Thursday, 26 December 2013
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ; Pelindung dan Penjaga Identitas Budaya Jawa ditengah gerusan zaman
Akhirnya setelah +/- dua tahun saya menetap di Yogyakarta, baru kali ini saya berkunjung ke Keraton Yogyakarta yang menjadi salah satu daya tarik pariwisata, pusat budaya Jawa (khususnya Yogyakarta), dan menjadi kebanggaan seluruh warga Yogyakarta. Keraton Yogyakarta seakan selalu menjadi magnet yang mampu menyedot perhatian para pelancong yang datang berkunjung ke Yogyakarta, baik dari nusantara maupun mancanegara.
Selain sebagai istana (tempat tinggal) Sri Sultan Hamengku Buwono dan keluarganya serta para prajurit hingga Abdi nDalem, saya sangat penasaran dengan apa yang menjadi daya tarik dan keunikan dari Keraton Yogyakarta ini hingga membuat Badan PBB melalui Unesco pada tahun 1995 mencalonkan Kompleks Keraton Yogyakarta ini menjadi salah satu Situs Warisan Dunia
Tentu saja untuk membuat tulisan ini lebih obyektif maka saya harus datang berkunjung dan melihat secara langsung, sehingga saya bisa menggali, memahami, dan mengenal lebih jauh lagi seluk beluk Kompleks Keraton Yogyakarta dan keistimewaan apa yang ada didalamnya
Dikarenakan Bangunan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ini merupakan pusat atau sumber informasi awal dari semua sejarah Kota Yogyakarta, dan sepertinya terlalu panjang jika dibuat menjadi hanya satu post, maka untuk memudahkan pembaca memahami Kompleks Keraton ini saya akan membaginya menjadi tiga bagian, dimana pada bagian pertama, yaitu tulisan ini akan membahas tentang sejarah Keraton, Kesultanan, dan filosofi yang terkandung didalamnya, sedangkan dua bagian lain, saya bagi berdasarkan jumlah dan apa yang dapat dilihat jika pengunjung masuk melalui lokasi loket masuk masing-masing saat memasuki tiap bagian dari Kompleks Keraton ini. Jika dibuat menjadi chapter maka akan terlihat seperti ini:
- Post 1 : Sejarah Keraton, Kesultanan, dan filosofi setiap tata ruang yang terkandung ddalamnya
- Post 2 : Tepas Kaprajuritan
- Post 3 : Tepas Pariwisata
Baiklah berikut ini silahkan disimak chapter pada post 1 :)
Sejarah berdirinya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
Secara umum, sejarah berdirinya Keraton Yogyakarta memiliki dua versi yang agak sedikit berbeda.
Versi Pertama
Keraton Yogyakarta pada awalnya merupakan sebuah Pesanggrahan yang bernama Pesanggrahan Garjitawati, yang diyakini merupakan sebuah pesanggrahan kuno yang digunakan sebagai tempat beristirahat sejenak rombongan iring-iringan pembawa jenazah raja-raja kesultanan Mataram dari Surakarta dan Kartasura yang telah meninggal sebelum kemudian akan dimakamkan di kompleks makam raja-raja Imogiri yang terletak di sebelah selatan Yogyakarta
Versi Kedua
Sedangkan berdasarkan versi yang kedua, Keraton Yogyakarta yang ada sekarang ini pada awalnya adalah sebuah mata air bernama Umbul Pacethokan yang berada tepat ditengah hutan beringin.
Setelah terjadinya Perjanjian Giyanti pada tahun 1755, Sultan Hamengku Buwono I yang sebelumnya mendiami Pesanggrahan Ambar Ketawang (sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman) kemudian mendirikan sebuah keraton sebagai pusat pemerintahan di Umbul Pacethokan ini
Berawal Dari Kerajaan Mataram
Setelah keberhasilan Ki Ageng Pamanahan mengalahkan Aryo Penangsang yang kala itu merupakan musuh dari Kesultanan Pajang, maka pada tahun 1558 Masehi, Sultan Pajang kemudian menghadiahkan Ki Ageng Pamanahan berupa tanah kekuasaan di Mataram
Pada tahun 1577, Ki Ageng Pamanahan pun membangun sebuah keraton atau istana di daerah yang bernama Kota Gede hingga akhirnya beliau wafat pada tahun 1584 sebagai pengikut setia Sultan Pajang, dan dimakamkan disebelah Masjid Kota Gede
Setelah wafatnya Ki Ageng Pamanahan maka terjadilah kekosongan kekuasaan di Mataram, sehingga diangkatlah putera dari Ki Ageng Pamanahan yaitu Sutawijaya untuk mengisi kekosongan kekuasaan tersebut sebagai penguasa Mataram
Diluar dugaan ternyata pengangkatan Sutawijaya sebagai Raja Mataram merupakan sebuah keputusan yang keliru dan fatal bagi Sultan Pajang karena Sutawijaya tidak mau tunduk pada Kesultanan Pajang, lain halnya dengan ayahnya dahulu yang setia dengan Sultan Pajang. Sutawijaya malah berniat menghancurkan dan menguasai Kesultanan Pajang untuk memperluas wilayah kekuasaannya
Hal ini akhirnya membuat Kesultanan pajang pada tahun 1587 mengerahkan seluruh pasukannya untuk menyerang Mataram. Namun tak disangka terjadilah letusan Gunung Merapi yang cukup dahsyat pada waktu itu hingga berimbas pada porak-porandanya seluruh pasukan Kesultanan Pajang.
Satu tahun kemudian di tahun 1588, Mataram pun akhirnya menjadi sebuah kerajaan dengan Sutawijaya sebagai Raja Mataram yang bergelar Panembahan Senopati atau Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama yang memiliki arti Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama. Sejak saat itulah Kerajaan Mataram mulai berkembang hingga menjadi kerajaan yang besar dan menjadi penguasa besar Pulau Jawa
Wafatnya Panembahan Senopati pada tahun 1601 kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama Mas Jolang, yang kemudian dikenal dengan sebutan Panembahan Seda ing Krapyak. Setelah wafatnya pada tahun 1613, Mas Jolang digantikan lagi oleh putranya yaitu Pangeran Arya Martapura, dan dilanjutkan oleh kakaknya yaitu Raden Mas Rangsang yang lebih dikenal sebagai Prabu Pandita Hanyakrakusuma, dan bergelar Sultan Agung Senapati Ingalaga Abdurrahman
Pada masa pemerintahan Raden Mas Rangsang atau Sultan Agung inilah Kerajaan Mataram mencapai puncak kejayaannya dan berkembang dengan sangat pesat diberbagai bidang. Kerajaan Mataram semakin kokoh dan makmur sampai akhirnya Sultan Agung wafat dan digantikan oleh anaknya yaitu Amangkurat I pada tahun 1645
Perjanjian Giyanti
Roda waktu pun terus berputar, masa kejayaan Kerajaan Mataram akhirnya mengalami guncangan juga. Peristiwa demi peristiwa berlatar belakang konflik perebutan kekuasaan dari dalam maupun luar istana akhirnya menghancurkan Kerajaan Mataram, hal tersebut pun dimanfaatkan dengan baik oleh VOC pada masa penjajahan Belanda untuk mulai menguasai nusantara ini
Perebutan kekuasaan di Kerajaan Mataram ini berakhir dengan adanya Perjanjian Giyanti pada bulan Februari tahun 1755. Pada perjanjian Giyanti ini diputuskan untuk membagi kekuasaan Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu wilayah timur yang sekarang menjadi Keraton Surakarta, dan wilayah barat yaitu Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian tersebut juga menetapkan Pangeran Mangkubumi sebagai Sultan di Kasultanan Yogyakarta dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I
Kira-kira satu bulan setelah terjadinya Perjanjian Giyanti tersebut, Sri Sultan Hamengku Buwono I yang pada saat itu tinggal di Pesanggrahan Ambar Ketawang akhirnya mendirikan sebuah keraton di pusat Kota Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta seperti yang dapat kita lihat sekarang ini
Nilai Filosofis Kompleks Keraton Yogyakarta
Dengan Sejarah Keraton Yogyakarta yang begitu panjang, membuat Kompleks Keraton Yogyakarta tidak dibangun dengan begitu saja. Banyak nilai-nilai filosofis yang tertanam di seputar dan sekitar bangunan Kompleks Keraton Yogyakarta ini.
Secara fisik, Kompleks Keraton Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti, yaitu :
- Siti Hinggil Ler (Balairung Utara)
- Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara)
- Sri Manganti
- Kedhaton
- Kamagangan
- Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan)
- Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan)
Selain itu Keraton Yogyakarta juga memiliki berbagai warisan budaya, baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain, Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat yang lengkap dengan para pemangku adatnya, untuk itulah pada tahun 1995 Kompleks Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dicalonkan menjadi salah satu situs warisan dunia UNESCO
masih proses edit
===============================================================================================================================
Tambahan sumber referensi :
- http://id.wikipedia.org/wiki/Keraton_Ngayogyakarta_Hadiningrat
- http://coretanpetualang.wordpress.com/petualangan-budaya/budaya-jawa/keraton-yogyakarta-istana-budaya-dan-keindahan-jawa/
- http://djogjayogyakarta.blogspot.com/2013/04/sejarah-berdirinya-keraton-yogyakarta.html
No comments:
Post a Comment