Thursday, 26 December 2013

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ; Pelindung dan Penjaga Identitas Budaya Jawa ditengah gerusan zaman


Akhirnya setelah +/- dua tahun saya menetap di Yogyakarta, baru kali ini saya berkunjung ke Keraton Yogyakarta yang menjadi salah satu daya tarik pariwisata, pusat budaya Jawa (khususnya Yogyakarta), dan menjadi kebanggaan seluruh warga Yogyakarta. Keraton Yogyakarta seakan selalu menjadi magnet yang mampu menyedot perhatian para pelancong yang datang berkunjung ke Yogyakarta, baik dari nusantara maupun mancanegara.

Selain sebagai istana (tempat tinggal) Sri Sultan Hamengku Buwono dan keluarganya serta para prajurit hingga Abdi nDalem, saya sangat penasaran dengan apa yang menjadi daya tarik dan keunikan dari Keraton Yogyakarta ini hingga membuat Badan PBB melalui Unesco pada tahun 1995 mencalonkan Kompleks Keraton Yogyakarta ini menjadi salah satu Situs Warisan Dunia

Tentu saja untuk membuat tulisan ini lebih obyektif maka saya harus datang berkunjung dan melihat secara langsung, sehingga saya bisa menggali, memahami, dan mengenal lebih jauh lagi seluk beluk Kompleks Keraton Yogyakarta dan keistimewaan apa yang ada didalamnya

Dikarenakan Bangunan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ini merupakan pusat atau sumber informasi awal dari semua sejarah Kota Yogyakarta, dan sepertinya terlalu panjang jika dibuat menjadi hanya satu post, maka untuk memudahkan pembaca memahami Kompleks Keraton ini saya akan membaginya menjadi tiga bagian, dimana pada bagian pertama, yaitu tulisan ini akan membahas tentang sejarah Keraton, Kesultanan, dan filosofi yang terkandung didalamnya, sedangkan dua bagian lain, saya bagi berdasarkan jumlah dan apa yang dapat dilihat jika pengunjung masuk melalui lokasi loket masuk masing-masing saat memasuki tiap bagian dari Kompleks Keraton ini. Jika dibuat menjadi chapter maka akan terlihat seperti ini:

- Post 1 : Sejarah Keraton, Kesultanan, dan filosofi setiap tata ruang yang terkandung ddalamnya
- Post 2 : Tepas Kaprajuritan
- Post 3 : Tepas Pariwisata

Baiklah berikut ini silahkan disimak chapter pada post 1 :)

Sejarah berdirinya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Secara umum, sejarah berdirinya Keraton Yogyakarta memiliki dua versi yang agak sedikit berbeda.

Versi Pertama

Keraton Yogyakarta pada awalnya merupakan sebuah Pesanggrahan yang bernama Pesanggrahan Garjitawati, yang diyakini merupakan sebuah pesanggrahan kuno yang digunakan sebagai tempat beristirahat sejenak rombongan iring-iringan pembawa jenazah raja-raja kesultanan Mataram dari Surakarta dan Kartasura yang telah meninggal sebelum kemudian akan dimakamkan di kompleks makam raja-raja Imogiri yang terletak di sebelah selatan Yogyakarta

Versi Kedua

Sedangkan berdasarkan versi yang kedua, Keraton Yogyakarta yang ada sekarang ini pada awalnya adalah sebuah mata air bernama Umbul Pacethokan yang berada tepat ditengah hutan beringin.

Setelah terjadinya Perjanjian Giyanti pada tahun 1755, Sultan Hamengku Buwono I yang sebelumnya mendiami Pesanggrahan Ambar Ketawang (sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman) kemudian mendirikan sebuah keraton sebagai pusat pemerintahan di Umbul Pacethokan ini

Berawal Dari Kerajaan Mataram

Setelah keberhasilan Ki Ageng Pamanahan mengalahkan Aryo Penangsang yang kala itu merupakan musuh dari Kesultanan Pajang, maka pada tahun 1558 Masehi, Sultan Pajang kemudian menghadiahkan Ki Ageng Pamanahan berupa tanah kekuasaan di Mataram

Pada tahun 1577, Ki Ageng Pamanahan pun membangun sebuah keraton atau istana di daerah yang bernama Kota Gede hingga akhirnya beliau wafat pada tahun 1584 sebagai pengikut setia Sultan Pajang, dan dimakamkan disebelah Masjid Kota Gede

Setelah wafatnya Ki Ageng Pamanahan maka terjadilah kekosongan kekuasaan di Mataram, sehingga diangkatlah putera dari Ki Ageng Pamanahan yaitu Sutawijaya untuk mengisi kekosongan kekuasaan tersebut sebagai penguasa Mataram

Diluar dugaan ternyata pengangkatan Sutawijaya sebagai Raja Mataram merupakan sebuah keputusan yang keliru dan fatal bagi Sultan Pajang karena Sutawijaya tidak mau tunduk pada Kesultanan Pajang, lain halnya dengan ayahnya dahulu yang setia dengan Sultan Pajang. Sutawijaya malah berniat menghancurkan dan menguasai Kesultanan Pajang untuk memperluas wilayah kekuasaannya

Hal ini akhirnya membuat Kesultanan pajang pada tahun 1587 mengerahkan seluruh pasukannya untuk menyerang Mataram. Namun tak disangka terjadilah letusan Gunung Merapi yang cukup dahsyat pada waktu itu hingga berimbas pada porak-porandanya seluruh pasukan Kesultanan Pajang.

Satu tahun kemudian di tahun 1588, Mataram pun akhirnya menjadi sebuah kerajaan dengan Sutawijaya sebagai Raja Mataram yang bergelar Panembahan Senopati atau Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama yang memiliki arti Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama. Sejak saat itulah Kerajaan Mataram mulai berkembang hingga menjadi kerajaan yang besar dan menjadi penguasa besar Pulau Jawa

Wafatnya Panembahan Senopati pada tahun 1601 kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama Mas Jolang, yang kemudian dikenal dengan sebutan Panembahan Seda ing Krapyak. Setelah wafatnya pada tahun 1613, Mas Jolang digantikan lagi oleh putranya yaitu Pangeran Arya Martapura, dan dilanjutkan oleh kakaknya yaitu Raden Mas Rangsang yang lebih dikenal sebagai Prabu Pandita Hanyakrakusuma, dan bergelar Sultan Agung Senapati Ingalaga Abdurrahman

Pada masa pemerintahan Raden Mas Rangsang atau Sultan Agung inilah Kerajaan Mataram mencapai puncak kejayaannya dan berkembang dengan sangat pesat diberbagai bidang. Kerajaan Mataram semakin kokoh dan makmur sampai akhirnya Sultan Agung wafat dan digantikan oleh anaknya yaitu Amangkurat I pada tahun 1645

Perjanjian Giyanti

Roda waktu pun terus berputar, masa kejayaan Kerajaan Mataram akhirnya mengalami guncangan juga. Peristiwa demi peristiwa berlatar belakang konflik perebutan kekuasaan dari dalam maupun luar istana akhirnya menghancurkan Kerajaan Mataram, hal tersebut pun dimanfaatkan dengan baik oleh VOC pada masa penjajahan Belanda untuk mulai menguasai nusantara ini

Perebutan kekuasaan di Kerajaan Mataram ini berakhir dengan adanya Perjanjian Giyanti pada bulan Februari tahun 1755. Pada perjanjian Giyanti ini diputuskan untuk membagi kekuasaan Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu wilayah timur yang sekarang menjadi Keraton Surakarta, dan wilayah barat yaitu Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian tersebut juga menetapkan Pangeran Mangkubumi sebagai Sultan di Kasultanan Yogyakarta dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I

Kira-kira satu bulan setelah terjadinya Perjanjian Giyanti tersebut, Sri Sultan Hamengku Buwono I yang pada saat itu tinggal di Pesanggrahan Ambar Ketawang akhirnya mendirikan sebuah keraton di pusat Kota Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta seperti yang dapat kita lihat sekarang ini

Nilai Filosofis Kompleks Keraton Yogyakarta

Dengan Sejarah Keraton Yogyakarta yang begitu panjang, membuat Kompleks Keraton Yogyakarta tidak dibangun dengan begitu saja. Banyak nilai-nilai filosofis yang tertanam di seputar dan sekitar bangunan Kompleks Keraton Yogyakarta ini.

Secara fisik, Kompleks Keraton Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti, yaitu :

- Siti Hinggil Ler (Balairung Utara)
- Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara)
- Sri Manganti
- Kedhaton
- Kamagangan
- Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan)
- Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan)

Selain itu Keraton Yogyakarta juga memiliki berbagai warisan budaya, baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain, Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat yang lengkap dengan para pemangku adatnya, untuk itulah pada tahun 1995 Kompleks Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dicalonkan menjadi salah satu situs warisan dunia UNESCO

masih proses edit

===============================================================================================================================

Tambahan sumber referensi :
- http://id.wikipedia.org/wiki/Keraton_Ngayogyakarta_Hadiningrat
- http://coretanpetualang.wordpress.com/petualangan-budaya/budaya-jawa/keraton-yogyakarta-istana-budaya-dan-keindahan-jawa/
- http://djogjayogyakarta.blogspot.com/2013/04/sejarah-berdirinya-keraton-yogyakarta.html

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ; Tepas Kaprajuritan

Tepas Kaprajuritan

Loket Tepas Kaprajuritan Karaton Ngayogyakarta berada tepat disisi barat dari pintu masuk Pengunjung jika datang dari arah pelataran Alun-alun utara. Jika masuk dari Tepas Keprajuritan maka wisatawan hanya bisa memasuki Bangsal Pagelaran dan Siti Hinggil serta melihat koleksi beberapa kereta kraton, Ruang penyimpanan gamelan, foto-foto dan memorabilia upacara resmi yang diselenggarakan keraton, foto-foto kereta kencana keraton beserta keterangan pembuatan, nama dan fungsi masing-masing kereta kencana saat berlangsungnya upacara keraton, foto-foto diri dari Sri Sultan HB dari generasi kegenerasi, Ruang diorama prosesi upacara perkawinan agung putri, diorama busana-busana yang dikenakan oleh para prajurit dan Abdi nDalem berdasarkan tingkatannya

Harga tiket masuk melalui loket Tepas Kaprajuritan :

- Rp 5.000,- / orang


dan jika kita membawa atau ingin mendokumentasikan perjalanan ini, maka kita dikenakan buiaya tambahan lagi sebesar :

- Ijin foto : Rp 1.000,- / kamera foto
- Ijin video : Rp 2.000,- / kamera video


Setelah kita membeli tiket masuk, dan memasuki Kompleks Pagelaran maka kita langsung dapat melihat bangunan utama yang dinamakan Bangsal Pagelaran (dahulu dikenal dengan nama Tratag Rambat). Pada zamannya Pagelaran merupakan tempat para punggawa Kesultanan menghadap Sultan pada upacara resmi, namun sekarang ini Pagelaran lebih sering digunakan sebagai tempat penyelenggaraan event pariwisata, religi, dan lain-lain, disamping juga masih tetap digunakan sebagai tempat upacara adat keraton


Sepasang Bangsal Pasewakan atau Pengapit terletak tepat disisi luar sayap timur dan barat Pagelaran. Dahulu bangsal ini digunakan oleh para panglima Kesultanan untuk menerima perintah dari Sultan atau menunggu giliran melapor kepada Beliau, selain itu juga digunakan sebagai tempat jaga Bupati Anom Jaba. Saat ini bangsal tersebut hanya difungsikan untuk memajang diorama yang menggambarkan prosesi adat dan berbagai busana yang dikenakan para prajurit serta abdi nDalem sesuai tingkatannya

Bangsal Pasewakan disisi timur berisi diorama yang menjelaskan contoh busana yang dikenakan para prajurit serta abdi nDalem Keraton berdasarkan tingkatannya



Sedangkan Bangsal Pasewakan yang berada disisi barat berisi diorama yang menggambarkan prosesi adat upacara perkawinan agung putri



Didalam sayap timur bagian selatan dari Tratag Pagelaran terdapat Bangsal Pengrawit yang dahulu digunakan oleh Sultan untuk melantik Pepatih nDalem

Sedangkan disisi selatan dari kompleks ini dihiasi dengan relief yang menggambarkan perjuangan Pangeran Mangkubumi (sultan Hamengku Buwono I)


Beranjak dari Kompleks Pagelaran, saya kemudian menuju Kompleks Siti Hinggil Ler yang letaknya berada disisi selatan Kompleks Pagelaran. Kompleks Siti Hinggil secara tradisi digunakan sebagai tempat menyelenggarakan upacara-upacara resmi kerajaan. Kompleks ini dibuat lebih tinggi dari tanah disekitarnya, dengan dua jenjang (tangga) untuk naik berada disisi utara dan selatannya


Dibagian kanan dan kiri pada ujung bawah tangga yang berada disisi utara Siti Hinggil terdapat dua Bangsal Pacikeran (Pacikeran sendiri berasal dari kata ciker yang berarti tangan yang putus) yang digunakan oleh Abdi nDalem Mertolulut dan Singonegoro sampai sekitar tahun 1926 (saat ini Bangsal Pacikeran diisi oleh patung figur abdi ndalem yang sedang berjaga dengan posisi duduk bersila)


Bangunan Tarub Agung terletak tepat diujung atas jenjang (tangga) utara. Bangunan ini berbentuk kanopi persegi dengan empat tiang, dahulu digunakan sebagai tempat transit para pembesar saat menunggu rombongannya masuk ke bagian dalam istana


Di sisi timur laut dan barat laut dari Tarub Agung terdapat Bangsal Kori. Dahulu ditempat ini para abdi dalem Kori dan abdi dalem Jaksa bertugas menyampaikan permohonan maupun pengaduan dari rakyat kepada Sultan

Ditengah-tengah kompleks Siti Hinggil terdapat sebuah hall besar terbuka atau disebut Tratag Siti Hinggil yang didalamnya terdapat Bangsal Manguntur Tangkil. Berada ditengah-tengah tratag Siti Hinggil, bangunan ini adalah tempat Sultan duduk diatas singgasananya pada saat berlangsungnya acara-acara resmi kerajaan seperti pelantikan Sultan dan Pisowanan Agung




Di Bangsal ini pula pada 17 Desember 1949, Ir. Soekarno dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia Serikat.

Bangsal Witono berada diselatan Manguntur Tangkil. Lantai utama bangsal yang lebih besar dari Manguntur Tangkil ini dibuat lebih tinggi. Bangunan ini digunakan untuk meletakkan lambang-lambang kerajaan atau pusaka kerajaan saat berlangsung acara resmi kerajaan

Sebelah timur dari Tratag Siti Hinggil terdapat Bale Bang yang dahulu digunakan untuk menyimpan perangkat Gamelan Sekati, Guntur Madu, dan Naga Wilaga. Namun saat ini Bale Bang berisi foto-foto Kereta Kencana keraton lengkap dengan keterangan pembuatan serta fungsinya masing-masing saat digunakan untuk acara resmi keraton. Selain itu pada bale bang ini juga berisi foto-foto dari acara resmi keraton yang pernah diadakan




Foto penyematan Lintang Pusaka, tanda pewaris Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat


Foto perayaan acara keraton menggunakan Gamelan Sekati



Sedangkan disebelah barat dari Tratag Siti Hinggil terdapat Bale Angun-angun yang dahulu merupakan tempat menyimpan tombak, dan pusaka kerajaan lainnya, namun kini berisi gamelan, diorama latihan perang dan upacara gunungan, serta foto lukisan diri Sultan Hamengku Buwono dari masa kemasa


Bagi para pembaca yang ingin mengetahui seperti apa sosok atau figur Sultan Hamengku Buwono dari masa kemasa serta keterangannya silahkan klik untuk memperbesar…:)

Sri Sultan Hamengku Buwono IV



Sri Sultan Hamengku Buwono V



Sri Sultan Hamengku Buwono VI



Sri Sultan Hamengku Buwono VII



Sri Sultan Hamengku Buwono VIII



Sri Sultan Hamengku Buwono IX



Sri Sultan Hamengku Buwono X



Lanjut ke Kompleks berikutnya yaitu Kompleks Kamandhungan Lor yang berada disisi selatan dari Siti Hinggil Ler, setelah menuruni tangga terdapat lorong yang membujur kearah timur-barat. Dinding selatan lorong disebut dinding Cepuri, sedangkan gerbang besar yang berada diselatan disebut Regol Brojonolo yang menghubungkan Siti Hinggil Ler dengan Kamandhungan



Disebelah timur dan barat sisi selatan gerbang terdapat pos penjagaan. Gerbang ini hanya dibuka pada saat acara resmi kerajaan, sedangkan pada hari-hari lain selalu dalam keadaan tertutup

Untuk masuk ke Kompleks Kamandhungan sekaligus kompleks dalam keraton sehari-hari dapat melalui pintu Gapura Keben disisi timur dan barat kompleks ini yang masing-masing menjadi pintu menuju Jalan Kemitbumen dan Rotowijayan

Kompleks Kamandhungan Ler sering disebut Keben, karena di halamannya ditanami pohon keben. Ditengah-tengah halaman pada kompleks ini terdapat bangunan utama yang disebut Bangsal Ponconiti. Dahulu (kira-kira sampai tahun 1812) bangsal ini digunakan sebagai tempat untuk mengadili perkara dengan ancaman hukuman mati, dimana Sultan sendiri yang memimpin pengadilan. Versi lain mengatakan tempat ini juga digunakan untuk mengadili semua perkara yang berhubungan dengan keluarga kerajaan

Kini bangsal ini hanya digunakan saat prosesi acara adat seperti Garebeg dan Sekaten. Disisi selatan dari Bangsal Ponconiti terdapat kanopi besar yang disebut Bale Antiwahana, berfungsi sebagai tempat menurunkan para tamu dari kendaraan mereka

Selain kedua bangunan tersebut terdapat beberapa bangunan lainnya di tempat ini, namun dikarenakan gerbang Kompleks Kamandhungan memang tertutup untuk umum, maka saya tidak bisa menjelaskan secara lebih rinci lagi dan juga tidak dapat melengkapinya dengan foto :)

Itulah bagian bangunan kompleks keraton yang dapat dilihat dan dijelajahi jika kita masuk melalui loket Tepas Kaprajuritan, selanjutnya jika ingin meneruskan menjelajahi bagian lain dari keraton maka kita dapat meneruskannya melalui loket yang kedua yaitu Loket Tepas Pariwisata (akan dibahas pada post berikutnya)

Selamat melanjutkan membaca...:)

Tuesday, 24 December 2013

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ; Tepas Pariwisata

Tepas Pariwisata

Loket Tepas Pariwisata berada di Jalan Rotowijayan, tepatnya ada di selatan Kompleks Kamandhungan. Lokasinya tidak jauh dari Tepas Kaprajuritan, ada disebelah selatannya. Dengan jarak yang cukup dekat ini pengunjung cukup berjalan kaki saja menuju lokasi loket Tepas Pariwisata jika sebelumnya datang atau sudah mengunjungi Tepas Kaparajuritan.


Jika masuk melalui Loket Tepas Pariwisata, Pengunjung bisa memasuki Kompleks Sri Manganti dan Kedhaton, dimana terdapat Bangsal Kencono yang menjadi Balairung utama kerajaan. Selain itu kita bisa melihat pertunjukan seni budaya seperti wayang kulit, wayang orang, wayang golek, tarian tradisional Jawa, dan lain-lain yang digelar setiap harinya pada pukul 10.00 - 12.00, pengunjung juga bisa melihat beberapa koleksi gamelan kesultanan yang kerap dimainkan saat berlangsung upacara keraton, beberapa meriam peninggalan VOC, ruangan-ruangan dalam keraton,koleksi foto dan jenis motif batik yang kerap digunakan oleh penghuni keraton, para prajurit, serta Abdi nDalem, Museum Batik Keraton (diruangan ini pengunjung dilarang memotret), Ruang penyimpanan souvenir-souvenir hadiah dari negara lain, peralatan makan kesultanan, ruang berisi foto-foto dan lukisan diri Sri Sultan Hamengku Buwono dari masa ke masa, serta Museum Keraton yang berisi koleksi memorabilia dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Harga tiket masuk pun dipisahkan menjadi 2 kategori, yaitu :

- Untuk wisatawan nusantara : Rp 5.000,- / orang
- Untuk wisatawan mancanegara : Rp 12.500,- / orang

Sedangkan untuk ijin dokumentasi kamera foto maupun video, harga yang berlaku sama seperti yang ada di Tepas Kaprajuritan, yaitu :

- Ijin foto : Rp 1.000,- / kamera
- Ijin Video : Rp 2.000,- / kamera

Setelah membeli tiket masuk dan mulai memasuki gerbang keraton yaitu kompleks Sri Manganti, kita lagsung dapat melihat 2 buah bangunan bangsal yang berada disisi barat dan timur kompleks.

Bangsal yang berada disisi barat


Pada sisi barat ini yang dinamakan Bangsal Sri Manganti, pada zamannya digunakan sebagai tempat untuk menerima tamu-tamu penting kerajaan. Sekarang di lokasi ini ditempatkan beberapa pusaka keraton yang berupa alat musik gamelan. Selain itu juga difungsikan untuk penyelenggaraan even pariwisata keraton.

Saat ini Bangsal tersebut digunakan untuk menampilkan pertunjukan seni budaya setiap harinya dengan acara yang berbeda-beda seperti pertunjukan tari tradisional Jawa, Wayang orang, Wayang kulit, Wayang golek (seperti yang saya saksikan saat berkunjung), dan lain-lain. Pertunjukan ini dimulai pada pukul 10.00 - 12.00 dan dapat disaksikan oleh pengunjung.




Sedangkan disisi Timur kompleks terdapat Bangsal Traju Mas. Dahulu Bangsal ini menjadi tempat para pejabat kerajaan saat mendampingi Sultan ketika menyambut tamu. Versi lain mengatakan kemungkinan tempat ini menjadi balai pengadilan.


Tempat ini digunakan untuk menempatkan beberapa pusaka dan koleksi gamelan yang kerap dimainkan saat berlangsung upacara keraton, selain itu juga ada tandu dan meja hias. Bangsal ini pernah runtuh pada 27 Mei 2006 akibat gempa bumi yang mengguncang DIY dan Jawa Tengah. Setelah proses restorasi yang memakan waktu yang lama akhirnya pada awal tahun 2010 bangunan ini telah berdiri lagi di tempatnya.


Beberapa koleksi gamelan yang dipajang antara lain :

- Gamelan Kyahi Nagawilaga
- Gamelan Kyahi Guntur Madu
- Gamelan Kyahi Guntur Laut
- Gamelan Kyahi Kebo Ganggang
- Kanjeng Kyai Tandu Lawak

Di sebelah timur dari Bangsal ini terdapat dua pucuk meriam buatan Sultan HB II yang mengapit sebuah prasasti berbahasa dan berhuruf Cina.




Di sebelah timurnya berdiri Gedhong Parentah Hageng Karaton, yaitu gedung Administrasi Tinggi Istana. Selain itu di halaman ini terdapat bangsal Pecaosan Jaksa, bangsal Pecaosan Prajurit, bangsal Pecaosan Dhalang dan bangunan lainnya.

Di sisi selatan dari kompleks Sri Manganti berdiri Regol Donopratopo yang menghubungkan dengan kompleks Kedhaton.

Pintu Gerbang Donopratopo


Di depan gerbang terdapat sepasang arca raksasa Dwarapala yang dinamakan Cinkorobolo disebelah timur dan Bolobuto di sebelah barat.


Di sisi timur terdapat pos penjagaan, diisi oleh patung sosok Abdi nDalem yang sedang duduk bersila. Pada dinding penyekat sebelah selatan tergantung lambang kerajaan, Praja Cihna.


Kedhaton

Kompleks kedhaton merupakan inti dari Keraton seluruhnya. Halamannya kebanyakan dirindangi oleh pohon Sawo kecik. Secara umum tiap kompleks utama terdiri dari halaman yang ditutupi dengan pasir dari pantai selatan.

Di bagian Pelataran Kedhaton, Bangsal Kencono yang menghadap ke timur merupakan balairung utama istana. Di tempat ini dilaksanakan berbagai upacara untuk keluarga kerajaan di samping untuk upacara kenegaraan. Di keempat sisi bangunan ini terdapat Tratag Bangsal Kencana yang dahulu digunakan untuk latihan menari. Di sebelah barat bangsal Kencana terdapat nDalem Ageng Proboyakso yang menghadap ke selatan. Bangunan yang berdinding kayu ini merupakan pusat dari Istana secara keseluruhan. Di dalamnya disemayamkan Pusaka Kerajaan, Tahta Sultan, dan Lambang-lambang Kerajaan lainnya.


Di selatan bangsal Kencana berdiri Bangsal Manis menghadap ke arah timur. Bangunan ini dipergunakan sebagai tempat perjamuan resmi kerajaan. Sekarang tempat ini digunakan untuk membersihkan pusaka kerajaan pada bulan Suro. Bangunan lain di bagian ini adalah Bangsal Kotak, Bangsal Mandalasana, Gedhong Patehan, Gedhong Danartapura, Gedhong Siliran, Gedhong Sarangbaya, Gedhong Gangsa, dan lain sebagainya. Di tempat ini pula sekarang berdiri bangunan baru, Gedhong Kaca sebagai museum Sultan HB IX.





Kompleks ini setidaknya dapat dibagi menjadi tiga bagian halaman. Bagian pertama adalah Pelataran Kedhaton dan merupakan bagian Sultan. Bagian selanjutnya adalah Keputren yang merupakan bagian istri (para istri) dan para puteri Sultan. Bagian terakhir adalah Kesatriyan, merupakan bagian putra-putra Sultan. Di kompleks ini tidak semua bangunan maupun bagiannya terbuka untuk umum, terutama dari bangsal Kencono ke arah barat.


Di sebelah utara nDalem Ageng Proboyakso berdiri Gedhong Jene, sebuah bangunan tempat tinggal resmi Sultan yang bertahta. Bangunan yang didominasi warna kuning pada pintu dan tiangnya dipergunakan sampai Sultan HB IX. Oleh Sultan HB X tempat yang menghadap arah timur ini dijadikan sebagai kantor pribadi. Sedangkan Sultan sendiri bertempat tinggal di Keraton Kilen. Di sebelah timur laut Gedhong Jene berdiri satu-satunya bangunan bertingkat di dalam keraton, Gedhong Purworetno. Bangunan ini didirikan oleh Sultan HB V dan menjadi kantor resmi Sultan. Gedung ini menghadap ke arah bangsal Kencana di sebelah selatannya.

Gazebo yang dahulu digunakan untuk pertunjukan musik saat berlangsung acara keraton


Disinipun ada papan peringatan yang menarik perhatian saya, yaitu pada kata "Caos" karena saya tidak mengerti artinya...:)


Dari salah seorang Abdi nDalem yang saya temui akhirnya dijelaskan bahwa "caos" berarti piket atau bertugas menjaga, dikarenakan pada budaya Jawa yang sangat menjunjung tatakrama, seseorang dianggap tidak sopan jika membelakangi penghuni tempat yang kebetulan sedang kita kunjungi. Selain arti "caos", dari hasil berbincang-bincang dengan Abdi nDalem tersebut akhirnya saya tahu bahwa seorang Abdi nDalem tidak boleh membelakangi bagian keraton (rg.keraton) dimana Sri Sultan dan keluarganya berada. Karena menurutnya hal tersebut mereka lakukan sebagai bentuk penghargaan dari seorang Abdi kepada junjungannya, mereka pun tidak merasa terbebani dengan hal tersebut karena semua itu mereka lakukan dari hati secara ikhlas, bahkan ada kebanggan bagi mereka jika mereka bisa setia melayani junjungannya sampai akhir hayatnya


Pola pikir tersebut mungkin sangat susah untuk dipahami oleh masyarakat umum, terutama bagi mereka yang berasal dari luar Jawa. Bagaimana mungkin ditengah gencarnya paham kapitalisme merangsek Negeri ini masih ada seseorang yang rela secara ikhlas dan tulus melayani orang lain, bahkan jika tolak ukur materi yang menjadi penilaian pun sangatlah tidak mungkin, karena nilai materi yang mereka terima pun tergolong kecil ditengah melambungnya harga berbagai kebutuhan pokok saat ini

Tetapi itulah yang dilakukan oleh para Abdi nDalem yang menjadi bentuk kearifan budaya masyarakat Jawa sejak zaman dahulu. Mereka justru merasa tentram hatinya dengan melayani Sri Sultan dan keluarganya, mereka pun tidak menganggap dirinya layaknya pegawai kantoran atau instansi pada umumnya, melainkan mereka merasa menjadi salah satu bagian penting yang utuh dari sistem Kesultanan Ngayogyakarto ini

Ya, pola pikir banyak bersyukur dan tidak terlalu bernafsu mengejar godaan silau dunia, serta tradisi budaya yang melekat kuat agaknya telah menempa diri mereka menjadi pribadi yang bijak dalam menjalani hidup ini, "pokoknya selama Sri Sultan masih ada, saya sudah merasa tenang dan senang", ucap Abdi nDalem yang lain dengan raut muka tersenyum dan tatapan mata yang mencerminkan ketulusan menjalani hidup. Agaknya hal-hal seperti inilah yang pada akhirnya menjadikan masyarakat Jawa dan budayanya menjadi bagian dari keistimewaan Kota ini sebenarnya...:)

Di bagian Kedhaton ini hanya ada 1 ruangan saja yang bisa kita masuki, yaitu ruang yang berisi peralatan makan keraton,contohnya seperti saringan air berbahan keramik buatan Jerman ini


Setelah berkeliling komples kedhaton saya kemudian masuk melalui sebuah gerbang yang berada disisi timur, tidak jauh dari gazebo tempat pertunjukan musik. Dari sana terbagi menjadi 3 jalan (utara-timur-selatan) yang masing-masing menuju bagian dengan fungsi yang berbeda-beda, saya pun mencoba menuju bagian utara terlebih dahulu

pada bagian ini tepat disisi kiri dan kanan gerbang terdapat sebuah ruang yang berisi koleksi motif batik jawa serta beberapa pakaian yang kerap digunakan oleh keluarga keraton saat digelarnya prosesi upacara keraton



Selain itu juga ada beberapa foto kegiatan tradisi keraton, antara lain seperti upacara Tedhak Siten ini yang merupakan salah 1 upacara dari putra/putri/cucu Sri Sultan sewaktu menjelang menginjak tanah yang pertama kali. Sebagai kelengkapan upacara kurungan (sangkar ayam) didalamnya diberikan berbagai permainan yang mengandung filosofi, misalnya pensil, buku, uang, perhiasan, dan lain-lain


Berbagai tingkatan dan busana yang dikenakan oleh para prajurit keraton


Juga ada kursi peninggalan Sri Sultan HB VIII yang berbahan kayu jati berukir dan berprada, pada waktu itu kerap digunakan untuk menerima tamu di Bangsal Kencana


Dari ruang tersebut, masuk kedalam bagian kompleks utara yaitu Museum Batik Kerajaan. Pada Ruang ini pengunjung dilarang untuk memotret karena dikhawatirkan kilatan lampu blitz kamera lambat laun akan berefek negatif memudarkan motif dari kain batik berusia ratusan tahun yang dipajang. Disini juga terdapat sebuah meriam peninggalan dari VOC



Yang unik dari bagian museum batik adalah adanya sebuah sumur yang kalau kita lihat kebagian dalam sumur dipenuhi oleh koin uang, karena penasaran saya pun bertanya kepada Abdi nDalem yang kebetulan berjaga diruangan tersebut, ia pun menjelaskan bahwa awalnya sumur tersebut berada diluar bangunan, seiring waktu maka bangunan Museum pun diperluas sehingga sumur tersebut akhirnya berada didalam bangunan. Dan karena pada budaya Jawa tabu untuk menutup sumur, dikarenakan menutup sumur diibaratkan artinya sama dengan menutup rejeki maka sumur tetap dibiarkan terbuka (saat ini hanya diberi kawat nyamuk di bibir sumur), dan oleh karena banyak pengunjung dari berbagai daerah, tidak hanya warga Jogja saja, sebagian dari mereka mempunyai kepercayaan bahwa dengan melemparkan koin kedalam sumur akan membuat keinginannya terkabul, pada akhirnya membuat banyak pengunjung lain yang meniru dengan melemparkan koin kedalam sumur, walaupun pihak keraton melarang tapi terkadang ada beberapa yang tetap melakukannya

Setelah selesai dari Museum Batik maka saya pun mencoba ke bagian Timur yang berisi sebuah pendopo tempat gamelan dan ruangan yang berisi foto-foto serta silsilah keluarga dari Sri Sultan HB I sampai dengan Sultan HB VIII, juga terdapat lukisan diri dari para patih Danuredjan serta keluarga Sultan dari masa kemasa

tampak sebuah bedug dan kentongan menghias sisi kanan dan kiri dari gerbang


Diruangan yang berada disisi kiri dan kanan gerbang juga berisi souvenir-souvenir pemberian dari negara lain

Ruang yang berisi foto dan lukisan diri Sultan dan keluarganya serta para patih dari masa kemasa


Sedangkan Bangsal tengah yang berisi peralatan gamelan hanya dimainkan khusus untuk internal keraton biasanya pada saat peringatan Gerebeg Syawal - Gerebeg besar - Gerebeg Sekaten dan upacara tingalan, dimainkan saat malam hari dan tidak terbuka untuk umum, tetapi masyarakat tetap bisa menikmati alunan gamelan ini yang disiarkan secara langsung oleh Radio Yogyakarta

Setelah selesai dari bagian timur, saya pun beranjak ke bagian terakhir, yaitu bagian selatan yang berisi bangunan baru yaitu Museum Hamengku Buwono IX


Persepektif bangunan Museum (sengaja saya edit sedikit supaya terlihat lebih megah...))


Bangunan ini didirikan sebagai penghormatan kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX atas jasa-jasanya selama Beliau hidup, tidak hanya untuk warga Yogyakarta saja melainkan juga atas jasanya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini

Beberapa piagam pengakuan terhadap kontribusi Beliau



Diruangan ini kita dapat melihat memorabilia mengenai Beliau, mulai dari meja kerja, kursi yang digunakan, lukisan diri, foto-foto sewaktu Beliau mengenyam pendidikan di Belanda, benda-benda yang menjadi hobbynya seperti peralatan fotografi, berkuda, buku-buku, pakaian,dan lain-lain

Tetapi jasa Beliau yang pada akhirnya membuat Yogyakarta diakui secara resmi sebagai Daerah yang Istimewa dalam struktur NKRI adalah maklumat dari Presiden RI kepada Beliau yang mengakui keistimewaan Yogyakarta atas perannya dalam perjuangan membangun dan melindungi "seorang bayi kecil" yang bernama Indonesia




Bahkan dalam saat-saat darurat perjuangan bangsa ini lagi-lagi Sri Sultan HB IX berperan penting dan mengutamakan keutuhan, keselamatan, dan kelangsungan Negara ini tanpa kenal menyerah dan dengan berpegang bahwa apapun yang dilakukannya semata-mata tidak lain hanyalah untuk kepentingan rakyatnya, sehingga slogan "Tahta untuk Rakyat" dari Beliau pada akhirnya menjadi identik dengan gaya kepemimpinan Beliau yang memang menerapkannya selama hidup dan kepemimpinannya


Tetapi manusia tidak ada yang abadi, begitupun halnya diri Sri Sultan Hamengku Buwono IX, ia tetap seorang manusia dengan segala kelebihan dan keterbatasannya, yang membuat namanya tetap abadi hingga saat ini hanyalah karena jasa-jasa selama hidupnya yang telah mengedepankan kemaslahatan negara dan warganya jauh diatas kepentingan pribadinya. Ia benar-benar telah menjadi figur tauladan dari seorang pemimpin yang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun hingga sejarahpun mencatat namanya

Orang baik itu pun akhirnya meninggalkan semua yang mencintainya. Sri Sultan Hamengku Buwono IX wafat pada tanggal 3 Oktober 1988, ia dimakamkan di makam raja-raja Imogiri, Bantul, Yogyakarta

foto suasana saat Beliau wafat, dan hendak menuju keperistirahatan terakhirnya, ribuan rakyat Yogyakarta tumpah kejalan untuk sekedar mengucapkan salam perpisahan terakhir kepada pemimpin mereka, junjungan mereka, pemimpin yang selalu mereka cintai dan senantiasa mereka rindukan. Warga Yogyakarta dan Negara Indonesia menangis karena harus melepas salah satu pemimpin dan putra terbaik bangsa ini selama-lamanya


Berkunjung keobyek wisata sejarah seperti ini sejatinya membuat kita mendapat banyak pelajaran berharga yang dapat menginspirasi diri kita untuk menjalani dan mengisi hidup ini dengan cara yang lebih baik serta dapat membuat apa yang kita lakukan sebisa mungkin dapat membawa manfaat kepada orang lain, walau mungkin tidak dengan materi tetapi ada suatu semangat yang dapat membantu orang lain dan juga diri kita sendiri untuk menjadi manusia yang lebih baik, seperti halnya yang telah dicontohkan oleh Sri Sultan HB IX

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya, sayangnya saat ini justru kebanyakan para penerus bangsa ini terkesan melupakan dan lebih bangga kepada budaya barat, karena bagaimanapun bangsa ini dibangun dengan tetesan darah dan keringat para pejuang Negeri ini, bukan oleh para penjilat asing (maaf jika kata-kata terlalu vulgar hehe).

Sejarah tidak sekedar sebagai nostalgia kejayaan masa lalu, tetapi melalui sejarah kita bisa mengetahui alasan kenapa kita harus bangga dan mencintai Negeri ini (bukan sekedar slogan atau perayaan euforia berbalut formalitas semata)

Begitupun halnya dengan traveling, traveling tidak sekedar kita bepergian dari titik A ke titik B kemudian foto-foto saja, melainkan dari traveling tersebut kita bisa mendapat pengalaman dan pengetahuan baru yang menambah wawasan mengenai apa yang menjadi keistimewaan tempat tersebut untuk kemudian berbagi semangat dan pengetahuan tersebut kepada semua

Dan kepada semua pembaca yang hendak bertualang atau berwisata hendaknya mematuhi aturan yang ada dan menjaga keaslian tempat tersebut dengan tidak melanggar dan mengotorinya, karena tanpa hasil perjuangan para pendahulu kita juga bangunan yang menjadi saksi bisu yang kita kunjungi saat ini, mungkin kita bukanlah siapa-siapa saat ini dan tidak akan pernah menjadi Bangsa yang besar seperti yang dicita-citakan oleh pendahulu kita


"Jadilah orang yang baik dan berguna bagi orang lain, Bangsa dan Negaramu, sehingga ketika kamu lahir maka orang akan menyambutmu dengan senyuman, dan ketika kamu tiada, orang akan melepasmu dengan tangisan. Buatlah hidupmu menjadi berarti sehingga kamu mengetahui arti hidupmu dan namamu akan selalu diingat selamanya melebihi usiamu".