkurang.
Dan di Hari Sabtu ini sekitar pukul 8 pagi WITA kami pun sudah mulai start lagi menuju ke arah Pantai Senggigi. Beberapa teman di media sosial yang mengetahui perjalanan kami berdua selalu menyarankan jika berkunjung ke Lombok jangan lupa untuk mampir ke Pantai Senggigi karena keindahannya, baiklah kita lihat saja nanti bagaimana keadaannya sekarang secara langsung
Mungkin karena sebelumnya kami berdomisili di sebuah kota dan propinsi yang juga terkenal akan pariwisatanya dan menjadi salah 1 destinasi wisata favorit di Pulau Jawa, maka kami pun menjadi tidak terlalu "surprise" lagi jika melihat keindahan obyek wisata yang dimata kami sudah cukup umum dan sering kami lihat selama kami menetap di Yogyakarta, misalnya disaat banyak orang mengatakan Pantai Kuta di Bali sangat indah namun setelah kami mengunjunginya bagi kami Pantai Kuta terlihat biasa-biasa saja, pantainya memang indah dengan pasir pantai yang berwarna putih kecoklatan, namun karakter pantai seperti itu juga sudah pernah kami lihat di pantai kukup atau pantai Drini di Gunungkidul sehingga tidak terlalu membuat kami "excited", entahlah mungkin penilaiannya akan berbeda jika kalian sendiri yang mengunjungi dan merasakannya
Begitu pula halnya ketika banyak orang mengatakan jika ke Lombok jangan lupa mampir ke Senggigi atau ke Gili Trawangan, baiklah sebenarnya kami pun senang-senang saja jika bisa berkunjung atau mendapat kesempatan bermain kesana namun seperti yang sudah kita ketahui bersama dan menjadi rahasia umum jika semua tempat wisata yang bagus saat ini sepertinya sudah dikomersialisasi oleh beberapa pihak dan "oknum" tertentu sehingga tidak ada pariwisata bagus yang gratis, dan slogan traveling murah seakan-akan hanya rayuan manis saja karena tidak ada angka atau batasan pasti tentang "murah" yang dimaksud jika kita bertanya berapa angka pastinya, yang menurut mereka murah kan belum tentu juga murah menurut saya.
Dari wilayah Ireng Jaya kami mengambil rute menyusuri jalur pantai Lombok Barat, disini kontur rutenya rolling, naik dan turun. Salah satu tantangan ketika bersepeda di Pulau Lombok menyusuri rute ini selain faktor tanjakannya yang banyak banget adalah entah mengapa material aspal jalannya terasa berat dan lengket sekali, mirip dengan aspal di daerah Kenteng yang menuju perbukitan menoreh di Kabupaten Kulonprogo, DIY. Selain itu cuaca kali ini juga sangat cerah (cenderung panas), oleh karena itu kami tidak memasang target pencapaian jarak, pokoknya sesampai dan sekuatnya saja sambil menikmati pemandangan di perjalanan, apalagi dengan beban sepeda dan panniernya tentu bukanlah hal mudah untuk bisa melaju dengan konstan di medan tanjakan seperti ini, beberapa kali kami harus mendorong sepeda-sepeda untuk bisa sampai di atas puncak tanjakan, di salah satu tanjakan bahkan ada beberapa pekerja bangunan yang membantu untuk mendorong sepeda milik Agit, terimakasih ya bapak-bapak semuanya :)
Dan setelah menempuh salah satu tanjakan sampailah kami di Gardu Pandang Makam Batu Layar, suasana disini relatif masih sepi hanya terdapat beberapa orang dengan sepeda motornya yang tampaknya juga sedang menikmati pemandangan di sekitar Gardu Pandang ini
Karena rute yang kami pilih adalah menyusuri jalur Pantai Lombok Barat maka secara otomatis pemandangan yang selalu kami lihat adalah suasana Pantai. Pantai-pantai di Pulau Lombok memang sangat indah dengan pasir pantainya yang berwarna putih kecoklatan dan gradasi air lautnya yang berwarna hijau-biru, oleh karena itu tidaklah mengherankan jika saat ini wisata di Pulau Lombok mulai bergerak maju menyaingi Pulau Bali sebagai salah satu tujuan wisata favorit para pecinta Pantai, namun sayangnya pemandangan tersebut hanya dapat kami nikmati dari kejauhan saja, tepatnya dari atas tanjakan-tanjakan yang ada, karena banyaknya pembangunan hotel-hotel berskala internasional dan bar yang semakin menjamur menutupi akses masuk ke area pantainya, kecuali jika kalian memiliki budget lebih mungkin kalian bisa masuk ke area pantai melalui area hotel dan bar tersebut
Begitu pula halnya disaat kami memasuki daerah Senggigi, sejak mulai masuk hingga hampir keluar wilayah Senggigi nyaris di sepanjang jalan yang berbatasan dengan pesisir pantainya tertutup dan dipenuhi oleh Hotel-hotel mulai dari yang bintang 3 hingga bintang 5, bar, jasa travel agent, penjualan merchandise dan souvenir, dan berbagai kegiatan ekonomi lainnya. Hal ini membuat kami jadi tidak bisa menyaksikan keindahan Pantai Senggigi secara langsung, karena semua akses menuju ke pantai tersebut harus melalui fasilitas hotel, restaurant, bar, dan lainnya. Hal ini semakin membuat kami merasa menjadi tamu di negeri sendiri, lucu bukan karena semua keindahan obyek wisata tersebut ada di negara kita tetapi bahkan kita sendiri tidak bisa leluasa berkunjung dan bermain kesana (kecuali jika kalian membawa budget yang cukup), selain itu entahlah ada apa dengan pola pikir orang-orang lokal kita yang merupakan penduduk asli namun bekerja menjual jasa travel maupun guide, dalam benak mereka selalu berpikiran jika semua pendatang atau pengunjung yang datang ke suatu lokasi wisata tertentu pasti adalah orang kaya (menurut anggapan warga local karena turis tersebut adalah orang kaya maka mereka mampu untuk traveling) begitulah logika yang ada di benak mereka sehingga tidak jarang mereka akan mencari cara untuk mengeruk keuntungan dari para wisatawan tersebut, pernahkah mereka berpikir bahwa tidak semua wisatawan tersebut adalah orang kaya? Karena mungkin ada beberapa dari para wisatawan tersebut yang sebelumnya sudah menabung selama bertahun-tahun, menyisihkan budget penghasilannya dan membuat alokasi anggaran khusus hanya supaya mereka dapat melakukan traveling seperti ini, dengan pengorbanan seperti itu tentunya tidak etis jika mereka ditipu atau dianggap "tambang uang berjalan" oleh beberapa oknum yang hanya mengedepankan keuntungan pribadinya sesaat dengan mengorbankan atau meninggalkan citra negatif pariwisata di daerahnya
Selain itu terkadang kita juga bisa mendapati bentuk pelayanan yang diterapkan berbeda untuk wisatawan lokal dan wisatawan mancanegara, seperti yang pernah kami alami sendiri saat sedang gowes, tiba-tiba ada warga lokal yang tersenyum dan melambaikan tangan sembari berkata "hallo mister", namun setelah ia menyadari bahwa kami adalah wisatawan lokal maka ia pun berhenti melambaikan tangan dan secara refleks berkata "oh lokal", dengan intonasi suara yang tidak se-excited seperti sebelumnya saat ia masih mengira kami adalah turis asing, mengapa harus ada kata "oh lokal", seakan-akan ia kecewa karena kami hanyalah turis lokal? Apa yang salah dengan menjadi wisatawan lokal? Apakah karena wisatawan lokal dianggap lebih tidak mampu secara ekonomi? Entahlah dengan mereka tetapi setidaknya saya tetap bangga menjadi orang lokal atau turis domestik, menjadi anak bangsa yang berkeinginan untuk menjelajah dan melihat keindahan negerinya sendiri serta membuktikan apakah budaya keramahan penduduknya yang sedari dulu selalu diajarkan dan diulang-ulang oleh para guru dan orangtua kita masih ada di zaman sekarang ataukah semua itu pada akhirnya hanya menjadi cerita nostalgia semata.
Selepas dari wilayah Senggigi (yang hingga kini saya pun tetap tidak tahu dimana indahnya), kami mulai melalui rute dan kontur jalan yang mulai sepi dan naik-turun hingga tiba-tiba tepat di pinggir jalan raya saya melihat ada jalan masuk kecil yang langsung menuju ke bibir pantai, Pantai Pojok namanya (mungkin karena letaknya yang memang di pojok jalan tanpa fasilitas apa pun, hanya ada sebuah warung kecil disana), kami pun kemudian menyenderkan sepeda-sepeda kami ke pepohonan dan mulai menyiapkan kamera serta melepas sandal, saatnya bermain air :)
Pantai Pojok yang serasa milik pribadi
Walaupun letaknya persis berada di pinggir jalan namun jika kalian melalui rute ini dengan kendaraan bermotor pasti kalian akan melewatkan tempat ini, selain karena aksesnya yang rada tersembunyi, juga karena papan namanya yang sangat kecil, tetapi bagi kami yang berbudget minim maka inilah keindahan dari sebuah perjalanan dan salah satu pantai yang paling pas untuk kami berdua.
Dengan butiran pasir pantainya yang besar-besar berwarna putih kecoklatan sehingga tidak membuat lengket di kaki, serta bibir pantai yang dangkal dengan air jernih hingga bebatuan dan rumput lautnya dapat terlihat dengan jelas, menjadikan pantai ini aman untuk berenang dan bermain air. Terlihat sebuah kapal nelayan juga sedang ditambatkan tidak jauh dari tempat kami bermain, dan yang paling mengasyikkan adalah hanya kami berdualah satu-satunya pengunjung di pantai ini asyiiiikkkk... benar-benar serasa pantai milik pribadi, akhirnya kami mulai bisa menikmati keindahan hidden paradise Pulau Lombok tanpa gangguan dan pastinya secara gratis
Tidak hanya berfoto dan membuat video, disini kami juga puas berenang dan menyelam hingga tanpa terasa waktu sudah menunjukkan jam 12.30 WITA, saatnya bagi kami untuk menyudahi bermain di pantai ini dan mulai kembali melanjutkan perjalanan lagi sebelum kesorean, dan ternyata setelah jam 12 siang ombak di pantai ini pun sedikit demi sedikit mulai agak naik, sepertinya air laut mulai pasang setelah tengah hari, untunglah kami sudah puas bermain disini
Setelah puas menikmati keindahan Pantai Pojok kami kembali lanjut gowes lagi, awan mendung yang menggelayut sedari tadi perlahan kini mulai berubah menjadi gerimis kecil dan semakin lebat, dan semua terjadi tepat disaat kami harus menghadapi tanjakan yang ada di depan kami, tidak ada jalan lain selain mendorong sepeda-sepeda kami hingga ke puncak tanjakan karena jika kami memaksakan untuk mengayuh maka dikuatirkan akan tergelincir dan itu akan menjadi masalah baru bagi kami berdua
Setelah sampai di puncak tanjakan, hujan malah turun semakin deras, kabut juga mulai turun secara merata, akhirnya daripada terus kehujanan tanpa ada tempat berteduh, kami pun kembali menuntun sepeda-sepeda kami menuruni turunan bukit, setidaknya kami harus beranjak maju walau sedikit demi sedikit. Setelah sampai dibawah kami kemudian menumpang berteduh di sebuah warung ikan bakar sembari bertanya harga makanan disini, karena kami baru menyadari bahwa perut kami belum terisi apapun sedari pagi, apalagi dengan guyuran hujan deras dan hawa dingin seperti ini semakin membuat perut kelaparan, akhirnya ya sudahlah daripada badan sakit lagi akibat kelaparan, kami pun memesan ikan bawal dan 2 porsi nasi putih, setidaknya cukup untuk mengganjal perut-perut yang kelaparan ini sampai kami menemukan tempat untuk beristirahat malam nanti
Akhirnya setelah hujan mulai mereda dan kabut sudah mulai berganti terang, kami kembali lanjut gowes lagi untuk menemukan tempat beristirahat hari ini, awalnya di salah satu perkampungan kami sempat bertanya kepada salah seorang warga kira-kira bisakah kami menumpang beristirahat untuk semalam saja, namun karena ia meminta bayaran "yang kebangetan mahalnya" bagi kami berdua yaitu sebesar 200ribu rupiah padahal kami hanya meminta ijin mendirikan tenda saja akhirnya membuat kami memutuskan untuk meneruskan perjalanan saja hingga ke desa berikutnya (bahkan warga tersebut sempat menakut-nakuti kami dengan mengatakan tidak ada penginapan lain disekitar situ dan harga yang ia tawarkan sudah termasuk murah, murah ndasmu), kun fayakun sajalah lanjut terus hingga akhirnya kami sampai di dusun Malaka, dekat dengan Pantai Nipah, disitu kami sempat melihat ada sebuah Mushalla kecil, akhirnya kami pun memberanikan diri untuk bertanya dan meminta ijin bermalam ditempat itu, dan sungguh diluar dugaan, kami bahkan diajak masuk dan ditawarkan menginap di salah satu rumah yang kebetulan mempunyai 1 kamar kosong, "lebih baik tidur dikamar ini saja daripada di mushalla tapi keadaannya ya begini agak berantakan", kata Pak Haji Mastur sambil tersemyum dengan ramahnya, ia adalah salah seorang tokoh masyarakat di Dusun tersebut yang kami temui saat meminta ijin tadi, usai unpacking semua barang dan mandi, kami diundang untuk makan malam bersama keluarganya dan berbincang-bincang tentang keadaan Pulau Lombok dengan aktivitas dan budaya masyarakatnya, setidaknya di pulau 1000 Masjid yang dinobatkan menjadi destinasi wisata halal Tahun 2015 lalu ini akhirnya kami bisa mendapati dan merasakan nilai kemanusiaan yang sepertinya mulai terhimpit gempuran pengaruh modernisasi dan kapitalisme efek dari pembangunan sektor pariwisata yang cenderung mengkomersialkan setiap aspek kehidupan wilayah dan masyarakatnya, bahkan Pak Haji sendiri juga mengkuatirkan perkembangan budaya asli dan mental dari masyarakat Lombok sendiri dalam menyikapi pengaruh negatif perkembangan pariwisata di Lombok, menurutnya Lombok saat ini semakin penuh dengan turis dan "turas", turas sendiri adalah istilah dalam bahasa Lombok yang berarti perilakunya mengikuti atau terpengaruh gaya dan budaya para turis (menjadi barat melebihi orang barat itu sendiri, supaya terlihat kekinian atau modern), dan hal itulah yang kini semakin kentara dirasakan
Walaupun perekonomian Pulau Lombok sedikit banyaknya terbantu dengan perkembangan pariwisata di ketiga Gili, terutama Gili Trawangan, namun tak sedikit pula dari masyarakat Lombok yang beranggapan bahwa walau Gili adalah bagian dari Lombok namun kini seakan-akan Gili sudah berdiri sendiri dan lepas dari Lombok, dengan kata lain Gili hanya menumpang formalitas administratif saja dari Lombok, karena suasana di Gili terutama Gili Trawangan kini tak ubahnya seperti di luar negeri karena dipenuhi oleh hotel, bar, dan cafe, begitu pula dengan keriuhan kehidupan malamnya, bahkan jumlah turis asing yang berkunjung ke Gili jauh lebih banyak dari wisatawan lokal.
Meningkatnya perekonomian Pulau Lombok dan sekitarnya juga disebabkan karena jenuhnya minat wisatawan yang berkunjung ke Bali, karena suasana di Bali yang semakin ramai dan semrawut hal inilah yang membuat pada akhirnya para wisatawan tersebut mulai mengalihkan tujuannya ke tempat-tempat masih alami dan belum begitu banyak dikunjungi seperti Pulau Lombok dan Gili yang relatif lebih sepi dibanding Bali, namun bagaimanapun juga inilah hasil dari kemajuan pariwisata yang tidak diimbangi dengan kesiapan mental masyarakatnya, sehingga hasil akhir kemajuan pariwisata tersebut seakan menjadi pisau bermata dua, di mana satu sisinya bersifat positif yaitu mengangkat taraf perekonomian masyarakatnya, namun di sisi lain hal tersebut juga merusak mental masyarakat dan generasi mudanya menjadi "turas", sedikit demi sedikit mengikis budaya asli yang awalnya menjadi identitas mereka namun kini menjadikan budaya tersebut hanya sebagai salah satu produk keemasan paket wisata secara komersil
Hmmm...semoga Lombok dan wilayah lainnya di Indonesia yang saat ini sedang mengalami kemajuan sektor pariwisatanya dapat mengimbangi semua kemajuan tersebut dengan mempersiapkan mental masyarakat dan generasi mudanya supaya dapat mempertahankan budaya dan kearifan lokal yang dimilikinya serta tetap bangga dengan keunikan ciri dan identitas budayanya tersebut
Pengeluaran hari ini :
- cilok = Rp 2.000,-
- 2 botol teh javanna = Rp 6.000,-
- 1 botol aqua 750ml = Rp 5.500,-
- makan sore = Rp 45.000,-
Total = Rp 58.500,-
Total jarak tempuh hari ini : 23,03km
Hari ini kami kembali melanjutkan perjalanan lagi setelah sebelumnya selama 3 hari (Rabu sampai dengan Jumat) kami hanya beristirahat memulihkan stamina di rumah salah seorang warga di daerah Ireng Jaya. Tampaknya efek dari kondisi badan yang kurang sehat semenjak meninggalkan Pulau Bali ditambah lagi dengan kehujanan begitu kami tiba di Pulau Lombok pada akhirnya semakin membuat kondisi badan kami berdua menjadi drop
Untungnya hampir di setiap perumahan warga di Pulau Lombok ini memiliki Berugak (semacam gazebo) yang berada di halamannya, sehingga sewaktu kami meminta izin beristirahat selama beberapa hari ini kami diperbolehkan untuk beristirahat di dalam Berugak tersebut (terlebih kami juga membawa tenda, sehingga untuk urusan tempat beristirahat kami pun bisa lebih fleksibel, selama ada spot dan fasilitas air bersih maka semua bisa diatur) dan kehadiran kami pun tidak mengganggu rutinitas harian dari sang pemilik rumah
Keuntungan lainnya dari adanya waktu off from the bicycle ini adalah kami bisa memanfaatkan waktu untuk sekedar berjalan kaki berkeliling, melihat aktivitas harian warga sekitar, mencicipi jajanan pasar, dan menyempatkan diri untuk ikut menjadi bagian dari aktivitas tersebut. Kami mencoba menggunakan transportasi umum (seperti KWK atau omprengan) untuk pergi ke Pasar Kebon Rowek yaitu sebuah pasar tradisional masyarakat sekitar, disini kami menjadi tahu tentang komoditi apa saja yang ada dan banyak diperjualbelikan yang berbeda dengan pasar-pasar di Pulau Jawa, sedangkan untuk urusan harga kalian tidak perlu kuatir karena harga-harga kebutuhan pokok di Pulau Lombok ini tidak jauh berbeda dengan harga-harga di Pulau Jawa, selain itu jika kalian ingin berbelanja ke minimarket dengan harga murah cobalah datang ke minimarket milik lokal seperti J-mart, mungkin bagi kalian yang berasal dari Jogja atau pernah ke Jogja pasti kalian paham dengan konsep minimarket milik lokal ini, ya harga-harga di J-mart tak ubahnya sama seperti harga-harga barang di Pamella atau Progo (di Yogyakarta), jauh lebih murah dibandingkan dengan harga-harga barang di minimarket modern seperti Indomart dan Alfamart
Dan mengapa Pulau Lombok sering disebut juga sebagai Pulau 1000 Masjid? hal ini dikarenakan disini banyak sekali bangunan Masjid yang tersebar di berbagai pelosok Pulau ini, mulai dari Masjid besar hingga Masjid lingkungan perumahan, semua Masjid ini dihiasi dengan ukiran yang indah pada pilar dan atapnya, mayoritas masyarakat Lombok memang beragama Islam sehingga untuk urusan kuliner halal pun hal ini tidak menjadi masalah jika suatu saat kalian ingin berwisata ke Pulau ini. Sesekali sempat terlintas di pikiran saya ketika melihat banyaknya jumlah Masjid yang tersebar hingga ke lingkungan komplek perumahan ini, apakah dengan banyaknya jumlah fasilitas ibadah ini maka otomatis meningkatkan jumlah jemaatnya juga? Karena jika setiap lingkungan perumahan memiliki bangunan Masjid sedangkan jumlah warga komplek perumahan tersebut tidaklah terlalu padat, bukankah pada akhirnya ketika waktu ibadah dilaksanakan maka Masjid akan terlihat lengang, sedangkan jarak antar komplek perumahan satu sama lainnya tidak terlalu jauh, bukankah lebih baik membangun satu buah Masjid yang besar sekalian di lokasi yang strategis sehingga para Jemaah antar komplek perumahan satu dan lainnya dapat menggunakannya secara bersama dimana secara otomatis mereka juga akan saling mengenal hingga pada akhirnya terciptalah ukhuwah Islamiyah yang sebenarnya, tetapi ini hanyalah menurut pendapat saya pribadi yang beranggapan daripada hanya sekadar berlomba membangun jumlah masjid dimana-mana dan memperindahnya tetapi terasa kosong bukankah lebih baik merangkul dan memperbanyak jumlah Jemaah supaya mau beribadah di Masjid tersebut, yah semua memang berpulang kepada individunya masing-masing, mereka juga pasti punya alasan untuk membangun Masjid-masjid tersebut sekian banyaknya.
Dahulu sebelum Pulau Lombok berkembang seperti sekarang, embel-embel istilah “Pulau 1000 Masjid” tidak hanya berhenti sampai disitu saja melainkan masih ada kelanjutannya yaitu “Pulau 1000 Masjid, sejuta maling”, karena menurut penuturan beberapa warga yang berbincang-bincang dengan kami, dulu ketika Bandara masih berlokasi di Kota Mataram, pembangunan infrastruktur hanya terpusat di sekitar kawasan Kota Mataram saja sehingga beberapa wilayah di Pulau Lombok seperti Lombok Timur menjadi terabaikan dan menimbulkan kesenjangan sosial, oleh karena itulah dahulu banyak terjadi kasus pencurian dan perampokan di sekitar wilayah tersebut (padahal jumlah Masjid juga sudah banyak), namun seiring dengan semakin meratanya pembangunan infrastruktur, terlebih ketika Bandara mulai dipindah ke Lombok Tengah maka perlahan kesenjangan pembangunan pun menjadi berkurang, terlebih jumlah lapangan pekerjaan yang baru tumbuh juga turut membuka peluang bagi warga sekitar untuk terlibat didalamnya, sehingga pada akhirnya lambat laun jumlah kriminalitas pun berkurang.
Dan di Hari Sabtu ini sekitar pukul 8 pagi WITA kami pun sudah mulai start lagi menuju ke arah Pantai Senggigi. Beberapa teman di media sosial yang mengetahui perjalanan kami berdua selalu menyarankan jika berkunjung ke Lombok jangan lupa untuk mampir ke Pantai Senggigi karena keindahannya, baiklah kita lihat saja nanti bagaimana keadaannya sekarang secara langsung
Mungkin karena sebelumnya kami berdomisili di sebuah kota dan propinsi yang juga terkenal akan pariwisatanya dan menjadi salah 1 destinasi wisata favorit di Pulau Jawa, maka kami pun menjadi tidak terlalu "surprise" lagi jika melihat keindahan obyek wisata yang dimata kami sudah cukup umum dan sering kami lihat selama kami menetap di Yogyakarta, misalnya disaat banyak orang mengatakan Pantai Kuta di Bali sangat indah namun setelah kami mengunjunginya bagi kami Pantai Kuta terlihat biasa-biasa saja, pantainya memang indah dengan pasir pantai yang berwarna putih kecoklatan, namun karakter pantai seperti itu juga sudah pernah kami lihat di pantai kukup atau pantai Drini di Gunungkidul sehingga tidak terlalu membuat kami "excited", entahlah mungkin penilaiannya akan berbeda jika kalian sendiri yang mengunjungi dan merasakannya
Begitu pula halnya ketika banyak orang mengatakan jika ke Lombok jangan lupa mampir ke Senggigi atau ke Gili Trawangan, baiklah sebenarnya kami pun senang-senang saja jika bisa berkunjung atau mendapat kesempatan bermain kesana namun seperti yang sudah kita ketahui bersama dan menjadi rahasia umum jika semua tempat wisata yang bagus saat ini sepertinya sudah dikomersialisasi oleh beberapa pihak dan "oknum" tertentu sehingga tidak ada pariwisata bagus yang gratis, dan slogan traveling murah seakan-akan hanya rayuan manis saja karena tidak ada angka atau batasan pasti tentang "murah" yang dimaksud jika kita bertanya berapa angka pastinya, yang menurut mereka murah kan belum tentu juga murah menurut saya.
Dari wilayah Ireng Jaya kami mengambil rute menyusuri jalur pantai Lombok Barat, disini kontur rutenya rolling, naik dan turun. Salah satu tantangan ketika bersepeda di Pulau Lombok menyusuri rute ini selain faktor tanjakannya yang banyak banget adalah entah mengapa material aspal jalannya terasa berat dan lengket sekali, mirip dengan aspal di daerah Kenteng yang menuju perbukitan menoreh di Kabupaten Kulonprogo, DIY. Selain itu cuaca kali ini juga sangat cerah (cenderung panas), oleh karena itu kami tidak memasang target pencapaian jarak, pokoknya sesampai dan sekuatnya saja sambil menikmati pemandangan di perjalanan, apalagi dengan beban sepeda dan panniernya tentu bukanlah hal mudah untuk bisa melaju dengan konstan di medan tanjakan seperti ini, beberapa kali kami harus mendorong sepeda-sepeda untuk bisa sampai di atas puncak tanjakan, di salah satu tanjakan bahkan ada beberapa pekerja bangunan yang membantu untuk mendorong sepeda milik Agit, terimakasih ya bapak-bapak semuanya :)
Dan setelah menempuh salah satu tanjakan sampailah kami di Gardu Pandang Makam Batu Layar, suasana disini relatif masih sepi hanya terdapat beberapa orang dengan sepeda motornya yang tampaknya juga sedang menikmati pemandangan di sekitar Gardu Pandang ini
Karena rute yang kami pilih adalah menyusuri jalur Pantai Lombok Barat maka secara otomatis pemandangan yang selalu kami lihat adalah suasana Pantai. Pantai-pantai di Pulau Lombok memang sangat indah dengan pasir pantainya yang berwarna putih kecoklatan dan gradasi air lautnya yang berwarna hijau-biru, oleh karena itu tidaklah mengherankan jika saat ini wisata di Pulau Lombok mulai bergerak maju menyaingi Pulau Bali sebagai salah satu tujuan wisata favorit para pecinta Pantai, namun sayangnya pemandangan tersebut hanya dapat kami nikmati dari kejauhan saja, tepatnya dari atas tanjakan-tanjakan yang ada, karena banyaknya pembangunan hotel-hotel berskala internasional dan bar yang semakin menjamur menutupi akses masuk ke area pantainya, kecuali jika kalian memiliki budget lebih mungkin kalian bisa masuk ke area pantai melalui area hotel dan bar tersebut
Begitu pula halnya disaat kami memasuki daerah Senggigi, sejak mulai masuk hingga hampir keluar wilayah Senggigi nyaris di sepanjang jalan yang berbatasan dengan pesisir pantainya tertutup dan dipenuhi oleh Hotel-hotel mulai dari yang bintang 3 hingga bintang 5, bar, jasa travel agent, penjualan merchandise dan souvenir, dan berbagai kegiatan ekonomi lainnya. Hal ini membuat kami jadi tidak bisa menyaksikan keindahan Pantai Senggigi secara langsung, karena semua akses menuju ke pantai tersebut harus melalui fasilitas hotel, restaurant, bar, dan lainnya. Hal ini semakin membuat kami merasa menjadi tamu di negeri sendiri, lucu bukan karena semua keindahan obyek wisata tersebut ada di negara kita tetapi bahkan kita sendiri tidak bisa leluasa berkunjung dan bermain kesana (kecuali jika kalian membawa budget yang cukup), selain itu entahlah ada apa dengan pola pikir orang-orang lokal kita yang merupakan penduduk asli namun bekerja menjual jasa travel maupun guide, dalam benak mereka selalu berpikiran jika semua pendatang atau pengunjung yang datang ke suatu lokasi wisata tertentu pasti adalah orang kaya (menurut anggapan warga local karena turis tersebut adalah orang kaya maka mereka mampu untuk traveling) begitulah logika yang ada di benak mereka sehingga tidak jarang mereka akan mencari cara untuk mengeruk keuntungan dari para wisatawan tersebut, pernahkah mereka berpikir bahwa tidak semua wisatawan tersebut adalah orang kaya? Karena mungkin ada beberapa dari para wisatawan tersebut yang sebelumnya sudah menabung selama bertahun-tahun, menyisihkan budget penghasilannya dan membuat alokasi anggaran khusus hanya supaya mereka dapat melakukan traveling seperti ini, dengan pengorbanan seperti itu tentunya tidak etis jika mereka ditipu atau dianggap "tambang uang berjalan" oleh beberapa oknum yang hanya mengedepankan keuntungan pribadinya sesaat dengan mengorbankan atau meninggalkan citra negatif pariwisata di daerahnya
Selain itu terkadang kita juga bisa mendapati bentuk pelayanan yang diterapkan berbeda untuk wisatawan lokal dan wisatawan mancanegara, seperti yang pernah kami alami sendiri saat sedang gowes, tiba-tiba ada warga lokal yang tersenyum dan melambaikan tangan sembari berkata "hallo mister", namun setelah ia menyadari bahwa kami adalah wisatawan lokal maka ia pun berhenti melambaikan tangan dan secara refleks berkata "oh lokal", dengan intonasi suara yang tidak se-excited seperti sebelumnya saat ia masih mengira kami adalah turis asing, mengapa harus ada kata "oh lokal", seakan-akan ia kecewa karena kami hanyalah turis lokal? Apa yang salah dengan menjadi wisatawan lokal? Apakah karena wisatawan lokal dianggap lebih tidak mampu secara ekonomi? Entahlah dengan mereka tetapi setidaknya saya tetap bangga menjadi orang lokal atau turis domestik, menjadi anak bangsa yang berkeinginan untuk menjelajah dan melihat keindahan negerinya sendiri serta membuktikan apakah budaya keramahan penduduknya yang sedari dulu selalu diajarkan dan diulang-ulang oleh para guru dan orangtua kita masih ada di zaman sekarang ataukah semua itu pada akhirnya hanya menjadi cerita nostalgia semata.
Selepas dari wilayah Senggigi (yang hingga kini saya pun tetap tidak tahu dimana indahnya), kami mulai melalui rute dan kontur jalan yang mulai sepi dan naik-turun hingga tiba-tiba tepat di pinggir jalan raya saya melihat ada jalan masuk kecil yang langsung menuju ke bibir pantai, Pantai Pojok namanya (mungkin karena letaknya yang memang di pojok jalan tanpa fasilitas apa pun, hanya ada sebuah warung kecil disana), kami pun kemudian menyenderkan sepeda-sepeda kami ke pepohonan dan mulai menyiapkan kamera serta melepas sandal, saatnya bermain air :)
Pantai Pojok yang serasa milik pribadi
Walaupun letaknya persis berada di pinggir jalan namun jika kalian melalui rute ini dengan kendaraan bermotor pasti kalian akan melewatkan tempat ini, selain karena aksesnya yang rada tersembunyi, juga karena papan namanya yang sangat kecil, tetapi bagi kami yang berbudget minim maka inilah keindahan dari sebuah perjalanan dan salah satu pantai yang paling pas untuk kami berdua.
Dengan butiran pasir pantainya yang besar-besar berwarna putih kecoklatan sehingga tidak membuat lengket di kaki, serta bibir pantai yang dangkal dengan air jernih hingga bebatuan dan rumput lautnya dapat terlihat dengan jelas, menjadikan pantai ini aman untuk berenang dan bermain air. Terlihat sebuah kapal nelayan juga sedang ditambatkan tidak jauh dari tempat kami bermain, dan yang paling mengasyikkan adalah hanya kami berdualah satu-satunya pengunjung di pantai ini asyiiiikkkk... benar-benar serasa pantai milik pribadi, akhirnya kami mulai bisa menikmati keindahan hidden paradise Pulau Lombok tanpa gangguan dan pastinya secara gratis
Tidak hanya berfoto dan membuat video, disini kami juga puas berenang dan menyelam hingga tanpa terasa waktu sudah menunjukkan jam 12.30 WITA, saatnya bagi kami untuk menyudahi bermain di pantai ini dan mulai kembali melanjutkan perjalanan lagi sebelum kesorean, dan ternyata setelah jam 12 siang ombak di pantai ini pun sedikit demi sedikit mulai agak naik, sepertinya air laut mulai pasang setelah tengah hari, untunglah kami sudah puas bermain disini
Setelah puas menikmati keindahan Pantai Pojok kami kembali lanjut gowes lagi, awan mendung yang menggelayut sedari tadi perlahan kini mulai berubah menjadi gerimis kecil dan semakin lebat, dan semua terjadi tepat disaat kami harus menghadapi tanjakan yang ada di depan kami, tidak ada jalan lain selain mendorong sepeda-sepeda kami hingga ke puncak tanjakan karena jika kami memaksakan untuk mengayuh maka dikuatirkan akan tergelincir dan itu akan menjadi masalah baru bagi kami berdua
Setelah sampai di puncak tanjakan, hujan malah turun semakin deras, kabut juga mulai turun secara merata, akhirnya daripada terus kehujanan tanpa ada tempat berteduh, kami pun kembali menuntun sepeda-sepeda kami menuruni turunan bukit, setidaknya kami harus beranjak maju walau sedikit demi sedikit. Setelah sampai dibawah kami kemudian menumpang berteduh di sebuah warung ikan bakar sembari bertanya harga makanan disini, karena kami baru menyadari bahwa perut kami belum terisi apapun sedari pagi, apalagi dengan guyuran hujan deras dan hawa dingin seperti ini semakin membuat perut kelaparan, akhirnya ya sudahlah daripada badan sakit lagi akibat kelaparan, kami pun memesan ikan bawal dan 2 porsi nasi putih, setidaknya cukup untuk mengganjal perut-perut yang kelaparan ini sampai kami menemukan tempat untuk beristirahat malam nanti
Akhirnya setelah hujan mulai mereda dan kabut sudah mulai berganti terang, kami kembali lanjut gowes lagi untuk menemukan tempat beristirahat hari ini, awalnya di salah satu perkampungan kami sempat bertanya kepada salah seorang warga kira-kira bisakah kami menumpang beristirahat untuk semalam saja, namun karena ia meminta bayaran "yang kebangetan mahalnya" bagi kami berdua yaitu sebesar 200ribu rupiah padahal kami hanya meminta ijin mendirikan tenda saja akhirnya membuat kami memutuskan untuk meneruskan perjalanan saja hingga ke desa berikutnya (bahkan warga tersebut sempat menakut-nakuti kami dengan mengatakan tidak ada penginapan lain disekitar situ dan harga yang ia tawarkan sudah termasuk murah, murah ndasmu), kun fayakun sajalah lanjut terus hingga akhirnya kami sampai di dusun Malaka, dekat dengan Pantai Nipah, disitu kami sempat melihat ada sebuah Mushalla kecil, akhirnya kami pun memberanikan diri untuk bertanya dan meminta ijin bermalam ditempat itu, dan sungguh diluar dugaan, kami bahkan diajak masuk dan ditawarkan menginap di salah satu rumah yang kebetulan mempunyai 1 kamar kosong, "lebih baik tidur dikamar ini saja daripada di mushalla tapi keadaannya ya begini agak berantakan", kata Pak Haji Mastur sambil tersemyum dengan ramahnya, ia adalah salah seorang tokoh masyarakat di Dusun tersebut yang kami temui saat meminta ijin tadi, usai unpacking semua barang dan mandi, kami diundang untuk makan malam bersama keluarganya dan berbincang-bincang tentang keadaan Pulau Lombok dengan aktivitas dan budaya masyarakatnya, setidaknya di pulau 1000 Masjid yang dinobatkan menjadi destinasi wisata halal Tahun 2015 lalu ini akhirnya kami bisa mendapati dan merasakan nilai kemanusiaan yang sepertinya mulai terhimpit gempuran pengaruh modernisasi dan kapitalisme efek dari pembangunan sektor pariwisata yang cenderung mengkomersialkan setiap aspek kehidupan wilayah dan masyarakatnya, bahkan Pak Haji sendiri juga mengkuatirkan perkembangan budaya asli dan mental dari masyarakat Lombok sendiri dalam menyikapi pengaruh negatif perkembangan pariwisata di Lombok, menurutnya Lombok saat ini semakin penuh dengan turis dan "turas", turas sendiri adalah istilah dalam bahasa Lombok yang berarti perilakunya mengikuti atau terpengaruh gaya dan budaya para turis (menjadi barat melebihi orang barat itu sendiri, supaya terlihat kekinian atau modern), dan hal itulah yang kini semakin kentara dirasakan
Walaupun perekonomian Pulau Lombok sedikit banyaknya terbantu dengan perkembangan pariwisata di ketiga Gili, terutama Gili Trawangan, namun tak sedikit pula dari masyarakat Lombok yang beranggapan bahwa walau Gili adalah bagian dari Lombok namun kini seakan-akan Gili sudah berdiri sendiri dan lepas dari Lombok, dengan kata lain Gili hanya menumpang formalitas administratif saja dari Lombok, karena suasana di Gili terutama Gili Trawangan kini tak ubahnya seperti di luar negeri karena dipenuhi oleh hotel, bar, dan cafe, begitu pula dengan keriuhan kehidupan malamnya, bahkan jumlah turis asing yang berkunjung ke Gili jauh lebih banyak dari wisatawan lokal.
Meningkatnya perekonomian Pulau Lombok dan sekitarnya juga disebabkan karena jenuhnya minat wisatawan yang berkunjung ke Bali, karena suasana di Bali yang semakin ramai dan semrawut hal inilah yang membuat pada akhirnya para wisatawan tersebut mulai mengalihkan tujuannya ke tempat-tempat masih alami dan belum begitu banyak dikunjungi seperti Pulau Lombok dan Gili yang relatif lebih sepi dibanding Bali, namun bagaimanapun juga inilah hasil dari kemajuan pariwisata yang tidak diimbangi dengan kesiapan mental masyarakatnya, sehingga hasil akhir kemajuan pariwisata tersebut seakan menjadi pisau bermata dua, di mana satu sisinya bersifat positif yaitu mengangkat taraf perekonomian masyarakatnya, namun di sisi lain hal tersebut juga merusak mental masyarakat dan generasi mudanya menjadi "turas", sedikit demi sedikit mengikis budaya asli yang awalnya menjadi identitas mereka namun kini menjadikan budaya tersebut hanya sebagai salah satu produk keemasan paket wisata secara komersil
Hmmm...semoga Lombok dan wilayah lainnya di Indonesia yang saat ini sedang mengalami kemajuan sektor pariwisatanya dapat mengimbangi semua kemajuan tersebut dengan mempersiapkan mental masyarakat dan generasi mudanya supaya dapat mempertahankan budaya dan kearifan lokal yang dimilikinya serta tetap bangga dengan keunikan ciri dan identitas budayanya tersebut
Pengeluaran hari ini :
- cilok = Rp 2.000,-
- 2 botol teh javanna = Rp 6.000,-
- 1 botol aqua 750ml = Rp 5.500,-
- makan sore = Rp 45.000,-
Total = Rp 58.500,-
Total jarak tempuh hari ini : 23,03km
Tuesday, 14 November 2017
BUNKER KALIADEM
(22/10/2017)
Jika pada petualangan goweswisata.blogspot.co.id sebelumnya saya banyak mengulas tentang potensi wisata yang ada di bagian Barat Kota Yogyakarta, khususnya Kabupaten Kulonprogo, maka pada post kali ini saya akan membahas tentang potensi wisata yang ada di sisi Utara Kota Yogyakarta, dan seperti biasa semuanya berawal karena didorong oleh rasa ingin tahu yang terbersit di benak saya “apa yang ada di Utara Kota Jogja ya?”, daripada penasaran lebih baik mari kita cari tahu bersama :)
Peta menuju lokasi Bunker Kaliadem
Potensi wisata yang berada di sisi Utara Kota Yogyakarta pastilah berhubungan dengan pesona Gunung Merapi, salah satu Gunung berapi paling aktif yang ada di Pulau Jawa ini, dan tentu saja jika kalian mendengar kata “Gunung” maka sudah dipastikan jika rute untuk menuju kesana pastinya akan berupa tanjakan
Walaupun rutenya sudah dipastikan menanjak tetapi kalian tidak perlu kuatir karena derajat tanjakannya tergolong landai, tidak separah jika dibandingkan dengan tanjakan-tanjakan yang ada di perbukitan Menoreh Kulonprogo, terlebih pada rute menuju bagian Utara Kota Jogja atau khususnya di Kabupaten Sleman ini suasananya juga cukup ramai, Ya wilayah Kabupaten Sleman memang sudah lebih berkembang jika dibandingkan dengan Kabupaten-kabupaten lain yang ada di Propinsi DIY, hal ini tidak lepas dari adanya beberapa perguruan tinggi terkenal yang berlokasi di Kabupaten ini, dengan adanya kampus-kampus tersebut maka secara otomatis permintaan akan hunian kost, kuliner, dan berbagai sektor usaha lainnya juga akan tumbuh dan berkembang seiring dengan melonjaknya permintaan pasar, hal inilah yang pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah ini melaju dengan pesat
Namun bukan sebatas itu saja yang menjadikan wilayah Kabupaten dan sisi Utara Kota Jogja ini berkembang. Bagi sebagian besar masyarakat, baik itu masyarakat asli Jogja maupun wisatawan luar Jogja, sisi Utara Kota Jogja khususnya pesona wisata Gunung Merapi itu tak ubahnya seperti wilayah Puncak di Jawa Barat, dimana hampir setiap akhir pekan selalu dimanfaatkan oleh para wisatawan untuk berwisata, sekedar refreshing melepaskan segala kepenatan dari beban kerja dan rutinitas harian mereka, disinilah tempat dimana mereka bisa menghirup udara segar, menenangkan pikiran, dan menikmati pemandangan alam yang tersaji dengan indahnya
Saya pun mengawali start sekitar pukul 8 pagi WIB dengan mengambil rute melalui Jalan Gejayan ke Utara kemudian belok ke kiri sebelum Terminal Condongcatur sampai mentok dipertigaan lalu belok ke kanan terus menuju Utara, rute yang sama seperti yang dulu saya gunakan ketika melakukan petualangan bikecamping di Kali Kuning, bedanya hanya jika waktu dulu sesampainya di traffic light Pakem saya belok ke kanan mengambil arah ke Cangkringan, maka kali ini sesampainya di traffic light Pakem saya belok ke kiri menuju ke Terminal dan Pasar Pakem lalu terus saja ke Utara
Bagi kalian yang berencana berwisata ke Utara (baik dengan bersepeda ataupun menggunakan transportasi lainnya, kalian tidak perlu takut kelaparan karena di sepanjang sisi jalan banyak terdapat warung dan tempat makan, namun tetap ingat jika kalian hendak memesan makan lebih baik tanya dulu harga per porsinya untuk menghindari jebakan betmen)
Selepas Pasar Pakem kondisi dan suasana yang ada terlihat lebih lengang, tidak seramai seperti ketika masih berada di Jalan Kaliurang sebelum traffic light Pakem, Gunung Merapi terlihat menjulang dengan gagahnya dikejauhan, beberapa kali saya melihat sejumlah pesepeda yang meluncur dengan cepat dari arah utara menuju ke Selatan, tampaknya mereka sudah beranjak pulang (sementara saya masih dalam perjalanan berangkat hehe… inilah enaknya jika bertualang sendirian, tidak merepotkan siapa-siapa dan bebas menentukan waktu perjalanan), bus-bus wisata dan beberapa kendaraan travel lainnya juga tampak melintas mendahului saya yang sedang gowes menanjak secara “santai” ini
Pada rute ini sebenarnya jika kalian jeli membaca rambu-rampu penunjuk arah ada beberapa lokasi wisata lainnya yang bisa kalian kunjungi, antara lain ada Museum Merapi, The lost world Castle, beberapa lokasi agrowisata tanaman herbal, dan kebun-kebun buah
Berdasarkan petunjuk GPS (Gunakan Penduduk Sekitar, alias bertanya arah) maka setibanya di papan penunjuk arah menuju Dusun Petung saya dianjurkan untuk belok ke kanan kemudian terus saja menyeberangi jembatan lalu belok ke kiri
Dibagian bawah jembatan yang merangkap fungsinya sebagai pintu air ini terdapat aliran sungai yang digunakan sebagai bagian dari wisata jeep merapi atau lava tour, namun entah mengapa ketika saya melihat kendaraan-kendaraan jeep tersebut menggeber-geber mesinnya, berkeliling dan beberapa kali menerabas aliran sungai tersebut saya secara pribadi kok sedikit menyayangkan, karena bagaimanapun juga aliran air yang sejatinya bisa dimanfaatkan untuk keperluan lain dan udara pegunungan yang semestinya menyehatkan pada akhirnya menjadi terkontaminasi oleh polusi dari kendaraan-kendaraan Jeep tersebut, mungkin para wisatawan memang menikmatinya karena terlihat mengasyikkan bertualang seperti itu tetapi apakah untuk merasa asyik tersebut harus dengan mengorbankan alam? Semua memang berpulang kepada bagaimana kita masing-masing menyikapinya
(biaya Lava Tour mulai Rp 350 ribu/jeep, 1 jeep berisi 5 orang dewasa)
Selepas dari jembatan tersebut jalan menjadi sedikit menanjak kearah kiri dan tidak jauh setelah tanjakan tersebut ada jalan masuk di sebelah kiri masuk menuju gapura Dusun Grogol
Setelah masuk Gapura Dusun Grogol terus saja ikuti jalan sampai tiba di pertigaan kemudian belok kearah kanan, setelah itu terus saja sampai mentok pertigaan jalan utama barulah belok ke kiri
Setelah melewati gapura loket wisata kalian tinggal lurus saja ikuti jalan utama, disini derajat tanjakannya menjadi sedikit lebih terjal dibanding sebelumnya, untuk menghemat tenaga maka saya pun mengkombinasikannya antara gowes dan dorong, sebenarnya tidak jauh dari gerbang loket wisata tersebut juga ada lokasi wisata lainnya yaitu obyek wisata Plunyon, Kali Kuning, namun karena saya sudah sering berkunjung ke tempat itu dan sudah pernah saya ulas pada post terdahulu maka saya pun lanjut saja menuju Kinahrejo
Setelah melewati gerbang batas Desa Kinahrejo kalian tinggal lurus saja sampai mentok pertigaan kemudian belok ke kanan ikuti jalan yang menurun maka sampailah kalian di obyek wisata Bunker Kaliadem yang terletak di Dusun Kaliadem, Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Propinsi DIY, berdasarkan cyclocomp yang ada di sepeda saya jarak dari Kota Jogja menuju ke lokasi ini sekitar 31 km dan berada di ketinggian sekitar 1100 mdpl
Bertemu dengan teman pesepeda lainnya yang sedang bertualang sendirian yaitu Mas Yudi, akhirnya setelah saya “komporin” mau juga dia untuk terus lanjut menuju lokasi Bunker hehe…
Suasana di sekitar lokasi bunker yang ramai dengan penjual souvenir (disini souvenirnya berupa cobek atau ulekan), Bunga Edelweiss, topi, kacamata, kaos, dan lainnya, fasilitas toilet dan mushalla kecil juga tersedia di lokasi ini
Bunker Kaliadem sendiri berfungsi sebagai tempat berlindung, bersembunyi, dan menyelamatkan diri. Bunker ini sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda dan kala itu dibangun untuk keperluan penyelamatan dari letusan Gunung Merapi, sayangnya bunker ini hanya dapat melindungi dari lahar dingin saja, sehingga pada Tahun 2006 silam (14/06/2006) ketika terjadi letusan Gunung Merapi yang dahsyat dua orang relawan yang masuk untuk berlindung dari awan panas erupsi Gunung Merapi pada akhirnya justru terperangkap dan tewas di dalam bunker tersebut, korban pertama ditemukan di dekat pintu masuk bunker, sedangkan korban kedua ditemukan di dalam kamar mandi.
Dibagian depan bunker terdapat pintu baja setebal 15 cm yang sudah berkarat, sedangkan di bagian dalamnya berupa ruang lapang dimana terdapat bekas lahar yang telah membatu pada bagian tengah ruang, disisi kanan dan kiri bunker dekat pintu masuk terdapat ruang toilet dan semacam ruang gudang penyimpanan logistic. Tidak ada penerangan dalam ruang bunker ini, untunglah saya selalu membawa senter kecil didalam tas handlebar sehingga saya bisa meilhat bagian dalam ruangan dengan jelas.
Saat ini Bunker Kaliadem telah dimanfaatkan sebagai tujuan wisata yang dikelola oleh Pemerintah Desa dan warga setempat, setidaknya walaupun kini bunker tersebut sudah tidak difungsikan lagi sebagai tempat perlindungan namun bangunan bunker tersebut telah menjadi saksi bisu kedahsyatan erupsi Gunung Merapi yang kala itu meluluh lantakkan Desa Kinahrejo dan sekitarnya, serta menjadi pembelajaran dan pengingat bagi manusia untuk tetap menjaga alamnya
Jika pada petualangan goweswisata.blogspot.co.id sebelumnya saya banyak mengulas tentang potensi wisata yang ada di bagian Barat Kota Yogyakarta, khususnya Kabupaten Kulonprogo, maka pada post kali ini saya akan membahas tentang potensi wisata yang ada di sisi Utara Kota Yogyakarta, dan seperti biasa semuanya berawal karena didorong oleh rasa ingin tahu yang terbersit di benak saya “apa yang ada di Utara Kota Jogja ya?”, daripada penasaran lebih baik mari kita cari tahu bersama :)
Peta menuju lokasi Bunker Kaliadem
Potensi wisata yang berada di sisi Utara Kota Yogyakarta pastilah berhubungan dengan pesona Gunung Merapi, salah satu Gunung berapi paling aktif yang ada di Pulau Jawa ini, dan tentu saja jika kalian mendengar kata “Gunung” maka sudah dipastikan jika rute untuk menuju kesana pastinya akan berupa tanjakan
Walaupun rutenya sudah dipastikan menanjak tetapi kalian tidak perlu kuatir karena derajat tanjakannya tergolong landai, tidak separah jika dibandingkan dengan tanjakan-tanjakan yang ada di perbukitan Menoreh Kulonprogo, terlebih pada rute menuju bagian Utara Kota Jogja atau khususnya di Kabupaten Sleman ini suasananya juga cukup ramai, Ya wilayah Kabupaten Sleman memang sudah lebih berkembang jika dibandingkan dengan Kabupaten-kabupaten lain yang ada di Propinsi DIY, hal ini tidak lepas dari adanya beberapa perguruan tinggi terkenal yang berlokasi di Kabupaten ini, dengan adanya kampus-kampus tersebut maka secara otomatis permintaan akan hunian kost, kuliner, dan berbagai sektor usaha lainnya juga akan tumbuh dan berkembang seiring dengan melonjaknya permintaan pasar, hal inilah yang pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah ini melaju dengan pesat
Namun bukan sebatas itu saja yang menjadikan wilayah Kabupaten dan sisi Utara Kota Jogja ini berkembang. Bagi sebagian besar masyarakat, baik itu masyarakat asli Jogja maupun wisatawan luar Jogja, sisi Utara Kota Jogja khususnya pesona wisata Gunung Merapi itu tak ubahnya seperti wilayah Puncak di Jawa Barat, dimana hampir setiap akhir pekan selalu dimanfaatkan oleh para wisatawan untuk berwisata, sekedar refreshing melepaskan segala kepenatan dari beban kerja dan rutinitas harian mereka, disinilah tempat dimana mereka bisa menghirup udara segar, menenangkan pikiran, dan menikmati pemandangan alam yang tersaji dengan indahnya
Saya pun mengawali start sekitar pukul 8 pagi WIB dengan mengambil rute melalui Jalan Gejayan ke Utara kemudian belok ke kiri sebelum Terminal Condongcatur sampai mentok dipertigaan lalu belok ke kanan terus menuju Utara, rute yang sama seperti yang dulu saya gunakan ketika melakukan petualangan bikecamping di Kali Kuning, bedanya hanya jika waktu dulu sesampainya di traffic light Pakem saya belok ke kanan mengambil arah ke Cangkringan, maka kali ini sesampainya di traffic light Pakem saya belok ke kiri menuju ke Terminal dan Pasar Pakem lalu terus saja ke Utara
Bagi kalian yang berencana berwisata ke Utara (baik dengan bersepeda ataupun menggunakan transportasi lainnya, kalian tidak perlu takut kelaparan karena di sepanjang sisi jalan banyak terdapat warung dan tempat makan, namun tetap ingat jika kalian hendak memesan makan lebih baik tanya dulu harga per porsinya untuk menghindari jebakan betmen)
Selepas Pasar Pakem kondisi dan suasana yang ada terlihat lebih lengang, tidak seramai seperti ketika masih berada di Jalan Kaliurang sebelum traffic light Pakem, Gunung Merapi terlihat menjulang dengan gagahnya dikejauhan, beberapa kali saya melihat sejumlah pesepeda yang meluncur dengan cepat dari arah utara menuju ke Selatan, tampaknya mereka sudah beranjak pulang (sementara saya masih dalam perjalanan berangkat hehe… inilah enaknya jika bertualang sendirian, tidak merepotkan siapa-siapa dan bebas menentukan waktu perjalanan), bus-bus wisata dan beberapa kendaraan travel lainnya juga tampak melintas mendahului saya yang sedang gowes menanjak secara “santai” ini
Pada rute ini sebenarnya jika kalian jeli membaca rambu-rampu penunjuk arah ada beberapa lokasi wisata lainnya yang bisa kalian kunjungi, antara lain ada Museum Merapi, The lost world Castle, beberapa lokasi agrowisata tanaman herbal, dan kebun-kebun buah
Berdasarkan petunjuk GPS (Gunakan Penduduk Sekitar, alias bertanya arah) maka setibanya di papan penunjuk arah menuju Dusun Petung saya dianjurkan untuk belok ke kanan kemudian terus saja menyeberangi jembatan lalu belok ke kiri
Dibagian bawah jembatan yang merangkap fungsinya sebagai pintu air ini terdapat aliran sungai yang digunakan sebagai bagian dari wisata jeep merapi atau lava tour, namun entah mengapa ketika saya melihat kendaraan-kendaraan jeep tersebut menggeber-geber mesinnya, berkeliling dan beberapa kali menerabas aliran sungai tersebut saya secara pribadi kok sedikit menyayangkan, karena bagaimanapun juga aliran air yang sejatinya bisa dimanfaatkan untuk keperluan lain dan udara pegunungan yang semestinya menyehatkan pada akhirnya menjadi terkontaminasi oleh polusi dari kendaraan-kendaraan Jeep tersebut, mungkin para wisatawan memang menikmatinya karena terlihat mengasyikkan bertualang seperti itu tetapi apakah untuk merasa asyik tersebut harus dengan mengorbankan alam? Semua memang berpulang kepada bagaimana kita masing-masing menyikapinya
(biaya Lava Tour mulai Rp 350 ribu/jeep, 1 jeep berisi 5 orang dewasa)
Selepas dari jembatan tersebut jalan menjadi sedikit menanjak kearah kiri dan tidak jauh setelah tanjakan tersebut ada jalan masuk di sebelah kiri masuk menuju gapura Dusun Grogol
Setelah masuk Gapura Dusun Grogol terus saja ikuti jalan sampai tiba di pertigaan kemudian belok kearah kanan, setelah itu terus saja sampai mentok pertigaan jalan utama barulah belok ke kiri
Setelah melewati gapura loket wisata kalian tinggal lurus saja ikuti jalan utama, disini derajat tanjakannya menjadi sedikit lebih terjal dibanding sebelumnya, untuk menghemat tenaga maka saya pun mengkombinasikannya antara gowes dan dorong, sebenarnya tidak jauh dari gerbang loket wisata tersebut juga ada lokasi wisata lainnya yaitu obyek wisata Plunyon, Kali Kuning, namun karena saya sudah sering berkunjung ke tempat itu dan sudah pernah saya ulas pada post terdahulu maka saya pun lanjut saja menuju Kinahrejo
Setelah melewati gerbang batas Desa Kinahrejo kalian tinggal lurus saja sampai mentok pertigaan kemudian belok ke kanan ikuti jalan yang menurun maka sampailah kalian di obyek wisata Bunker Kaliadem yang terletak di Dusun Kaliadem, Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Propinsi DIY, berdasarkan cyclocomp yang ada di sepeda saya jarak dari Kota Jogja menuju ke lokasi ini sekitar 31 km dan berada di ketinggian sekitar 1100 mdpl
Bertemu dengan teman pesepeda lainnya yang sedang bertualang sendirian yaitu Mas Yudi, akhirnya setelah saya “komporin” mau juga dia untuk terus lanjut menuju lokasi Bunker hehe…
Suasana di sekitar lokasi bunker yang ramai dengan penjual souvenir (disini souvenirnya berupa cobek atau ulekan), Bunga Edelweiss, topi, kacamata, kaos, dan lainnya, fasilitas toilet dan mushalla kecil juga tersedia di lokasi ini
Bunker Kaliadem sendiri berfungsi sebagai tempat berlindung, bersembunyi, dan menyelamatkan diri. Bunker ini sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda dan kala itu dibangun untuk keperluan penyelamatan dari letusan Gunung Merapi, sayangnya bunker ini hanya dapat melindungi dari lahar dingin saja, sehingga pada Tahun 2006 silam (14/06/2006) ketika terjadi letusan Gunung Merapi yang dahsyat dua orang relawan yang masuk untuk berlindung dari awan panas erupsi Gunung Merapi pada akhirnya justru terperangkap dan tewas di dalam bunker tersebut, korban pertama ditemukan di dekat pintu masuk bunker, sedangkan korban kedua ditemukan di dalam kamar mandi.
Dibagian depan bunker terdapat pintu baja setebal 15 cm yang sudah berkarat, sedangkan di bagian dalamnya berupa ruang lapang dimana terdapat bekas lahar yang telah membatu pada bagian tengah ruang, disisi kanan dan kiri bunker dekat pintu masuk terdapat ruang toilet dan semacam ruang gudang penyimpanan logistic. Tidak ada penerangan dalam ruang bunker ini, untunglah saya selalu membawa senter kecil didalam tas handlebar sehingga saya bisa meilhat bagian dalam ruangan dengan jelas.
Saat ini Bunker Kaliadem telah dimanfaatkan sebagai tujuan wisata yang dikelola oleh Pemerintah Desa dan warga setempat, setidaknya walaupun kini bunker tersebut sudah tidak difungsikan lagi sebagai tempat perlindungan namun bangunan bunker tersebut telah menjadi saksi bisu kedahsyatan erupsi Gunung Merapi yang kala itu meluluh lantakkan Desa Kinahrejo dan sekitarnya, serta menjadi pembelajaran dan pengingat bagi manusia untuk tetap menjaga alamnya
Subscribe to:
Posts (Atom)