Thursday, 28 August 2014
Wildlife Rescue Centre Jogja
"Tempat ini bukanlah Kebun Binatang, dan tidak sama dengan Kebun Binatang", itulah hal pertama yang saya tangkap dan pelajari dari tempat ini, untuk lebih jelasnya baiklah saya akan mundur sedikit dan bercerita bagaimana sampai akhirnya saya bisa sampai ke tempat ini :)
Semua berawal ketika saya sedang iseng googling mengenai lokasi camping yang ada di wilayah Yogyakarta, ketika tanpa sengaja ada salah satu web yang menarik perhatian saya, yang memuat artikel tentang keberadaan sebuah lokasi di Yogyakarta yang mempunyai camping ground sekaligus berfungsi juga sebagai tempat konservasi bagi satwa-satwa langka berkategori dilindungi hasil sitaan perdagangan satwa ilegal, hmmmm...kelihatannya menarik juga jika agenda gowes kali ini sekaligus juga sebagai sarana pembelajaran tentang lingkungan hidup, jika umumnya kata "lingkungan hidup" cenderung berkaitan tentang kebersihan lingkungan, pemeliharaan daerah aliran sungai, reboisasi, dan lainnya, namun usaha pelestarian satwa sepertinya menjadi bagian yang sedikit terlupakan dari berbagai kampanye tentang lingkungan hidup, baiklah saatnya mencari rute menuju kesana
Dari web yang ada saya hanya mendapat alamat tempat tersebut, yang ketika saya coba mapping melalui googlemaps ternyata hasilnya malah membingungkan karena tidak ada hasil pencarian, akhirnya setelah bertanya ke rekan-rekan gowes yang lainnya, mulailah didapat sedikit titik terang petunjuknya kalau lokasi tersebut berada di sebelah barat Kota Jogja, arah menuju Wates-Kulonprogo
Berbekal informasi yang minim tersebut akhirnya saya pun menyiapkan keperluan untuk agenda gowes kali ini yang hanya diikuti berdua saja, yaitu saya dan pasangan saya, Agitya Andiny K. Kami start dari basecamp GowesWisata sekitar pukul 07.00 WIB melalui jalan Kusumanegara kearah barat, terus saja melewati titik nol kilometer Kota Jogja hingga tembus ke Ringroad Barat kemudian ambil kiri arah ke Jalan Jogja-Wates
Situasi di Jalan Jogja-Wates seperti biasa dipenuhi oleh kendaraan pribadi, bus dan truck, sehingga kami harus gowes dengan extra hati-hati. Gowes satu baris di pinggir sisi kiri jalan pun terkadang masih sering juga diklakson oleh para motorist ataupun kendaraan pribadi yang entahlah sepertinya semua pengendara tersebut menjalani hidupnya dengan terburu-buru
Kami terus menyusuri Jalan Jogja-Wates hingga menyeberang jembatan Kulonprogo menuju kearah Sentolo. tiba di pertigaan brimob (yang jika ke kanan menuju arah Kenteng-Nanggulan) kami berhenti sebentar untuk mengisi perut yang mulai lapar, semangkuk soto dan segelas es teh manis seharga 7rb rupiah pun menjadi bahan bakar bagi kami para goweser yang kelaparan ini hehe...
Menuju jembatan Kulonprogo
Diperbatasan Sentolo
Bahan bakar bagi kami, para goweser yang kelaparan
Setelah perut kenyang, kami lanjut gowes lagi menuju arah Barat hingga tiba di pertigaan berikutnya yang berjarak kira-kira 500 meter dari tempat kami berhenti untuk makan tadi, patokannya ada pos polisi kecil di sisi kanan jalan, kami pun berbelok ke kanan, menyeberang rel kereta api dan terus ikuti jalan saja dengan kontur yang turun-naik-turun-naik-naik-naik lagi, tanjakan demi tanjakan yang cukup menguras tenaga akhirnya menjadi tantangan bagi kami untuk menaklukannya, gowes melewati medan tanjakan dengan membawa beban di pannier sekitar 19kg terasa sangat berat namun nikmati saja hehe...
Kalau lihat ini, artinya lokasi masih jauh lagi, semangat :)
Tanjakan dan turunan
Sampai akhirnya kami tiba di sebuah pertigaan, kami kemudian mengambil arah kanan menuju jalan alternatif Kenteng-Nanggulan, tidak jauh dari situ terlihatlah sebuah tulisan penanda bertuliskan Wildlife Rescue Centre Jogja, akhirnya sampai juga kami ke tempat ini :)
Sebelumnya kami sempat merasa "agak kecewa" karena tidak diperbolehkan masuk oleh petugas yang berjaga, karena ternyata syarat atau peraturan jika ingin berkunjung atau melihat-lihat tempat ini haruslah secara rombongan, dengan jumlah rombongan minimal 30 orang dan harus disertai oleh pemandu dari tempat ini dan harus booking terlebih dahulu dengan bagian marketing. Namun setelah semua cerita perjalanan ini nanti usai kami dapat memahami mengapa ada aturan seperti itu, jadi tetap simak terus ya...:)
Antara rasa kecewa dan lelah karena sebelumnya melewati tanjakan demi tanjakan menuju tempat ini, kami pun beristirahat sebentar sembari berpikir kalau kemudian kami memang tidak bisa masuk lalu apa yang bisa kami bagikan atau dapat dari perjalanan gowes kali ini
Untunglah (hehe...kalau orang Indonesia itu harus selalu berpikir positif) kami kemudian bertemu dengan salah seorang Marketing dan Communication Manager dari tempat ini yaitu Mbak Rosalia Setiawati, yang kebetulan menyapa (dan sepertinya bercampur antara rasa heran karena melihat sepeda dan bawaan kami yang seperti orang minggat serta rasa iba melihat muka memelas kami berdua LOL ), akhirnya kami kemudian diperbolehkan untuk masuk melihat-lihat dan dipandu secara langsung olehnya, tetapi harus menunggu setelah ia selesai meeting terlebih dahulu, baiklah tidak masalah jika harus menunggu asalkan perjalanan gowes kali ini ada sesuatu yang bisa kami dapat dan bagikan untuk semua pembaca blog ini
Sekitar jam 1 siang, akhirnya kami berdua dengan dipandu oleh Mbak Rosa mulai berkeliling sekaligus dijelaskan mengenai apapun yang berkaitan dengan tempat ini. Sebelum memulai mini tour ini kami juga diwajibkan memakai masker untuk mengantisipasi penyebaran virus atau bakteri dari pengunjung ataupun hewan, sehingga kondisi harus selalu steril
Mbak Rosa menjelaskan bahwa awalnya tempat ini memang mempunyai Camping Ground tetapi karena sebagian pengunjung bukanlah pecinta alam yang mempunyai kesadaran terhadap lingkungan, maka tidak jarang sampah dan polusi suara menjadi salah satu hal yang membuat kondisi hewan-hewan yang dikonservasi menjadi stress, selain itu beban listrik dan air yang terkadang digunakan oleh pengunjung secara berlebihan juga menjadi pertimbangan dalam menutup biaya operasional yang sebenarnya lebih baik jika diprioritaskan kepada usaha-usaha konservasi satwa tersebut, oleh karena itulah maka fasilitas camping ground pun saat ini ditiadakan. Saat ini selain sebagai tempat konservasi satwa, fasilitas lain yang bisa digunakan adalah area oubond bagi para pelajar atau perusahaan, tempat menginap (tetapi dalam jumlah rombongan, bukan individu, untuk mengantisipasi penyalahgunaan kearah negatif dari fasilitas menginap di tempat ini)
Tempat ini juga menerima donasi dari beberapa individu pecinta lingkungan hidup atau alam, dan bantuan dari kegiatan-kegiatan CSR yang dilakukan oleh beberapa instansi dalam hal pengadaan pakan dan perbaikan maupun pengadaan kandang-kandang bagi satwa. Untuk pengadaan pakan bagi para satwa, tempat ini juga menjalin kerjasama dengan beberapa pihak dengan menerima sayur atau buah-buahan serta juga dari pemberdayaan usaha pertanian masyarakat sekitar
Mencit (anak tikus) untuk pakan reptil
Buaya Muara yang menjadi salah satu reptil yang di konservasi di tempat ini
Untuk satwa-satwa yang berada di balai konservasi ini pun sebagian merupakan kiriman dari hasil penyerahan secara sukarela dari beberapa pihak yang mulai sadar bahwa perbuatan memelihara satwa langka yang dilindungi merupakan bentuk pelanggaran atau ilegal secara hukum, walaupun mereka mengaku merupakan seorang penyayang binatang (dalam hal ini arti kata penyayang binatang tidaklah harus selalu dikaitkan dengan harus memiliki binatang tersebut dan memperlakukannya seperti mainan atau pajangan, inilah pemahaman yang harus diluruskan demi menjaga kelangsungan hidup dan kelestarian satwa tersebut). Selain hasil penyerahan secara sukarela, beberapa satwa juga didapat dari hasil razia atau penyitaan terhadap perdagangan satwa ilegal yang masuk dalam kategori hewan dilindungi, yang sayangnya beberapa mafia besar yang berada dibelakangnya masih bisa lolos dari jeratan hukum, sehingga perdagangan satwa secara ilegal ini masih sering terjadi, baik secara terang-terangan maupun tersembunyi (informasi dari para pembaca mengenai perdagangan satwa ilegal yang terjadi sangat dibutuhkan dalam hal ini)
Beruang madu hasil sitaan, yang sejak kecil dipisahkan secara paksa dari induknya dan menjadi korban perdagangan satwa ilegal
Binturong, salah satu hewan nocturnal (aktif dimalam hari)
Beruk (yang lagi-lagi merupakan korban perdagangan satwa ilegal)
Siamang
Kondisi kandang-kandang yang ada, donasi biasanya digunakan untuk perbaikan dan pengadaan kandang-kandang baru
Pepohonan digunakan sebagai barrier terhadap kebisingan, sekaligus menciptakan suasana yang mirip habitat asli para satwa
Terkadang kita di Indonesia sering berteriak atau melakukan demonstrasi terhadap bentuk-bentuk penyiksaan binatang, dan seringkali menganggap bahwa memelihara hewan yang langka dianggap sebagai bentuk prestise yang menunjukkan keekslusifan kelas sosial dari sang empunya dan merupakan kewajaran selama hewan tersebut diberi makan maka bukanlah merupakan suatu masalah. Tetapi justru disitulah letak permasalahannya, karena walau dengan dalih apapun, hewan-hewan tersebut, terutama yang menjadi hewan peliharaan dari sang empunya, sejak kecil telah dilatih secara terus-menerus dan dibentuk perilakunya sedemikian rupa sesuai keinginan sang pemilik, sehingga hewan-hewan tersebut kehilangan insting alami mereka yang tentu saja sangat penting dan dibutuhkan oleh mereka untuk bertahan hidup dialam liar, di habitat mereka yang seharusnya.
Tentu saja menjadi sangatlah aneh (dan menyedihkan) jika kelak anak-cucu kita hanya bisa menyaksikan hewan-hewan tersebut dari gambar-gambar yang ada di buku-buku tentang keragaman fauna Indonesia, ataupun hanya bisa melihat secara langsung satwa-satwa tersebut di balai konservasi dan kebun binatang-kebun binatang yang ada di luar negeri, sedangkan satwa-satwa tersebut awalnya merupakan hewan endemik asli Indonesia
Orangutan (sebagian didapat dari hasil sitaan atas kepemilikan secara ilegal atas satwa berkategori dilindungi)
Kera ekor panjang (yang biasa dieksploitasi untuk topeng monyet)
Owa
Beberapa spesies burung yang dilindungi juga berada di tempat konservasi ini
Saat ini mungkin kita bisa mengatakan dengan bangga bahwa diri kita adalah seorang "penyayang binatang", dengan memelihara berbagai satwa langka dirumah kita, memberinya makan, memandikannya, ataupun mengurusnya. Tetapi kita lupa bahwa walau dalam "sangkar emas" sekalipun mereka tetaplah terpenjara, kehilangan kebebasannya, kehilangan habitatnya, insting alaminya, dan mereka mungkin tidak akan dapat bertahan hidup dalam habitat alaminya karena kehilangan kemampuan survivalnya. Apakah seseorang yang mengaku "penyayang binatang" akan mematikan semua hal-hal tersebut?
Beberapa satwa yang ada di balai konservasi inipun akhirnya terpaksa menjadi permanen residence karena ada beberapa faktor yang tidak memungkinkan mereka untuk dikembalikan ke habitat aslinya, misalnya karena cacat, trauma psikis karena diperlakukan secara kasar oleh pemilik sebelumnya, penyimpangan perilaku karena dipisahkan secara paksa sejak kecil dari induknya, dan kehilangan insting alaminya. Melatih untuk mengembalikan insting tersebut pun bukanlah hal mudah terlebih ditengah kurangnya kesadaran sebagian besar masyarakat terhadap usaha pelestarian satwa langka, sehingga mengandalkan semua permasalahan tersebut kepada satu pihak saja terasa bukan suatu sikap yang adil karena tentunya akan lebih baik jika dilakukan secara partisipatif dan bersama-sama, selain itu di tempat ini juga berusaha supaya kelak satwa-satwa tersebut dapat dilepas atau dikembalikan ke habitat asli mereka, dan berusaha sekuat tenaga supaya satwa-satwa tersebut tidak berakhir dikirim ke kebun binatang dan menjadi satwa display semata
Mungkin memang benar bahwa uang bisa menjadi sumber masalah sekaligus menjadi sebuah solusi, karena faktor uanglah yang membuat satwa-satwa ini mempunyai nilai jual sehingga banyak diburu, kemudian dijual dengan harga murah, dan menjadi nilai prestise sebuah peliharaan. Namun uang juga bisa menjadi sebuah solusi dalam bentuk donasi yang dibutuhkan oleh tempat-tempat konservasi seperti ini dalam penyediaan sarana prasarana dan kelangsungan operasional tempat ini
Bagaimanapun juga selama masih ada tempat-tempat seperti ini serta adanya kepedulian baik dari pihak individu ataupun instansi yang terus mendorong, mensupport, mempublikasikan, menginformasikan segala bentuk bantuan yang dibutuhkan dalam upaya konservasi satwa tersebut, maka setidaknya kita masih punya harapan untuk bisa terus mewariskan dan menceritakan kepada generasi penerus bangsa ini bahwa mereka memiliki Negara dan Tanah Air yang sangat kaya dengan beragam flora dan faunanya, dan tugas merekalah kelak untuk terus menjaga dan melestarikan semua ini
Jika ada diantara para pembaca yang mempunyai informasi seputar perdagangan satwa secara ilegal ataupun melihat satwa dilindungi yang dijadikan sebagai hewan peliharaan oleh masyarakat umum, bisa membantu melaporkan dan menghubungi kami WILDLIFE RESCUE CENTRE
untuk informasi lebih lanjut jika para pembaca ingin membantu usaha konservasi satwa ini, silahkan menghubungi :
WILDLIFE RESCUE CENTRE JOGJA
www.wildliferescuecentre.org/indonesia
Dusun Paingan, Desa Sendangsari, Kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulonprogo-55652, Daerah Istimewa Yogyakarta
Peta menuju lokasi
Contact Person :
Rosalia Setiawati : (Mobile) +62 8526 8029 822
(Office) +62 274 749 3977
E-mail : marcomm@wildliferescuecentre.org
PS : terimakasih kepada Rosalia Setiawati yang berkenan meluangkan waktunya dan memberi kesempatan kepada kami dari goweswisata.blogspot.com untuk berkeliling, melihat, dan mendapat banyak inspirasi dari tempat ini
Saya pernah kemari sekali di tahun 2010 silam. Yang terkenang dari medan jalan menuju ke sana itu ya selepas Stasiun Sentolo ke utara. Tanjakan-turunan rollercoaster ditambah tanjakan panjang seperti yang dirimu foto itu.
ReplyDeleteTapi berhubung waktu itu juga sudah ada larangan tidak boleh masuk kalau tidak punya surat ijin, alhasil cuma bisa duduk-duduk melepas lelah saja di pos Satpam. Namanya dulu ini PPSJ. Karena ini punya swasta ya manut aturan mereka sajalah. Namanya juga tempat konservasi jadi lumrah kalau harus steril.
Yup maka dari itu untung saja saya diperbolehkan masuk dan menulis tentang tempat ini sehingga paling tidak juga membuka kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kelestarian dan keragaman fauna asli Indonesia :)
ReplyDelete