Monday, 19 December 2022

PUNCAK BUCU

Minggu, 11 Desember 2022.

Hi sobat goweswisata, wah tak terasa ya sekarang kita sudah berada di penghujung Tahun 2022, sebentar lagi kita akan menyongsong tahun baru 2023, semoga kita semua tetap sehat dan optimis bahwa keadaan juga akan terus menjadi lebih baik lagi dari tahun ini.


Nah untuk petualangan goweswisata kali ini kita masih akan berwisata yang nanjak-nanjak hehe… 😁 ayo atur nafas, tenaga, dan semangat untuk menuju ke tempat ini, yup kali ini kita akan menuju ke Puncak Bucu yang berada di Dusun Ngelosari, Desa Srimulyo, Kecamatan Piyungan, Nganyang, Sitimulyo, Kabupaten Bantul, Propinsi DI Yogyakarta.


Secara jarak sebenarnya lokasi ini tidaklah terlalu jauh (hanya sekitar 15km saja dari Basecamp Gowes Wisata), hanya saja karena kali ini rutenya didominasi kontur menanjak jadi lebih baik persiapkan tenaga lebih untuk dorong dan menuntun sepeda.


Setelah mencermati via googlemaps sepertinya rute termudah menuju ke Puncak Bucu adalah melalui Jalan Jogja-Wonosari kearah Kidsfun, nanti sesampainya di perempatan lampu merah Kidsfun kita tinggal belok ke kanan (selatan) dan terus ikuti jalan sampai menyeberangi sungai dan tiba di pertigaan Desa Pagergunung. Dari titik ini sebenarnya ada dua pilihan berdasarkan googlemaps, yaitu jika kita memilih melalui rute untuk jalan kaki bisa melalui Desa Pagergunung yang secara jarak juga lebih dekat sekitar 3km menuju ke lokasi dibanding jika kita memilih rute untuk kendaraan melalui Dusun Banyakan, nah berhubung saya belum pernah ke Puncak Bucu sebelumnya jadi yuk kita coba saja yang jaraknya lebih dekat yaitu melalui rute jalan kaki via Desa Pager Gunung.


Setelah menyeberangi Sungai dan masuk melewati Gapura Desa Pagergunung kita akan menemui pertigaan, dimana jika lurus rutenya datar, dan jika belok kanan medannya menanjak, dan karena tujuan kita adalah “Puncak” Bucu yang notabene pastinya itu tempat berada di ketinggian jadi pilihannya sudah pasti adalah belok ke kanan dan mulai menanjak, ayo semangat.


Derajat kemiringan tanjakan ini terbilang masih gowes-able lah, walau cukup menguras tenaga namun masih bisa dilalui dengan teknik ngicik, medan jalannya juga sudah aspal dan cukup sepi, hanya sesekali saja saya berpapasan dengan pengendara motor milik warga setempat yang membawa rumput untuk pakan ternak mereka.


Mulai memasuki gapura selamat datang desa pertama, jangan senang dulu karena tanjakannya masih panjang.


Setelah melalui rute menanjak yang belok-belok dan entahlah saat ini saya sudah sampai dimana karena sinyal GPS menghilang, akhirnya saya pun bertanya kepada salah seorang warga sekitar dan ternyata jawabannya adalah :”wah kalau ke Puncak Bucu lewat jalur ini (sambil menunjuk ke arah rute jalannya) susah mas kalau bawa kendaraan, jalurnya licin dan berbatu, bisa sih dilalui kalau berjalan kaki, nek njenengan arep gowo pit yo mesti digotong, jaraknya sih memang lebih dekat tapi medannya berat, saya sering lewat jalur ini kalau sedang mencari rumput untuk pakan ternak”. Intinya dari hasil perbincangan tersebut adalah jalur untuk pejalan kaki yang ditunjukkan di googlemaps ternyata ya memang untuk jalan kaki saja, sulit dan berat jika dilalui dengan membawa sepeda (entah digowes, didorong, ataupun digotong) terlebih jika pada malam sebelumnya turun hujan karena medannya bisa dipastikan akan licin. Daripada penasaran seperti apa kondisi jalurnya lebih baik yuk kita coba sebisa dan sekuatnya (namanya juga penasaran)


Mulai masuk jalur trekkingnya dari titik ini


Dan ternyata memang licin beneran jalurnya, jalan corblock semen yang berlumut dan sebagian rusak, alhasil walaupun saya menggunakan sepatu outdoor tetap saja mesti berhati-hati supaya tidak terpeleset karena sol sepatu tidak bisa nge-grip, apalagi ditambah sambil menuntun sepeda, ternyata rutenya sulit sekali (dah dibilangin ini rute untuk trekking malah ngeyel, rasakno kata “mbah google”), apalagi setelah medan jalan corblocknya sudah habis dan berganti jalur berbatu, wah kayanya kali ini harus putar balik nyari rute lain yang lebih aman daripada malah jatuh terpeleset.




Setelah kembali ke titik batas wilayah Desa Pagergunung saya pun kembali bertanya sekiranya ada jalur lain menuju ke Puncak Bucu yang bisa dilalui dengan bersepeda, dan ternyata ada jalan desa yang “agak” muter-muter tapi nanti bisa tembus ke Puncak Bucu, yah pokoknya kesimpulan sementara dititik rute jalan kaki ini adalah saya nyasar hehe…😅


Mulai mencoba jalan desa yang tadi dibilang oleh warga, saya pun memilih untuk menuntun sepeda karena ternyata kondisi jalannya berupa turunan corblock semen yang berlumut dan licin serta basah akibat hujan semalam, untunglah saya juga sudah terbiasa berjalan kaki jadi ya anggap saja sedang jalan santai, yang perlu diwaspadai hanya supaya tidak terpeleset saja karena memang medannya licin.


Setelah berjalan dan terkadang gowes jika medannya datar akhirnya saya pun kembali bertanya kepada beberapa warga yang sedang melakukan kerja bakti kemanakah arah menuju ke Puncak Bucu? Disini saya kembali dijelaskan rutenya (yang cukup bikin mumet karena banyak beloknya) patokannya adalah nanti ketemu pos ronda masih lurus saja ikuti jalan sampai tembus ke jalan aspal yang menanjak, dari situ terus saja menanjak masih jauh (kata-kata “masih jauh” nya juga sepertinya ditekankan untuk mengingatkan bahwa memang jaraknya masih jauh) oke lah tetap semangat walau nyasar, karena nyasar adalah bagian dari petualangan hehe. 😁


View disepanjang rute nyasar ini sebenarnya cukup keren sih, kalian lihat tebing didepan sana? Nah Puncak Bucu berada di atas tebing tersebut (entah tebing yang sebelah mananya, pokoknya ada diatas, namanya juga “Puncak”)


Dan ternyata medan tanjakannya cukup “ahayyyy” sekali, derajat tanjakan yang curam ditambah kondisi medan yang rusak dan licin serta sepi cukup membuat siapapun yang melihatnya pasti menghela nafas, antara nyengir kesal atau menyesal kenapa memilih ke tempat ini, dan seperti biasa di medan seperti ini solusi teraman adalah kombinasi antara gowes dan dorong.


Setelah dorong dan menuntun sepeda yang entah sudah berapa kilometer ini akhirnya dikejauhan saya melihat bagian puncak tebingnya, yeaayyy sampai juga, tampak beberapa bapak-bapak warga lokal yang sedang beristirahat sehabis mencari rumput, saya pun kembali bertanya kalau untuk ke spot Puncak Bucunya lewatnya mana ya? “wah ada dua pilihan mas, kalau mau bawa sepedanya sampai atas bisa melalui situ (sambil menunjuk rute jalan tanah yang sepertinya dibilang rute pun juga bukan karena tidak ada jalannya), atau kalau mau lewat yang akses masuk tangga juga bisa nanti sepedanya digotong saja tapi jalannya lebih jauh lewat sana (sambil menunjuk rute jalan corr yang sepertinya memang lebih jauh sih)”,kata salah seorang Bapak yang beristirahat. Hmmm… enaknya lewat yang mana ya? Berhubung sudah kepalang tanggung nyasar ga jelas dari tadi lebih baik nyoba jalur yang dekat saja kali ya, setidaknya kan tadi Bapaknya bilang sepeda bisa dibawa sampai atas, jadi yuk lah kita coba saja jalur tanah (yang bukan jalur beneran) ini.


Dan ternyata medannya juga berat huahahaha… sepeda mesti di gotong beberapa kali untuk melewati batuan dan semak-semak yang rimbun, tapi didepan sana sudah terlihat beberapa gazebo jadi yah setidaknya kali ini saya berada di jalur yang benar (benar-benar ngaco)



Ternyata rute ga jelas ini tembusnya tepat diujung bagian atas akses tangga yang tadi dibilang oleh si bapak, melihat sekilas kondisi undakan anak tangganya sepertinya kalau tadi melalui rute tangga ini bakalan terasa lebih berat untuk dilalui kalau sambil menggotong sepeda, mungkin nanti pulangnya saja saya coba melalui akses tangga ini.


Dan setelah berjuang melalui semua tanjakan-tanjakan jahanam tadi akhirnya sampai juga di spot ini, Puncak Bucu, sebuah spot yang dahulu sempat hits dikalangan pesepeda lokal dan wisatawan karena menawarkan view pemandangan Kota Jogja dari atas ketinggian atau bahkan untuk camping, dari sini kita bisa melihat keindahan panorama landscape kota Jogja yang super keren sekali sekaligus strategis untuk menikmati pemandangan matahari terbenam dan view merapi dikejauhan jika cuaca sedang cerah, sayangnya karena akses menuju ke lokasi ini sangat sulit akhirnya saat ini spot ini kembali sepi, beberapa gazebo masih tampak berdiri namun terbengkalai, fasilitas-fasilitas swafoto dan gardu pandang yang dahulu pernah ada juga kini tampak rusak, tidak ada warung dan toilet, bahkan tulisan icon Puncak Bucu sendiri kini penuh dengan coretan vandalisme tangan-tangan usil, sungguh sangat disayangkan sekarang kondisinya seperti ini padahal tempat ini memiliki potensi wisata untuk dikembangkan jika saja akses untuk menuju ke tempat ini diperbaiki dan dipermudah.










Setelah puas berkeliling dan mengambil beberapa dokumentasi foto saya pun memutuskan untuk menyudahi petualangan gowes wisata hari ini, setidaknya target kali ini tercapai, nanti sesampainya dirumah PR-nya hanya tinggal menulis catatan perjalanan dan ulasan mengenai tempat ini saja, dan untuk rute pulangnya saya pun memilih untuk mencoba rute tangga yang tadi saya lewati (dan ternyata tembusnya beda dengan rute berangkat sebelumnya, ini rute yang mana lagi ya? Sepertinya untuk pulang pun saya harus nyasar lagi)


Dari bawah undakan anak tangga tadi sebenarnya ada semacam lahan atau area untuk parkir kendaraan, akses jalannya pun tadi masih ditutup untuk kendaraan roda 4 karena masih dalam pengerjaan, semoga saja kedepannya akses jalan ini cepat selesai dan lebih mudah untuk dilalui oleh semua kendaraan sehingga spot Puncak Bucu ini bisa kembali ramai oleh wisatawan.


Dan setelah melalui rute pulang yang berbeda ini namun masih tetap belok-belok akhirnya sesampainya di bagian bawah tebing, saya baru ngeh jika ternyata rute ini adalah rute menuju ke Makam Sunan Geseng atau Jolosutro yang menurut beberapa teman pesepeda termasuk rute tanjakan yang cukup sadis, oalah pantesan tadi pas turunan derajatnya lumayan curam dan panjang bener turunannya, ternyata ini rute Jolosutro toh yang biasanya para pesepeda melalui rute ini untuk menanjak, namun saya melaluinya untuk menurun, dan dari sini tidak berapa lama kemudian untuk menuju ke Jalan Raya utama ternyata akses masuknya bisa melalui rute menuju ke Watu Wayang (kalau dari jalan raya utama Jogja-Wonosari jika kalian hendak menuju ke Watu Wayang nanti setibanya di pertigaan Pohon Asem kalian berbelok ke kiri, namun untuk ke Puncak Bucu melalui rute pulang saya barusan maka kalian tinggal ambil arah yang ke kanan menuju ke Jolosutro)


Bagaimana setelah tahu seperti apa suasana Puncak Bucu dan kondisi akses menuju kesana apakah kalian tertarik untuk mencobanya? Overall tempatnya sangat keren kalian tidak akan menyesal berkunjung ke tempat ini, namun pastikan kondisi kendaraan dan stamina kalian fit ya, baiklah sampai bertemu lagi di petualangan gowes wisata berikutnya.

Friday, 9 December 2022

BUKIT WATU GAGAK

Sabtu, 3 Desember 2022.

Masih dalam rangka mencari spot-spot wisata baru di Yogyakarta yang belum populer, kali ini kita akan mencoba ber-goweswisata menuju ke Bukit Watu Gagak yang berada di Dusun Singosaren, Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Seperti biasa tujuan kali ini didapat dari hasil scrolling iseng googlemaps pada malam sebelumnya 😁, sekilas melihat jarak dan rutenya hmmm… boleh juga nih karena lokasinya yang hanya sekitar 14km saja dari basecamp Gowes Wisata, jadi daripada penasaran lebih baik yuk kita coba saja.



Untuk rutenya sendiri sebenarnya terbilang cukup mudah yaitu dari Perempatan Terminal Giwangan kita hanya tinggal terus saja ke Selatan, menyeberangi Ringroad, dan masih terus sampai melewati Jembatan Karangsemut, nanti setelah menyeberang Jembatan Karangsemut ada jalan masuk disebelah kiri yang berada tepat sehabis ujung Jembatan ini (menuju kearah Joglo Opak), masuk dan ikuti jalan saja sampai mentok pertigaan aspal (oya rute jalan ini hanya bisa dilalui oleh kendaraan roda dua saja, sedangkan untuk roda 4 sebenarnya juga bisa sih tetapi lebih baik melewati rute yang lain saja karena rute yang ini melewati akses jalan kampung), nanti setelah mentok pertigaan kita tinggal belok ke kanan sedikit kemudian langsung ambil kearah kiri menuju medan jalan yang menanjak dengan kondisi aspal yang masih baru, tenang saja derajat tanjakannya tidak terlalu curam kok, jaraknya ke lokasi pun juga sudah dekat, hanya tinggal sekitar 150 meter saja, yuk semangat yuk gowes nanjaknya.

Akhirnya sampai juga 🙂




Disekitar lokasi Bukit Watu Gagak ini sekarang sedang dibangun beberapa fasilitas penunjang seperti pembuatan area parkir kendaraan pengunjung, akses tangga masuk menuju ke puncak bukit (sayangnya belum ada jalur ramp disamping undakan tangga untuk mempermudah akses bagi pengunjung yang membawa kursi roda atau stroller), beberapa gubuk, warung, dan gazebo yang sebelumnya sudah ada namun terbengkalai pun saat ini mulai kembali diperbaiki, penambahan beberapa fasilitas seperti panggung dan toilet umum pun juga sudah mulai dikerjakan.






Saat saya baru tiba tampak beberapa kawan pesepeda lokal sudah berada di lokasi ini, beberapa ada yang sudah selesai dan hendak melanjutkan perjalanan dan sebagian lagi baru saja berdatangan, berdasarkan pengalaman saya selama ini polanya hampir selalu sama, beberapa spot wisata yang baru bermunculan dan memiliki potensi untuk viral pasti selalu dan ramai dikunjungi oleh para pesepeda lokal, berkat foto-foto yang kerap diupload ke sosial media mereka masing-masing maka tidak butuh waktu lama setelah itu biasanya tempat tersebut akan mulai ramai dikunjungi oleh para wisatawan umum lainnya selain pesepeda.




Selain berfoto dengan latar pemandangan ternyata sepeda milik saya juga memiliki daya tarik sebagai obyek fotografi bagi para goweser lainnya 😅






Nantinya setelah tempat tersebut resmi dibuka menjadi sebuah destinasi wisata untuk umum maka kedepannya kita hanya tinggal melihat apakah tempat tersebut mampu bertahan ataukah hanya viral untuk sesaat namun kemudian kembali sepi dan meredup, tentunya semua itu tidak terlepas dari banyak faktor termasuk upaya pengelola tempat tersebut untuk berusaha bagaimana membuat spot wisata mereka dapat terus bertahan, misalnya dengan membuat inovasi-inovasi baru seperti rutin menyelenggarakan acara, menjalin hubungan dengan komunitas-komunitas lokal, serta mengoptimalkan penggunaan internet dan sosial media sebagai media promosi.



Bukit Watu Gagak sendiri sebenarnya berada di dua wilayah dusun, yaitu Dusun Singosaren dan Dusun Sindet, serta berada di wilayah pegunungan seribu sebagai bagian dari Gunung Purba Sudimoro ribuan tahun yang lalu di wilayah Imogiri, lahan disini dan sekitarnya juga masih merupakan Sultan Ground. Sebetulnya sejak dulu tempat yang awalnya bernama Gunung Buthak ini kerap digunakan oleh warga sekitar untuk sekedar bersantai dan beristirahat sehabis mencari rumput untuk ternak mereka, pengubahan dan penamaan menjadi Watu Gagak sendiri pun tidaklah serta-merta tercetus melainkan dikarenakan latar historisnya dimana pada jaman dahulu warga sering melihat banyak burung gagak yang beterbangan dan hinggap pada salah satu batu yang ada dilokasi ini.


Saat ini seiring dengan program pemberdayaan potensi sumberdaya alam dan manusia yang dilakukan oleh Pemerintah dalam upaya untuk meningkatkan kesejahteraan warga maka tempat ini pun akhirnya mulai dikembangkan menjadi salah satu tujuan wisata alam perbukitan dimana dari atas puncak Bukit Watu Gagak ini pengunjung bisa menikmati keindahan panorama sekitar, semilir angin yang sejuk, dan view Gunung Merapi di kejauhan yang bisa dilihat jika cuaca sedang cerah, selain itu bagi para pemburu foto dan suasana matahari terbenam maka tempat ini juga sangat pas sekali untuk dikunjungi. Tempat ini juga relatif aman bagi pengunjung yang ingin mencoba mengenalkan wisata alam kepada buah hatinya ataupun hanya sekedar piknik bersama orang-orang terdekat walaupun untuk saat ini kalian harus membawa bekal sendiri karena belum ada warung kuliner di lokasi ini (masih dalam pengerjaan).


Yang pasti tetap ingat untuk selalu menjaga kebersihan dari setiap lokasi wisata yang kalian kunjungi ya, jangan membuang sampah sembarangan. Sampai jumpa lagi di petualangan Gowes Wisata berikutnya 🙂



Ps : terimakasih untuk Ka Avie dan Ka Ranti (duo pink) yang sudah menjadi model dadakan di cerita catatan perjalanan gowes wisata kali ini.

Monday, 28 November 2022

WISATA WATU KAPAL

Minggu, 27 November 2022.

Akhirnya cuaca lumayan cerah juga di Hari Minggu pagi ini, artinya sekarang waktunya untuk ber-goweswisata hehe…😁 enaknya kemana ya hari ini?

Baiklah karena sepanjang Bulan November ini cuaca di Jogja selalu hujan (biasanya siang atau sore hari) maka lebih baik kali ini kita mencari tujuan dan rute yang tidak terlalu jauh dari basecamp goweswisata.

Berdasarkan hasil googling dan menyisir lokasi mana saja yang belum pernah saya tulis ceritanya sepertinya kali ini tujuan goweswisata kita yang cocok adalah menuju ke spot Wisata Watu Kapal yang berada di Karangwetan, Tegaltirto, Kecamatan Berbah, DI Yogyakarta (googlemaps “wisata watu kapal”). Sebenarnya spot ini sudah pernah saya kunjungi tetapi walau begitu ternyata saya belum pernah mengulas tentang tempat ini, jadi inilah moment yang tepat untuk kembali berkunjung sekaligus mengulas update terbaru suasana disekitar tempat ini.




Spot Wisata Watu Kapal sebenarnya adalah sebuah spot lokasi di Dusun Klenggotan yang berada dipinggir aliran Sungai Opak, keunikan dari tempat ini adalah bentuk dan formasi batuan yang ada disepanjang aliran sungai tersebut, konsepnya hampir sama dengan obyek wisata Lava Bantal yang berada tak begitu jauh dari tempat ini dan kebetulan memanfaatkan aliran Sungai yang sama juga (berhulu langsung dari Gunung Merapi dan bermuara di Pantai Selatan).





Kenapa dinamakan Watu Kapal (Watu=Batu), karena tepat ditengah aliran sungai ini terdapat sebuah batuan cukup besar yang sekilas bentuknya menyerupai sebuah kapal dengan bagian atas permukaan batu yang cukup datar, spot ini biasanya paling sering dijadikan latar untuk berswafoto para pengunjung.




Biasanya selain berswafoto dengan latar formasi batuan yang menarik, para pengunjung juga sering menggunakan aliran sungai ini untuk berenang dan kegiatan river tubing atau susur sungai menggunakan ban pelampung, namun jika kalian enggan untuk berbasah-basahan tidak perlu kuatir karena kalian tetap bisa menikmati suasana asri disekitar tempat ini bersama orang terdekat atau bahkan sendirian sembari menikmati aneka jajanan tradisional dan kuliner yang dijual di warung-warung didalam area ini. Fasilitas yang ada disini juga terbilang cukup memadai, mulai dari area parkir kendaraan yang cukup luas, toilet umum, Mushalla yang sedang dalam proses pembangunan, panggung, bangku-bangku taman, warung-warung kuliner, jungkat-jungkit, dan tentu saja spot berswafoto.



Akses menuju ke tempat ini juga terbilang cukup mudah dijangkau oleh kendaraan, jika kalian menggunakan kendaraan pribadi bermotor roda 4 maka kalian bisa melalui Jalan Jogja-Wonosari kearah Kids Fun, setibanya di perempatan Kids Fun kalian masih terus saja ke Timur sampai melewati Pasar Wage lalu belok ke kiri (Utara). Namun jika kalian menggunakan kendaraan roda dua maka ada alternatif jalan lainnya yaitu melewati Blok O Berbah, menggunakan rute yang sama jika kalian menuju ke Lava Bantal, hanya saja setelah kalian melewati SPBU dan Pabrik Sampoerna maka tepat diperempatan kalian tinggal belok ke kanan (Selatan) menuju kearah Wisata Alam Bumi Wangi Karangwetan dan Jembatan Gantung Kalijogo, nanti setelah menyeberangi Jembatan Gantung Kalijogo kalian tinggal belok ke kanan, ikuti jalan saja dan sampailah di spot Wisata Watu Kapal.


Wisata Watu Kapal sendiri pernah mencapai masa hitsnya sekitar Tahun 2020, ketika itu spot ini cukup viral dan ramai dikunjungi oleh berbagai komunitas pesepeda lokal setiap weekend, sejak mulai populer itulah warga sekitar lokasi ini pun akhirnya mulai menata dan menjadikan spot ini sebagai wisata alam baru dengan membuat fasilitas-fasilitas pendukung. Tak hanya itu saja, berkat kepopulerannya lokasi wisata watu kapal juga pernah dijadikan sebagai lokasi syuting film KKN Desa Penari yang menjadi film box office dan memecahkan rekor sebagai film horror lokal dengan jumlah penonton terbanyak (prestasi ini cukup fenomenal bagi film lokal terlebih dengan pemutarannya yang masih dimasa pandemi).


Sayangnya seiring dengan semakin banyaknya spot-spot wisata baru yang bermunculan, jumlah pengunjung wisata Watu Kapal ini saat ini tidaklah sebanyak seperti masa awal kepopulerannya, persaingan industri pariwisata yang cukup ketat di Jogja (baik itu yang dikelola oleh swasta pemodal besar, pemerintah, maupun swadaya oleh masyarakat sekitar) membuat beberapa obyek wisata harus berbagi capaian jumlah pengunjung, disatu sisi tentu saja hal ini cukup disayangkan bagi perekonomian warga sekitar lokasi yang berharap banyak dari adanya pembangunan spot wisata di desa mereka, tetapi disisi lain hal ini juga cukup menyenangkan bagi beberapa wisatawan yang tertarik berkunjung untuk menikmati ketenangan dan keasrian tempat ini tanpa terganggu dengan keriuhan atau padatnya jumlah pengunjung lainnya, selain juga baik untuk alam sekitarnya yang kembali asri dan terjaga tanpa tercemar oleh sampah sisa pengunjung “tidak teredukasi” yang membuang sampahnya secara sembarangan atau melakukan vandalism.


Usai dari “meninjau” kondisi terbaru Wisata Watu Kapal saya pun kembali melanjutkan perjalanan menuju kearah Jembatan Gantung Kalijogo, melihat kemegahan Jembatan Gantung Kalijogo saat ini pikiran saya pun kembali teringat dengan masa ketika awal saya membantu warga sekitar membuat penitikan lokasi wisata alam bumi wangi karangwetan di googlemaps (post tentang Wisata Bumi Wangi Karangwetan bisa dibaca di postingan saya terdahulu), saat itu yang ada hanya sisa gerbang Jembatan Gantung lama yang putus akibat banjir besar yang melanda Jogja kala itu, kemudian setelah itu oleh warga sekitar dibuatlah jembatan sesek atau jembatan kecil dari bambu bersifat sementara yang setidaknya bisa digunakan untuk menyeberang, hingga akhirnya sekarang jembatan bambu tersebut sudah tidak ada dan berganti menjadi Jembatan Gantung Kalijogo yang bisa kita lihat saat ini.




Akses jalan menuju ke Watu Amben dan lokasi ke 3 Goa pun saat ini sudah tertutup oleh rimbunnya semak.




Mumpung cuaca masih cerah dan waktu juga terbilang masih pagi maka dari Karangwetan saya pun mencoba mengayuh pedal ini menuju kearah Goa Jepang Sentonorejo yang lokasinya berdekatan dengan Goa Sentono dan Candi Abang. Hari ini kebetulan sedang diadakan kerja bakti oleh warga sekitar disepanjang akses jalan menuju ke Goa Jepang. Setibanya di pintu masuk Goa Jepang suasana dan kondisi disini masih sama seperti dahulu, tetap sepi mungkin karena masih pagi (saya datang sekitar jam 8) atau mungkin juga karena wisata sejarah dirasa kurang menarik minat wisatawan atau kalah bersaing dengan spot wisata alam dan spot wisata buatan yang memiliki fasilitas spot swafoto instagram-able, tetapi setidaknya cukup senang juga melihat suasana disini tetap bersih dan terjaga. Baiklah kini saatnya kembali pulang dan membuat tulisan catatan perjalanan hari ini.





By the way kenapa saya tidak mampir sekalian ke Candi Abang, Goa Sentono, dan Lava Bantal sekalian? Jawabannya karena akses jalan menanjak menuju ke Candi Abang cukup licin dan basah akibat hujan di malam sebelumnya, mau gowes ada resiko terpeleset, mau menuntun juga sama saja, medannya licin dan rasanya cukup repot menuntun sepeda yang berat melewati jalanan berlumut, jadi mungkin lain kali saja saya mengupdate suasana terbaru dari lokasi-lokasi tersebut, untuk hari ini setidaknya saya sudah punya cerita untuk dibagi kepada kalian semua.


Sampai jumpa lagi di petualangan goweswisata berikutnya ya 🙂