Selasa, 02 Februari 2016
Walaupun cuaca di Plampang pagi hari ini terlihat berawan namun kini sudah waktunya bagi kami untuk kembali melanjutkan perjalanan, menurut para pekerja bangunan yang berada di kediaman Mas Adi tantangan berikutnya yang akan kami hadapi adalah rute menanjak yang ada di wilayah Nangatumpu sampai menuju ke Dompu, menurut mereka lebih baik jika membagi etape ini menjadi dua bagian sebagai antisipasi karena di sepanjang medan tanjakan Nangatumpu tidak ada perkampungan dan berbahaya jika kami masih terjebak dan memaksakan menempuh rute tersebut pada malam hari, selain faktor minimnya penerangan juga dikarenakan tidak ada siapapun disana, alternatifnya adalah kami bisa berhenti dan stay untuk semalam di perkampungan yang berada tepat sebelum memasuki wilayah Nangatumpu yaitu di daerah Kwangko
Setelah berkemas dan berpamitan kepada para pekerja bangunan kami pun berangkat sekitar pukul 7 pagi, dan karena Mas Adi masih berada di Jogja untuk menemani istrinya yang melahirkan buah hati pertama mereka maka kami pun berpamitan via pesan singkat seluler serta tidak lupa mengucapkan banyak terimakasih atas bantuannya
Perlahan roda-roda sepeda kami pun mulai berputar dan beranjak menjauh meninggalkan Plampang dengan segala ceritanya, meninggalkan sepenggal kisah tentang “surga yang terancam” di Labangka, meninggalkan cerita tentang bagaimana para transmigran mulai membangun kehidupannya disana, dan mengalami sendiri bagaimana setiap harinya kami mengusir beberapa ular kecil yang terkadang menyelinap masuk ke tempat tinggal kami, serta melihat bagaimana hukum adat masih berlaku disini untuk menjaga keamanan dan mengatur pola kehidupan warganya. Semua itu kini telah terekam dalam ingatan kami dan tertuang melalui tulisan-tulisan yang sedang kalian baca ini
Selepas Plampang kini kami memasuki wilayah Ampang/Empang, disini kami pun mencoba untuk mampir sejenak melihat Pelabuhan Pantai Teluk Saleh, berdasarkan informasi yang kami baca dan peroleh dari hasil perbincangan dengan para pekerja di Plampang sebenarnya di Pelabuhan Pantai Teluk Saleh ini jika kondisi cuacanya sedang bagus dan kondisi perairan sedang tenang maka melalui pelabuhan ini kita bisa menyewa kapal boat milik nelayan untuk menyeberang mengunjungi salah satu Gili atau pulau kecil yang berada tidak jauh diperairan sekitar Pantai Teluk Saleh ini, namun dikarenakan akhir-akhir ini cuaca sedang buruk dan kondisi ombak juga sulit diprediksi maka situasi di sekitar Pelabuhan Perikanan Pantai Teluk Saleh ini pun juga terlihat tidak terlalu ramai dengan aktivitas para nelayan, hanya terlihat beberapa nelayan saja yang sedang memperbaiki kapal-kapal mereka
Dari Pelabuhan Perikanan Pantai Teluk Saleh kami pun kemudian kembali lanjut menyusuri ruas jalan utama sembari celingukan mencari warung makan untuk sarapan, disepanjang rute ini kondisi lalu lintasnya masih cenderung sepi dari kendaraan bermotor, satu-satunya kepadatan lalu-lintas justru disebabkan oleh banyaknya kambing-kambing yang tiduran di tengah jalan serta antrian rombongan kerbau yang melintas
Dan akhirnya kami pun menemukan warung makan yang buka, berada tepat disisi jalan dan berhadapan dengan salah satu sekolah dasar, saatnya sarapan mengisi energy dulu :), salah satu yang membuat kami takjub dengan sajian menu yang ditawarkan oleh warung makan ini selain faktor harganya adalah ukuran porsinya yang membuat kenyang, dengan harga 12rb/porsi kalian akan mendapat nasi sepiring penuh (piringnya cukup besar) lengkap dengan sayuran, tempe, kentang, kuah, sambel, serta udang yang ukurannya jumbo sekali (kalau di warteg mana dapet harga segini), setidaknya pagi hari ini kami menjadi ceria sekali dengan perut yang kenyang hohoho…:D
Semakin menuju kearah timur suasananya justru menjadi semakin sepi, padahal dengan kondisi aspal yang halus seperti ini kalau di Pulau Jawa pasti sudah banyak anak-anak alay yang menjadikan rute ini buat trek-trekan motor (sepertinya kondisi aspal disini malah jauh lebih bagus daripada aspal yang ada di sirkuit Sentul)
Untung saja di sepanjang Pulau Sumbawa ini rute utamanya hanya satu jalur sehingga walaupun suasana sekitarnya sepi seperti ini dan tidak ada papan keterangan penunjuk arah maka kalian tidak perlu takut tersesat, cukup ikuti saja jalan utama yang hanya satu-satunya ini, dari mulai rute yang datar-datar dan lurus-lurus saja di wilayah Ampang, kini medan rutenya menjadi mulai menanjak….. dan turun, lalu naik lagi, lalu turun lagi (tapi dikit), dan sedikit demi sedikit mulai menanjak lagi tanpa ada satu pun fasilitas tempat jajanan atau toilet disepanjang jalan seperti di wilayah Puncak Bogor
Satu-satunya “bagian” dari lalu-lintas yang paling sering ditemui
Dan berkilo-kilometer kemudian suasananya juga masih syahdu alias sepi seperti ini (mau tiduran ditengah jalan juga silahkan), entahlah ini sudah sampai wilayah mana karena tidak ada papan keterangannya sama sekali (perkampungan juga tidak ada)
Selepas tengah hari (sekitar pukul 2 siang) akhirnya kami pun sampai juga di salah satu bagian puncak bukit yang ada di sepanjang rute ini (dan masih tetap belum melihat ada perkampungan satu pun), sepertinya setelah melewati turunan yang ada di depan maka sudah waktunya bagi kami untuk mulai mencari tempat beristirahat hari ini, karena jika sampai kami melewatkan perkampungan berikutnya maka sudah bisa dipastikan jika nantinya kami pasti terjebak menghadapi medan tanjakan nangatumpu pada malam hari dengan kondisi gelap gulita dan tanpa adanya perkampungan sama sekali seperti yang kami tempuh hari ini
Menikmati medan turunan bukan berarti kini kami bisa leha-leha karena justru sekarang jari-jemari kami menjadi pegal karena sedikit-sedikit harus mengerem untuk menjaga kestabilan kecepatan dan keamanan, ada untungnya juga sepeda-sepeda kami dipenuhi oleh pannier-pannier yang terpasang di bagian depan-belakang dan sisi kanan-kiri karena ketika menghadapi turunan seperti ini maka sepeda menjadi lebih stabil dan tidak terlalu terpengaruh oleh hempasan angin, di kejauhan kami mulai melihat ada salah satu perkampungan pertanda bahwa sepertinya kami sudah tiba di wilayah Kwangko, tantangan berikutnya adalah mencari tempat untuk beristirahat hari ini karena diwilayah ini jangan harap ada penginapan seperti hotel (losmen saja tidak ada), kami pun tidak melihat adanya kantor polisi atau pos polisi satu pun, satu-satunya alternatif adalah dengan bertanya dan meminta ijin kepada warga sekitar untuk menumpang bermalam sehari saja, setidaknya dalam keadaan darurat kami pun bisa menggelar tenda dan tidak merepotkan pemilik rumah, satu-satunya yang paling kami butuhkan saat ini hanyalah menumpang toilet untuk bersih-bersih
Setelah bertanya ke salah satu warga sekitar kami pun dipersilahkan untuk menginap di rumahnya dan tidak perlu menggelar tenda segala karena mereka memiliki kamar kosong, awalnya ketika mereka menunjukkan kamar yang bisa kami pakai kami sedikit terkejut karena “kok kamarnya bagus amat ya?” ini beneran tidak apa-apa? Boleh kami pakai? Mereka pun menjawab tidak apa-apa silahkan pakai saja untuk beristirahat, kami pun kemudian bertanya “maaf ini bukannya kami tidak sopan tetapi sebelumnya kami ingin tahu apakah kami harus membayar atau boleh gratis ya pak?”, “bukannya apa-apa tetapi demi kenyamanan kita bersama saja dan biar kedua pihak juga sama-sama enak”, namun oleh sang empunya rumah mereka mempersilahkan kami untuk menggunakannya secara gratis, mereka juga menjelaskan bahwa dulunya rumah mereka juga pernah digunakan untuk menginap para pesepeda ketika ada event Tour de Tambora tahun lalu, sebuah event kegiatan bersepeda yang merupakan bagian dari program promosi pariwisata Pulau Sumbawa, event tersebut melibatkan banyak peserta yang datang dari seluruh daerah di Indonesia bahkan hingga mancanegara, acara tersebut secara tidak langsung membuat banyak pihak mulai melirik pesona pariwisata Pulau Sumbawa dan otomatis juga mengangkat kehidupan perekonomian warganya karena mereka semua juga dilibatkan untuk membantu sesuai etape pos yang dilewati atau menjadi pemberhentian peserta tour de Tambora tersebut, oleh karena itu mereka sangat senang sekali jika melihat ada orang dari luar daerah yang mengunjungi wilayah mereka, dan mereka juga berharap jika kedepannya nanti kegiatan-kegiatan seperti Tour de Tambora akan kembali dilaksanakan dan diikuti dengan event-event pariwisata lainnya
Mungkin beginilah seharusnya sebuah event diadakan, bagaimana melalui event tersebut masyarakat setempat dilibatkan dan dipersilahkan untuk ambil bagian sehingga mereka merasa dihargai dan menjadi satu kesatuan dengan seluruh pelaksana kegiatan tersebut, mungkin hal itu pulalah yang menjadi alasan mengapa di sepanjang perjalanan kami di Pulau Sumbawa ini hampir seluruh warga yang kami temui atau kami tanya selalu mengatakan bahwa kini Pulau Sumbawa aman dan tidak perlu takut untuk datang dan berwisata ke tempat ini, selama para pendatang juga menghargai aturan dan budaya yang ada di masyarakat setempat maka masyarakat Sumbawa pun pasti menerima dan akan menunjukkan bahwa keramahan khas Indonesia itu masih ada, dan karena masyarakat Sumbawa merasa telah menjadi satu bagian yang utuh dari mulai ujung bagian timur hingga ke baratnya maka mereka pun berusaha untuk menjaga keamanan dan citra pariwisata daerahnya dengan menerapkan aturan adat dan sanksi sosial bagi yang melanggarnya, bagi saya pribadi sebagai orang luar melihatnya justru dengan adanya aturan adat inilah kami merasa pola kehidupan masyarakat disini menjadi lebih harmonis, baik itu antar sesamanya maupun dengan bagaimana mereka memperlakukan alam sekitarnya, memberdayakan namun dengan tidak merusak atau mengeksploitasinya berlebihan
Sekarang saatnya kami untuk bersih-bersih dan beristirahat untuk hari ini sebelum keesokan harinya kami akan menghadapi medan tanjakan “the famous Nangatumpu” menuju ke Dompu, banyak sudah pengalaman dan pemikiran baru yang kami dapat sepanjang perjalanan ini, semoga kedepannya semua itu dapat menjadi bekal bagi kami berdua untuk berbenah diri dan menerapkan hal-hal positif tersebut kedalam lingkungan tempat kami tinggal
Pengeluaran hari ini :
- 2 porsi nasi campur = Rp 24.000,-
- 2 teh hangat = Rp 6.000,-
- 2 teh pucuk = Rp 8.000,-
- 1 es campur = Rp 8.000,-
Total = Rp 46.000,-
Total jarak tempuh hari ini : 78,89km
Tuesday, 30 January 2018
Saturday, 20 January 2018
CHAPTER 26; SURGA YANG TERANCAM DI LABANGKA
Minggu, 31 Januari 2016,
Sembari beristirahat dan menunggu perkembangan kondisi cuaca mulai membaik di wilayah sekitar Kecamatan Plampang, Pulau Sumbawa ini, tentunya kami juga tidak betah jika hanya berdiam diri di kamar tanpa melakukan apa-apa, oleh karena itulah dihari kedua kami berada disini lebih baik kami memanfaatkan waktu dengan mencoba mencari tahu keunikan dan potensi apa saja yang ada disekitar wilayah Plampang ini
Dari hasil perbincangan kemarin dengan para pekerja bangunan di tempat kami menumpang beristirahat, barulah kami ketahui jika di dekat sini ada beberapa titik pantai yang kondisinya masih alami dan belum dikelola secara maksimal, baik oleh pemda setempat maupun oleh warga sekitar yang berdomisili di wilayah tersebut, lokasi pantai-pantai itu sendiri terbagi menjadi 5 buah mengikuti nama lokasi desa dari masing-masing pantai tersebut berada, jaraknya kurang lebih sekitar 15-20km di sisi selatan wilayah Plampang, tepatnya berada di Desa Labangka
Mendengar nama Pulau Sumbawa saja mungkin sebagian besar orang masih belum terlalu akrab, apalagi ketika ditanyakan tentang Desa Labangka. Namun ternyata wilayah Labangka yang merupakan pemekaran dari Kecamatan Plampang ini diam-diam menyimpan potensi pariwisata yang cukup menjanjikan, terutama dari sektor wisata alam berupa keindahan pantai-pantainya, dan wisata agronya, karena di tempat ini banyak sekali terdapat ladang-ladang jagung yang mana ketika musim panen tiba maka sebagian besar hasil produksi jagung di tempat ini kemudian akan dikirim ke beberapa wilayah lain di seluruh Indonesia. Para warga yang menghuni wilayah ini pun mayoritas berasal dari Pulau Lombok dan Bali, karena wilayah Labangka sendiri pada awalnya merupakan salah satu lokasi tujuan program transmigrasi pemerintah, sehingga mayoritas warga disini merupakan para transmigran yang kini berprofesi sebagai petani atau buruh kasar
Untuk menuju ke Desa Labangka sendiri kalian harus cukup jeli karena tidak ada petunjuk arahnya, satu-satunya yang bisa dijadikan patokan adalah jika kalian datang dari arah Kota Sumbawa Besar menuju ke timur, maka begitu memasuki wilayah Plampang km62, tidak jauh dari situ kira-kira 1km kemudian kalian akan melihat Pasar Plampang di sisi kanan jalan, disini kalian masih terus sedikit nanti setelah jalanan mulai menikung ada Kantor Polsek di sisi kiri jalan, perhatikan dengan seksama nanti di sisi kanan (tepat di perempatan kecil) terdapat gapura atau gerbang masuk menuju kota mandiri terpadu Labangka, nah kalian tinggal masuk dan ikuti rute jalan beraspalnya saja.
Disepanjang rute jalan beraspal yang memiliki kontur "aduhai" alias rolling naik-turun ini kalian akan disuguhi pemandangan berupa ladang jagung dimana-mana serta bukit-bukit yang khas wilayah Sumbawa, sedangkan untuk urusan perut jika kalian kelaparan ada baiknya membawa bekal sendiri karena walaupun disini ada warung-warung nasi berskala kecil tetapi untuk jumlahnya sendiri masih belum terlalu banyak
Kira-kira 13km sejak kalian memasuki gapura kota mandiri terpadu Labangka tadi, kalian akan melihat gapura berikutnya yang menuju lokasi Pantai Labangka 1, tepatnya berada di Jalan Liang Dewa, letak gapuranya sendiri berada tepat di belokan jalan beraspal namun sayangnya belum ada papan penunjuk arah atau keterangan menuju Pantai Labangka 1 atau masyarakat di sekitar sini biasa menyebutnya Pantai Dewa, begitu kalian memasuki gapura ini kondisi jalannya belum diaspal, rutenya masih berupa batu-batu pengerasan (sebagian lagi bahkan masih jalan tanah), dari sini kalian tinggal ikuti jalan saja sekitar 3km sampai nantinya kalian akan melihat semacam gerbang di sisi kanan jalan (awalnya kami juga sempat bingung ini gerbang menuju lokasi pantai atau gerbang masuk komplek perumahan yang belum jadi)
Karena ketiadaan papan penunjuk arah dan sepinya suasana di sekitar lokasi, awalnya kami mengambil jalan yang lurus (tidak masuk ke gerbang di sisi kanan) namun ternyata jalan lurus tersebut buntu, tetapi akhirnya kami diperbolehkan masuk melalui pintu akses menuju lokasi tambak-tambak udang (jalan masuk ini juga sering digunakan oleh warga sekitar yang berprofesi sebagai petambak), dan lagi-lagi setelah sampai di lokasi tambak-tambak tersebut kami “tetap” bingung bagaimana cara menuju ke pantainya karena aksesnya tertutup oleh tanggul-tanggul tambak, sekalinya kami menemukan jalan menuju pantai tetapi jarak antara bibir pantainya terlalu mepet ke pagar pembatas tanggul, sepertinya kami sudah salah jalan sehingga kami memutuskan untuk memutar balik dan mencoba untuk masuk melalui "gerbang yang tidak terawat" tadi.
Sambil memutar balik tidak lupa kami juga mendokumentasikan suasana di sekitar tambak-tambak udang tersebut, oya disini kami juga sempat melihat banyak kelelawar berukuran besar (dengan bentang sayap mencapai 1 meter) yang terbang dan bergantungan di pohon-pohon yang ada di sekitar tambak, sayangnya keterbatasan kamera pocket membuat kami sulit mengambil gambarnya (ya sudahlah biarkan mata dan memori kami saja yang menangkap momen indah ini hehe…)
Akhirnya setelah kembali di “gerbang tanpa nama” tadi kami pun mencoba untuk masuk dan menyusurinya sampai kemudian kami melihat ada sebuah penanda berbentuk bola bertuliskan kota mandiri terpadu (rupanya bangunan-bangunan yang ada di sekitar sini merupakan pembangkit listrik tenaga surya, tetapi sayangnya masih belum berfungsi), dari penanda berbentuk bola tadi kalian tinggal belok ke kiri dan ikuti jalan lurus saja, tetapi lagi-lagi karena ketiadaan papan penunjuk arah membuat kami harus bertanya kepada warga sekitar yang sedang meladang kemanakah arah menuju ke Pantai Dewa, oleh warga tersebut kami dianjurkan untuk memotong jalur melalui jalan ladang (jalan tanah 1 jalur yang biasa digunakan oleh warga untuk berladang atau mengangkut hasil ladang dengan gerobaknya) kami pun sempat bingung kira-kira kedepannya nanti jika ada orang atau pengunjung lain yang hendak berwisata ke pantai ini apakah semuanya harus melalui jalan ladang ini? Karena memang sampai saat ini belum ada akses jalan lain yang menuju ke pantai selain melalui jalan ladang ini (untuk yang bawa mobil dijamin mumet parkirnya karena jalan kakinya jauh)
Dan akhirnya kami pun sampai juga di Pantai Labangka 1 atau dikenal dengan nama Pantai Dewa, suasana di pantai ini benar-benar masih terasa alami dan sepi (hanya kami berdua saja pengunjung yang ada di pantai ini), dengan pasirnya yang berwarna putih dan halus seperti merica serta warna lautnya yang hijau kebiruan sepertinya potensi pantai ini kedepannya tidak akan kalah dengan pantai-pantai lainnya yang sudah lebih dulu populer
Di pantai ini juga terdapat sebuah Goa yang terbentuk dari dinding karang besar yang memiliki rongga atau lubang berbentuk ruangan, masyarakat sekitar menyebutnya dengan sebutan pure liang dewa, ada dua ruang utama di Goa ini, salah satu ruangnya mempunyai tempat peribadatan umat Hindu sedangkan di bagian depan Goa, tepat di bibir pantainya terdapat tempat untuk menaruh sesaji, di kejauhan juga tampak sebuah menara suar yang berfungsi memberi penanda bagi kapal-kapal yang melintas di malam hari
Ombak di Pantai Dewa dan sepertinya hampir di seluruh pantai wilayah Labangka ini mempunyai karakteristik yang sama, yaitu memiliki ombak yang besar dan kuat, sehingga tidak disarankan untuk berenang dipantai ini, jika pun kalian ingin bermain di bibir pantainya maka sebaiknya kalian tetap harus ekstra hati-hati karena tarikan arus balik dari ombaknya sendiri juga cukup kuat, dengan karakter ombak yang besar dan tinggi seperti ini tentunya akan sangat menarik bagi penggemar olahraga surfing, tetapi dengan arah ombak yang tidak menentu seperti disini entahlah kami pun tidak tahu apakah olahraga surfing bisa dilakukan di pantai ini atau tidak
Karena pantai-pantai yang ada di wilayah Labangka ini belum dikelola secara profesional maka tidak mengherankan jika belum ada fasilitas apa pun di sekitar lokasi pantai, jangankan toilet umum, bahkan pedagang atau warung yang biasanya ada dan bertebaran dihampir semua obyek wisata, kali ini benar-benar tidak ada sama sekali disini, pokoknya suasananya benar-benar sepi (sehingga bagi yang ingin berbasah-basahan main air jangan lupa untuk mempertimbangkan bagaimana mandi dan ganti bajunya ya)
Faktor pemeliharaan kebersihan area pantai juga menjadi kendala dalam mengembangkan wisata Pantai Labangka ini, karena hampir disepanjang garis pantainya beberapa sampah plastik dari aliran sungai yang mengarah ke laut juga ikut hanyut dan terdampar di sekitar bibir pantai. Salah satu hal menarik disini hingga detik ini saat kami berkunjung adalah disepanjang garis pantai nyaris tidak ada bangunan-bangunan komersiil seperti hotel, resort, cafe, bar dan lainnya, yang ada hanyalah hamparan hijau savana dan ladang-ladang jagung milik warga sehingga menjadikan suasana di pantai ini layaknya sebuah hidden paradise atau surga tersembunyi yang jauh dari hingar bingar perkotaan
Masih belum puas dengan hanya berkunjung ke Pantai Dewa atau Labangka 1? Jangan kuatir disini masih ada 4 pantai lagi. Karena waktu juga masih siang maka kami pun menyempatkan untuk berkunjung ke Pantai Labangka 4 (dan seperti biasa karena ketiadaan papan penunjuk arah atau keterangan lainnya maka kami harus bertanya kepada warga sekitar, tenang saja warga disini ramah-ramah kok), oya disini penomoran pantai-pantainya tidak berurut ya, jadi setelah Labangka 1 kemudian adalah Labangka 3, setelah itu Labangka 4, Labangka 2, dan terakhir adalah Labangka 5, jarak antar pantai-pantainya pun hanya berkisar 3-5km saja (tetapi semuanya tetap belum ada penunjuk arahnya)
Di Pantai Labangka 4 ini patokan jalan masuknya berada tepat disamping tempat penjemuran jagung (bentuk bangunannya seperti gudang pabrik), akses masuknya berupa jalan kecil (1 mobil) dan masih berupa jalan berbatu dan jalan tanah, jadi kalau mau kesini jangan pakai mobil jenis sedan ya hehe...), kira-kira 2,5km setelah masuk dari jalan beraspal tadi sampailah kita di Pantai Labangka 4
Di Pantai Labangka 4 ini yang membedakan dengan keempat pantai lainnya adalah ditempat ini terdapat muara sungai yang mengarah langsung ke laut namun disaat laut sedang tenang maka antara muara sungai dengan lautnya terpisah oleh pasir pantai yang seakan menjadi jalan dan pembatas antara keduanya. Disinilah terjadi pertemuan antara air sungai yang tawar dengan air laut yang asin namun keduanya tidak bercampur
Dengan tebing karang yang tinggi dan diatasnya merupakan padang savana yang luas, serta masih banyaknya pepohonan besar yang ada di sepanjang aliran sungainya menjadikan di lokasi ini kerap ditemui monyet-monyet liar dan babi hutan (oleh karena itulah disekitar lokasi ladang terkadang juga dijumpai tenda-tenda yang digunakan oleh warga untuk menjaga ladangnya dari serangan hewan liar)
Sayangnya kami tidak tahu sampai kapan semua keindahan alam tersebut dapat terus bertahan, karena di sepanjang perjalanan menuju ke pantai-pantai Labangka ini kami melihat banyak spanduk-spanduk yang dipasang di pagar dan pepohonan bertuliskan "hentikan pengeboran dan perusakan yang membuat amblas", selidik punya selidik dari keterangan beberapa warga kami akhirnya mengetahui bahwa di daerah Sumbawa Barat rupanya terjadi pengeboran dan penggalian sumber daya alam berupa emas, tembaga, dan mineral lainnya yang dilakukan oleh PT. N*****t, pengeboran dan penggalian tersebut pun kian meluas hingga ke wilayah Dodorinti yang letaknya tidak jauh dari Labangka, efeknya terhadap Desa Labangka dan Pulau Sumbawa sendiri tentunya adalah masalah kerusakan lingkungan berupa pembuangan limbah mercury yang berbahaya dan penggerusan di dalam tanah yang berpotensi membuat kondisi tanah menjadi rawan amblas, sebagai upaya memuluskan kontrak pengeboran tersebut pihak PT. N*****t pun bersedia membuat dan memperbaiki akses jalan berupa pengaspalan di beberapa wilayah Sumbawa, dimana ujung-ujungnya akses jalan tersebut juga akan digunakan untuk kepentingan perusahaan tersebut dalam mempermudah proses distribusi pengangkutan hasil tambangnya
Dan ironisnya disaat kemudian terjadi bencana alam di Indonesia kemudian ada beberapa negara asing memberi bantuan kepada kita, tanpa kita sadari sebenarnya donasi yang mereka berikan merupakan hasil kekayaan alam negeri kita yang telah dieksploitasi oleh mereka untuk membangun negaranya, dan kita pun “berterimakasih” ketika menerima donasi tersebut, ketika sumberdaya alam kita telah habis dan lingkungan telah rusak maka mereka pun segera berpindah mencari “lahan subur” lainnya untuk dihisap, efek jangka panjangnya tentu saja anak cucu kita yang akan menanggung dan merasakan, mereka hanya akan mengetahui kekayaan negeri kita melalui cerita-cerita yang ada di buku atau kisah dari para leluhur saja, semua kejayaan tersebut hanya akan menjadi sebuah dongeng masa lalu jika kita tidak segera memperbaiki keadaan yang semakin mencemaskan ini .
Beginilah ironi yang terjadi di negeri tercinta kita, Indonesia, dimana bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat seperti yang termaktub didalam UUD 45 pasal 33 nyatanya kini sumber-sumber kekayaan alam kita dikuasai oleh pihak asing, sedangkan rakyatnya tetap hidup dalam kesulitan, walaupun disatu sisi pihak asing pun sebenarnya tidak melakukan kecurangan (karena mereka membeli aset-aset tersebut dari masyarakat lokal secara sah berdasarkan hukum) sehingga sesuai logika pasar saja mereka membeli karena melihat ada keuntungan dan ada penawaran, sedangkan masyarakat kita terus dibuai dengan tayangan-tayangan sinetron dan film yang menyuguhkan mimpi-mimpi cepat kaya secara instan sehingga pada akhirnya mereka tergiur dan terbawa dengan gaya hidup hedonis dan konsumtif (sampai-sampai banyak anak muda sekarang yang tidak mau sekolah jika tidak dibelikan motor, karena di televisi mereka melihat gaya hidup pelajar di kota-kota besar yang "terlihat keren" dengan sepeda motornya)
Oleh karena itulah ditengah semakin menurunnya kualitas tayangan media yang edukatif, pada akhirnya membuat kami dari goweswisata.blogspot.co.id ini pun mulai berhenti mengonsumsi mentah-mentah pemberitaan media lokal dan nasional kita, untuk kemudian turun langsung melakukan perjalanan ini, menyaksikan dan merasakan sendiri kondisi Indonesia saat ini, sehingga membuat perjalanan bersepeda yang kami lakukan ini bukanlah sebuah perjalanan wisata atau perjalanan yang men-dewakan merk sepeda semata, tetapi lebih dari itu semua yaitu untuk mulai membuka hati dan pikiran kita untuk bersama-sama membangun, mewujudkan, serta menjaga bumi nusantara tercinta kita, Indonesia.
Berhentilah menggantungkan dan melimpahkan semua kesalahan hanya kepada figur pemerintah saja, kita tidak dapat menutup mata dan mengakui bahwa memang masih ada kekurangan dalam sistem pemerintahan kita saat ini, namun semua itu tidak akan berubah jika kita hanya menjadi generasi yang hanya bisa nyinyir tanpa membawa solusi, karena jika kita ingin semua berubah menjadi lebih baik maka bukankah lebih baik jika kita juga mulai belajar untuk berubah menjadi individu manusia yang lebih baik lagi? Karena walaupun kita tidak tahu apakah surga akhirat itu ada, bagaimana bentuknya, atau apakah kita dapat merasakannya bukankah lebih baik jika selama saat kita masih diberi kesempatan untuk hidup didunia ini kita bersama-sama mulai membangun dunia ini menjadi tempat yang lebih baik, menjadi surga dunia yang indah untuk dapat kita nikmati dan kita wariskan kepada generasi pendatang setelah kita
“berpikir tentang kehidupan surga yang kekal di akhirat itu boleh untuk memotivasi kita menjadi manusia yang lebih baik, namun jangan lupa bahwa selama kamu bisa membaca tulisan ini berarti kamu masih hidup di dunia nyata, apakah saat ini kamu sudah berhasil menciptakan surga dikehidupan duniamu sendiri?”
“kita sering mencibir Negara-negara maju dengan sebutan Negara kafir, tetapi mereka tetap fokus dan rajin berusaha untuk memajukan dan menciptakan kehidupan yang lebih baik di negaranya serta bermanfaat untuk semua. Disisi lain kita menjadi orang yang malas dan tidak mau berusaha serta hanya terus mencibir sembari bermimpi mengharapkan surga akhirat, padahal surga dimanapun itu tidak akan dapat kita raih hanya dengan kemalasan”
Pengeluaran hari ini :
- 2 porsi nasi campur = Rp 20.000,-
- 2 botol teh pucuk = Rp 10.000,-
- 4 gelas ale-ale = Rp 4.000,-
- 2 es orson = Rp 4.000,-
Total = Rp 38.000,-
Total jarak tempuh hari ini : 54,49 km
Sembari beristirahat dan menunggu perkembangan kondisi cuaca mulai membaik di wilayah sekitar Kecamatan Plampang, Pulau Sumbawa ini, tentunya kami juga tidak betah jika hanya berdiam diri di kamar tanpa melakukan apa-apa, oleh karena itulah dihari kedua kami berada disini lebih baik kami memanfaatkan waktu dengan mencoba mencari tahu keunikan dan potensi apa saja yang ada disekitar wilayah Plampang ini
Dari hasil perbincangan kemarin dengan para pekerja bangunan di tempat kami menumpang beristirahat, barulah kami ketahui jika di dekat sini ada beberapa titik pantai yang kondisinya masih alami dan belum dikelola secara maksimal, baik oleh pemda setempat maupun oleh warga sekitar yang berdomisili di wilayah tersebut, lokasi pantai-pantai itu sendiri terbagi menjadi 5 buah mengikuti nama lokasi desa dari masing-masing pantai tersebut berada, jaraknya kurang lebih sekitar 15-20km di sisi selatan wilayah Plampang, tepatnya berada di Desa Labangka
Mendengar nama Pulau Sumbawa saja mungkin sebagian besar orang masih belum terlalu akrab, apalagi ketika ditanyakan tentang Desa Labangka. Namun ternyata wilayah Labangka yang merupakan pemekaran dari Kecamatan Plampang ini diam-diam menyimpan potensi pariwisata yang cukup menjanjikan, terutama dari sektor wisata alam berupa keindahan pantai-pantainya, dan wisata agronya, karena di tempat ini banyak sekali terdapat ladang-ladang jagung yang mana ketika musim panen tiba maka sebagian besar hasil produksi jagung di tempat ini kemudian akan dikirim ke beberapa wilayah lain di seluruh Indonesia. Para warga yang menghuni wilayah ini pun mayoritas berasal dari Pulau Lombok dan Bali, karena wilayah Labangka sendiri pada awalnya merupakan salah satu lokasi tujuan program transmigrasi pemerintah, sehingga mayoritas warga disini merupakan para transmigran yang kini berprofesi sebagai petani atau buruh kasar
Untuk menuju ke Desa Labangka sendiri kalian harus cukup jeli karena tidak ada petunjuk arahnya, satu-satunya yang bisa dijadikan patokan adalah jika kalian datang dari arah Kota Sumbawa Besar menuju ke timur, maka begitu memasuki wilayah Plampang km62, tidak jauh dari situ kira-kira 1km kemudian kalian akan melihat Pasar Plampang di sisi kanan jalan, disini kalian masih terus sedikit nanti setelah jalanan mulai menikung ada Kantor Polsek di sisi kiri jalan, perhatikan dengan seksama nanti di sisi kanan (tepat di perempatan kecil) terdapat gapura atau gerbang masuk menuju kota mandiri terpadu Labangka, nah kalian tinggal masuk dan ikuti rute jalan beraspalnya saja.
Disepanjang rute jalan beraspal yang memiliki kontur "aduhai" alias rolling naik-turun ini kalian akan disuguhi pemandangan berupa ladang jagung dimana-mana serta bukit-bukit yang khas wilayah Sumbawa, sedangkan untuk urusan perut jika kalian kelaparan ada baiknya membawa bekal sendiri karena walaupun disini ada warung-warung nasi berskala kecil tetapi untuk jumlahnya sendiri masih belum terlalu banyak
Kira-kira 13km sejak kalian memasuki gapura kota mandiri terpadu Labangka tadi, kalian akan melihat gapura berikutnya yang menuju lokasi Pantai Labangka 1, tepatnya berada di Jalan Liang Dewa, letak gapuranya sendiri berada tepat di belokan jalan beraspal namun sayangnya belum ada papan penunjuk arah atau keterangan menuju Pantai Labangka 1 atau masyarakat di sekitar sini biasa menyebutnya Pantai Dewa, begitu kalian memasuki gapura ini kondisi jalannya belum diaspal, rutenya masih berupa batu-batu pengerasan (sebagian lagi bahkan masih jalan tanah), dari sini kalian tinggal ikuti jalan saja sekitar 3km sampai nantinya kalian akan melihat semacam gerbang di sisi kanan jalan (awalnya kami juga sempat bingung ini gerbang menuju lokasi pantai atau gerbang masuk komplek perumahan yang belum jadi)
Karena ketiadaan papan penunjuk arah dan sepinya suasana di sekitar lokasi, awalnya kami mengambil jalan yang lurus (tidak masuk ke gerbang di sisi kanan) namun ternyata jalan lurus tersebut buntu, tetapi akhirnya kami diperbolehkan masuk melalui pintu akses menuju lokasi tambak-tambak udang (jalan masuk ini juga sering digunakan oleh warga sekitar yang berprofesi sebagai petambak), dan lagi-lagi setelah sampai di lokasi tambak-tambak tersebut kami “tetap” bingung bagaimana cara menuju ke pantainya karena aksesnya tertutup oleh tanggul-tanggul tambak, sekalinya kami menemukan jalan menuju pantai tetapi jarak antara bibir pantainya terlalu mepet ke pagar pembatas tanggul, sepertinya kami sudah salah jalan sehingga kami memutuskan untuk memutar balik dan mencoba untuk masuk melalui "gerbang yang tidak terawat" tadi.
Sambil memutar balik tidak lupa kami juga mendokumentasikan suasana di sekitar tambak-tambak udang tersebut, oya disini kami juga sempat melihat banyak kelelawar berukuran besar (dengan bentang sayap mencapai 1 meter) yang terbang dan bergantungan di pohon-pohon yang ada di sekitar tambak, sayangnya keterbatasan kamera pocket membuat kami sulit mengambil gambarnya (ya sudahlah biarkan mata dan memori kami saja yang menangkap momen indah ini hehe…)
Akhirnya setelah kembali di “gerbang tanpa nama” tadi kami pun mencoba untuk masuk dan menyusurinya sampai kemudian kami melihat ada sebuah penanda berbentuk bola bertuliskan kota mandiri terpadu (rupanya bangunan-bangunan yang ada di sekitar sini merupakan pembangkit listrik tenaga surya, tetapi sayangnya masih belum berfungsi), dari penanda berbentuk bola tadi kalian tinggal belok ke kiri dan ikuti jalan lurus saja, tetapi lagi-lagi karena ketiadaan papan penunjuk arah membuat kami harus bertanya kepada warga sekitar yang sedang meladang kemanakah arah menuju ke Pantai Dewa, oleh warga tersebut kami dianjurkan untuk memotong jalur melalui jalan ladang (jalan tanah 1 jalur yang biasa digunakan oleh warga untuk berladang atau mengangkut hasil ladang dengan gerobaknya) kami pun sempat bingung kira-kira kedepannya nanti jika ada orang atau pengunjung lain yang hendak berwisata ke pantai ini apakah semuanya harus melalui jalan ladang ini? Karena memang sampai saat ini belum ada akses jalan lain yang menuju ke pantai selain melalui jalan ladang ini (untuk yang bawa mobil dijamin mumet parkirnya karena jalan kakinya jauh)
Dan akhirnya kami pun sampai juga di Pantai Labangka 1 atau dikenal dengan nama Pantai Dewa, suasana di pantai ini benar-benar masih terasa alami dan sepi (hanya kami berdua saja pengunjung yang ada di pantai ini), dengan pasirnya yang berwarna putih dan halus seperti merica serta warna lautnya yang hijau kebiruan sepertinya potensi pantai ini kedepannya tidak akan kalah dengan pantai-pantai lainnya yang sudah lebih dulu populer
Di pantai ini juga terdapat sebuah Goa yang terbentuk dari dinding karang besar yang memiliki rongga atau lubang berbentuk ruangan, masyarakat sekitar menyebutnya dengan sebutan pure liang dewa, ada dua ruang utama di Goa ini, salah satu ruangnya mempunyai tempat peribadatan umat Hindu sedangkan di bagian depan Goa, tepat di bibir pantainya terdapat tempat untuk menaruh sesaji, di kejauhan juga tampak sebuah menara suar yang berfungsi memberi penanda bagi kapal-kapal yang melintas di malam hari
Ombak di Pantai Dewa dan sepertinya hampir di seluruh pantai wilayah Labangka ini mempunyai karakteristik yang sama, yaitu memiliki ombak yang besar dan kuat, sehingga tidak disarankan untuk berenang dipantai ini, jika pun kalian ingin bermain di bibir pantainya maka sebaiknya kalian tetap harus ekstra hati-hati karena tarikan arus balik dari ombaknya sendiri juga cukup kuat, dengan karakter ombak yang besar dan tinggi seperti ini tentunya akan sangat menarik bagi penggemar olahraga surfing, tetapi dengan arah ombak yang tidak menentu seperti disini entahlah kami pun tidak tahu apakah olahraga surfing bisa dilakukan di pantai ini atau tidak
Karena pantai-pantai yang ada di wilayah Labangka ini belum dikelola secara profesional maka tidak mengherankan jika belum ada fasilitas apa pun di sekitar lokasi pantai, jangankan toilet umum, bahkan pedagang atau warung yang biasanya ada dan bertebaran dihampir semua obyek wisata, kali ini benar-benar tidak ada sama sekali disini, pokoknya suasananya benar-benar sepi (sehingga bagi yang ingin berbasah-basahan main air jangan lupa untuk mempertimbangkan bagaimana mandi dan ganti bajunya ya)
Faktor pemeliharaan kebersihan area pantai juga menjadi kendala dalam mengembangkan wisata Pantai Labangka ini, karena hampir disepanjang garis pantainya beberapa sampah plastik dari aliran sungai yang mengarah ke laut juga ikut hanyut dan terdampar di sekitar bibir pantai. Salah satu hal menarik disini hingga detik ini saat kami berkunjung adalah disepanjang garis pantai nyaris tidak ada bangunan-bangunan komersiil seperti hotel, resort, cafe, bar dan lainnya, yang ada hanyalah hamparan hijau savana dan ladang-ladang jagung milik warga sehingga menjadikan suasana di pantai ini layaknya sebuah hidden paradise atau surga tersembunyi yang jauh dari hingar bingar perkotaan
Masih belum puas dengan hanya berkunjung ke Pantai Dewa atau Labangka 1? Jangan kuatir disini masih ada 4 pantai lagi. Karena waktu juga masih siang maka kami pun menyempatkan untuk berkunjung ke Pantai Labangka 4 (dan seperti biasa karena ketiadaan papan penunjuk arah atau keterangan lainnya maka kami harus bertanya kepada warga sekitar, tenang saja warga disini ramah-ramah kok), oya disini penomoran pantai-pantainya tidak berurut ya, jadi setelah Labangka 1 kemudian adalah Labangka 3, setelah itu Labangka 4, Labangka 2, dan terakhir adalah Labangka 5, jarak antar pantai-pantainya pun hanya berkisar 3-5km saja (tetapi semuanya tetap belum ada penunjuk arahnya)
Di Pantai Labangka 4 ini patokan jalan masuknya berada tepat disamping tempat penjemuran jagung (bentuk bangunannya seperti gudang pabrik), akses masuknya berupa jalan kecil (1 mobil) dan masih berupa jalan berbatu dan jalan tanah, jadi kalau mau kesini jangan pakai mobil jenis sedan ya hehe...), kira-kira 2,5km setelah masuk dari jalan beraspal tadi sampailah kita di Pantai Labangka 4
Di Pantai Labangka 4 ini yang membedakan dengan keempat pantai lainnya adalah ditempat ini terdapat muara sungai yang mengarah langsung ke laut namun disaat laut sedang tenang maka antara muara sungai dengan lautnya terpisah oleh pasir pantai yang seakan menjadi jalan dan pembatas antara keduanya. Disinilah terjadi pertemuan antara air sungai yang tawar dengan air laut yang asin namun keduanya tidak bercampur
Dengan tebing karang yang tinggi dan diatasnya merupakan padang savana yang luas, serta masih banyaknya pepohonan besar yang ada di sepanjang aliran sungainya menjadikan di lokasi ini kerap ditemui monyet-monyet liar dan babi hutan (oleh karena itulah disekitar lokasi ladang terkadang juga dijumpai tenda-tenda yang digunakan oleh warga untuk menjaga ladangnya dari serangan hewan liar)
Sayangnya kami tidak tahu sampai kapan semua keindahan alam tersebut dapat terus bertahan, karena di sepanjang perjalanan menuju ke pantai-pantai Labangka ini kami melihat banyak spanduk-spanduk yang dipasang di pagar dan pepohonan bertuliskan "hentikan pengeboran dan perusakan yang membuat amblas", selidik punya selidik dari keterangan beberapa warga kami akhirnya mengetahui bahwa di daerah Sumbawa Barat rupanya terjadi pengeboran dan penggalian sumber daya alam berupa emas, tembaga, dan mineral lainnya yang dilakukan oleh PT. N*****t, pengeboran dan penggalian tersebut pun kian meluas hingga ke wilayah Dodorinti yang letaknya tidak jauh dari Labangka, efeknya terhadap Desa Labangka dan Pulau Sumbawa sendiri tentunya adalah masalah kerusakan lingkungan berupa pembuangan limbah mercury yang berbahaya dan penggerusan di dalam tanah yang berpotensi membuat kondisi tanah menjadi rawan amblas, sebagai upaya memuluskan kontrak pengeboran tersebut pihak PT. N*****t pun bersedia membuat dan memperbaiki akses jalan berupa pengaspalan di beberapa wilayah Sumbawa, dimana ujung-ujungnya akses jalan tersebut juga akan digunakan untuk kepentingan perusahaan tersebut dalam mempermudah proses distribusi pengangkutan hasil tambangnya
Dan ironisnya disaat kemudian terjadi bencana alam di Indonesia kemudian ada beberapa negara asing memberi bantuan kepada kita, tanpa kita sadari sebenarnya donasi yang mereka berikan merupakan hasil kekayaan alam negeri kita yang telah dieksploitasi oleh mereka untuk membangun negaranya, dan kita pun “berterimakasih” ketika menerima donasi tersebut, ketika sumberdaya alam kita telah habis dan lingkungan telah rusak maka mereka pun segera berpindah mencari “lahan subur” lainnya untuk dihisap, efek jangka panjangnya tentu saja anak cucu kita yang akan menanggung dan merasakan, mereka hanya akan mengetahui kekayaan negeri kita melalui cerita-cerita yang ada di buku atau kisah dari para leluhur saja, semua kejayaan tersebut hanya akan menjadi sebuah dongeng masa lalu jika kita tidak segera memperbaiki keadaan yang semakin mencemaskan ini .
Beginilah ironi yang terjadi di negeri tercinta kita, Indonesia, dimana bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat seperti yang termaktub didalam UUD 45 pasal 33 nyatanya kini sumber-sumber kekayaan alam kita dikuasai oleh pihak asing, sedangkan rakyatnya tetap hidup dalam kesulitan, walaupun disatu sisi pihak asing pun sebenarnya tidak melakukan kecurangan (karena mereka membeli aset-aset tersebut dari masyarakat lokal secara sah berdasarkan hukum) sehingga sesuai logika pasar saja mereka membeli karena melihat ada keuntungan dan ada penawaran, sedangkan masyarakat kita terus dibuai dengan tayangan-tayangan sinetron dan film yang menyuguhkan mimpi-mimpi cepat kaya secara instan sehingga pada akhirnya mereka tergiur dan terbawa dengan gaya hidup hedonis dan konsumtif (sampai-sampai banyak anak muda sekarang yang tidak mau sekolah jika tidak dibelikan motor, karena di televisi mereka melihat gaya hidup pelajar di kota-kota besar yang "terlihat keren" dengan sepeda motornya)
Oleh karena itulah ditengah semakin menurunnya kualitas tayangan media yang edukatif, pada akhirnya membuat kami dari goweswisata.blogspot.co.id ini pun mulai berhenti mengonsumsi mentah-mentah pemberitaan media lokal dan nasional kita, untuk kemudian turun langsung melakukan perjalanan ini, menyaksikan dan merasakan sendiri kondisi Indonesia saat ini, sehingga membuat perjalanan bersepeda yang kami lakukan ini bukanlah sebuah perjalanan wisata atau perjalanan yang men-dewakan merk sepeda semata, tetapi lebih dari itu semua yaitu untuk mulai membuka hati dan pikiran kita untuk bersama-sama membangun, mewujudkan, serta menjaga bumi nusantara tercinta kita, Indonesia.
Berhentilah menggantungkan dan melimpahkan semua kesalahan hanya kepada figur pemerintah saja, kita tidak dapat menutup mata dan mengakui bahwa memang masih ada kekurangan dalam sistem pemerintahan kita saat ini, namun semua itu tidak akan berubah jika kita hanya menjadi generasi yang hanya bisa nyinyir tanpa membawa solusi, karena jika kita ingin semua berubah menjadi lebih baik maka bukankah lebih baik jika kita juga mulai belajar untuk berubah menjadi individu manusia yang lebih baik lagi? Karena walaupun kita tidak tahu apakah surga akhirat itu ada, bagaimana bentuknya, atau apakah kita dapat merasakannya bukankah lebih baik jika selama saat kita masih diberi kesempatan untuk hidup didunia ini kita bersama-sama mulai membangun dunia ini menjadi tempat yang lebih baik, menjadi surga dunia yang indah untuk dapat kita nikmati dan kita wariskan kepada generasi pendatang setelah kita
“berpikir tentang kehidupan surga yang kekal di akhirat itu boleh untuk memotivasi kita menjadi manusia yang lebih baik, namun jangan lupa bahwa selama kamu bisa membaca tulisan ini berarti kamu masih hidup di dunia nyata, apakah saat ini kamu sudah berhasil menciptakan surga dikehidupan duniamu sendiri?”
“kita sering mencibir Negara-negara maju dengan sebutan Negara kafir, tetapi mereka tetap fokus dan rajin berusaha untuk memajukan dan menciptakan kehidupan yang lebih baik di negaranya serta bermanfaat untuk semua. Disisi lain kita menjadi orang yang malas dan tidak mau berusaha serta hanya terus mencibir sembari bermimpi mengharapkan surga akhirat, padahal surga dimanapun itu tidak akan dapat kita raih hanya dengan kemalasan”
Pengeluaran hari ini :
- 2 porsi nasi campur = Rp 20.000,-
- 2 botol teh pucuk = Rp 10.000,-
- 4 gelas ale-ale = Rp 4.000,-
- 2 es orson = Rp 4.000,-
Total = Rp 38.000,-
Total jarak tempuh hari ini : 54,49 km