Wednesday, 29 April 2015

Situs Warungboto


(27/04/15) Sebenarnya sudah sejak 3 tahun yang lalu saat saya baru pindah ke Jogja keberadaan tempat ini sering saya lewati, tetapi (akhirnya setelah sekian lama) baru kali ini saya memutuskan mencoba untuk melihat secara lebih detail tentang tempat ini

Dan karena jaraknya yang cukup dekat dari kediaman saya maka saya pun berkunjung kesini tidak dengan bersepeda, melainkan cukup berjalan kaki saja sehingga lebih fleksibel untuk menyusuri gang-gang pemukiman penduduk yang ada disekitarnya

Akses menuju lokasi ini cukup mudah, dari perempatan pabrik susu SGM ikuti saja jalan veteran ke arah selatan, setelah melewati tikungan pertama maka kira-kira 100m kemudian sampailah ke lokasi Situs Warungboto yang berada di sisi kiri jalan, bersebelahan dengan lokasi pemakaman warga dan berada tepat diseberang gerbang Kampung Muhammadiyah Warungboto

Dari jalan utama mungkin tak banyak yang menyadari keberadaan cagar budaya ini, terlebih dengan kondisi fisiknya saat ini yang sekilas terlihat seperti puing-puing bongkaran rumah, padahal dahulu bangunan pesanggrahan yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono II ini (sekitar tahun 1800-an) merupakan salah satu pesanggarahan yang cukup terkenal sebagai tempat pemandian atau Taman Air dan peristirahatan keluarga keraton (konon dahulu juga dipakai oleh kalangan keraton Ngayogyakarta Hadiningrat untuk bersemedi dan menjalani laku prihatin), bahkan nama tempat ini yang awalnya bernama pesanggrahan Rejowinangun juga tercatat dalam salah satu tembang macapat yang berkisah tentang kemajuan yang dicapai semasa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono II, bersamaan dengan Situs Gua Seluman yang berada di dekat blok O

Melihat sisa-sisa puing cagar budaya ini sungguh miris karena seperti terabaikan, satu-satunya bentuk perhatian dari instansi yang berwenang hanyalah papan nama yang menandakan bahwa tempat ini merupakan cagar budaya serta papan informasi singkat mengenai sejarah tempat ini, selain dari itu tidak tampak ada upaya perbaikan maupun penataan ulang kembali fungsi tempat ini. Padahal jika saja cagar budaya ini diperbaiki, ditata ulang, dan dikembalikan fungsinya seperti halnya yang dilakukan di obyek wisata Taman Sari bukan tidak mungkin cagar budaya ini menjadi “hidup” kembali dan dapat menjadi media pembelajaran bagi generasi muda dan wisatawan terhadap sejarah peradaban bangsa ini

Papan informasi singkat mengenai sejarah cagar budaya ini


Sisi timur bangunan Situs Warungboto



Areal taman dan kolam yang berada di bagian tengah bangunan dan sepertinya menjadi inti dari aktivitas yang terjadi di masa lalu


Seandainya fungsi kedua buah kolam ini diperbaiki, dibersihkan, serta difungsikan lagi tentunya tempat ini menjadi lebih indah dan pengunjung juga bisa membayangkan seperti apa aktivitas yang dahulu dilakukan ditempat ini, terlebih tempat ini juga merupakan peninggalan Sultan HB II yang semestinya dipertahankan dan dirawat sebagai bukti sejarah kemajuan dan kejayaan peradaban bangsa



Kolam kecil berbentuk lingkaran berdiameter 4,5m dengan kedalaman 0,75m dan bagian tengahnya memiliki sumber pancuran air atau umbul



Sayangnya masih ada saja ulah vandalisme berupa corat-coret yang dilakukan oleh oknum yang tidak menghargai sejarah bangsanya, dan menganggap aksi bodohnya merupakan hal keren


Salah satu ruangan yang ada untuk menuju kolam


Melihat bentuk ruang seperti ini saya malah jadi punya ide untuk membuat konsep foto layaknya foto prewed hehe…:)


Mungkin bisa juga dijadikan alternatif tempat untuk kalian yang ingin membuat foto prewed ataupun sekedar photo shoot


Setidaknya jika nantinya tempat ini lebih dikenal oleh publik maka semoga kedepannya juga akan ada perhatian dari instansi terkait untuk memperbaiki cagar budaya ini




Hiasan patung manuk beri yang biasa terdapat di bangunan pesanggrahan atau tempat pemandian


Bagian dari pintu lengkung serta dinding-dinding yang kini telah menjadi puing


Di perjalanan pulang dari situs Warungboto ini bahkan saya sempat melihat ada papan penanda bertuliskan Umbul Wadon yang sepertinya adalah mata air tetapi entahlah dimana lokasinya kini, justru kata-kata dibawahnyalah yang semestinya perlu mendapat perhatian ekstra untuk kita renungkan bersama


Entahlah sampai kapan cagar budaya seperti ini dapat terus bertahan ditengah derasnya gempuran arus modernisasi di Kota Yogyakarta, apakah ia tetap berdiri menjadi saksi bisu perkembangan zaman namun kehadirannya hanya sebatas formalitas tanpa arti, ataukah masih ada pihak-pihak yang terketuk hatinya untuk melestarikan dan mengajarkan arti dari kehadirannya serta nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung didalamnya kepada generasi berikutnya supaya mereka dapat tumbuh dan belajar menjadi generasi penerus bangsa tanpa melupakan identitasnya yang berpijak kepada nilai-nilai budaya dan kearifan lokal bangsanya sendiri

“only when the last tree has been cut down, the last fish has been caught, and the last stream poisoned, we will realize we cannot eat money”

Sunday, 26 April 2015

Puncak Moyeng

(19/04/15) Berawal dari rasa bingung merencanakan agenda goweswisata kemana lagi pada weekend kali ini, saya pun akhirnya punya ide untuk gowes iseng ke arah Barat, sekedar menyusuri jalanan sesampai dan sekuatnya saja, tidak ada tujuan pasti pada goweswisata kali ini

Oya pada perjalanan goweswisata kali ini saya hanya ditemani oleh seorang rekan saja, Tadeus Rian (yang bersedia untuk ikut gowes ga jelas kali ini hehe…). Mengawali start sekitar jam 06.30 WIB diiringi gerimis kecil yang sepertinya hanya terbawa angin saja, kami pun mulai gowes ke arah Barat. Dari Kota Jogja kami gowes “santai” melewati tugu pal putih (sempat juga melihat keramaian acara car free day yang diadakan di depan Gramedia) kemudian menyusuri keramaian di Jalan Godean hingga melewati Ringroad Demak Ijo, selepas Ringroad perjalanan masih terus kearah Barat melewati beberapa traffic light dan melintasi Jembatan Kulonprogo hingga akhirnya setelah kurang lebih 20km tibalah kami di perempatan Kenteng-Nanggulan

Suasana pagi hari di daerah Kenteng-Nanggulan ini seperti biasanya relatif lebih sepi dan tenang jika dibandingkan dengan suasana di wilayah dalam Kota Jogja yang kami lewati sebelumnya, sisa-sisa kabut juga masih nampak diatas areal persawahan milik warga sekitar serta diantara lereng perbukitan Menoreh, benar-benar suasana dan view yang menarik untuk bersepeda

Jalanan beraspal yang halus serta hamparan persawahan di sisi kiri dan kanan membuat wilayah ini selalu menarik untuk dikunjungi (kamera saya jadi agak berembun karena kabut)


Kabut yang masih tersisa di lereng perbukitan Menoreh


Hijaunya persawahan membuat mata menjadi segar


Seiring perjalanan kami ke arah Barat maka kontur jalan pun mulai menanjak, tetapi kini sudah banyak penanda lokasi-lokasi wisata yang mulai populer di wilayah ini, salah satunya petunjuk arah menuju lokasi-lokasi curug atau air terjun yang mulai banyak ditemukan diantara perbukitan Menoreh ini

Sayangnya tidak ada keterangan jaraknya :)


Dari titik ini lokasi wisata yang sudah terlihat dan mudah dicapai adalah Tebing Kayangan berupa tebing batu vertikal 90° yang berada di Sungai Kayangan (mengenai Tebing Kayangan akan dibahas di post tersendiri berikutnya)


Selepas Jembatan Krapyak ini maka persiapkan mental, dengkul, nafas, serta teknik shifting yang tepat karena tanjakan sudah menanti di depan mata (tanjakan ini disebut juga tanjakan ringin karena pada ujung tanjakan ini nantinya berupa pertigaan Pohon Beringin)


Jika kalian mengendarai kendaraan bermotor maka pastikan kendaraan anda berada dalam kondisi yang sehat karena tanjakan ini cukup panjang dan derajatnya lumayan menguras tenaga (terlebih bagi saya yang mengendarai sepeda), dengan kondisi jalan yang berkelok-kelok (dan menanjak pula) untungnya kondisi aspal dijalan ini cukup bagus sehingga walaupun tanjakannya berat tetapi tidak sampai “menyiksa” mental hehe… Beberapa kali kami sempat beristirahat sebentar mengambil nafas dan minum, beberapa pengendara kendaraan bermotor yang melewati rute ini juga heran dan tersenyum ketika melihat kami yang bersepeda mencoba menuntaskan tanjakan ini (mungkin dianggapnya kurang kerjaan).

Disaat kami sedang beristirahat, saya kemudian menyempatkan untuk mengambil beberapa foto dan secara tak sengaja dikejauhan saya pun melihat ada semacam grojogan kecil berada tepat dipinggir jalan, akhirnya ada spot menarik untuk foto-foto


Aliran air ini sepertinya hanya musiman karena debitnya tidak terlalu deras, dan hal yang paling menarik adalah karena aliran air seperti ini tidak hanya satu, setidaknya dititik ini kita dapat melihat ada tiga buah aliran yang saling berdekatan satu sama lain, lumayanlah untuk tempat beristirahat sekaligus foto-foto


Kontur jalanan yang berada sebelum kami menemukan grojogan kecil ini


Kontur Jalanan yang berada tepat setelah grojogan kecil ini, masih terus menanjak


Selagi kami sedang asyik-asyiknya mendokumentasikan grojogan kecil ini, saya melihat ada sebuah papan petunjuk yang terlepas bertuliskan Puncak Moyeng, hmmm… jika dilihat dari lokasi terlepasnya maka berarti di sekitar sini ada lokasi asyik bernama Puncak Moyeng, sepertinya boleh juga untuk dijadikan destinasi petualangan goweswisata kali ini (akhirnya ada tujuan)


Tetapi dimana tepatnya lokasi Puncak Moyeng tersebut? Terlebih penunjuk arahnya saja sudah lepas begini, satu-satunya cara adalah dengan bertanya kepada penduduk sekitar yang kebetulan hilir mudik mengangkut rumput untuk pakan ternaknya. Dari hasil bertanya-tanya tersebut akhirnya kami mendapat patokan untuk menuju lokasi Puncak Moyeng, jika dilihat berdasarkan lokasi grojogan kecil yang kami temui sebelumnya maka kira-kira 200m kemudian nantinya ada jalan masuk di sisi kiri jalan, atau supaya lebih mudahnya jika kalian melihat patok jalan bernomor 9 maka tepat di seberang patok tersebut ada jalan cor menanjak, nah masuk dan ikuti saja jalan cor tersebut


Melewati perkebunan tebu nanti akan ada pertigaan seperti ini, ambil ke arah kiri


Ikuti jalan sampai ketemu pertigaan berikutnya ambil arah kiri (ikuti jalan tanah)


Jalan tanah yang utama (sebelah kiri) saat ini (saat kami berkunjung sedang ditutup karena proses pengurukan), sehingga kami kemudian mengambil jalan tanah yang kanan melewati bagian belakang rumah warga, nanti nembusnya sama kok


Kira-kira beginilah kondisi rutenya, kalau kalian mengendarai sepeda motor mungkin jika jalan tanah utama sudah selesai pengurukannya maka motor juga sudah bisa melewatinya, tetapi untuk mobil sepertinya kalian harus parkir di sekitar jalan cor sebelumnya, untuk pengendara sepeda lancar jaya tinggal tuntun sampai atas


Kalau kalian bertemu pertigaan seperti ini maka Puncak Moyeng sudah tidak jauh lagi, ambil arah kiri yang menanjak atau tinggal cari parkir kemudian lanjut trekking saja (lebih mudah)


Seperti ini trekkingnya, menapaki anak tangga yang terbuat dari tanah merah


Di bagian atasnya kami pun menemukan spot yang datar dan asyik sekali untuk camping (sepertinya bisa untuk camping 3-4 tenda)


Dan spot datar inilah yang disebut Puncak Moyeng dengan ketinggian sekitar 372mdpl


Dari Puncak Moyeng yang berada di perbatasan Dusun Tileng, Desa Pendoworejo dengan Dusun Sekaro, Desa Giripurwo, Kecamatan Girimulyo inilah kalian bisa melihat panorama perbukitan Menoreh dan sekitarnya


Dengan pandangan bukit yang menghadap ke arah Timur ini, jika cuaca sedang bagus kalian juga bisa melihat empat buah Gunung sekaligus, yaitu Gunung Lawu, Gunung Merapi, Gunung Merbabu, dan Gunung Sindoro





Pemandangan wilayah Kulonprogo dan sekitarnya dari atas ketinggian




Jejeran gugusan perbukitan Menoreh


Bukit-bukit kecil yang berada di sekitarnya


Lahan persawahan di sekitarnya


Jembatan Krapyak serta aliran Sungai Kayang juga terlihat dengan jelas dari atas Puncak Moyeng


Sedikit info mengenai tempat ini :

- Tidak ada yang tahu secara pasti asal-usul mengenai penamaan tempat ini menjadi Puncak Moyeng, tetapi menurut keterangan warga sekitar karena tempat ini sudah ada sejak jaman nenek moyang dahulu maka mereka akhirnya menyebut tempat ini dengan sebutan Moyeng/Moyang
- Sebenarnya areal Puncak Moyeng sendiri adalah milik individu salah seorang warga sehingga sifatnya adalah pribadi namun akhirnya dikelola bersama oleh warga
- Puncak Moyeng sendiri juga sering dijadikan tempat untuk menggelar acara kesenian warga, biasanya dilakukan saat matahari terbit pada waktu-waktu tertentu kalendar Jawa
- Akses menuju Puncak Moyeng hingga tulisan ini dibuat masih cukup sulit untuk dilalui, kendaraan bermotor roda dua mungkin bisa sampai di jalan tanah sebelum trekking menanjak, sedangkan untuk mobil hanya bisa sampai jalan cor dekat perkebunan tebu
- Persiapkan kondisi fisik kendaraan dan pengemudi jika hendak menuju tempat ini melalui tanjakan ringin, karena medan yang terus menanjak dan tidak ada warung atau bengkel mulai dari tanjakan hingga sampai lokasi
- Jika membawa makanan dan minuman sendiri jangan lupa untuk membereskan sisa sampah kalian, jangan buang sampah sembarangan terlebih dengan alasan klasik tidak ada tempat sampah di sekitar lokasi
- Tidak melakukan hal-hal yang merusak di sekitar lokasi (buang sampah sembarangan, corat-coret, menebang pohon, dan lain-lain)
- Tidak ada retribusi apapun di tempat ini alias gratis
- Jika ingin camping maka minta ijin terlebih dahulu kepada warga setempat, serta tidak melakukan perbuatan asusila di lokasi
- Belum ada fasilitas MCK (toilet) di sekitar lokasi

Bagi yang masih bingung dengan panduan menuju lokasinya silahkan simak peta menuju lokasi Puncak Moyeng ini (koordinat : 7°45'0"S 110°10'41'E)


Nikmati keindahan bumi nusantara ini serta jagalah kelestariannya sehingga kelak generasi mendatang juga dapat menikmatinya secara langsung, tidak hanya mengetahui dari foto-foto saja

Masih banyak destinasi wisata tersembunyi lainnya (baik tempat maupun kearifan lokal) yang menunggu untuk tersingkap dan disikapi dengan bijak, dan hal itu jugalah yang membuat saya terus melakukan perjalanan dan membuat tulisan-tulisan ini

Die with memories, not dreams!” karena ingatan saya tentang keindahan bumi nusantara ini jugalah yang membuat saya menyadari bahwa masih banyak hal-hal positif dari Indonesia yang seyogyanya membuat kita tetap optimis dalam hidup, kehidupan, serta membangun bangsa ini, selamat menjelajah :)