Tuesday, 8 August 2017
CHAPTER 11; HARTA YANG PALING BERHARGA ADALAH KELUARGA
Ketika pertama kali mendengar kata “keluarga” hal yang pertama kali terpikirkan oleh kalian pastilah sebuah keluarga inti yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan anak. Hal tersebut tidaklah salah, secara pengertian harfiah maupun yuridis memang sebuah keluarga adalah mereka yang mempunyai hubungan darah dan lazimnya memang seperti itu.
Namun bagaimana dengan mereka yang sejak lahir telah ditinggal oleh sosok atau figur orang tua ataupun anak? Apakah hal tersebut lantas menjadikan dan membenarkan pandangan bahwa mereka tidak memiliki keluarga yang utuh? Apakah keluarga atau orang lain yang membesarkan, mencurahkan perhatian, dan menyayangi orang-orang seperti itu lantas sampai kapan pun tidak akan pernah menjadi keluarga yang sebenarnya?
Jika memang pengertian keluarga hanya dibatasi oleh hal sesempit itu yaitu hanya mereka yang mempunyai hubungan darah langsung lantas bagaimana dengan kasus yang akhir-akhir ini marak terjadi dimana ada sosok Ayah yang memperkosa putrinya sendiri, seorang anak yang membunuh Ibunya, Ibu yang menjual anak gadisnya kepada lelaki hidung belang, perkelahian antar saudara kandung yang berujung kepada kematian salah satunya, apakah mereka salah jika pada akhirnya mereka pun merasa sudah tidak memiliki keluarga lagi, apakah istilah “keluarga” pada akhirnya hanya dibatasi oleh pandangan sesempit itu?
Hal ini pada akhirnya membawa pemikiran dan cara pandang baru bagi saya bahwa bagaimanapun juga istilah “keluarga” seharusnya lebih ditekankan oleh adanya rasa aman, nyaman, dan kedekatan secara emosional kepada seseorang, sebuah perasaan dimana kita merasa diterima, dihargai, disayangi, dan terlindungi jika kita ada didalamnya. Karena tanpa adanya kedekatan rasa emosional tersebut maka sebuah keluarga yang terbangun pada akhirnya seakan menjadi sebuah formalitas belaka, menjadi tameng atau etalase terhadap pandangan lingkungan sosial yang mengatakan bahwa sebuah keluarga yang lengkap adalah yang seperti itu.
Tanpa adanya kedekatan faktor emosional tersebut maka antar anggota keluarga seakan-akan hidup dalam dunianya masing-masing, tidak ada komunikasi yang terjalin diantara penghuninya, dan pada akhirnya rumah yang seharusnya menjadi wadah interaksi yang hangat bagi para penghuni didalamnya lambat laun menjadi sebuah rumah kosong tanpa jiwa, menjadi rumah “yang dingin” karena tidak dapat membuat penghuni didalamnya merasa betah apalagi nyaman.
Sudah bukan hal yang aneh lagi jika saat ini kita sering melihat ada sebuah “keluarga” yang utuh, terdiri dari Ayah, Ibu, dan anak, namun masing-masing dari mereka seakan hidup dalam dunianya sendiri, tidak saling mengenal antar mereka, dan memaksakan bertahan hanya karena tuntutan sosial bahwa perceraian atau hidup sendiri adalah sebuah aib, secara fisik “keluarga” seperti itu memang terlihat layaknya sebuah keluarga normal yang lengkap dengan para anggota keluarganya, namun jika memang seperti itu maka hal tersebut tak ubahnya dengan individu yang hidup sendiri-sendiri namun terpaksa bernaung dalam sebuah wadah yang sama. Jika ada salah satu anggotanya yang terkena masalah maka anggota keluarga yang lain tidak akan melindunginya, justru sebaliknya ia akan bertindak menyalahkannya, bertahan dengan pemikiran bahwa “ia yang salah, saya yang benar” atau “itu deritanya dia, bukan masalah saya”, padahal jika ada salah satu anggota keluarga yang terkena masalah maka seyogyanya hal tersebut menjadi cerminan bagi anggota keluarga yang lainnya mengapa hal tersebut bisa terjadi dalam keluarga? apa yang salah? dan bagaimana cara memperbaikinya?.
Memang dalam kehidupan sebenarnya tidak ada contoh keluarga yang sempurna tanpa permasalahan layaknya yang tertulis secara teori, dan kita pastinya juga sering membandingkan antara sistem yang ada di keluarga kita dengan sistem keluarga lainnya yang kita temui, masing-masing pasti ada poin plus dan minusnya, dan hal terberat adalah mengakui bahwa ada kekurangan dalam sistem keluarga yang kita bangun sendiri, namun justru dengan cara mengakui bahwa sistem keluarga yang kita terapkan belumlah sempurna maka kita akan menjadi lebih mudah untuk belajar menerima hal-hal lain yang positif dari sistem yang telah diterapkan oleh orang lainnya sehingga kedepannya kita dapat terus memperbaiki sistem yang akan kita terapkan dalam kehidupan keluarga kita sendiri sampai pada akhirnya menjadi sebuah karakter dan identitas dari keluarga kita.
Hal tersebut kini kami dapatkan setelah kami memutuskan untuk memulai petualangan ini, saat ketika pada akhirnya kami mulai berada jauh dari keluarga inti masing-masing, ke tempat dimana kami pun baru pertama kali kesana tanpa teman ataupun saudara yang kami kenal sebelumnya, saat ketika kini kami berdua mulai belajar membangun karakter dan sistem seperti apa yang kedepannya akan kami terapkan dalam kehidupan keluarga kami sendiri tanpa adanya campur tangan dari pihak-pihak lain ataupun rasa takut terhadap bagaimana lingkungan sosial nantinya memandang keluarga kami, karena kami bertujuan bahwa keluarga yang kami bangun ini bukanlah sekedar menjadi etalase yang menampilkan apa yang orang lain ingin lihat, melainkan karena kami ingin membangun keluarga ini untuk mencari ketenangan hidup dan saling melengkapi antar sesama anggotanya, dan kami telah belajar banyak hal dari apa yang telah kami temui selama perjalanan ini, tentang bagaimana kami merespek orang lain, tentang bagaimana kami tidak menilai orang lain hanya dari apa yang terlihat, tentang bagaimana kami belajar mempercayai orang lain dan menerima kepercayaan, tentang petuah-petuah dan nilai kehidupan dari siapapun yang kami temui tanpa memandang faktor gender, usia, status sosial ekonomi, dan lainnya, karena pelajaran tersebut bisa kita dapatkan dari mana saja dan dari siapa saja, terlebih dalam perjalanan ini kami hanya memiliki apa yang saat ini bisa kami bawa dan benar-benar butuhkan saja, kami telah berusaha melepaskan diri dari apa yang orang lain menginginkan kami untuk lakukan, karena saat ini kami memilih menjalani hidup untuk diri kami, dan jujur saja sekarang kami menyukainya dan lebih menikmatinya
“Harta yang paling berharga adalah keluarga, puisi yang paling bermakna adalah keluarga, mutiara yang paling indah adalah keluarga”, sepenggal potongan lirik dari serial televisi keluarga cemara tersebut seakan membenarkan jika keluarga adalah hal terpenting dalam hidup (selain kenangan tentunya), karena pada akhirnya saat senja sudah menjelang tentunya kita berharap akan berakhir ditengah-tengah keluarga yang hangat, yang masing-masing terikat secara emosional, walaupun mungkin bagi beberapa orang yang sudah tidak memiliki keluarga secara hubungan darah lagi namun tentunya ia pastinya juga akan berharap bisa berakhir di tengah-tengah keluarga barunya yang ia pilih yang dapat menentramkan hatinya.
Sedangkan uang merupakan hal penting lainnya saat ini, dan banyak orang yang rela berbuat apa saja dengan segala cara (halal dan haram) bahkan kerja mati-matian dan mengorbankan kesehatannya hingga keluarganya hanya untuk mencari uang, namun saat kesehatannya direnggut maka mau tidak mau, suka tidak suka ia akan mengorbankan kembali seluruh uangnya untuk mendapatkan kesembuhannya padahal disaat yang sama ia pun juga sudah kehilangan waktu dalam hidupnya yang seharusnya untuk keluarga, sudah tak terhitung banyaknya jumlah keluarga yang hancur hanya karena salah satu anggotanya terobsesi dengan uang untuk mendapatkan prestise dan kekuasaan dilingkungan sosialnya, tapi perlu diingat bahwa ia mendewakan uangnya karena ia masih hidup untuk dipandang oleh orang lain, tapi jauh didalam hati dan pikirannya ia tetap merasa tidak tenang karena masih bingung apa tujuan hidupnya, apa yang ia cari sebenarnya dalam hidup dan kenapa ia masih merasa tidak menikmati hidupnya, ia takut pandangan masyarakat akan buruk kepadanya saat ia kehilangan semua hartanya, ia takut orang akan menjauh hanya karena ia tampil tidak sesuai dengan harapan lingkungan sosialnya, padahal uang bersifat netral, ia dapat menjadi hal yang baik jika digunakan untuk kebaikan (membantu orang, mendonasikan untuk menjaga alam sekitar, dan lainnya), dan uang juga bisa menjadi hal yang buruk bagi mereka yang serakah (kriminalitas, mengambil hak orang lain, dan lainnya), oleh karena itu bagi kami berdua kami pun selalu berusaha saling mengingatkan bahwa ya uang memang penting tapi mari kita jadikan ia tidak sepenting itu jika harus mengorbankan nilai hidup, masih ada hal-hal lain yang tidak dapat ditukar dengan uang berapapun nilainya (uang bisa membeli obat-obatan dan perawatan medis terbaik namun tetap saja ia tidak bisa membeli kesembuhan dan menghindari kematian)
Dan kini lucunya serta jujur saja pada akhirnya kami sudah tidak malu atau gengsi lagi untuk mengakui bahwa keluarga inti kami masing-masing sebelumnya bukanlah yang terbaik, orangtua kami bukanlah orangtua yang sempurna atau terunggul jika dibandingkan dengan orangtua atau keluarga lainnya, dan di Situbondo ini justru kami malah merasa nyaman berinteraksi dengan saudara-saudara jauh yang dahulu hanya saya temui saat saya masih kecil (biasanya saat mudik saja), mereka semua menerima siapa kami apa adanya tanpa embel-embel karena faktor orangtua kami, mereka telah menganggap sekarang kami adalah unit keluarga sendiri yang independen sehingga apa pun yang kami lakukan sekarang semata-mata adalah karena karakter kami memang seperti itu, saya pun juga tidak mau terlalu terlibat terhadap apa yang mungkin menjadi friksi diantara kedua orangtua kami dahulu tapi yang pasti disini saya hanya menegaskan bahwa hubungan diantara kita semua yang satu generasi ini semuanya baik-baik saja, masalah antar orangtua jangan sampai merusak hubungan antar sesama generasi berikutnya, mereka pun tidak terlalu mempermasalahkan, mungkin benar juga bahwa terkadang masalah sebenarnya itu tidaklah terlalu rumit hanya saja pikiran kita bertahan bahwa itu adalah masalah yang rumit, sehingga pada akhirnya semua kerumitan itu hanya disebabkan oleh praduga kita sendiri (yang orang lain pun tidak memikirkannya)
Selama kami berada di Kota Situbondo ini (sekitar 6 hari) sambil menunggu momen pergantian tahun, kami cukup menikmati suasana kota ini, dengan karakter layaknya kota perlintasan (karena umumnya orang hanya melintas saja di kota ini saat mereka hendak ke Banyuwangi sebelum menyeberang ke Pulau Bali) suasana dan aktivitas masyarakat di kota ini tidak terlalu ramai, dengan ruas jalan dan jalur pedestrian yang lebar dan tertata rapih kota ini sebenarnya cukup nyaman untuk dijelajahi hanya dengan berjalan kaki saja, namun karena orang Indonesia sudah terkenal sebagai Negara dengan penduduk termalas untuk berjalan kaki maka kami pun jarang melihat ada warga lokal yang berjalan kaki atau bersepeda, bahkan untuk jarak dekat dibawah 1 km pun banyak masyarakat yang menggunakan motor.
Dan untungnya karena dari dulu kami memang sudah suka berjalan kaki maka disinipun bagi kami berjalan kaki 5km bukanlah suatu masalah, justru dengan berjalan kaki seperti ini kami jadi tahu banyak tempat-tempat jajanan yang murah dan enak hehe… antara lain seperti ada toko roti yang menjual roti-roti fresh from the oven dengan harga bervariasi mulai dari Rp 1.500,- sampai Rp 10.000,-, kemudian harga segelas es tebu murni yang tergolong murah yaitu 2ribu rupiah per gelasnya, hingga adanya fasilitas wifi gratis di alun-alun kota. Mungkin kelemahan di kota ini bagi penggemar film adalah tidak adanya gedung bioskop (tapi sepertinya sekarang hal tersebut bukanlah masalah karena kalian hanya tinggal ke warnet saja untuk men-download film-film box office terbaru), selebihnya aktivitas perekonomian dan prasarana di kota ini tergolong cukup lengkap (bank, swalayan, terminal, pasar, rumah sakit, toko komputer dan elektronik, sekolah, kantor polisi yang cukup besar, pusat kuliner, alun-alun kota, kantor pos, dan lainnya).
Untuk fasilitas rekreasi umumnya masyarakat lokal sini bepergian ke obyek wisata Pantai Pasir Putih dan Pantai-pantai lainnya, selebihnya bagi mereka yang punya banyak waktu akan sekalian berlibur ke Banyuwangi, Jember, atau Pulau Bali. Sebenarnya mungkin 2 hari pun sudah cukup untuk sekedar berkeliling menikmati suasana kota ini, kami pun hanya dalam waktu singkat sudah mulai memahami orientasi kota dan seluk-beluk jalan potongnya, oleh karena itu sebagian besar waktu juga kami manfaatkan untuk berkunjung ke rumah saudara-saudara lainnya yang berada di kota ini (kurang lebih ada 3 rumah saudara yang saya tahu yang ada di Kota Situbondo ini), dimana hampir semuanya tidak percaya dan kaget begitu tahu bagaimana kita bisa sampai ke Kota ini yaitu dengan bersepeda dari Yogyakarta, tapi begitu kita jelaskan bahwa walaupun terlihat jauh tapi toh tidak dalam semalam kita habiskan hanya untuk mengayuh non-stop melainkan ada waktu jeda beristirahat dan stay di beberapa tempat, namun walau “sepertinya mulai paham”, tapi mereka tetap bertanya bagaimana sampai terpikir ide untuk bersepeda dari Yogyakarta hingga sampai ke Situbondo ini dan seterusnya mau kemana lagi, dan setelah kami ceritakan semuanya mulai dari alasan kami melakukan petualangan ini sampai apa tujuan yang kami cari barulah mereka semua mengerti (kayanya)
Momen pergantian malam tahun baru pun kami habiskan dengan menikmati suasana alun-alun kota di malam hari sambil berkeliling ke pusat kuliner, melihat bagaimana antusiasme warga menikmati detik-detik menjelang pergantian tahun, serta kemeriahan panggung-panggung hiburan yang tersebar di beberapa titik di pusat kota.
Tentu saja malam tahun baru dari 2015 ke tahun 2016 ini akan menjadi momen pergantian tahun yang tak akan terlupakan bagi kami berdua, selain karena kami sedang bertualang tentunya karena di penghujung tahun ini kami mendapatkan banyak pelajaran, kenangan, dan tentu saja bertemu orang-orang yang kini sudah menjadi bagian dari keluarga kami, terimakasih untuk semua orang yang tanpa sadar telah mengajari kami sehingga kami dapat memetik hikmah pelajaran kehidupan dan terimakasih telah berbuat baik dan menerima kami menjadi bagian dari keluarga kalian semua, semoga suatu saat kita dapat bersua kembali, walaupun mungkin momen seperti ini tidak dapat terulang lagi namun setidaknya kalian semua telah menjadi bagian dari kenangan indah kami dalam hidup ini, selamat tahun baru dan selamat memulai lembaran cerita petualangan baru dalam hidup kalian, make sure it’ll be your best life stories ever
“Janganlah engkau royal menghamburkan uang untuk mendapatkan pujian dari orang lain, tapi berlaku kikir kepada keluargamu. Semua pujian diluar sana tidak lebih bernilai daripada kegembiraan sederhana di dalam keluargamu”
Labels:
catatan gowes,
Indonesia,
Jawa,
Touring
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment