Rabu, 9 Maret 2016,
Masih dari Kota Makassar, tepatnya sekarang ini kami berada di tempat kami menetap untuk sementara di wilayah Panaikang yang berada tidak jauh dari Taman Makam Pahlawan
Setelah pada hari-hari sebelumnya kami lebih banyak stay di kamar kost sembari menunggu puncak musim hujan yang hampir setiap harinya mengguyur Kota Makassar berlalu, kami juga memanfaatkan waktu dengan melakukan maintenance dan penggantian beberapa parts sepeda yang memang sudah saatnya untuk diganti (sejauh ini dengan total jarak tempuh perjalanan lebih dari 1500km menurut yang tercatat dicyclocomp sepeda saya, akhirnya penggantian parts yang kami lakukan antara lain adalah menganti 1 buah ban dalam bagian depan sepeda saya karena bocor, sepasang pad rem vbrake depan yang sudah habis karetnya, serta mengganti bottom bracket sepeda milik Agit yang oblak, khusus untuk bottom bracket sendiri sebenarnya sudah digunakan untuk menempuh jarak lebih dari 2500km karena BB tersebut memang sudah dipakai jauh sejak dulu ketika saya masih menggunakan sepeda mtb offroad), setidaknya pada bike maintenance kali ini kami juga sekaligus mereview beberapa parts dan gear yang kami gunakan.
Menetap di suatu tempat dalam waktu yang relatif lama pada akhirnya memang menciptakan sebuah comfort zone alias zona nyaman tersendiri yang membuat kami jadi lebih malas jika dibandingkan dengan saat ketika kami bertualang dan hidup nomaden, terkadang akibat terlena dengan rutinitas pola aktivitas ketika berada di zona nyaman tersebut pada akhirnya membuat kami mulai sedikit merasa takut dan ragu untuk keluar dan melanjutkan petualangan berikutnya, padahal jika berkaca pada pengalaman perjalanan kami sebelum akhirnya tiba disini pun kami juga sudah melalui banyak tantangan, namun masih bisa tetap semangat untuk terus maju, jadi ayo jangan malas, takut, dan ragu (memotivasi diri sendiri) petualangan berikutnya sudah menanti :)
Terlebih di hari ke 84 perjalanan kami ini, tepatnya tanggal 9 Maret 2016 sedang terjadi momen peristiwa alam yang langka yaitu Gerhana Matahari Total yang membuat semua orang sibuk dan heboh menulis status di sosial media berkaitan dengan peristiwa ini
Mungkin karena kami berdua juga belum berminat dengan hal-hal yang berbau astronomi maka peristiwa alam yang langka itu pun lewat begitu saja dikarenakan kami bangun kesiangan hehe :D
Ya sudahlah, sementara orang-orang diluar sana sedang heboh membeli kacamata khusus gerhana, memotret, ataupun menulis status tentang gerhana, lebih baik kami melakukan aktivitas lainnya yang menunjang kelangsungan hidup kami, yaitu bersiap untuk mencari sarapan :)
Setelah selesai mandi kini saatnya untuk keluar mencari sarapan, hmmm...mumpung cuaca juga sedang cerah lebih baik hari ini sekalian kami manfaatkan untuk mulai latihan gowes lagi dalam rangka mempersiapkan petualangan berikutnya, kali ini yang menjadi tujuan kami berdua adalah Taman Nasional Bantimurung yang berjarak sekitar 37km dari tempat kami sekarang
Lokasi menuju Taman Nasional Bantimurung
Sekilas informasi yang kami tahu mengenai TN.Bantimurung ini adalah tempat ini dikenal sebagai surganya kupu-kupu karena ditempat inilah terdapat beragam jenis kupu-kupu dalam jumlah yang besar, selain itu di dalam Taman Nasional ini juga terdapat wisata alam berupa air terjun, selebihnya kurang lebih hampir sama dengan Taman nasional lainnya yang ada di Indonesia. Oya selain itu yang menarik seputar area Bantimurung ini adalah banyaknya obyek wisata lain yang berada tidak jauh dari area ini seperti hutan batu karst (satu-satunya di Indonesia), goa-goa prasejarah, sungai, hingga view wilayah perbukitannya
Walaupun kesiangan namun the show must go on, jadilah kami start sekitar pukul 09.30 WITA, mengawali perjalanan dengan santai sambil celingak-celinguk mencari penjual nasi (akhirnya dapat juga), satu hal yang membuat kami betah berada di Kota Makassar adalah karena untuk urusan harga (baik itu harga makanan maupun barang) semuanya hampir sama dengan harga-harga di Jogja, bahkan menurut kami dibeberapa spot juga ada yang harga barang dan makanannya malah jauh lebih murah dibanding Jogja, rasanya tepat jika kami menyebut Kota Makassar sebagai kota dengan karakter modern layaknya Jakarta namun dengan biaya hidup layaknya Jogja :D
Setelah selesai sarapan kini saatnya melanjutkan perjalanan (sekuatnya) menuju Bantimurung, disepanjang jalan kami juga melihat banyak daerah hunian yang sedang dalam proses pembangunan dan sepertinya akan menjadi bagian perluasan dari area hunian sebelumnya yang telah ada di Kota Makassar, benar-benar cepat geliat pertumbuhan pembangunan yang berlangsung disini, pembangunan underpass pun juga sedang dikerjakan untuk memperlancar akses mobilitas transportasi, beberapa halte bus trans maminasata juga sudah ada dan berfungsi namun sayangnya minat masyarakat sekitar untuk beralih menggunakan moda transportasi umum ini masih kurang (padahal di Kota Makassar ini bus transnya memiliki ukuran yang besar, sama besarnya dengan transjakarta)
Untuk menuju ke Bantimurung kalian cukup mengikuti jalan poros Makassar-Maros sampai nantinya belok ke kanan menuju terminal Damri, dari situ tinggal ikuti petunjuk jalan menuju Bantimurung saja, rutenya cukup mudah dan jelas karena petunjuk-petunjuk arah yang ada juga cukup banyak, kontur jalannya pun cenderung flat, satu-satunya yang membuat gowes kali ini sedikit berat adalah karena faktor panasnya sengatan matahari, maklum secara geografis Pulau Sulawesi lebih dekat ke garis ekuator dibanding dengan Pulau Jawa, walaupun menurut kami dari sepanjang perjalanan goweswisata ini yang menjadi daerah terpanas adalah diperjalanan sewaktu kami berada di Bali, tepatnya dari Denpasar ke Pelabuhan Padangbai
Setibanya di daerah Bantimurung, pemandangan bukit dan tebing-tebing karst mulai tampak di sisi kiri kami, hingga akhirnya kami memasuki gerbang area Taman Nasional Bantimurung yang dihias dengan icon kupu-kupu raksasa yang sayangnya kurang terawat, padahal itu adalah icon yang berada tepat di gerbang masuk, sebuah view yang pertama kali terlihat oleh setiap pengunjung yang datang ketempat ini namun keadaannya dibiarkan tidak terawat, semoga hal ini tidak mencerminkan kondisi yang ada didalam Taman Nasionalnya juga ya, kami pun kemudian menyempatkan untuk berfoto sejenak didepannya
Oya disini kami memutuskan untuk tidak jadi masuk ke dalam area taman nasionalnya karena beberapa hal, pertama adalah karena faktor waktu yang kesiangan (kami tiba di TN. Bantimurung sekitar pukul 12.30 WITA), kemudian faktor cuaca yang terlihat mulai mendung, dan faktor terakhir yang paling berpengaruh dalam pengambilan keputusan adalah faktor tiket masuk seharga 25 ribu rupiah per orang untuk domestik dan 225 ribu rupiah untuk wisatawan mancanegara yang menurut kami terlalu mahal hehe...lagipula sepertinya slogan surga kupu-kupu tersebut kini tidak terlalu pas lagi karena jika memang tempat tersebut penuh dengan kupu-kupu tentunya diarea sekitar gerbang pun seharusnya juga ada beberapa ekor kupu-kupu yang beterbangan, namun hingga di area persawahan warga pun kami tetap tidak melihat adanya kupu-kupu (untuk hal ini semoga penilaian saya salah dan kupu-kupunya masih banyak didalam, jangan sampai punah atau justru malah lebih banyak kupu-kupu yang sudah diawetkan dan dijual sebagai cinderamata daripada yang masih hidup dan bebas terbang)
Walau tidak jadi masuk ke Taman Nasional Bantimurung, setidaknya kami cukup puas bisa tiba di lokasi dan melihat karakter serta suasana wilayah disepanjang perjalanan kami tadi, oya jangan lupa juga jika suatu saat kalian ingin berkunjung kesini maka tidak jauh dari gerbang TN. Bantimurung, lebih tepatnya 5km sebelum gerbang masuk TN. Bantimurung juga ada obyek wisata taman prasejarah Leang-leang dimana disini kalian bisa melihat hutan batu karst serta goa (Leang/liang) yang didalamnya terdapat lukisan buatan manusia zaman prasejarah, semoga info dari kami ini bisa membantu kalian semua dalam membuat itinerary perjalanan saat kalian berwisata ke Maros
Perjalanan kami berdua bukanlah sebuah perjalanan yang sempurna atau memuaskan untuk semua orang, karena di beberapa spotnya ada yang kami lewatkan (baik secara sengaja maupun tidak sengaja) dikarenakan kendala cuaca, jarak dan kondisi medan, serta budget, namun karena kami selalu menekankan bahwa the joy of our trip is not only at destination, but the pleasure it self we found along the journey, best scenery or great place just a bonus but the value of the adventure that we’ve got during this trip are the most important things
Mungkin berikutnya giliran kalianlah untuk melengkapi dan memperbarui informasi dari kami berdua :)
Pengeluaran hari ini :
- pulsa internet 2Gb indosat = Rp 32.000,-
- 2 porsi nasi kuning = Rp 20.000,-
- 5 gelas es buah = Rp 23.000,-
- 2 botol teh javanna = Rp 6.000,-
- es batu = Rp 500,-
- rambutan 1kg = Rp 5.000,-
Total = Rp 86.500,-
Total jarak tempuh hari ini : 76,05 km
Saturday, 26 May 2018
Saturday, 19 May 2018
CHAPTER 38; BAROMBONG
Seperti yang telah disebutkan pada chapter sebelumnya, kali ini tujuan terakhir petualangan goweswisata.blogspot.co.id untuk hari ini adalah menjelajahi daerah Barombong yang berada di sisi Selatan Kota Makassar.
Untuk menuju ke wilayah Barombong kami kembali melalui rute kawasan wisata Pantai Losari lalu berbelok kearah Selatan melewati beberapa kawasan perniagaan, dimana disepanjang ruas jalannya banyak sekali terdapat pusat-pusat perbelanjaan modern dan kompleks hiburan tak ubahnya seperti di Kota Jakarta.
Dengan kata lain jika kalian berkunjung ke Kota Makassar maka pemandangan yang akan kalian lihat hampir sama dengan yang ada di Jakarta, bedanya hanya Jakarta mempunyai Monas, sedangkan Makassar memiliki banyak pantai, termasuk salah satunya adalah pantai yang berada tidak jauh dari komplek-komplek perumahan yang sedang dibangun di daerah Barombong ini, sekilas melihat warna pasirnya yang hitam berkilauan dan disekitarnya dibuat banyak turap atau semacam dermaga yang menjorok mengingatkan kami dengan kawasan pantai Ancol di Jakarta dan komplek perumahan Pantai Indah Kapuk, mungkin 10 tahun mendatang kawasan sekitar Barombong ini akan menjadi kawasan hunian elite
Di wilayah Barombong ini juga terdapat obyek wisata sejarah yaitu kawasan wisata Benteng Somba Opu yang berjarak sekitar 6 km dari pusat kota Makassar, tepatnya berada di Jalan Daeng Tata, kelurahan Benteng Somba Opu, Kecamatan Barombong, Kabupaten Gowa, dan karena lokasinya kebetulan searah dengan rute pulang, jadi sekalian saja kami singgahi :)
Karena Mbak Darna menggunakan jalan potong yang berbelok-belok dan masuk melalui jalan kampung maka sulit bagi kami untuk menjabarkan detail rute menuju ke lokasi Benteng Somba Opu, selain sebagai obyek wisata sejarah, di dalam kawasan wisata Benteng Somba Opu ini juga terdapat obyek wisata lainnya berupa taman hiburan waterboom serta Taman Miniatur Sulawesi Selatan yang berisi beberapa replika bangunan rumah-rumah adat dari berbagai suku yang ada di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, replika bangunan-bangunan disini biasanya digunakan untuk kegiatan festival atau acara budaya, pembangunan rumah-rumah adat ini juga mencerminkan bahwa pada jaman dahulu kala di wilayah ini terdapat sebuah kerajaan yang mampu menyatukan Sulawesi Selatan dalam satu bendera sebelum akhirnya pecah karena di adu domba oleh pihak belanda melalui VOC, selain itu didalam kawasan ini juga terdapat Museum Karaeng Pattingalloang dan taman wisata atau taman burung bernama Gowa Discovery Park
Beberapa informasi yang kami dapat mengenai Benteng Somba Opu ini adalah Benteng ini didirikan pada awal abad ke 16 atau sekitar Tahun 1525 oleh Raja Gowa ke IX yaitu Daeng Matanre Karaeng Tu Mapa’risi Kallona untuk membentengi Kota Somba Opu dengan dinding tanah liat yang kemudian pembangunannya dilanjutkan oleh Raja Gowa ke X bernama Sultan Alauddin dan raja-raja setelahnya, sehingga secara geografis pemetaan kekuatan dari Kota Makassar ketika berada pada masa penjajajahan Belanda ini dilindungi oleh Benteng Fort Rotterdam yang berada di pesisir Pantai bagian Utara, sedangkan untuk bagian pesisir Pantai Selatannya dijaga oleh Benteng Somba Opu. Benteng ini sendiri berfungsi tidak hanya sebagai pusat pertahanan utama Kerajaan Gowa saja melainkan juga menjadi pusat perdagangan rempah-rempah dan Pelabuhan.
Pada masa pemerintahan Raja Gowa ke XII yaitu Tunijallo, Benteng Somba Opu mulai dipersenjatai dengan meriam-meriam yang diletakkan pada setiap sudut bastion. Benteng ini memiliki luas 113,590 meter persegi dan diapit oleh dua sungai yaitu Sungai Balang Beru dan Sungai Jene’berang.
Benteng ini berbentuk segi empat, dimana pada setiap sisinya berukuran kurang lebih 2 km dan dengan ketinggian benteng sekitar 7-8 meter serta memiliki ketebalan rata-rata 12 kaki. Pada benteng ini terdapat 4 buah selokoh atau bastion berbentuk setengah lingkaran untuk menempatkan senjata-senjata berat seperti meriam. Sebuah selokoh paling besar terdapat pada sudut Barat Laut yang diberi nama Baluwara Agung. Di Baluwara Agung inilah ditempatkan meriam terbesar yang dimiliki oleh Kerajaan Gowa yang dikenal dengan nama Meriam Anak Makassar.
Serangan Belanda dibawah pimpinan C.J. Speelman pada Tanggal 15 Juni 1669 terhadap Benteng Somba Opu menyebabkan terjadinya perang besar antara Kerajaan Gowa dengan Belanda, hingga kemudian pada Tanggal 24 Juni 1669 Benteng Somba Opu akhirnya benar-benar jatuh ke tangan Belanda, dan oleh Speelman, Benteng Somba Opu dihancurkan dengan ribuan ton bahan peledak, kondisi benteng ini juga semakin diperparah dengan hantaman ombak pasang dari pesisir pantai Selatan. Pada Tahun 1980 akhirnya keberadaan puing-puing benteng ini ditemukan oleh beberapa sejarawan dan arkeolog yang kemudian mulai mengadakan pemugaran dan merekonstruksi ulang Benteng ini
Tak hanya sekedar melihat Benteng Somba Opu saja, disini kami juga menyempatkan untuk masuk ke dalam Museum Karaeng Pattingalloang. Museum yang terletak di kawasan Benteng Somba Opu ini didirikan pada Tahun 1992 untuk melengkapi Taman Miniatur Sulawesi Selatan. Nama Museum ini sendiri diambil dari salah satu nama tokoh cendekiawan Kerajaan Gowa.
Koleksi yang ada di Museum Karaeng Pattingalloang sebagian besar diperoleh melalui eskavasi penyelamatan Benteng Somba Opu pada Tahun 1989. Koleksi-koleksi tersebut berupa material yang digunakan dalam pembangunan Benteng Somba Opu, peluru meriam, peluru pistol, fragmen porselin, fragmen gerabah, alat upacara, replika senjata tradisional yang digunakan dalam upacara kerajaan dan pakaian adat empat etnik di Sulawesi Selatan dan Barat serta koleksi mata uang kuno yang pernah berlaku di Indonesia
Setelah puas melihat berbagai peninggalan sejarah yang ada didalam Museum Karaeng Pattingalloang kini saatnya bagi kami untuk pulang sebelum kemalaman apalagi waktu sudah menunjukkan sore hari
Setidaknya hari ini kami telah belajar banyak hal mengenai Indonesia yang kami cintai, Indonesia yang dengan segala beberagaman dan kemajemukannya namun dapat tetap bersatu menjadi sebuah kekuatan, oleh karena itu sudah sepantasnyalah jika kami, kita, dan kalian semua sebagai generasi penerus bangsa yang besar ini bertanggungjawab untuk menjaga keutuhan negeri ini dari pihak-pihak yang berusaha memecah persatuan dan mengadu domba menggunakan dalih agama, politik, kesukuan, dan lainnya, karena justru semua perbedaan itulah yang menjadikan Indonesia itu menarik. Jangan sampai sejarah pahit yang dahulu dihadapi para pejuang kita kembali terulang, belajarlah dari sejarah perjuangan bangsa ini supaya kedepannya kita dapat menjadi sebuah bangsa yang besar tanpa kehilangan arah dan karakter
Walaupun traveling itu memang dolan namun mari kita jadikan kegiatan traveling kita bermanfaat, setuju? Oleh karena itulah di setiap perjalanan dan petualangan yang kami lakukan, kami juga selalu berusaha berbagi informasi mengenai daerah atau tempat yang kami kunjungi supaya dapat membantu kalian semua dalam mempersiapkan perjalanan masing-masing
Pengeluaran hari ini :
- 2 porsi nasi campur = Rp 26.000,-
- penyeberangan pulau lae lae = Rp 40.000,-
- kelengkeng = Rp 5.000,-
- pulsa im3 = Rp 5.000,-
- minuman gelas = Rp 4.000,-
Total = Rp 80.000,-
Total jarak tempuh hari ini : 36,49km
Untuk menuju ke wilayah Barombong kami kembali melalui rute kawasan wisata Pantai Losari lalu berbelok kearah Selatan melewati beberapa kawasan perniagaan, dimana disepanjang ruas jalannya banyak sekali terdapat pusat-pusat perbelanjaan modern dan kompleks hiburan tak ubahnya seperti di Kota Jakarta.
Dengan kata lain jika kalian berkunjung ke Kota Makassar maka pemandangan yang akan kalian lihat hampir sama dengan yang ada di Jakarta, bedanya hanya Jakarta mempunyai Monas, sedangkan Makassar memiliki banyak pantai, termasuk salah satunya adalah pantai yang berada tidak jauh dari komplek-komplek perumahan yang sedang dibangun di daerah Barombong ini, sekilas melihat warna pasirnya yang hitam berkilauan dan disekitarnya dibuat banyak turap atau semacam dermaga yang menjorok mengingatkan kami dengan kawasan pantai Ancol di Jakarta dan komplek perumahan Pantai Indah Kapuk, mungkin 10 tahun mendatang kawasan sekitar Barombong ini akan menjadi kawasan hunian elite
Di wilayah Barombong ini juga terdapat obyek wisata sejarah yaitu kawasan wisata Benteng Somba Opu yang berjarak sekitar 6 km dari pusat kota Makassar, tepatnya berada di Jalan Daeng Tata, kelurahan Benteng Somba Opu, Kecamatan Barombong, Kabupaten Gowa, dan karena lokasinya kebetulan searah dengan rute pulang, jadi sekalian saja kami singgahi :)
Karena Mbak Darna menggunakan jalan potong yang berbelok-belok dan masuk melalui jalan kampung maka sulit bagi kami untuk menjabarkan detail rute menuju ke lokasi Benteng Somba Opu, selain sebagai obyek wisata sejarah, di dalam kawasan wisata Benteng Somba Opu ini juga terdapat obyek wisata lainnya berupa taman hiburan waterboom serta Taman Miniatur Sulawesi Selatan yang berisi beberapa replika bangunan rumah-rumah adat dari berbagai suku yang ada di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, replika bangunan-bangunan disini biasanya digunakan untuk kegiatan festival atau acara budaya, pembangunan rumah-rumah adat ini juga mencerminkan bahwa pada jaman dahulu kala di wilayah ini terdapat sebuah kerajaan yang mampu menyatukan Sulawesi Selatan dalam satu bendera sebelum akhirnya pecah karena di adu domba oleh pihak belanda melalui VOC, selain itu didalam kawasan ini juga terdapat Museum Karaeng Pattingalloang dan taman wisata atau taman burung bernama Gowa Discovery Park
Beberapa informasi yang kami dapat mengenai Benteng Somba Opu ini adalah Benteng ini didirikan pada awal abad ke 16 atau sekitar Tahun 1525 oleh Raja Gowa ke IX yaitu Daeng Matanre Karaeng Tu Mapa’risi Kallona untuk membentengi Kota Somba Opu dengan dinding tanah liat yang kemudian pembangunannya dilanjutkan oleh Raja Gowa ke X bernama Sultan Alauddin dan raja-raja setelahnya, sehingga secara geografis pemetaan kekuatan dari Kota Makassar ketika berada pada masa penjajajahan Belanda ini dilindungi oleh Benteng Fort Rotterdam yang berada di pesisir Pantai bagian Utara, sedangkan untuk bagian pesisir Pantai Selatannya dijaga oleh Benteng Somba Opu. Benteng ini sendiri berfungsi tidak hanya sebagai pusat pertahanan utama Kerajaan Gowa saja melainkan juga menjadi pusat perdagangan rempah-rempah dan Pelabuhan.
Pada masa pemerintahan Raja Gowa ke XII yaitu Tunijallo, Benteng Somba Opu mulai dipersenjatai dengan meriam-meriam yang diletakkan pada setiap sudut bastion. Benteng ini memiliki luas 113,590 meter persegi dan diapit oleh dua sungai yaitu Sungai Balang Beru dan Sungai Jene’berang.
Benteng ini berbentuk segi empat, dimana pada setiap sisinya berukuran kurang lebih 2 km dan dengan ketinggian benteng sekitar 7-8 meter serta memiliki ketebalan rata-rata 12 kaki. Pada benteng ini terdapat 4 buah selokoh atau bastion berbentuk setengah lingkaran untuk menempatkan senjata-senjata berat seperti meriam. Sebuah selokoh paling besar terdapat pada sudut Barat Laut yang diberi nama Baluwara Agung. Di Baluwara Agung inilah ditempatkan meriam terbesar yang dimiliki oleh Kerajaan Gowa yang dikenal dengan nama Meriam Anak Makassar.
Serangan Belanda dibawah pimpinan C.J. Speelman pada Tanggal 15 Juni 1669 terhadap Benteng Somba Opu menyebabkan terjadinya perang besar antara Kerajaan Gowa dengan Belanda, hingga kemudian pada Tanggal 24 Juni 1669 Benteng Somba Opu akhirnya benar-benar jatuh ke tangan Belanda, dan oleh Speelman, Benteng Somba Opu dihancurkan dengan ribuan ton bahan peledak, kondisi benteng ini juga semakin diperparah dengan hantaman ombak pasang dari pesisir pantai Selatan. Pada Tahun 1980 akhirnya keberadaan puing-puing benteng ini ditemukan oleh beberapa sejarawan dan arkeolog yang kemudian mulai mengadakan pemugaran dan merekonstruksi ulang Benteng ini
Tak hanya sekedar melihat Benteng Somba Opu saja, disini kami juga menyempatkan untuk masuk ke dalam Museum Karaeng Pattingalloang. Museum yang terletak di kawasan Benteng Somba Opu ini didirikan pada Tahun 1992 untuk melengkapi Taman Miniatur Sulawesi Selatan. Nama Museum ini sendiri diambil dari salah satu nama tokoh cendekiawan Kerajaan Gowa.
Koleksi yang ada di Museum Karaeng Pattingalloang sebagian besar diperoleh melalui eskavasi penyelamatan Benteng Somba Opu pada Tahun 1989. Koleksi-koleksi tersebut berupa material yang digunakan dalam pembangunan Benteng Somba Opu, peluru meriam, peluru pistol, fragmen porselin, fragmen gerabah, alat upacara, replika senjata tradisional yang digunakan dalam upacara kerajaan dan pakaian adat empat etnik di Sulawesi Selatan dan Barat serta koleksi mata uang kuno yang pernah berlaku di Indonesia
Setelah puas melihat berbagai peninggalan sejarah yang ada didalam Museum Karaeng Pattingalloang kini saatnya bagi kami untuk pulang sebelum kemalaman apalagi waktu sudah menunjukkan sore hari
Setidaknya hari ini kami telah belajar banyak hal mengenai Indonesia yang kami cintai, Indonesia yang dengan segala beberagaman dan kemajemukannya namun dapat tetap bersatu menjadi sebuah kekuatan, oleh karena itu sudah sepantasnyalah jika kami, kita, dan kalian semua sebagai generasi penerus bangsa yang besar ini bertanggungjawab untuk menjaga keutuhan negeri ini dari pihak-pihak yang berusaha memecah persatuan dan mengadu domba menggunakan dalih agama, politik, kesukuan, dan lainnya, karena justru semua perbedaan itulah yang menjadikan Indonesia itu menarik. Jangan sampai sejarah pahit yang dahulu dihadapi para pejuang kita kembali terulang, belajarlah dari sejarah perjuangan bangsa ini supaya kedepannya kita dapat menjadi sebuah bangsa yang besar tanpa kehilangan arah dan karakter
Walaupun traveling itu memang dolan namun mari kita jadikan kegiatan traveling kita bermanfaat, setuju? Oleh karena itulah di setiap perjalanan dan petualangan yang kami lakukan, kami juga selalu berusaha berbagi informasi mengenai daerah atau tempat yang kami kunjungi supaya dapat membantu kalian semua dalam mempersiapkan perjalanan masing-masing
Pengeluaran hari ini :
- 2 porsi nasi campur = Rp 26.000,-
- penyeberangan pulau lae lae = Rp 40.000,-
- kelengkeng = Rp 5.000,-
- pulsa im3 = Rp 5.000,-
- minuman gelas = Rp 4.000,-
Total = Rp 80.000,-
Total jarak tempuh hari ini : 36,49km
Wednesday, 9 May 2018
CHAPTER 37; PULAU LAE-LAE
Masih di hari yang sama seperti pada chapter sebelumnya. Setelah puas berkeliling menjelajahi isi didalam bangunan Benteng Fort Rotterdam kali ini kami kembali meneruskan perjalanan menuju ke Pulau Lae-lae yaitu sebuah pulau kecil berjarak sekitar 1,5km sebelah Barat Kota Makassar yang termasuk dalam kawasan wisata pulau di Kota Makassar.
Selain pulau Lae-lae sebenarnya kawasan wisata pulau di Kota Makassar ini terdiri dari beberapa pulau kecil lain seperti Pulau Barangcaddi, Pulau Kodingareng keke, Pulau Baranglompo, dan Pulau samalona. Namun yang paling terkenal dan paling sering dikunjungi oleh para wisatawan adalah Pulau Samalona dan Pulau Lae-lae
Untuk bisa menyeberang ke Pulau Lae-lae kita dapat berangkat menggunakan kapal boat nelayan yang berada di sekitar dermaga Kayu Bangkoa yang berada di Jalan Pasar Ikan no.28 atau dari dermaga yang berada persis diseberang Benteng Fort Rotterdam dengan tarif untuk sekali penyeberangan berkisar antara 15ribu sampai 30ribu rupiah per orang per sekali jalan (tergantung kepandaian kalian menawar harga).
Akhirnya kami pun menyewa kapal nelayan berukuran kecil yang kira-kira bisa memuat 6-8 orang penumpang, tetapi walaupun misalnya rombongan kalian kurang dari 6 orang pun mereka tetap akan melayani penyeberangan jadi kalian tidak perlu kuatir :)
Untuk biayanya sendiri setelah melalui proses negosiasi yang cukup lama akhirnya kami hanya dikenakan tarif sebesar 10ribu rupiah per orang untuk sekali perjalanan, sehingga untuk pergi-pulang total biaya yang harus dikeluarkan sebesar 20ribu rupiah per orangnya (disini kami tidak dikenakan biaya tambahan untuk mengangkut semua sepeda-sepeda kedalam kapal, asyiiikkk kapan lagi dengan modal 20ribu sudah bisa rekreasi ke pulau)
Hmmm... ternyata menggotong sepeda walau tanpa muatan penuh kedalam kapal itu cukup sulit dan melelahkan, pantas saja para porter yang menggotong sepeda-sepeda kami sewaktu menyeberang ke Gili Trawangan sampai berucap "haduuhh mas berat banget sepedanya", akhirnya setelah semua sepeda sudah masuk kedalam perahu kini saatnya menyeberang menuju ke Pulau Lae-lae
Waktu tempuh yang dibutuhkan untuk menyeberang ke Pulau Lae-lae ini hanya sekitar 15 menit saja, diatas perahu nelayan yang terombang-ambing oleh gelombang ini rasanya mungkin sedikit menakutkan bagi kalian yang mudah merasa mabuk laut namun anggap saja kalian sedang berada di taman bermain, seru kok :)
Dan akhirnya sampai juga kami di Pulau Lae-lae ini, namun bagi Mbak Darna yang takut naik perahu maka "siksaan" ini belum berakhir karena masih ada perjalanan pulang nantinya :D
Pulau Lae-lae sendiri merupakan sebuah pulau kecil dengan luas 6,5 ha yang dihuni oleh sekitar 400 kepala keluarga atau kurang lebih 2 ribu jiwa warganya yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan, oleh karena itulah pulau ini dikenal juga sebagai kampung nelayan. Walaupun begitu di pulau ini terdapat fasilitas yang cukup lengkap bagi para wisatawan seperti penginapan dengan tarif sekitar 50 ribu sampai 150ribu rupiah per malamnya, dan tempat-tempat makan yang walaupun belum semewah di Gili Trawangan namun setidaknya warung-warung makan sudah ada bagi kalian yang kelaparan sewaktu berkunjung ke pulau ini.
Sebenarnya di Pulau Lae-lae ini juga terdapat situs sejarah peninggalan perang yaitu sebuah terowongan bawah tanah yang menurut cerita masyarakat terowongan bawah tanah ini terhubung dengan Benteng Fort Rotterdam, entahlah apakah cerita tersebut benar atau tidak namun sayangnya karena minim perhatian dari pihak pengelola cagar budaya dan masyarakat setempat maka terowongan tersebut kini telah hilang tertutup dan tertimbun oleh tumpukan sampah warga, padahal jika keberadaan situs sejarah tersebut serta pulau ini dikelola dengan baik maka pulau ini bisa menjadi destinasi wisata alternatif di Kota Makassar karena menyimpan potensi keindahan alamnya yang tidak kalah indahnya dengan pulau-pulau kecil lainnya yang telah lebih dulu populer
Pulau yang memiliki bibir pantai berupa hamparan pasir berwarna putih dengan tekstur pasirnya yang besar seperti di Gili Trawangan serta gradasi warna pantainya yang hijau kebiruan ini sayangnya terkesan kotor dan kumuh dikarenakan banyaknya sampah sisa pengunjung maupun sampah lainnya yang terbawa ombak dan berada atau tersangkut di dekat tetrapod pemecah ombak, padahal dengan jaraknya yang terbilang dekat dan mudah dijangkau dari pusat Kota Makassar maka seharusnya pulau ini bisa bersaing dengan pulau-pulau kecil lainnya yang sudah lebih dulu dikelola dengan baik, semoga kedepannya kesadaran warga dan pemerintah untuk mengelola dan menjaga kebersihan pantai ini akan lebih baik lagi
Oya bagi kalian penikmat kegiatan snorkeling dan diving sebenarnya kalian pun bisa melakukan kegiatan tersebut di Pulau Lae-lae ini, walaupun kini gugusan terumbu karangnya sudah mulai banyak yang rusak namun setidaknya hal tersebut mulai mendapatkan perhatian dan bantuan dari beberapa pihak yang masih peduli untuk mencoba menjaga dan mengembalikan keindahan pesona dari gugusan terumbu karang yang ada di sekitar pulau ini dengan merehabilitasinya
Puas berkeliling dan beristirahat di Pulau Lae-lae ini kini saatnya bagi kami untuk kembali menyeberang ke Kota Makassar, setelah menghubungi sang bapak pemilik perahu untuk memberitahukan jika kami sudah selesai dan bersiap untuk pulang sehingga ia dapat kembali menjemput kami, maka dimulailah "siksaan" berikutnya dan yang terakhir untuk Mbak Darna hehe...:)
Setibanya kami di dermaga awal maka tujuan petualangan berikutnya adalah bersepeda ke arah Selatan menuju ke daerah Barombong yang kini sedang gencar-gencarnya melakukan pembangunan kawasan perumahan (bagi kalian yang ingin pindah ke Kota Makassar maka daerah ini cukup potensial menjadi hunian pilihan lho)
Ada apa sajakah di daerah Barombong dan sekitarnya? Tetap ikuti petualangan goweswisata.blogspot.co.id chapter berikutnya ya, masih dari Kota Makassar pokoknya kita having fun and make this journey unforgettable
Selain pulau Lae-lae sebenarnya kawasan wisata pulau di Kota Makassar ini terdiri dari beberapa pulau kecil lain seperti Pulau Barangcaddi, Pulau Kodingareng keke, Pulau Baranglompo, dan Pulau samalona. Namun yang paling terkenal dan paling sering dikunjungi oleh para wisatawan adalah Pulau Samalona dan Pulau Lae-lae
Untuk bisa menyeberang ke Pulau Lae-lae kita dapat berangkat menggunakan kapal boat nelayan yang berada di sekitar dermaga Kayu Bangkoa yang berada di Jalan Pasar Ikan no.28 atau dari dermaga yang berada persis diseberang Benteng Fort Rotterdam dengan tarif untuk sekali penyeberangan berkisar antara 15ribu sampai 30ribu rupiah per orang per sekali jalan (tergantung kepandaian kalian menawar harga).
Akhirnya kami pun menyewa kapal nelayan berukuran kecil yang kira-kira bisa memuat 6-8 orang penumpang, tetapi walaupun misalnya rombongan kalian kurang dari 6 orang pun mereka tetap akan melayani penyeberangan jadi kalian tidak perlu kuatir :)
Untuk biayanya sendiri setelah melalui proses negosiasi yang cukup lama akhirnya kami hanya dikenakan tarif sebesar 10ribu rupiah per orang untuk sekali perjalanan, sehingga untuk pergi-pulang total biaya yang harus dikeluarkan sebesar 20ribu rupiah per orangnya (disini kami tidak dikenakan biaya tambahan untuk mengangkut semua sepeda-sepeda kedalam kapal, asyiiikkk kapan lagi dengan modal 20ribu sudah bisa rekreasi ke pulau)
Hmmm... ternyata menggotong sepeda walau tanpa muatan penuh kedalam kapal itu cukup sulit dan melelahkan, pantas saja para porter yang menggotong sepeda-sepeda kami sewaktu menyeberang ke Gili Trawangan sampai berucap "haduuhh mas berat banget sepedanya", akhirnya setelah semua sepeda sudah masuk kedalam perahu kini saatnya menyeberang menuju ke Pulau Lae-lae
Waktu tempuh yang dibutuhkan untuk menyeberang ke Pulau Lae-lae ini hanya sekitar 15 menit saja, diatas perahu nelayan yang terombang-ambing oleh gelombang ini rasanya mungkin sedikit menakutkan bagi kalian yang mudah merasa mabuk laut namun anggap saja kalian sedang berada di taman bermain, seru kok :)
Dan akhirnya sampai juga kami di Pulau Lae-lae ini, namun bagi Mbak Darna yang takut naik perahu maka "siksaan" ini belum berakhir karena masih ada perjalanan pulang nantinya :D
Pulau Lae-lae sendiri merupakan sebuah pulau kecil dengan luas 6,5 ha yang dihuni oleh sekitar 400 kepala keluarga atau kurang lebih 2 ribu jiwa warganya yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan, oleh karena itulah pulau ini dikenal juga sebagai kampung nelayan. Walaupun begitu di pulau ini terdapat fasilitas yang cukup lengkap bagi para wisatawan seperti penginapan dengan tarif sekitar 50 ribu sampai 150ribu rupiah per malamnya, dan tempat-tempat makan yang walaupun belum semewah di Gili Trawangan namun setidaknya warung-warung makan sudah ada bagi kalian yang kelaparan sewaktu berkunjung ke pulau ini.
Sebenarnya di Pulau Lae-lae ini juga terdapat situs sejarah peninggalan perang yaitu sebuah terowongan bawah tanah yang menurut cerita masyarakat terowongan bawah tanah ini terhubung dengan Benteng Fort Rotterdam, entahlah apakah cerita tersebut benar atau tidak namun sayangnya karena minim perhatian dari pihak pengelola cagar budaya dan masyarakat setempat maka terowongan tersebut kini telah hilang tertutup dan tertimbun oleh tumpukan sampah warga, padahal jika keberadaan situs sejarah tersebut serta pulau ini dikelola dengan baik maka pulau ini bisa menjadi destinasi wisata alternatif di Kota Makassar karena menyimpan potensi keindahan alamnya yang tidak kalah indahnya dengan pulau-pulau kecil lainnya yang telah lebih dulu populer
Pulau yang memiliki bibir pantai berupa hamparan pasir berwarna putih dengan tekstur pasirnya yang besar seperti di Gili Trawangan serta gradasi warna pantainya yang hijau kebiruan ini sayangnya terkesan kotor dan kumuh dikarenakan banyaknya sampah sisa pengunjung maupun sampah lainnya yang terbawa ombak dan berada atau tersangkut di dekat tetrapod pemecah ombak, padahal dengan jaraknya yang terbilang dekat dan mudah dijangkau dari pusat Kota Makassar maka seharusnya pulau ini bisa bersaing dengan pulau-pulau kecil lainnya yang sudah lebih dulu dikelola dengan baik, semoga kedepannya kesadaran warga dan pemerintah untuk mengelola dan menjaga kebersihan pantai ini akan lebih baik lagi
Oya bagi kalian penikmat kegiatan snorkeling dan diving sebenarnya kalian pun bisa melakukan kegiatan tersebut di Pulau Lae-lae ini, walaupun kini gugusan terumbu karangnya sudah mulai banyak yang rusak namun setidaknya hal tersebut mulai mendapatkan perhatian dan bantuan dari beberapa pihak yang masih peduli untuk mencoba menjaga dan mengembalikan keindahan pesona dari gugusan terumbu karang yang ada di sekitar pulau ini dengan merehabilitasinya
Puas berkeliling dan beristirahat di Pulau Lae-lae ini kini saatnya bagi kami untuk kembali menyeberang ke Kota Makassar, setelah menghubungi sang bapak pemilik perahu untuk memberitahukan jika kami sudah selesai dan bersiap untuk pulang sehingga ia dapat kembali menjemput kami, maka dimulailah "siksaan" berikutnya dan yang terakhir untuk Mbak Darna hehe...:)
Setibanya kami di dermaga awal maka tujuan petualangan berikutnya adalah bersepeda ke arah Selatan menuju ke daerah Barombong yang kini sedang gencar-gencarnya melakukan pembangunan kawasan perumahan (bagi kalian yang ingin pindah ke Kota Makassar maka daerah ini cukup potensial menjadi hunian pilihan lho)
Ada apa sajakah di daerah Barombong dan sekitarnya? Tetap ikuti petualangan goweswisata.blogspot.co.id chapter berikutnya ya, masih dari Kota Makassar pokoknya kita having fun and make this journey unforgettable
Tuesday, 1 May 2018
CHAPTER 36; FORT ROTTERDAM
Hari ke 71, Kamis, 25 Februari 2016,
Makassar merupakan sebuah Kota Besar yang suasana dan kesibukannya tidak jauh berbeda dengan Kota Jakarta, nah berhubung ini adalah pertama kalinya bagi kami berdua bertualang ke Pulau Sulawesi dan mengunjungi kota ini tentunya sangat sayang apabila kami tidak mencoba untuk menjelajahi keunikan dari kota ini, jadi yuk kita let’s go :)
Oya sebelumnya kami juga ingin berbagi tips buat kalian semua yang ingin traveling tetapi memiliki budget terbatas. Seperti kita semua tahu jika budget terbesar saat kita traveling adalah di faktor transportasi dan penginapan, jadi untuk menekan budget tersebut lebih baik kita mencoba mencari solusi untuk mengatasi kedua faktor ini. Solusi untuk faktor pertama yaitu masalah transportasi, kami sudah berhasil mengatasinya yaitu dengan menggunakan sepeda sebagai sarana transportasi utama kami, lumayan lho dengan menggunakan sepeda seperti ini kami bisa mengalihkan alokasi budget yang biasanya dikeluarkan untuk naik bus atau kereta ke budget untuk membeli tiket ke obyek wisata lainnya, mencoba wisata kuliner khas, atau membeli cenderamata, selain itu dengan bersepeda kami juga lebih bebas menentukan waktu perjalanan, kapan dan dimana kami mau berhenti tinggal menentukan sendiri, selain itu kami juga lebih bisa menangkap detail apa saja yang ada di sepanjang rute yang kami lalui. Namun bagi kalian yang gaya travelingnya tidak menggunakan sepeda seperti kami juga tidak perlu kuatir, karena kalian tetap bisa kreatif untuk mengakali kendala di faktor transportasi ini, caranya antara lain adalah dengan menggunakan metode hitching alias nebeng, jika kalian beruntung kalian bisa menumpang kendaraan bak terbuka seperti mobil pick up pengangkut sayur atau barang, disini kalian hanya perlu membayar pengemudi seikhlasnya saja, cara lainnya adalah dengan jeli memanfaatkan tiket-tiket promo yang banyak diadakan oleh biro-biro perjalanan atau memantau harga tiket via aplikasi online yang terkadang harganya justru jauh lebih murah daripada jika kalianmemesan langsung ke terminal bus (apalagi di terminal banyak calo-nya)
Sedangkan untuk faktor penginapan, disini kami mengakalinya dengan menggunakan fasilitas kost harian atau bulanan untuk pasutri, cara ini jauh lebih hemat dibandingkan jika kalian menggunapan fasilitas hotel (baik itu hotel bintang tiga maupun bintang lima), dengan fasilitas kost bulanan seperti ini kalian justru diuntungkan karena kalian bisa leluasa menjelajah atau mengeksplorasi destinasi traveling kalian tanpa takut diburu-buru waktu, hitung-hitungannya kurang lebih seperti ini, ketika kami menggunakan jasa penginapan Hotel Lydiana dengan tarif sewa kamar single sebesar 140rb/malam, maka kami menjadi tidak leluasa untuk menjelajah karena pikiran kami selalu dibayangi dengan waktu check-out hotel, sedangkan untuk menjelajahi keunikan Kota Makassar tidaklah cukup jika kalian hanya menetap selama satu hari saja di kota ini, maka dari itu keesokan harinya setelah check out dari Hotel Lydiana kami pun langsung mencari tempat kost pasutri yang masih memiliki kamar kosong, untunglah kami bisa mendapatkannya saat hari itu juga di daerah Panaikang, akhirnya kami pun membayar sebesar 600 ribu rupiah untuk menyewa satu kamar kost pasutri selama satu bulan dengan fasilitas kamar mandi dalam, dapur, dan listrik, nah jauh lebih hemat bukan? dibandingkan jika kalian memaksakan bertahan menggunakan jasa sewa kamar hotel (dengan budget 600 ribu rupiah paling kalian hanya bisa menyewa kamar hotel selama 3-4 hari saja). Selain menggunakan kost harian atau bulanan kalian juga bisa memanfaatkan keberadaan rumah-rumah singgah yang biasa digunakan oleh para Backpacker, tentunya kalian harus melakukan konfirmasi terlebih dahulu mengenai jadwal kedatangan dan agenda kalian kepada sang empunya tempat supaya tidak bentrok waktunya. Setelah urusan tempat penginapan beres kini pikiran kami pun bisa lebih tenang dan leluasa untuk menyusun agenda petualangan di Kota Makassar ini
Hari ini kami berencana untuk bersepeda keliling Kota Makassar, mencoba untuk melihat detail kota serta menikmati pola aktivitas masyarakatnya. Untunglah kali ini cuaca cukup cerah setelah pada beberapa hari sebelumnya hujan turun cukup deras mengguyur Kota Makassar.
Mengawali start sekitar pukul 08.30 WITA dari tempat kost kami di Jalan Angkasa, Panaikang, menuju ke Benteng Fort Rotterdam yang berlokasi di Jalan Ujung Pandang no.1 Kota Makassar. Fort Rotterdam berada tidak jauh dari Anjungan Pantai Losari, persisnya berada di pinggir pantai sebelah Barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Peta menuju lokasi Benteng Fort Rotterdam
Dari Panaikang kami melalui Jalan Urip Sumohardjo yang seperti biasa terlihat mulai padat dan tersendat, sebuah pemandangan umum layaknya yang terjadi di kota besar lainnya di Indonesia, terlebih Kota Makassar sendiri dikenal sebagai pintu gerbang wilayah Indonesia Timur sehingga pembangunan yang ada di wilayah ini pun berjalan cukup cepat, tidak kalah dengan wilayah Indonesia dibagian Barat bahkan jika dibandingkan dengan ibukota Jakarta sendiri
Setibanya kami di Benteng Rotterdam (Fort Rotterdam) atau sering juga disebut dengan sebutan Benteng Ujung Pandang, orang Gowa-Makassar menyebutnya Benteng Panyyua (Benteng Penyu, dikarenakan bentuk benteng ini berbentuk segi lima, mirip seekor penyu yang merangkak menuju ke arah lautan jika dilihat dari atas), hal pertama yang menurut kami menarik dan menjadi icon dari tempat ini adalah deretan sculpture huruf-huruf berukuran besar berwarna merah yang membentuk tulisan "Fort Rotterdam" yang berada tepat di bagian depan area benteng, sayangnya dibeberapa hurufnya penuh dengan corat-coret ulah tangan jahil yang tidak bertanggung jawab, padahal seandainya kebersihan area ini terjaga tentu deretan huruf tersebut akan menjadi magnet atau spot daya tarik tersendiri sebagai obyek berfoto bagi para wisatawan yang mengunjungi tempat ini
Tentunya petualangan tidak akan lengkap jika kami hanya berfoto dibagian depan benteng tanpa masuk atau mengetahui apa saja isi di dalam benteng tersebut, oleh karena itulah kami pun kemudian bertanya ke petugas di loket jaga dimanakah tempat yang aman untuk memarkir sepeda-sepeda kami supaya kami bisa leluasa melihat isi benteng ini, oleh petugas yang berjaga kami pun diperbolehkan untuk memarkir sepeda diparkiran khusus karyawan sehingga mereka pun juga dapat mengawasinya
Untuk sekedar berkeliling benteng tidak ada biaya retribusi yang dikenakan alias gratis, namun jika kalian ingin masuk ke dalam museumnya (Museum La Galigo) maka untuk setiap pengunjung dikenakan biaya sebesar 5 ribu rupiah bagi pengunjung dewasa, 3 ribu rupiah bagi pengunjung anak-anak, dan 10 ribu rupiah untuk wisatawan mancanegara
Benteng yang merupakan peninggalan dari Kerajaan Gowa-Tallo ini dibangun pada Tahun 1545 oleh Raja Gowa ke IX yang bernama I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa’risi’ Kallona. Pada awalnya bangunan benteng ini dibuat menggunakan material batu dan tanah liat yang dibakar hingga kering, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke XIV yang bernama I Mangerangi Daeng Manrabbia yang bergelar Sultan Alauddin, pada tanggal 9 Agustus 1634, konstruksi benteng mulai diganti menggunakan batu padas hitam yang diambil dari pegunungan karst yang berada di daerah Maros, lalu pada tanggal 23 Juni 1635 dibangun lagi tembok ke dua yang berada dekat pintu gerbang. Benteng ini memiliki 5 Bastion (bangunan yang lebih kokoh dan posisinya lebih tinggi yang berada di setiap sudut benteng, pada setiap Bastion ini pulalah biasanya ditempatkan meriam diatasnya).
Kesultanan Gowa sendiri pernah berjaya sekitar abad ke-17 dengan Ibukotanya yang berada di Makassar. Kesultanan ini sebenarnya memiliki 12 buah benteng yang mengitari seluruh ibukota, hanya saja Benteng Fort Rotterdam merupakan bangunan benteng yang paling megah diantara benteng-benteng lainnya. Seorang Jurnalis dari New York Times bernama Barbara Crosette bahkan menggambarkan benteng ini sebagai “The Best Preserved Dutch Fort in Asia”.
Benteng Fort Rotterdam ini pernah hancur pada masa penjajahan Belanda, tepatnya antara tahun 1655-1669 ketika pihak Belanda menyerang Kesultanan Gowa yang saat itu dipimpin oleh Sultan Hasanuddin, tujuan penyerbuan yang dilakukan pihak Belanda ini adalah untuk menguasai jalur perdagangan rempah-rempah sekaligus untuk memperluas sayap kekuasaan sehingga memudahkan mereka dalam membuka jalur ke wilayah Banda dan Maluku
Sampai akhirnya pada tanggal 18 November 1667, Kerajaan Gowa-Tallo akhirnya menandatangani perjanjian Bongaya, dimana pada salah satu pasalnya mewajibkan Kerajaan Gowa untuk menyerahkan benteng ini kepada pihak Belanda, yang mana kemudian nama Benteng Ujung Pandang ini pun lalu diubah menjadi Fort Rotterdam oleh Gubernur Jenderal Admiral saat itu yaitu Cornelis Janszoon Speelman. Sejak saat itulah benteng ini lalu digunakan sebagai pusat penimbunan dan perdagangan rempah-rempah sekaligus juga sebagai pusat pemerintahan pihak Belanda di wilayah Timur Nusantara
Selain berkeliling bangunan benteng, disini kita juga bisa masuk ke dalam Museum La Galigo yang menyimpan lebih kurang 4.999 koleksi prasejarah, numismatic, keramik asing, sejarah, naskah-naskah kuno dan etnografi yang meliputi hasil kesenian, teknologi, serta peralatan yang dibuat dan digunakan dalam hidup keseharian suku Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja.
Didalam museum La Galigo ini kita bisa melihat dan belajar mengenai peninggalan Kerajaan Gowa, beberapa artefak pra sejarah, beragam suku yang ada di Sulawesi, pola aktivitas masyarakat yang bersifat agraris dan bahari, pakaian adat, cerita rakyat, prosesi tata cara pernikahan adat, hingga runutan sejarah perjuangan suku-suku yang ada di Sulawesi ketika melawan invasi militer yang dilakukan oleh Belanda
Di area Benteng Fort Rotterdam ini kita juga bisa melihat ruang tahanan sempit yang dahulu digunakan oleh Belanda untuk menahan Pangeran Diponegoro yang setelah ditangkap di Batavia kemudian Beliau dibuang ke Manado dan ditahan di Benteng New Amsterdam sebelum akhirnya pada tahun 1834 ia dipindahkan ke Makassar di Benteng Fort Rotterdam sampai akhirnya Beliau menutup usia di Kota Makassar
Selagi kami berdua berkeliling Benteng Rotterdam tidak berapa lama kemudian kami bertemu dengan salah seorang rekan goweser dari Makassar yaitu Mbak Darna, yang sebelumnya sudah saling contact dengan kami untuk mengabarinya jika kami sudah tiba di Makassar, akhirnya setelah berkenalan secara "resmi" alias offline kami bertiga pun kembali melanjutkan perjalanan berkeliling kota dengan Mbak Darna yang kali ini menjadi road captain alias pemandu kami, kemana tujuan kami berikutnya setelah ini? tetap ikuti petualangan goweswisata.blogspot.co.id ya
Makassar merupakan sebuah Kota Besar yang suasana dan kesibukannya tidak jauh berbeda dengan Kota Jakarta, nah berhubung ini adalah pertama kalinya bagi kami berdua bertualang ke Pulau Sulawesi dan mengunjungi kota ini tentunya sangat sayang apabila kami tidak mencoba untuk menjelajahi keunikan dari kota ini, jadi yuk kita let’s go :)
Oya sebelumnya kami juga ingin berbagi tips buat kalian semua yang ingin traveling tetapi memiliki budget terbatas. Seperti kita semua tahu jika budget terbesar saat kita traveling adalah di faktor transportasi dan penginapan, jadi untuk menekan budget tersebut lebih baik kita mencoba mencari solusi untuk mengatasi kedua faktor ini. Solusi untuk faktor pertama yaitu masalah transportasi, kami sudah berhasil mengatasinya yaitu dengan menggunakan sepeda sebagai sarana transportasi utama kami, lumayan lho dengan menggunakan sepeda seperti ini kami bisa mengalihkan alokasi budget yang biasanya dikeluarkan untuk naik bus atau kereta ke budget untuk membeli tiket ke obyek wisata lainnya, mencoba wisata kuliner khas, atau membeli cenderamata, selain itu dengan bersepeda kami juga lebih bebas menentukan waktu perjalanan, kapan dan dimana kami mau berhenti tinggal menentukan sendiri, selain itu kami juga lebih bisa menangkap detail apa saja yang ada di sepanjang rute yang kami lalui. Namun bagi kalian yang gaya travelingnya tidak menggunakan sepeda seperti kami juga tidak perlu kuatir, karena kalian tetap bisa kreatif untuk mengakali kendala di faktor transportasi ini, caranya antara lain adalah dengan menggunakan metode hitching alias nebeng, jika kalian beruntung kalian bisa menumpang kendaraan bak terbuka seperti mobil pick up pengangkut sayur atau barang, disini kalian hanya perlu membayar pengemudi seikhlasnya saja, cara lainnya adalah dengan jeli memanfaatkan tiket-tiket promo yang banyak diadakan oleh biro-biro perjalanan atau memantau harga tiket via aplikasi online yang terkadang harganya justru jauh lebih murah daripada jika kalianmemesan langsung ke terminal bus (apalagi di terminal banyak calo-nya)
Sedangkan untuk faktor penginapan, disini kami mengakalinya dengan menggunakan fasilitas kost harian atau bulanan untuk pasutri, cara ini jauh lebih hemat dibandingkan jika kalian menggunapan fasilitas hotel (baik itu hotel bintang tiga maupun bintang lima), dengan fasilitas kost bulanan seperti ini kalian justru diuntungkan karena kalian bisa leluasa menjelajah atau mengeksplorasi destinasi traveling kalian tanpa takut diburu-buru waktu, hitung-hitungannya kurang lebih seperti ini, ketika kami menggunakan jasa penginapan Hotel Lydiana dengan tarif sewa kamar single sebesar 140rb/malam, maka kami menjadi tidak leluasa untuk menjelajah karena pikiran kami selalu dibayangi dengan waktu check-out hotel, sedangkan untuk menjelajahi keunikan Kota Makassar tidaklah cukup jika kalian hanya menetap selama satu hari saja di kota ini, maka dari itu keesokan harinya setelah check out dari Hotel Lydiana kami pun langsung mencari tempat kost pasutri yang masih memiliki kamar kosong, untunglah kami bisa mendapatkannya saat hari itu juga di daerah Panaikang, akhirnya kami pun membayar sebesar 600 ribu rupiah untuk menyewa satu kamar kost pasutri selama satu bulan dengan fasilitas kamar mandi dalam, dapur, dan listrik, nah jauh lebih hemat bukan? dibandingkan jika kalian memaksakan bertahan menggunakan jasa sewa kamar hotel (dengan budget 600 ribu rupiah paling kalian hanya bisa menyewa kamar hotel selama 3-4 hari saja). Selain menggunakan kost harian atau bulanan kalian juga bisa memanfaatkan keberadaan rumah-rumah singgah yang biasa digunakan oleh para Backpacker, tentunya kalian harus melakukan konfirmasi terlebih dahulu mengenai jadwal kedatangan dan agenda kalian kepada sang empunya tempat supaya tidak bentrok waktunya. Setelah urusan tempat penginapan beres kini pikiran kami pun bisa lebih tenang dan leluasa untuk menyusun agenda petualangan di Kota Makassar ini
Hari ini kami berencana untuk bersepeda keliling Kota Makassar, mencoba untuk melihat detail kota serta menikmati pola aktivitas masyarakatnya. Untunglah kali ini cuaca cukup cerah setelah pada beberapa hari sebelumnya hujan turun cukup deras mengguyur Kota Makassar.
Mengawali start sekitar pukul 08.30 WITA dari tempat kost kami di Jalan Angkasa, Panaikang, menuju ke Benteng Fort Rotterdam yang berlokasi di Jalan Ujung Pandang no.1 Kota Makassar. Fort Rotterdam berada tidak jauh dari Anjungan Pantai Losari, persisnya berada di pinggir pantai sebelah Barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Peta menuju lokasi Benteng Fort Rotterdam
Dari Panaikang kami melalui Jalan Urip Sumohardjo yang seperti biasa terlihat mulai padat dan tersendat, sebuah pemandangan umum layaknya yang terjadi di kota besar lainnya di Indonesia, terlebih Kota Makassar sendiri dikenal sebagai pintu gerbang wilayah Indonesia Timur sehingga pembangunan yang ada di wilayah ini pun berjalan cukup cepat, tidak kalah dengan wilayah Indonesia dibagian Barat bahkan jika dibandingkan dengan ibukota Jakarta sendiri
Setibanya kami di Benteng Rotterdam (Fort Rotterdam) atau sering juga disebut dengan sebutan Benteng Ujung Pandang, orang Gowa-Makassar menyebutnya Benteng Panyyua (Benteng Penyu, dikarenakan bentuk benteng ini berbentuk segi lima, mirip seekor penyu yang merangkak menuju ke arah lautan jika dilihat dari atas), hal pertama yang menurut kami menarik dan menjadi icon dari tempat ini adalah deretan sculpture huruf-huruf berukuran besar berwarna merah yang membentuk tulisan "Fort Rotterdam" yang berada tepat di bagian depan area benteng, sayangnya dibeberapa hurufnya penuh dengan corat-coret ulah tangan jahil yang tidak bertanggung jawab, padahal seandainya kebersihan area ini terjaga tentu deretan huruf tersebut akan menjadi magnet atau spot daya tarik tersendiri sebagai obyek berfoto bagi para wisatawan yang mengunjungi tempat ini
Tentunya petualangan tidak akan lengkap jika kami hanya berfoto dibagian depan benteng tanpa masuk atau mengetahui apa saja isi di dalam benteng tersebut, oleh karena itulah kami pun kemudian bertanya ke petugas di loket jaga dimanakah tempat yang aman untuk memarkir sepeda-sepeda kami supaya kami bisa leluasa melihat isi benteng ini, oleh petugas yang berjaga kami pun diperbolehkan untuk memarkir sepeda diparkiran khusus karyawan sehingga mereka pun juga dapat mengawasinya
Untuk sekedar berkeliling benteng tidak ada biaya retribusi yang dikenakan alias gratis, namun jika kalian ingin masuk ke dalam museumnya (Museum La Galigo) maka untuk setiap pengunjung dikenakan biaya sebesar 5 ribu rupiah bagi pengunjung dewasa, 3 ribu rupiah bagi pengunjung anak-anak, dan 10 ribu rupiah untuk wisatawan mancanegara
Benteng yang merupakan peninggalan dari Kerajaan Gowa-Tallo ini dibangun pada Tahun 1545 oleh Raja Gowa ke IX yang bernama I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa’risi’ Kallona. Pada awalnya bangunan benteng ini dibuat menggunakan material batu dan tanah liat yang dibakar hingga kering, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke XIV yang bernama I Mangerangi Daeng Manrabbia yang bergelar Sultan Alauddin, pada tanggal 9 Agustus 1634, konstruksi benteng mulai diganti menggunakan batu padas hitam yang diambil dari pegunungan karst yang berada di daerah Maros, lalu pada tanggal 23 Juni 1635 dibangun lagi tembok ke dua yang berada dekat pintu gerbang. Benteng ini memiliki 5 Bastion (bangunan yang lebih kokoh dan posisinya lebih tinggi yang berada di setiap sudut benteng, pada setiap Bastion ini pulalah biasanya ditempatkan meriam diatasnya).
Kesultanan Gowa sendiri pernah berjaya sekitar abad ke-17 dengan Ibukotanya yang berada di Makassar. Kesultanan ini sebenarnya memiliki 12 buah benteng yang mengitari seluruh ibukota, hanya saja Benteng Fort Rotterdam merupakan bangunan benteng yang paling megah diantara benteng-benteng lainnya. Seorang Jurnalis dari New York Times bernama Barbara Crosette bahkan menggambarkan benteng ini sebagai “The Best Preserved Dutch Fort in Asia”.
Benteng Fort Rotterdam ini pernah hancur pada masa penjajahan Belanda, tepatnya antara tahun 1655-1669 ketika pihak Belanda menyerang Kesultanan Gowa yang saat itu dipimpin oleh Sultan Hasanuddin, tujuan penyerbuan yang dilakukan pihak Belanda ini adalah untuk menguasai jalur perdagangan rempah-rempah sekaligus untuk memperluas sayap kekuasaan sehingga memudahkan mereka dalam membuka jalur ke wilayah Banda dan Maluku
Sampai akhirnya pada tanggal 18 November 1667, Kerajaan Gowa-Tallo akhirnya menandatangani perjanjian Bongaya, dimana pada salah satu pasalnya mewajibkan Kerajaan Gowa untuk menyerahkan benteng ini kepada pihak Belanda, yang mana kemudian nama Benteng Ujung Pandang ini pun lalu diubah menjadi Fort Rotterdam oleh Gubernur Jenderal Admiral saat itu yaitu Cornelis Janszoon Speelman. Sejak saat itulah benteng ini lalu digunakan sebagai pusat penimbunan dan perdagangan rempah-rempah sekaligus juga sebagai pusat pemerintahan pihak Belanda di wilayah Timur Nusantara
Selain berkeliling bangunan benteng, disini kita juga bisa masuk ke dalam Museum La Galigo yang menyimpan lebih kurang 4.999 koleksi prasejarah, numismatic, keramik asing, sejarah, naskah-naskah kuno dan etnografi yang meliputi hasil kesenian, teknologi, serta peralatan yang dibuat dan digunakan dalam hidup keseharian suku Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja.
Didalam museum La Galigo ini kita bisa melihat dan belajar mengenai peninggalan Kerajaan Gowa, beberapa artefak pra sejarah, beragam suku yang ada di Sulawesi, pola aktivitas masyarakat yang bersifat agraris dan bahari, pakaian adat, cerita rakyat, prosesi tata cara pernikahan adat, hingga runutan sejarah perjuangan suku-suku yang ada di Sulawesi ketika melawan invasi militer yang dilakukan oleh Belanda
Di area Benteng Fort Rotterdam ini kita juga bisa melihat ruang tahanan sempit yang dahulu digunakan oleh Belanda untuk menahan Pangeran Diponegoro yang setelah ditangkap di Batavia kemudian Beliau dibuang ke Manado dan ditahan di Benteng New Amsterdam sebelum akhirnya pada tahun 1834 ia dipindahkan ke Makassar di Benteng Fort Rotterdam sampai akhirnya Beliau menutup usia di Kota Makassar
Selagi kami berdua berkeliling Benteng Rotterdam tidak berapa lama kemudian kami bertemu dengan salah seorang rekan goweser dari Makassar yaitu Mbak Darna, yang sebelumnya sudah saling contact dengan kami untuk mengabarinya jika kami sudah tiba di Makassar, akhirnya setelah berkenalan secara "resmi" alias offline kami bertiga pun kembali melanjutkan perjalanan berkeliling kota dengan Mbak Darna yang kali ini menjadi road captain alias pemandu kami, kemana tujuan kami berikutnya setelah ini? tetap ikuti petualangan goweswisata.blogspot.co.id ya
Subscribe to:
Posts (Atom)