Monday, 22 March 2021

MENELUSURI JEJAK KEJAYAAN PABRIK GULA RANDOEGOENTING

 Sabtu, 20 Maret 2021.

Hi sobat Goweswisata, kali ini masih dalam edisi Wisata Sejarah menyusuri jejak kolonial di Yogyakarta yang mulai terlupakan, gimana seru kan rasanya bersepeda tapi sambil belajar? atau belajar sejarah sembari berwisata? yah pokoknya apapun itu namanya yuk kita buat proses belajar ini menjadi suatu kegiatan positif yang mengasyikkan 🙂


Nah kali ini goweswisata akan mengajak kalian mengeksplorasi sebuah lokasi yang dulunya merupakan bekas Pabrik Gula Randoegoenting atau dalam bahasa Belanda disebut Suikerfabriek Randoegoenting. Jadi nih ya sebelumnya kalian harus mengetahui terlebih dahulu bahwa di zaman penjajahan kolonial Belanda itu, Yogyakarta atau disebut juga Vorstenlanden (wilayah kerajaan) terkenal dengan produksi tebu atau gulanya (mungkin hal itu jugalah yang pada akhirnya membuat mayoritas sajian kuliner di Yogyakarta identik dengan rasa manis), walaupun bukan merupakan wilayah dengan jumlah Pabrik Gula terbanyak dimasa itu (terbanyak adalah Jawa Timur), tetapi Yogyakarta adalah wilayah yang memiliki jumlah Pabrik Gula terpadat, jika dibandingkan dengan ukuran luas wilayah Jogja itu sendiri, sehingga tak heran jika dimasa tersebut Yogyakarta disebut juga sebagai Land of Sugar.


Bangunan Pabrik Gula Randoegoenting jaman dahulu


Setidaknya dari catatan literatur sejarah yang saya baca, sekitar Tahun 1800an ada 19 Pabrik Gula yang berada dan tersebar diseluruh pelosok wilayah Yogyakarta, antara lain :

1. PG Medari

2. PG Beran

3. PG Cebongan

4. PG Sewugalur

5. PG Gesikan

6. PG Bantul

7. PG Gondanglipuro

8. PG Barongan

9. PG Padokan

10. PG Demakijo

11. PG Rewulu

12. PG Sedayu

13. PG Klaci

14. PG Sendangpitu

15. PG Kedaton Pleret

16. PG Pundong

17. PG Kalasan

18. PG Randugunting

19. PG Wonocatur

Dari sekian banyak Pabrik Gula yang dulu pernah berjaya, saat ini tidak banyak jejak peninggalannya yang tersisa, hanya beberapa saja yang masih dapat kita jumpai sisa-sisanya, itu pun terkadang sudah tinggal reruntuhan ataupun sudah beralih fungsi bangunan. Beberapa jejak peninggalan Pabrik Gula yang masih cukup signifikan dapat kita jumpai di bekas Pabrik Gula Medari, Pabrik Gula Sewugalur, Pabrik Gula Kalasan, Pabrik Gula Wonocatur, Pabrik Gula Randugunting, dan Pabrik Gula Gondanglipuro


Pabrik Gula yang pertama kali dibangun di Yogyakarta adalah Pabrik Gula Bantul, didirikan oleh Wieseman dan Broese Van Grosneau pada Tahun 1861, kemudian diikuti oleh Stefanus Barends yang mendirikan Pabrik Gula Gondanglipuro pada Tahun 1862 diwilayah Ganjuran, Kabupaten Bantul, lalu George Weijnschenk di Pabrik Gula Padokan pada Tahun 1864, hingga yang terakhir adalah Pabrik Gula Sendangpitu pada Tahun 1922 diwilayah Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman.


Dalam setiap pembangunan lokasi kompleks Pabrik Gula sendiri biasanya akan diiringi dengan pembangunan fasilitas penunjang kegiatan operasionalnya seperti kompleks Rumah Dinas Kepala Pabrik dan Pegawai, pemukiman sederhana untuk buruh, sarana pendidikan, fasilitas pemakaman, jalur rel lori pengangkut Tebu, Klinik atau Rumah Sakit Kesehatan, pos pemantauan jalur distribusi, dan saluran irigasi berupa Dam untuk mengatur pengairan ke lahan-lahan tebu milik warga sekitar, oleh karena itu tak heran jika jaman dulu sebuah kompleks Pabrik Gula berada di lahan yang teramat sangat luas. Sayangnya saat ini banyak dari bangunan-bangunan tersebut yang sudah hilang atau hancur tak tersisa lagi karena kurangnya kesadaran dari masyarakat umum dan dinas terkait untuk melindungi, menjaga dan melestarikan peninggalan yang “harusnya” masuk menjadi cagar budaya, ditambah lagi dengan minimnya budaya literasi dan kurangnya kebiasaan menulis di masyarakat kita yang mengakibatkan sedikitnya catatan arsip dokumentasi.


Untuk mempermudah alur membaca pada postingan kali ini, saya akan membagi urutan setiap lokasi sisa Pabrik Gula Randoegunting yang berhasil saya temukan berdasarkan kemudahan akses pencapaian dan kisah sejarahnya, dimulai dari Bekas Cerobong Pabrik Gula, Kerkhoff atau Makam Belanda, Bangunan eks klinik, dan yang terakhir adalah Dam Pete serta Dam Tempoer. Baiklah mari kita ulas satu persatu


Bekas Cerobong Pabrik Gula Randoegoenting


Lokasi dari bangunan bekas cerobong Pabrik Gula Randoegoenting ini tepatnya berada di Dusun Mbabrik atau Taman Pabrik, DesaTamanmartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, Propinsi DI Yogyakarta. Rute termudahnya dari traffic light Candi Prambanan kalian tinggal terus ke Utara menyusuri Pagar kompleks Candi Prambanan dan Candi Sewu, nanti setelah pertigaan, kalian masih terus ke Utara hingga kemudian jalan mulai berbelok ke kiri atau Barat, terus ikuti jalan nanti kalian akan melewati gerbang perbatasan wilayah Yogyakarta dan Klaten, tidak jauh dari gerbang tersebut disisi kiri kalian dekat aliran sungai kalian akan melihat ada jalan masuk menuju Desa Potrobawan, jika kalian masuk ke Desa Potrobawan sekitar 100 meter kemudian terlihat area pemakaman, nah disitulah terdapat kerkhoff atau Makam Belanda yang nanti akan saya bahas di topik berikutnya. Sekarang lanjut dulu ya menuju bangunan bekas cerobong


Dari gerbang perbatasan tadi kalian terus saja kearah Barat sampai bertemu perempatan, masih terus sedikit sekitar 20 meter nanti di sisi utara atau kanan kalian akan melihat jalan masuk ke Utara, kalian tinggal masuk ke Utara sekitar 200 meter lalu belok ke kanan, nanti tepat dibelakang Masjid kalian bisa melihat bangunan bekas cerobong Pabrik Gula Randoegoenting yang memiliki ketinggian sekitar 10 meter dan ketebalan dinding sekitar 1 meter berdiri tegak dengan gagahnya walau kondisinya terhimpit diantara pemukiman warga sekitar



Untuk bisa masuk kedalam bangunan cerobong tersebut kalian bisa melalui jalan kecil yang berada tepat disamping Masjid, kemudian kalian harus memanjat dinding pondasi cerobong yang tingginya sekitar 2 meter dikarenakan tidak ada tangga untuk naik kedalamnya, dulu sempat ada akses masuk lainnya namun saat ini sudah tidak bisa lagi karena sudah tertutup oleh tembok perumahan warga




Kalian harus memanjat dulu untuk masuk


Akses dari lubang ini sekarang sudah tertutup tembok


Pabrik Gula Randoegoenting didirikan pada Tahun 1870 oleh K.A. Erven Klaring. Awalnya lokasi ini merupakan lahan perkebunan tanaman nila (Indigo) yang merupakan bahan baku pewarna pakaian, tanaman nila sendiri merupakan salah satu tanaman komoditas ekspor pada waktu itu bersama dengan tebu, kopi, dan teh. Seiring waktu dengan ditemukannya pewarna pakaian sintetik di Tahun 1880an menyebabkan tanaman nila menjadi jatuh nilainya akibat kalah bersaing, terlebih saat itu kas Belanda juga sedang mengalami defisit akibat besarnya biaya perang ketika melawan Pangeran Diponegoro (1825-1830), oleh karena itu pihak parlemen Belanda akhirnya mengeluarkan kebijakan (agrarische wek) tentang keterbukaan ekonomi kolonial untuk swasta yang memperbolehkan pihak swasta Eropa untuk berinvestasi di Hindia Belanda, hal ini mendorong para pengusaha Eropa berlomba-lomba menanamkan modalnya di Hindia Belanda dengan mendirikan Pabrik-pabrik khususnya Pabrik Gula dan membuka lahan perkebunan Tebu, karena pada Tahun 1840 industri Gula mencapai 77% dari nilai total ekspor dan menempati urutan pertama dari komoditas unggulan di Hindia Belanda yang diminati oleh orang-orang Eropa, terlebih dengan dilaksanakannya cultuur stelsel oleh Gubernur Van den Bosch saat itu.


Bagian dalam bangunan cerobong






Namun manisnya kejayaan bisnis gula pun pada akhirnya mengalami titik nadirnya ketika terjadi krisis ekonomi global (krisis Malaise) yang menghempas semua Negara di dunia sekitar Tahun 1930-an, tak terkecuali industri gula di Jawa, karena untuk memperbaiki harga gula dipasaran maka angka produksi harus diturunkan, dan itu artinya akan ada banyak Pabrik Gula yang harus ditutup, termasuk Pabrik Gula Randoegoenting yang terpaksa tutup selamanya pada Tahun 1937.




Batu Candi yang ditemukan warga dipersawahan diletakkan dalam cerobong


Didalam perjalanannya, jumlah hutang yang semakin membengkak akibat pinjaman disaat mendirikan dan untuk modal operasional Pabrik Gula Randoegoenting kepada Koloniale Bank ternyata tak bisa dilunasi oleh pemilik pabrik, akhirnya Koloniale Bank pun menyita seluruh aset Pabrik Gula Randoegoenting dan pemilik Koloniale Bank pada saat itu Johanes Frederich Hans Gessner menjadi kepala pengelolaan Pabrik Gula, hal ini sekaligus menjadi pintu pembuka konglomerasi Koloniale Bank di tanah kesultanan.


Pabrik Gula Randoegoenting yang semula adalah bisnis keluarga kemudian dijalankan sebagai badan usaha swasta dengan dibentuknya N.V. Randoegoenting pada Tahun 1895. Total modalnya sebesar 645 ribu gulden dan dua per tiganya dikuasai oleh Koloniale Bank. Pada Tahun 1899 Pabrik Gula Randoegoenting mampu memperluas area ladang tebu berkat suntikan modal yang cukup besar dari Koloniale Bank.


Saat ini sudah tak ada lagi yang tersisa dari kemegahan kompleks bangunan Pabrik Gula Randoegoenting selain bangunan bekas cerobong yang masih tegak berdiri walau keadaannya sudah tidak utuh lagi. Dulu bangunan bekas cerobong ini pun sempat akan dirobohkan oleh warga sekitar karena dikhawatirkan jika terjadi sesuatu akan roboh menimpa rumah warga, namun setelah coba dibongkar dan dihancurkan dengan linggis ternyata tetap tidak bisa dikarenakan kekuatan dan konstrusi dinding bata cerobong yang sangat tebal dan kuat, akhirnya bangunan ini pun tetap dibiarkan berdiri tegak diantara pemukiman warga dengan kondisinya yang semakin terjepit seakan menolak untuk hancur tergerus waktu, dan ingin terus eksis sebagai simbol peninggalan sejarah kejayaan bisnis gula dimasanya. Semoga kedepannya ada perhatian dari dinas terkait untuk memasukkan bangunan ini menjadi cagar budaya




Kerkhoff


Di dusun Potrobawan, sekitar 50 meter dari gerbang masuk dusun terdapat sebuah area pemakaman umum, sekilas semua terlihat biasa dan normal, tidak ada yang istimewa, tetapi jika ditelisik lebih jauh ternyata didalam area pemakaman tersebut terdapat satu buah makam belanda atau sering disebut kerkhoff.



Sayangnya tidak ada petunjuk satupun mengenai identitas dari kerhoff tersebut dikarenakan nisan yang menyertainya sudah hilang, yang pasti makam tersebut merupakan peninggalan zaman kolonial jika dilihat dari bentuk makamnya, hanya ada satu kerhoff saja yang tersisa, kemungkinan dahulu merupakan makam orang Belanda yang bekerja di Pabrik Gula Randoegoenting, mengapa hanya ada satu? Kemana kerkhoff lainnya? Entahlah tidak ada yang tahu pasti mengapa hanya tersisa satu kerkhoff saja di area pemakaman ini, apakah yang lainnya sudah dipindahkan oleh keturunannya ketempat lain atau bisa saja dalam satu kerhoff ini tersimpan beberapa jasad yang disusun secara menumpuk, yang pasti siapapun jasad yang terbaring didalamnya semoga ia menemukan ketenangan di peristirahatan terakhirnya






Bangunan Eks Klinik (Voormalige Randoegoenting Suikerfabriek Kliniek)


Bangunan klinik jaman dahulu


Bangunan klinik ini didirikan pada Tahun 1910 dan dikelola oleh seorang Dokter dari Belanda  yang bernama Hans Foller Tillema yang juga masih merupakan kerabat dari pemilik Pabrik Gula Randoegoenting setelah diambil alih oleh Koloniale Bank yaitu Johanes Frederich Hans Gessner, namun ketika Pabrik Gula Randoegoenting berhenti beroperasi maka bangunan klinik ini juga terkena imbasnya hingga dinyatakan bangkrut pada Tahun 1930, setelah itu semua asetnya diambil alih oleh Zendingziekenhuis Petronella (RS Bethesda) dan terakhir masih digunakan sampai Tahun 1949, sekarang bangunan ini dijadikan sebagai Gudang penyimpanan, lokasinya berada tepat di belakang SD Negeri Tamanan 1

Lokasinya berada tepat dibelakang bangunan SD Negeri Tamanan 1




















Dam Petee


Berlokasi di Dusun Pete, Selomartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, Propinsi DI Yogyakarta. Berbatasan dengan Dusun Ngasem, tidak jauh dari SMP Negeri 2 Kalasan




Dam atau pintu saluran air ini dibangun pada Tahun 1924 sebagai bagian dari sistem penunjang kegiatan operasional Pabrik Gula Randoegoenting yang berfungsi untuk mengairi lahan-lahan tebu milik warga.



Sampai saat ini Dam Petee masih berfungsi dengan baik untuk mengairi lahan tebu dan persawahan milik warga sekitar dan sering juga digunakan sebagai tempat memancing


Dam Tempoer


Berlokasi di Dusun Krebet, Binomartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, Propinsi DI Yogyakarta.


Sama seperti Dam Petee, Dam Tempoer yang dibangun oleh N.V. Braat pada Tahun 1923 ini juga berfungsi untuk mengatur aliran air yang dibutuhkan oleh lahan-lahan tebu milik warga sebagai bagian dari penunjang kegiatan operasional Pabrik Gula Randoegoenting, sampai saat ini pun Dam Tempoer masih berfungsi dengan baik


Kurang lebih seperti itulah hasil penelusuran saya terhadap sisa-sisa peninggalan Pabrik Gula Randoegoenting yang pernah berjaya dimasanya, kini bangunan-bangunan bekas kompleks Pabrik yang dahulu pernah berdiri megah dengan semua alat-alat produksinya yang berukuran besar seakan menghilang tidak jelas keberadaannya, dan dengan tidak (belum) dimasukkannya sisa bangunan yang masih ada tersebut menjadi cagar budaya, ditambah  dengan ketidak pedulian sebagian generasi muda saat ini terhadap sejarah bangsanya maka entahlah apakah kedepannya bangunan-bangunan peninggalan sejarah ini masih tetap ada dan dapat kita kunjungi ataukah perlahan keberadaan mereka juga akan sirna seiring kisah sejarah yang menyertainya dan tergerus waktu yang mengatasnamakan modernisasi, semoga saja tidak ya karena bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah bangsanya

Lahan-lahan tebu yang masih banyak berada disekitar wilayah ini sampai sekarang




Thursday, 18 March 2021

STASIUN MAGUWO LAMA; KETIKA KERETA TAK LAGI BERHENTI DISINI

Kamis, 18 Maret 2021,

Hi sobat goweswisata bagaimana kabar kalian? Semoga selalu sehat ya 🙂

Nah di Hari Kamis pagi ini saya akan mengajak kalian bersepeda sambil berwisata sejarah, sepertinya sudah lama kan kita tidak membahas obyek wisata sejarah? Kalau begitu yuk lah capcuss kita 😁


Tujuan goweswisata kali ini adalah sebuah bangunan cagar budaya yaitu Stasiun Kereta Api Maguwo Lama yang berlokasi di Dusun Kembang, Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Propinsi DI Yogyakarta. Kenapa dinamakan Stasiun Maguwo Lama? Mudah saja, karena sekarang sudah ada Stasiun Kereta Api yang baru, yang letaknya sekitar 300 meter disebelah Timur dari Stasiun yang lama


Untuk menuju ke Stasiun Maguwo Lama ini kalian bisa melalui Jalan Raya Jogja-Solo nanti tepat di km.9 atau dipertigaan lampu merah yang mengarah ke Bandara, kalian tinggal putar balik kearah Jogja, patokan termudahnya jika kalian berada di depan Bandara Adi Sucipto (yang mengarah ke Jogja) terus saja nanti kalian akan melewati parkiran Bandara, kemudian Kantor Angkasapura, Kantor Imigrasi, dan Lapangan Bola, nanti setelah Lapangan Bola kalian tinggal lurus sedikit pelan-pelan ada pertigaan atau jalan masuk di sisi kiri kalian, nah masuk saja kearah Selatan sampai terlihat Rel Kereta Api atau Pos Hansip kemudian belok ke kanan, dan sampailah kita di Stasiun Maguwo Lama


Stasiun Maguwo Lama dibangun sekitar Tahun 1870 oleh NISM (Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij), dan mulai beroperasi secara resmi pada 21 Mei 1873 sebagai bagian dari jalur Kereta Api Semarang-Vostenlanden (Jogja dan Solo). Di Tahun 1909 bangunan ini sempat mengalami renovasi, dan mengalami perluasan oleh NISM pada Tahun 1926.

Bagian pintu masuk penumpang



Jalur KA Semarang-Vostenlanden sendiri merupakan jalur KA pertama di Indonesia yang bertujuan mengangkut hasil tanaman ekspor (terutama gula) yang dihasilkan dari lahan dan pabrik-pabrik gula yang banyak  tersebar di Yogyakarta, salah satu Pabrik Gula yang terdekat saat itu adalah Pabrik Gula Wonocatur yang kini telah beralih fungsi menjadi Museum Dirgantara Mandala, untuk kemudian diangkut menuju ke Pelabuhan yang berada di Kota Semarang sebelum nantinya dibawa ke Eropa.



Di Tahun 1887 NISM meneruskan jalur rel sampai ke Stasiun Tugu, bahkan kemudian sampai ke daerah Bantul (Srandakan) di Tahun 1895, dan Sewugalur (Tahun 1916), untuk mempermudah pengangkutan gula dari Pabrik Gula Sewugalur, sayangnya ketika Jepang datang dan menjajah Indonesia di Tahun 1942 beberapa jalur rel dibongkar secara paksa oleh Jepang


Pada Agresi Militer Belanda II  Tanggal 19 Desember 1948, bangunan Stasiun Maguwo Lama juga menjadi saksi bisu sekaligus lokasi pengangkutan para pasukan Belanda yang datang melalui udara dengan cara terjun payung dan mendarat di Landasan Udara Maguwo (Bandara Adi Sucipto) kemudian mereka menuju ke pusat kota menggunakan kereta dari Stasiun Maguwo Lama.



Kisaran Tahun 1960 – 1965, Stasiun Maguwo Lama juga pernah menjadi Stasiun pemberangkatan kereta luar biasa Republik Indonesia untuk mendukung perjalanan Presiden Soekarno ke Kutoarjo, selain itu keberadaan Stasiun ini juga penting untuk kegiatan bongkar muat pupuk sriwijaya ke gudang pupuk, dan juga untuk pengangkutan ketel pemasok avtur ke Bandara. Karena peran strategis tersebut maka pada Tahun 1979 Stasiun ini juga sempat tampil dan menjadi latar sebuah film perjuangan yang berjudul Janur Kuning.


Namun masa keemasan Stasiun ini berakhir di Tahun 2008 ketika seluruh kegiatan operasional stasiun dipindahkan ke sebuah bangunan baru yang berjarak sekitar 300 meter kearah Timur, masuk di dalam kawasan Bandara, hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan untuk mengintegrasikan antar moda transport, sejak itulah tidak ada lagi Kereta Api yang berhenti di Stasiun ini, dan suasana hiruk pikuk penumpang yang dahulu menggunakan jasanya serta memenuhi ruang tunggu pun turut menghilang, berganti menjadi kesunyian hingga sekarang.



Di Tahun 2010, di bawah otoritas PT KAI Daerah Operasional 6 Yogyakarta, bangunan Stasiun Maguwo Lama pun dinyatakan sebagai bangunan cagar budaya oleh Pemerintah, dan ditahun tersebut pula, serta di Tahun 2019 dilakukan proses restorasi dan pemagaran,  kemudian bekerjasama dengan komunitas sekitar dan memanfaatkan jejaring sosial untuk pemeliharaannya



Bangunan Stasiun Maguwo Lama juga menjadi unik karena merupakan satu-satunya bangunan Stasiun yang dibuat menggunakan material Kayu Jati dan tetap dijaga keasliannya sampai sekarang, hanya lantainya saja yang kini telah diperbarui menggunakan ubin keramik. Posisi Stasiun Maguwo Lama sendiri juga diapit oleh dua Stasiun lainnya di Jogja, yaitu Stasiun Lempuyangan di sebelah Barat, dan Stasiun Kalasan di sebelah Timur, dimana saat ini Stasiun Kalasan tersebut juga sudah tidak beroperasi lagi.


Didalam bangunan Stasiun sendiri hanya ada 4 ruangan saja, yaitu Ruang PPKA (Pimpinan Perjalanan Kereta Api), Ruang Kepala Stasiun yang tergabung dengan loket tiket, Ruang Dapur, dan Ruang Tunggu Penumpang, toilet sendiri berada di sisi timur luar bangunan.



Tidak jauh dari bangunan stasiun, tepatnya di sebelah Utaranya terdapat bangunan Rumah Dinas Pegawai Stasiun yang saat ini kondisinya terlihat mengenaskan dan tidak terawat, sayangnya karena dipagari maka saya hanya bisa memotret dari luar tembok pagar saja. Walaupun sudah rusak parah namun kita masih bisa melihat ciri khas arsitektur Indis pada bangunan rumah dinas tersebut seperti bukaan lubang jendela yang besar, ornament kayu pada bagian kanopi, dan lengkungan susunan bata di bagian atas pintu dan bukaan lainnya. Semoga kedepannya ada tindak lanjut dari Dinas terkait untuk memperbaiki atau merenovasinya mengingat bahwa bangunan tersebut juga merupakan bagian dari Cagar Budaya yang harus dijaga dan dirawat supaya generasi berikutnya bisa belajar dari sejarah masa lalu Bangsa ini dan menghargainya.

Bangunan Rumah Dinas Pegawai




Terlebih sesuai UU no. 11 tahun 2010 juga telah dijelaskan bahwa pelestarian cagar budaya adalah upaya untuk mempertahankan cagar budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan. Adapun bangunan Stasiun Maguwo Lama sendiri dan bangunan terkait disekitarnya juga memiliki kriteria sebagai bangunan cagar budaya, antara lain telah berusia lebih dari 50 tahun, memiliki gaya arsitektur indis, serta memiliki nilai penting sejarah dan ilmu pengetahuan. Sehingga baik bangunan Stasiun maupun Rumah Dinas juga layak mendapatkan perlakuan yang sama seperti bangunan Cagar Budaya lainnya.


Semoga saja kedepannya pemanfaatan Bangunan Stasiun Maguwo Lama ini bisa lebih dioptimalkan antara lain dengan membuat papan keterangan berisi sejarah seputar Stasiun yang diletakkan di bagian depannya, supaya nantinya pengunjung yang datang bisa membaca dan mengetahui apa sejarah dari bangunan ini (seperti papan keterangan yang ada ketika kita mengunjungi sebuah Candi),serta menjadikan bangunan ini sebagai Museum mini yang berisi berbagai dokumentasi saat stasiun ini masih beroperasi. Jangan sampai kedepannya generasi muda kita akan semakin jauh dari sejarah peradaban dan perjuangan bangsanya, yang akhirnya membuat mereka lebih mengidolakan bangsa lain daripada menghargai dan mencintai Negerinya sendiri


Tips jika kalian ingin berkunjung ke sini :

- Tidak ada angkutan umum yang sampai ke lokasi sehingga kalian harus berjalan kaki dari jalan raya Jogja-Solo atau membawa kendaraan pribadi

- Akses motor dan mobil bisa dilalui

- Tidak ada pungutan retribusi hingga saat ini

- Jika kalian ingin mengadakan acara komunitas bisa menghubungi pihak Humas PT KAI, karena biasanya pagar bangunan Stasiun ini selalu tertutup dan dikunci

- Selalu berhati-hati karena perlintasan jalur rel kereta api masih aktif, sehingga banyak kereta yang melintas

- Selalu jaga kebersihan dan tidak melakukan vandalisme