Sebelum menjelang pergantian tahun dari 2017 ke Tahun 2018 kali ini postingannya seputar wisata Yogyakarta saja dulu ya (tahun depan baru dilanjutin lagi cerita perjalanan touringnya hehe...)
Kali ini petualangan goweswisata.blogspot.co.id juga sekaligus dalam rangka melakukan test ride sepeda lipat Fold X Platinum yang saya setting dan rakit sendiri, rencananya untuk cerita petualangan berikutnya sepeda inilah yang akan menjadi teman perjalanan saya dalam mencari destinasi-destinasi wisata yang berada entah dimana, maka dari itulah sebelum sepeda ini dibawa bertualang semakin menjauh lebih baik pelan-pelan ditest dulu ketangguhannya sembari mencari settingan yang nyaman
Nah disinilah letak kebingungannya ketika mencari destinasi yang pas untuk melakukan test ride kali ini, karena syaratnya harus yang jaraknya dekat, tidak banyak tanjakan, dan rutenya aman alias banyak warung huehehehe... dan pilihan pun akhirnya jatuh ke arah Selatan, tepatnya menuju ke Embung Potorono
Embung Potorono seperti halnya embung-embung yang lain merupakan sebuah kolam penampungan air berukran besar yang banyak tersebar diberbagai titik di Propinsi DIY, fungsinya selain merupakan tempat cadangan air yang digunakan untuk irigasi juga sekaligus merupakan lokasi wisata, beberapa embung yang letaknya berada tidak jauh dari pusat kota sepengetahuan saya ada dua buah yaitu Embung Tambakboyo yang berada di bagian utara (dekat Condongcatur) dan Embung Potorno yang berada di bagian selatan (dekat dengan Kantor Kecamatan Banguntapan dan Pasar Ngipik)
Lokasi Embung Potorono
Embung atau telaga desa Potorono ini tepatnya berada di Dusun Salakan, Desa Potorono, Banguntapan, Bantul,Yogyakarta. Lokasinya dari basecamp goweswisata hanya berjarak sekitar 5 km saja (nah dekat bukan, maka dari itulah saya memilih lokasi ini hehe...), rutenya pun cukup mudah, jika kalian start dari PLN Gedongkuning kalian tinggal menuju ke Timur sampai traffic light ringroad kemudian belok kanan masuk ringroad sampai ketemu traffic light berikutnya kemudian belok kiri menuju ke arah Kantor Kecamatan Banguntapan, setelah melewati Kantor Kecamatan Banguntapan nanti ada pertigaan pertama masih terus saja, kemudian ada pertigaan berikutnya (dimana jalan utama mengarah ke kanan) kalian ambil yang lurus saja menuju Pasar Ngipik, setelah melewati Pasar Ngipik nanti kalian akan melewati jembatan, nah Embung Potorono terletak persis di sebelah kanan (arah bawah jembatan), bagaimana rutenya mudah kan? dan so pastinya aman karena banyak warung dan tempat jajanan disekitar sini, dan ada kabar gembira lagi mengenai tempat ini, yaitu bukan Mastin tentunya (kok jadi iklan), yaitu untuk masuk ke lokasi ini tidak ada pungutan alias gratis (sebuah kata-kata yang terdengar merdu di telinga saya)
Embung Potorono sudah terlihat dari atas jembatan
Secara ukuran luas Embung ini masih kalah besar dengan Embung Tambakboyo
Jalan masuk menuju Embung ini masih berupa jalan kampung yang berbatu dan berpasir namun masih gowes-able kok
Disini kalian juga bisa memberi makan ikan-ikan nila yang berada di dalam embung ini
Fasilitas yang ada di sekitar lokasi Embung ini antara lain adalah Gazebo-gazebo, warung, jajanan, tong sampah (jadi jangan buang sampah sembarangan ya), dan taman yang saat tulisan ini dibuat masih dalam proses pengerjaan
Sungai yang berada persis disamping Embung Potorono ini
Mungkin saran dari saya untuk pengembangan lokasi ini kedapannya adalah perbanyak jumlah pohon-pohon peneduh karena saat cuaca cerah maka suasana di sekitar lokasi ini sangat panas karena kurangnya pohon-pohon peneduh (mungkin juga karena tamannya belum jadi), namun untuk sekedar bersantai bersama keluarga atau kumpul-kumpul bersama teman maka tempat ini cukup asyik kok, ditambah lagi tempatnya juga terbilang cukup dekat dengan beberapa obyek wisata lainnya seperti Jembatan Bawuran, Puncak Gebang, Watu Gilang dan jalan Jogja-Wonosari, jadi kalau kalian sedang berkunjung ke wilayah Potorono ini sempatkanlah berkunjung dan nikmati bersantai di tengah semilir angin dan suara air sungai
Selamat bertualang dan Selamat menikmati Libur Tahun Baru, semoga di Tahun berikutnya keadaan akan menjadi lebih baik lagi untuk kita semua dan Negara ini
Segenap cyclist dari goweswisata mengucapkan Selamat Tahun Baru 2018 untuk kalian semua :)
Tuesday, 26 December 2017
Monday, 18 December 2017
CHAPTER 23; SUMBAWA ISLAND
Senin, 25 Januari 2016
Selamat pagi Pulau Sumbawa :)
Setelah tadi malam kami tidur ditemani oleh nyamuk-nyamuk Pelabuhan Pototano yang ganas akhirnya perlahan fajar pun mulai menyingsing bersamaan dengan kumandang adzan Subuh dari pengeras suara Masjid yang berada di Desa sekitar Pelabuhan
Minimarket modern yang berada dekat dengan Pelabuhan pun tampaknya sudah buka, sepertinya minimarket yang baru berdiri ini memang beroperasi 24jam nonstop karena dari semalam satu-satunya sumber penerangan yang kami lihat dari Pelabuhan hanyalah penerangan yang berasal dari minimarket ini
Tanpa sempat mandi pagi karena tidak ada toilet yang berfungsi disekitar sini (toiletnya sih berfungsi tapi pintunya yang tidak ada hehe...), akhirnya sekitar jam 6 pagi WITA kami pun mulai melanjutkan gowes dari Pelabuhan Pototano. Suasana pagi disini terasa sangat berbeda sekali jika dibandingkan dengan Pulau Lombok dan Bali, apalagi Pulau Jawa
Kondisi ruas jalan yang halus dan lebar serta sepi seakan memanjakan para pengguna jalan disini, ditambah lagi dengan pemandangan bukit-bukit yang ada disekitarnya menjadikan suasana ketika gowes disini seperti sedang berada di luar negeri. Sayangnya karena sebelum tiba ke Pulau Sumbawa kami minim informasi mengenai pulau ini akhirnya membuat kami melewatkan obyek wisata Pulau Kenawa (padahal jaraknya dari Pelabuhan Pototano ternyata dekat sekali)
Setidaknya mitos dan gosip tentang kondisi Pulau Sumbawa yang "katanya" masih sepi, banyak hutan, dan terdengar primitif akhirnya terbantahkan saat sekarang kami berada disini, karena kira-kira 3-5km selepas Pelabuhan Pototano sudah ada perkampungan warga dengan deretan rumah-rumah panggungnya, dan setelah pertigaan yang memisahkan jalur menuju Taliwang dan jalur menuju Bima kini sudah mulai tampak warung-warung kecil dan tempat makan, pokoknya aman kalau sekarang kalian ingin berwisata ke Pulau Sumbawa, tidak perlu takut tersesat karena rutenya mudah, hanya tinggal mengikuti jalan utama saja
Sebelum mulai bergerak semakin jauh dari sekitar Pelabuhan, kami pun mengisi perut terlebih dahulu di sebuah warung nasi yang berjarak sekitar 10km dari Pelabuhan dimana sang empunya warung ternyata juga berasal dari Pulau Jawa, tepatnya dari Kota Situbondo, begitu juga dengan para pengunjungnya yang sedang sarapan pagi di tempat ini, mereka adalah para karyawan PLN yang berasal dari Solo dan Boyolali (hadeeuuhh sudah jauh-jauh ke wilayah Indonesia bagian Timur eh ketemunya masih tetanggaan sesama Jawa Tengah), akhirnya sambil sarapan kami pun berbincang-bincang dan tidak lupa menanyakan beberapa informasi seputar rute yang akan kami lalui di Pulau Sumbawa ini
Perut sudah terisi kini saatnya melanjutkan perjalanan lagi, awalnya kami mengira setelah warung makan ini maka rute berikutnya akan sepi tetapi ternyata sekitar 500 meter kemudian kami sudah kembali memasuki perkampungan berikutnya, otomatis warung-warung makan pun ada dimana-mana (jadi kalian tidak perlu takut kelaparan disini)
Satu hal yang menjadi ciri khas di Pulau Sumbawa ini selain pemandangan bukit-bukitnya adalah banyaknya sapi, kuda, dan kambing dimana-mana. Dengan santainya mereka menyeberang atau berpose tidur layaknya model di tengah jalan sehingga kalian harus berhati-hati ketika mengemudi disini jangan sampai kalian menabrak sapi (bisa diamuk warga)
Melihat banyaknya jumlah sapi yang berkeliaran dengan bebasnya disini tanpa harus diikat dengan tali atau diawasi oleh pemiliknya sepertinya menjadi indikator bahwa disini kondisinya cukup aman, selain itu hal ini juga membuat kami berpikir mengapa kemudian kita harus mengimpor sapi dari Australia karena Pulau Sumbawa sendiri terkenal sebagai penyuplai sapi dan hewan ternak lainnya untuk seluruh wilayah Indonesia, kondisi fisik sapinya sendiri juga gemuk-gemuk dan padat (mungkin karena disini masih banyak padang rumput dan minim polusi)
Kedatangan kami berdua di Pulau Sumbawa ini pun sepertinya sudah terpantau oleh beberapa sahabat pesepeda lokal, padahal awalnya kami hanya iseng menulis status di sosial media untuk mengabari jika saat ini kami sudah tiba di Pulau Sumbawa dan hendak melintas dibeberapa wilayahnya, seketika mulai banyak yang menanyakan dimana posisi kami berada sekarang, untuk hal ini kami harus memberi salut atas kekompakan dan koordinasi dari teman-teman pesepeda di Pulau Sumbawa yang walaupun sebagian besar bukanlah penganut aliran bersepeda touring (mayoritas komunitas sepeda disini adalah komunitas sepeda gunung offroad) akan tetapi kekompakan dan koordinasinya yang selalu memberi kabar perihal kedatangan, jadwal dan rute perjalanan kami untuk kemudian dishare ke grup-grup komunitasnya cukup membantu dan mempermudah kami dalam mengumpulkan informasi seputar Pulau Sumbawa ini, termasuk juga ketika mencari tempat dimana kami bisa beristirahat, sehingga bagi kalian yang sedang atau ingin mencoba touring ke arah Indonesia bagian Timur, jangan lupa masukkan Pulau Sumbawa kedalam daftar destinasi wisata kalian dan silahkan merasakan sendiri keramahan masyarakat serta keindahan panorama yang ada di Pulau Sumbawa ini
Berbekal informasi dan koordinasi yang dilakukan oleh rekan-rekan pesepeda lokal tersebut kami pun disarankan untuk mampir dan beristirahat sejenak di sekretariat salah satu komunitas sepeda lokal yang ada di wilayah Utan, setidaknya lumayanlah untuk menumpang mandi karena seharian kami belum mandi hehe :)
Selepas wilayah Alas tidak berapa lama kemudian kami pun mulai memasuki wilayah Utan, dan setelah mengikuti petunjuk via pesan singkat yang dikirim ke telepon seluler kami, kami pun tiba di sekretariat tersebut (Utan Cycling Community) disini kami dipersilahkan untuk beristirahat dan bersih-bersih menyegarkan diri dulu sebelum lanjut gowes lagi menuju ke wilayah Rhee, dimana disitu kami diberi rekomendasi tempat bermalam di kediaman salah seorang anggotanya, di sekretariat UCC yang merangkap sebagai toko celluler tersebut semua botol-botol minum kami juga diisi ulang oleh sang pemilik toko (terimakasih ya masbro)
Sekitar jam 1 siang setelah mandi dan beristirahat sejenak, kini waktunya kami untuk mulai melanjutkan perjalanan lagi menuju ke wilayah Rhee, awan mendung yang sedari tadi menggelayut kini mulai berubah menjadi hujan, beberapa tanjakan-tanjakan dan kontur jalan yang rolling menjadi salah satu tantangan yang harus kami lalui disini, sampai akhirnya kami melewati sebuah lokasi yang dipenuhi oleh penjual jagung bakar di sepanjang sisinya (disini kami kemudian baru tahu jika wilayah Rhee ternyata terkenal dengan produksi jagungnya yang memiliki rasa khas, serta dapat tetap berproduksi kapan saja walaupun disaat musim kemarau)
Setibanya di Rhee dengan kondisi cuaca yang masih gerimis, kami sempat meminta ijin untuk menumpang beristirahat di Polsek Rhee yang lokasinya tepat bersebelahan dengan Kantor Kecamatan Rhee, namun karena ketiadaan ruang (ternyata kantor polsek ini juga baru dibangun) dan adanya 2 orang tahanan di polsek tersebut maka kami kemudian dijemput oleh salah seorang petugas Kecamatan Rhee (Ali Ridha) yang juga merupakan anggota dari salah satu komunitas pesepeda lokal diwilayah ini untuk kemudian pindah dan bermalam di kediaman beliau dengan pertimbangan supaya kami juga lebih nyaman (satu hal yang perlu dicatat adalah ternyata petugas polisi diwilayah ini sangat ramah dan asyik, sehingga kita tidak perlu ragu untuk meminta bantuan), menurut penuturan dari petugas polisi tersebut beberapa petouring baik lokal maupun mancanegara juga ada yang sempat menumpang bermalam bahkan mendirikan tenda di halaman Kantor Polsek tersebut. Wajar saja jika kemudian wilayah Rhee dijadikan tempat transit sementara bagi para pesepeda touring yang sedang melintasi Pulau Sumbawa ini karena dengan jaraknya yang sekitar 60km selepas Pelabuhan Pototano menjadikan wilayah Rhee ini sangat strategis sebagai check point peristirahatan
Setelah gerimis mulai mereda kami pun kemudian pindah ke kediaman Mas Ali Ridha yang berjarak tidak jauh dari Kantor Polsek tersebut, awalnya kami sempat merasa sungkan untuk menerima tawaran bermalam di kediaman beliau karena dari pengalaman-pengalaman kami sebelumnya dikuatirkan jika kehadiran kami akan merepotkan pergerakan aktivitas anggota keluarga lainnya yang ada, namun setelah ia meyakinkan bahwa ia lah yang merasa tidak enak jika kami sampai bermalam di Kantor Polsek dan juga dengan alasan faktor keamanan (dengan adanya dua orang tahanan di polsek tersebut) maka kami pun kemudian sepakat untuk pindah dan menumpang bermalam di rumahnya. Setidaknya hari ini kami telah membuktikan bahwa slogan "keramahan budaya timur Indonesia" itu benar-benar masih ada hingga detik ini, dan semoga keramahan seperti itu dapat terus bertahan ditengah meningkatnya perilaku masyarakat kita yang semakin individual dan hedonis akibat modernisasi suatu wilayah serta efek negatif dari banjir informasi yang gencar melanda generasi muda sekarang
“I don’t think that anything happens by coincidence… no one is here by accident. Everyone who crosses our path has a message for us”
Pengeluaran hari ini :
- 1 botol air mineral 1,5L = Rp 4.000,-
- 2 porsi nasi campur = Rp 20.000,-
- belanja alfamart = Rp 14.000,-
- 2 porsi nasi goreng = Rp 24.000,-
Total = Rp 62.000,-
Total jarak tempuh hari ini : 60,61km
Selamat pagi Pulau Sumbawa :)
Setelah tadi malam kami tidur ditemani oleh nyamuk-nyamuk Pelabuhan Pototano yang ganas akhirnya perlahan fajar pun mulai menyingsing bersamaan dengan kumandang adzan Subuh dari pengeras suara Masjid yang berada di Desa sekitar Pelabuhan
Minimarket modern yang berada dekat dengan Pelabuhan pun tampaknya sudah buka, sepertinya minimarket yang baru berdiri ini memang beroperasi 24jam nonstop karena dari semalam satu-satunya sumber penerangan yang kami lihat dari Pelabuhan hanyalah penerangan yang berasal dari minimarket ini
Tanpa sempat mandi pagi karena tidak ada toilet yang berfungsi disekitar sini (toiletnya sih berfungsi tapi pintunya yang tidak ada hehe...), akhirnya sekitar jam 6 pagi WITA kami pun mulai melanjutkan gowes dari Pelabuhan Pototano. Suasana pagi disini terasa sangat berbeda sekali jika dibandingkan dengan Pulau Lombok dan Bali, apalagi Pulau Jawa
Kondisi ruas jalan yang halus dan lebar serta sepi seakan memanjakan para pengguna jalan disini, ditambah lagi dengan pemandangan bukit-bukit yang ada disekitarnya menjadikan suasana ketika gowes disini seperti sedang berada di luar negeri. Sayangnya karena sebelum tiba ke Pulau Sumbawa kami minim informasi mengenai pulau ini akhirnya membuat kami melewatkan obyek wisata Pulau Kenawa (padahal jaraknya dari Pelabuhan Pototano ternyata dekat sekali)
Setidaknya mitos dan gosip tentang kondisi Pulau Sumbawa yang "katanya" masih sepi, banyak hutan, dan terdengar primitif akhirnya terbantahkan saat sekarang kami berada disini, karena kira-kira 3-5km selepas Pelabuhan Pototano sudah ada perkampungan warga dengan deretan rumah-rumah panggungnya, dan setelah pertigaan yang memisahkan jalur menuju Taliwang dan jalur menuju Bima kini sudah mulai tampak warung-warung kecil dan tempat makan, pokoknya aman kalau sekarang kalian ingin berwisata ke Pulau Sumbawa, tidak perlu takut tersesat karena rutenya mudah, hanya tinggal mengikuti jalan utama saja
Sebelum mulai bergerak semakin jauh dari sekitar Pelabuhan, kami pun mengisi perut terlebih dahulu di sebuah warung nasi yang berjarak sekitar 10km dari Pelabuhan dimana sang empunya warung ternyata juga berasal dari Pulau Jawa, tepatnya dari Kota Situbondo, begitu juga dengan para pengunjungnya yang sedang sarapan pagi di tempat ini, mereka adalah para karyawan PLN yang berasal dari Solo dan Boyolali (hadeeuuhh sudah jauh-jauh ke wilayah Indonesia bagian Timur eh ketemunya masih tetanggaan sesama Jawa Tengah), akhirnya sambil sarapan kami pun berbincang-bincang dan tidak lupa menanyakan beberapa informasi seputar rute yang akan kami lalui di Pulau Sumbawa ini
Perut sudah terisi kini saatnya melanjutkan perjalanan lagi, awalnya kami mengira setelah warung makan ini maka rute berikutnya akan sepi tetapi ternyata sekitar 500 meter kemudian kami sudah kembali memasuki perkampungan berikutnya, otomatis warung-warung makan pun ada dimana-mana (jadi kalian tidak perlu takut kelaparan disini)
Satu hal yang menjadi ciri khas di Pulau Sumbawa ini selain pemandangan bukit-bukitnya adalah banyaknya sapi, kuda, dan kambing dimana-mana. Dengan santainya mereka menyeberang atau berpose tidur layaknya model di tengah jalan sehingga kalian harus berhati-hati ketika mengemudi disini jangan sampai kalian menabrak sapi (bisa diamuk warga)
Melihat banyaknya jumlah sapi yang berkeliaran dengan bebasnya disini tanpa harus diikat dengan tali atau diawasi oleh pemiliknya sepertinya menjadi indikator bahwa disini kondisinya cukup aman, selain itu hal ini juga membuat kami berpikir mengapa kemudian kita harus mengimpor sapi dari Australia karena Pulau Sumbawa sendiri terkenal sebagai penyuplai sapi dan hewan ternak lainnya untuk seluruh wilayah Indonesia, kondisi fisik sapinya sendiri juga gemuk-gemuk dan padat (mungkin karena disini masih banyak padang rumput dan minim polusi)
Kedatangan kami berdua di Pulau Sumbawa ini pun sepertinya sudah terpantau oleh beberapa sahabat pesepeda lokal, padahal awalnya kami hanya iseng menulis status di sosial media untuk mengabari jika saat ini kami sudah tiba di Pulau Sumbawa dan hendak melintas dibeberapa wilayahnya, seketika mulai banyak yang menanyakan dimana posisi kami berada sekarang, untuk hal ini kami harus memberi salut atas kekompakan dan koordinasi dari teman-teman pesepeda di Pulau Sumbawa yang walaupun sebagian besar bukanlah penganut aliran bersepeda touring (mayoritas komunitas sepeda disini adalah komunitas sepeda gunung offroad) akan tetapi kekompakan dan koordinasinya yang selalu memberi kabar perihal kedatangan, jadwal dan rute perjalanan kami untuk kemudian dishare ke grup-grup komunitasnya cukup membantu dan mempermudah kami dalam mengumpulkan informasi seputar Pulau Sumbawa ini, termasuk juga ketika mencari tempat dimana kami bisa beristirahat, sehingga bagi kalian yang sedang atau ingin mencoba touring ke arah Indonesia bagian Timur, jangan lupa masukkan Pulau Sumbawa kedalam daftar destinasi wisata kalian dan silahkan merasakan sendiri keramahan masyarakat serta keindahan panorama yang ada di Pulau Sumbawa ini
Berbekal informasi dan koordinasi yang dilakukan oleh rekan-rekan pesepeda lokal tersebut kami pun disarankan untuk mampir dan beristirahat sejenak di sekretariat salah satu komunitas sepeda lokal yang ada di wilayah Utan, setidaknya lumayanlah untuk menumpang mandi karena seharian kami belum mandi hehe :)
Selepas wilayah Alas tidak berapa lama kemudian kami pun mulai memasuki wilayah Utan, dan setelah mengikuti petunjuk via pesan singkat yang dikirim ke telepon seluler kami, kami pun tiba di sekretariat tersebut (Utan Cycling Community) disini kami dipersilahkan untuk beristirahat dan bersih-bersih menyegarkan diri dulu sebelum lanjut gowes lagi menuju ke wilayah Rhee, dimana disitu kami diberi rekomendasi tempat bermalam di kediaman salah seorang anggotanya, di sekretariat UCC yang merangkap sebagai toko celluler tersebut semua botol-botol minum kami juga diisi ulang oleh sang pemilik toko (terimakasih ya masbro)
Sekitar jam 1 siang setelah mandi dan beristirahat sejenak, kini waktunya kami untuk mulai melanjutkan perjalanan lagi menuju ke wilayah Rhee, awan mendung yang sedari tadi menggelayut kini mulai berubah menjadi hujan, beberapa tanjakan-tanjakan dan kontur jalan yang rolling menjadi salah satu tantangan yang harus kami lalui disini, sampai akhirnya kami melewati sebuah lokasi yang dipenuhi oleh penjual jagung bakar di sepanjang sisinya (disini kami kemudian baru tahu jika wilayah Rhee ternyata terkenal dengan produksi jagungnya yang memiliki rasa khas, serta dapat tetap berproduksi kapan saja walaupun disaat musim kemarau)
Setibanya di Rhee dengan kondisi cuaca yang masih gerimis, kami sempat meminta ijin untuk menumpang beristirahat di Polsek Rhee yang lokasinya tepat bersebelahan dengan Kantor Kecamatan Rhee, namun karena ketiadaan ruang (ternyata kantor polsek ini juga baru dibangun) dan adanya 2 orang tahanan di polsek tersebut maka kami kemudian dijemput oleh salah seorang petugas Kecamatan Rhee (Ali Ridha) yang juga merupakan anggota dari salah satu komunitas pesepeda lokal diwilayah ini untuk kemudian pindah dan bermalam di kediaman beliau dengan pertimbangan supaya kami juga lebih nyaman (satu hal yang perlu dicatat adalah ternyata petugas polisi diwilayah ini sangat ramah dan asyik, sehingga kita tidak perlu ragu untuk meminta bantuan), menurut penuturan dari petugas polisi tersebut beberapa petouring baik lokal maupun mancanegara juga ada yang sempat menumpang bermalam bahkan mendirikan tenda di halaman Kantor Polsek tersebut. Wajar saja jika kemudian wilayah Rhee dijadikan tempat transit sementara bagi para pesepeda touring yang sedang melintasi Pulau Sumbawa ini karena dengan jaraknya yang sekitar 60km selepas Pelabuhan Pototano menjadikan wilayah Rhee ini sangat strategis sebagai check point peristirahatan
Setelah gerimis mulai mereda kami pun kemudian pindah ke kediaman Mas Ali Ridha yang berjarak tidak jauh dari Kantor Polsek tersebut, awalnya kami sempat merasa sungkan untuk menerima tawaran bermalam di kediaman beliau karena dari pengalaman-pengalaman kami sebelumnya dikuatirkan jika kehadiran kami akan merepotkan pergerakan aktivitas anggota keluarga lainnya yang ada, namun setelah ia meyakinkan bahwa ia lah yang merasa tidak enak jika kami sampai bermalam di Kantor Polsek dan juga dengan alasan faktor keamanan (dengan adanya dua orang tahanan di polsek tersebut) maka kami pun kemudian sepakat untuk pindah dan menumpang bermalam di rumahnya. Setidaknya hari ini kami telah membuktikan bahwa slogan "keramahan budaya timur Indonesia" itu benar-benar masih ada hingga detik ini, dan semoga keramahan seperti itu dapat terus bertahan ditengah meningkatnya perilaku masyarakat kita yang semakin individual dan hedonis akibat modernisasi suatu wilayah serta efek negatif dari banjir informasi yang gencar melanda generasi muda sekarang
“I don’t think that anything happens by coincidence… no one is here by accident. Everyone who crosses our path has a message for us”
Pengeluaran hari ini :
- 1 botol air mineral 1,5L = Rp 4.000,-
- 2 porsi nasi campur = Rp 20.000,-
- belanja alfamart = Rp 14.000,-
- 2 porsi nasi goreng = Rp 24.000,-
Total = Rp 62.000,-
Total jarak tempuh hari ini : 60,61km
Wednesday, 13 December 2017
CHAPTER 22; FAREWELL LOMBOK ISLAND
Kamis, 21 Januari 2016
Selamat pagi Gili Trawangan :), enggan rasanya pergi meninggalkan pulau kecil yang indah ini, tetapi perjalanan dan cerita petualangan kami masih sangat panjang dan belum berakhir, jadi c’mon let’s go
Setelah melakukan ritual pagi hari seperti biasanya (mandi, berkemas, dan mempacking semua perlengkapan ke atas sepeda), kami pun akhirnya check out dari penginapan dan menuju ke dermaga untuk membeli tiket kapal yang menuju ke Pelabuhan Bangsal. Suasana tenang begitu terasa di Gili Trawangan ini, keramaian dan aktivitas yang ada belum dimulai, semua warga dan pemilik usaha terlihat masih mempersiapkan dan membersihkan tempat usahanya masing-masing
Untuk kembali ke Pelabuhan Bangsal dengan menggunakan public boat kami harus membeli 4 buah tiket (2 buah tiket untuk masing-masing dari kami, dan 2 buah tiket lagi untuk sepeda-sepeda kami), setelah urusan tiket sudah beres, tahap berikutnya adalah mencari porter untuk mengangkut sepeda-sepeda kami ke atas kapal, untungnya kami sudah mengetahui kisaran harga jasa porter setelah kemarin kami menggunakan jasa mereka, sehingga tidak dibutuhkan negosiasi harga lagi dan saya pun kebetulan bertemu dengan porter yang sama dengan yang kemarin saya gunakan
Begitu kapal yang kami gunakan sudah merapat kembali di Pelabuhan Bangsal dan porter juga sudah menurunkan sepeda-sepeda kami kembali di Pelabuhan, kini saatnya mencari sarapan yang ada di sepanjang rute yang akan kami lalui nanti.
Rencananya kami akan kembali menuju ke Kota Mataram dan off from the bicycle selama beberapa hari untuk menikmati suasana kotanya dan berkeliling dengan berjalan kaki santai saja, nah untuk menuju ke Kota Mataram pilihannya ada 2 rute, pilihan pertama yaitu dengan menggunakan rute yang sama dengan yang kami tempuh sebelumnya yaitu menyusuri pesisir pantai barat, sedangkan pilihan kedua yaitu melalui Hutan Pusuk atau yang dikenal juga dengan sebutan monkey forest dikarenakan di sepanjang rute ini ada banyak monyet-monyet liar yang berkeliaran di jalanan.
Mengingat pada rute pesisir pantai sebelumnya jumlah dan derajat tanjakannya banyak sekali dan mungkin nantinya kami akan merasa bosan dikarenakan menempuh rute dan pemandangan yang sama, maka kali ini pilihannya jatuh kepada rute Hutan Pusuk, selain karena kami belum pernah melalui rute ini maka kami pikir setidaknya walaupun mungkin akan ada medan yang terasa berat namun kami tidak akan merasa bosan
Sebelum memasuki wilayah Hutan Pusuk kami sarapan pagi terlebih dahulu di sebuah warung makan yang berada di pinggir jalan, setidaknya untuk berjaga-jaga bila di sepanjang rute Hutan Pusuk nanti tidak ada warung makan maka perbekalan kami juga sudah siap untuk sekedar cemal-cemil
Berdasarkan peta online yang saya pelajari maka medan yang menanjak hanya akan kami alami di sepanjang wilayah Hutan Pusuk ini, setelah itu kontur jalannya hanya tinggal turunan sampai nantinya memasuki wilayah Kota Mataram, sekilas kondisi rute Hutan Pusuk ini mirip dengan tanjakan Pathuk yang ada di Jogja (sepertinya derajat tanjakannya malah lebih parah yang ada di Jogja, hanya saja di Hutan Pusuk ini jaraknya lebih panjang dan suasananya lebih sepi sehingga nuansanya semakin terasa jauh dan berat)
Untunglah sebelumnya kami telah sarapan karena di sepanjang rute ini nyaris benar-benar sepi, tidak ada warung makanan sama sekali sampai dibagian puncaknya nanti di sekitar gapura tanda batas memasuki dan meninggalkan area Hutan ini, dirute ini pun kami harus jeli mengamati kondisi cuaca, karena ketika tengah menuntun sepeda menghadapi tanjakan dikejauhan terlihat awan mendung mulai bergerak mendekati posisi kami, dan benar saja tidak lama kemudian gerimis dan hujan pun mulai turun membasahi kami yang masih berusaha antara mendorong dan mengayuh di medan tanjakan ini hingga akhirnya ditengah guyuran hujan yang semakin deras ini kami pun berhasil juga sampai hingga ke puncaknya, kini saatnya turunan (saat tanjakan terasa pegal karena mendorong, kini dimedan turunan tetap saja tangan dan kaki terasa pegal karena harus mengatur rem dan sesekali berdiri ketika melewati medan aspal yang rusak)
Walau hanya tinggal menikmati medan turunan saja namun disini kita juga tetap harus ekstra berhati-hati karena di beberapa titik terdapat kondisi aspal yang rusak dan bergelombang pada bagian pinggirnya, selain itu hujan juga membuat beberapa kali pengereman menjadi tidak begitu pakem seperti saat kering, dan masih ditambah dengan banyaknya monyet-monyet liar yang terkadang menyeberang jalan secara mendadak, kondisi hujan ini terus berlangsung dan turut mengiringi perjalanan kami hingga sampai di Kota Mataram
Setibanya di Kota Mataram, kondisi kota yang pada beberapa titiknya terlihat menggenang dan banjir mau tidak mau membuat kami harus mengayuh secara perlahan dan berhati-hati supaya tidak tergelincir, beberapa kendaraan umum yang ngetem secara sembarangan dan para pemotor yang tidak mau mengalah turut menambah kesemrawutan yang ada di kota ini, sekilas hampir mirip dengan suasana di Kalimalang, Jakarta Timur yang menuju ke Bekasi kala hujan
Saya pun kemudian menghubungi seorang teman SMU saya dahulu yang kini kebetulan sedang bekerja dan menetap di Kota Mataram, saya pun juga baru tahu jika ia berada di Kota Mataram ini melalui jaringan media sosial, sebelumnya ia telah menghubungi saya terlebih dahulu ketika ia melihat dan membaca cerita perjalanan kami berdua yang sedang bersepeda entah kemana, oleh karena itulah ia pun akhirnya menghubungi sembari menanyakan kabar dan menawarkan bantuan tempat singgah seandainya saya mampir ke Pulau Lombok ini, dan setelah saling mengabari dan memberitahu patokan lokasi rumahnya kami pun akhirnya menuju kekediamannya dan bertanya sekiranya kami boleh menumpang beristirahat selama beberapa hari atau jika situasinya tidak memungkinkan ia bisa memberi kami rekomendasi tempat beristirahat yang “berbudget layak”.
Setelah berdiskusi dan mempertimbangkan segala sesuatunya maka kami pun akhirnya memilih untuk menggelar tenda saja di halaman rumahnya dengan alasan supaya kehadiran kami juga tidak mengganggu rutinitas harian dan pergerakan aktivitasnya, kami hanya akan masuk ke bagian dalam rumahnya sekedar untuk menumpang fasilitas kamar mandi saja, awalnya mungkin ia merasa tidak enak hati karena membiarkan kami yang notabene adalah tamu untuk tidur di luar rumahnya dengan hanya menggelar tenda saja, namun kami pun meyakinkannya jika kami pun tidak keberatan dan justru dengan cara seperti ini maka masing-masing juga tetap dapat beraktivitas dan memiliki privacynya masing-masing, toh itu pula alasan mengapa sejak awal perjalanan kami membawa tenda untuk digunakan di saat-saat seperti ini, alasan lainnya adalah karena saat itu teman saya juga kebetulan baru saja melahirkan maka otomatis suasana didalam rumahnya pasti akan terasa repot dengan kehadiran dan mengurus kebutuhan si dedek bayi, ditambah lagi saat itu semua kamar juga sedang digunakan oleh orangtua dari teman saya yang juga sedang berkunjung ke Mataram untuk membantu mengurus si bayi, setidaknya dengan ini kehadiran kami berdua tidak akan menambah masalah dan kerepotannya dalam mengurus rumah dan keluarganya
Akhirnya setelah meng-unpacking semua barang dan mendirikan tenda didalam berugak (gazebo) yang ada di halaman, satu persatu kami pun bergiliran mandi. Kini badan telah kembali bersih dan segar, sambil berbincang-bincang dengan teman saya dan seluruh keluarganya, mereka bertanya kepada kami berdua perihal bagaimana awal mulanya kami mempunyai ide untuk melakukan perjalanan ini dan apa saja tantangan yang kami alami sejauh ini, kebanyakan orang-orang termasuk mereka tidak akan percaya dengan alasan mengapa kami melakukan perjalanan ini, tetapi mungkin memang seperti itulah bahwa terkadang setiap orang mempunyai impian dan kebahagiaannya sendiri dimana tidak ada seorang pun yang bisa melihat impian tersebut kecuali sang empunya mimpi tersebut, dan impian tersebut bisa menjadi nyata atau selamanya hanya akan menjadi impian semata semua berpulang kepada sang empunya impian, apakah ia berani melakukan hal yang diperlukan untuk mewujudkannya ataukah ia hanya akan berangan saja dan membiarkan impiannya perlahan menghilang terkikis waktu
“What hold us back from living our dream is our belief that it is only a dream”
Pengeluaran hari ini :
- 2 tiket penyeberangan Gili Trawangan-Bangsal = Rp 30.000,-
- biaya jasa angkut 2 sepeda ke kapal di Gili = Rp 30.000,-
- 2 tiket sepeda ke perahu = Rp 30.000,-
- biaya jasa angkut 2 sepeda di Bangsal = Rp 30.000,-
- 2 porsi nasi campur = Rp 20.000,-
- 1 botol air mineral 1,5L = Rp 5.000,-
Total = Rp 145.000,-
Total jarak tempuh hari ini : 28,84km
===========================================================
(22/01/16 - 23/01/16) off from the bicycle
Selama 2 hari berada di Kota Mataram dan menumpang di kediaman teman SMU saya, kami banyak menghabiskan waktu dengan mencuci semua pakaian kotor, membersihkan dan mengecek kondisi sepeda, serta memanfaatkan jaringan WIFI gratis yang ada untuk mencari info seputar penyeberangan berikutnya dari Lombok menuju ke Pulau Sumbawa
Kami juga menyempatkan diri untuk berkeliling berjalan kaki melihat suasana sekitar Kota Mataram ini, walaupun merupakan kota yang cukup ramai namun tampaknya kesadaran warganya untuk menjaga kebersihan kota ini cukup kurang, hal ini terlihat dari banyaknya sampah-sampah yang ditumpuk hingga menggunung di beberapa titik perempatan, apa mungkin dari pihak pemerintah kotanya tidak menyediakan fasilitas bak sampah ataukah memang warganya yang malas untuk membuang sampah pada tempatnya, entahlah tapi yang pasti hal ini cukup mengganggu keindahan kota secara keseluruhan, sungguh sebuah ironi untuk sebuah kota besar yang berada di Pulau 1000 Masjid yang seyogyanya menjunjung kebersihan sebagai bagian dari iman, semoga kedepannya semua akan bergerak menjadi lebih baik
Kondisi cuaca yang selalu hujan setiap harinya tak urung juga menjadi kendala bagi kami ketika sedang berkeliling jalan kaki santai, namun hal itu tidak menyurutkan niat kami untuk tetap berkeliling, lagipula kami juga membawa payung kecil sehingga hujan tidak menjadi masalah selama tidak banjir. Salah satu keuntungan dari berkeliling dengan berjalan kaki ini adalah kami bisa melihat detail suasana sekitar, dan berkat hal itulah kami bisa membeli beberapa jajanan, buah-buahan seperti buah naga yang banyak dijual di pinggir jalan, serta mampir ke salah satu toko pakaian yang menjual pakaian-pakaian dengan harga murah, setidaknya kini kami bisa mengganti beberapa pakaian yang kami bawa sebelumnya dengan pakaian yang terbuat dari bahan yang cepat kering dan dapat dipacking lebih ringkas.
Beberapa barang bawaan kami yang tidak digunakan selama perjalanan ini akhirnya kami paketkan kembali ke Jogja via pos ke rumah salah seorang teman, supaya saat kami pulang nanti kami hanya tinggal mengambil kembali semua barang-barang tersebut di rumahnya (ini juga menjadi tips bagi kalian semua yang berencana melakukan touring bersepeda atau perjalanan wisata dalam jangka waktu lama maka pastikan bahwa kalian mempunyai kenalan, baik itu teman maupun saudara yang selalu siap berjaga di tempat asal kalian, sehingga jika terjadi keadaan darurat seperti keperluan untuk mengirim barang atau souvenir, ataupun mengganti parts yang rusak yang susah ditemukan di perjalanan maka kalian bisa meminta pertolongan untuk mencarikan dan mengirimkannya ke posisi kalian berada sekarang)
Dan bagi kalian yang sudah terbiasa dengan kehidupan perkotaan maka tidak perlu kuatir karena di Kota Mataram ini kini sudah dibangun pusat perbelanjaan alias Mall besar sehingga lumayanlah untuk numpang ngadem hehe… sedangkan untuk keperluan berbelanja kebutuhan kami tetap mengandalkan minimarket lokal seperti J-Mart dikarenakan harganya yang jauh lebih murah daripada Hypermart, dan untuk urusan makanan maka berkat berjalan kaki jugalah kami bisa menemukan tempat makan dengan harga yang terjangkau (masih ada makanan murah kok di Kota Mataram ini jika kalian jeli)
Hari ini (Sabtu, 23 Januari 2016) adalah hari terakhir kami menikmati suasana Kota Mataram, besok kami akan kembali melanjutkan perjalanan menuju kearah Timur dan menyeberang ke Pulau berikutnya yaitu Pulau Sumbawa, menurut teman saya rute dari Mataram menuju ke Pelabuhan Kayangan relatif datar, namun saya sih tidak terlalu percaya dengan kata-kata “rute datar” karena berdasarkan pengalaman sebelumnya jika yang mengatakan kata-kata “datar” tersebut bukanlah seorang pesepeda maka bisa dipastikan pada kenyataannya nanti semua tidak akan “benar-benar datar atau sedatar itu”, baiklah kini saatnya beristirahat supaya besok stamina kembali dalam kondisi fit untuk melalui rute “yang katanya” datar tersebut
Pengeluaran hari ini :
- 2 porsi nasi campur = Rp 10.000,-
- 2 porsi es teler = Rp 10.000
- gas hi cook = Rp 17.900,-
- detergen = Rp 12.500,-
- 2 botol teh javanna = Rp 4.950,-
- skin aqua sunblock = Rp 41.750,-
- buah naga = Rp 13.000,-
- belanja j-mart = 28.850,-
- perlengkapan pribadi = Rp 131.000,-
- cilok = Rp 3.000,-
- 2 gelas es tebu = Rp 6.000,-
- jasa paket pos = Rp 40.000,-
- belanja swalayan = Rp 109.850,-
- selang snorkling = Rp 60.000,-
- 2 porsi makan malam = Rp 20.000,-
Total = Rp 508.800,-
==================================================================
Minggu, 24 Januari 2016
Minggu pagi yang cerah mewarnai langit Kota Mataram hari ini, pada hari ini pula akhirnya kami harus meninggalkan kota ini untuk menuju ke Pelabuhan Kayangan. Setelah mandi, berkemas dan berpamitan serta tidak lupa berterimakasih kepada teman saya dan seluruh keluarganya kami pun mulai bersiap meretas ruas jalan kembali (mari kita buktikan apakah rutenya “benar-benar flat”)
Selepas jalan Majapahit ke Jalan Sandubaya kontur jalan sebenarnya sudah mulai terasa naik walaupun landai, dan semakin ke arah timur kontur jalan akhirnya mulai bervariasi dan rolling. Hari ini kami harus memaksakan diri untuk bisa sampai dan menyeberang dari Pelabuhan Kayangan ke Pelabuhan Pototano, jarak dari Kota Mataram ke Pelabuhan Kayangan yang berjarak sekitar 80km ini setidaknya harus berhasil kami tempuh hari ini karena menurut info hari ini adalah hari terakhir adanya penyeberangan sebelum semua aktivitas penyeberangan dihentikan untuk sementara waktu beberapa hari kedepan dikarenakan adanya kendala faktor cuaca dan ombak di laut yang mulai berbahaya
Dan akhirnya sekitar jam 2 siang WITA hujan pun turun mengguyur dengan lebatnya setelah memasuki wilayah Lombok Timur, mungkin karena kedinginan akibat gowes ditengah guyuran hujan seketika membuat perut ini terasa lapar, untunglah masih banyak terdapat warung-warung kecil yang menjual nasi campur dengan harga yang terjangkau
Ada satu hal unik yang saya amati ketika mulai memasuki wilayah Lombok Timur ini, nama desa persisnya saya kurang ingat tetapi di Lombok Timur ini ketika sedang turun hujan, baik itu sekedar gerimis maupun hujan lebat sepertinya masyarakat lokal disini malah pergi keluar dari rumahnya dan bermain hujan-hujanan, tua-muda, pria-wanita, hampir semuanya sengaja berhujan-hujanan, bahkan ada yang sengaja berdiri tepat dibawah saluran cucuran air dari atap rumahnya layaknya sedang menikmati air terjun, sebagian lagi kebanyakan hanya berlari-lari kecil (jogging) di tengah guyuran hujan ataupun sekedar berjalan kaki, entahlah mungkin masyarakat lokal disini menganggap dan percaya bahwa mandi air hujan dapat meningkatkan stamina dan berkhasiat menyehatkan badan
Untunglah di 20km terakhir sebelum memasuki Pelabuhan Kayangan kontur jalan mulai menurun, setidaknya lumayan untuk menghemat tenaga kami
Setibanya di Pelabuhan Kayangan dan membeli 2 tiket penyeberangan menggunakan kapal ferry sebesar Rp 26.500,-/sepeda (kami hanya membayar untuk sepeda saja karena orang tidak dihitung rupanya) sekarang hanya tinggal mengantri saja untuk masuk ke dalam kapal
Di dalam kapal, sepeda kami letakkan di dekat tangga seperti biasanya kemudian kami pun naik ke atas untuk berkeliling melihat suasana dan duduk di bagian penumpang, oya di kapal ferry ini sepertinya ada pembagian kelas khusus untuk penumpangnya, yaitu bagi mereka yang berbudget ekstra lebih bisa mengeluarkan biaya tambahan untuk duduk di bagian ruang penumpang yang kursinya menggunakan sofa empuk, sedangkan bagi penumpang kelas ekonomi seperti kami duduk di bagian ruang penumpang yang menggunakan kursi keras (seperti bangku metromini), tidak apalah yang penting bisa sampai tujuan
Waktu yang dibutuhkan untuk menyeberang dari Pelabuhan Kayangan ke Pelabuhan Pototano dengan menggunakan kapal ferry sekitar 2 jam saja, sayangnya karena seharian cuaca mendung dan sesekali turun gerimis maka kami tidak bisa menikmati pemandangan dari ruang penumpang
Akhirnya setelah sekitar 2 jam perjalanan kapal pun mulai merapat ke Pelabuhan Pototano, beberapa gundukan pulau dan bukit-bukit terlihat menyembul dimana-mana (semoga saja rute kami nantinya tidak harus melewati puncak bukit-bukit tersebut), gerimis yang kembali turun seakan menyambut kedatangan kami di Pulau Sumbawa ini, sayangnya kali ini kami tiba disaat hari sudah terlalu gelap sehingga satu-satunya pilihan saat ini hanyalah mencari tempat yang aman untuk menumpang beristirahat malam ini
Oleh salah seorang penjaga pelabuhan dan petugas polisi di pelabuhan kami disarankan untuk beristirahat di Mushalla yang ada tepat bersebelahan dengan Kantor Polsek Pototano, satu hal yang diwanti-wanti oleh mereka adalah "disini nyamuknya banyak lho, lebih baik nanti malam tidur di dalam Mushalla saja", kata salah seorang petugas pelabuhan, dan sepertinya hal tersebut benar adanya karena begitu kami mulai duduk saja nyamuk-nyamuk langsung mulai berdatangan, alhasil kami pun menjadi sibuk mengusir dan memukul nyamuk-nyamuk tersebut yang seakan tak ada habisnya, "dipukul sampai seharian juga ga bakal habis mas nyamuknya", ujar petugas pelabuhan sembari memberi 1 sachet lotion anti nyamuk, tak lupa ia juga kembali mengingatkan kami untuk tidur di dalam mushalla saja.
Sembari memerhatikan suasana dan aktivitas pelabuhan di malam hari, hmmm...tampaknya masih ada saja yang melakukan penyeberangan dari dan ke Pelabuhan Pototano ini hingga selarut ini, diluar area pelabuhan pun satu-satunya cahaya penerangan hanya berasal dari sebuah minimarket modern yang tampaknya merupakan satu-satunya minimarket di sekitar sini, sedangkan pemukiman atau penerangan lain nyaris tidak ada, hanya gelapnya malam yang menjadi saksi bahwa petualangan kami belum berakhir dan masih akan terus berlanjut, baiklah saatnya beristirahat sebelum besok mulai mencari tahu ada keindahan dan keunikan apa yang tersembunyi di Pulau Sumbawa ini, selamat malam semua :)
“Only those who will risk going too far can possibly find out how far one can go”
Pengeluaran hari ini :
- 2 porsi makan siang + jajan = Rp 23.000,-
- 2 tiket penyeberangan Lombok-Sumbawa = Rp 53.000,-
Total = Rp 76.000,-
Total jarak tempuh hari ini : 80,56km
Selamat pagi Gili Trawangan :), enggan rasanya pergi meninggalkan pulau kecil yang indah ini, tetapi perjalanan dan cerita petualangan kami masih sangat panjang dan belum berakhir, jadi c’mon let’s go
Setelah melakukan ritual pagi hari seperti biasanya (mandi, berkemas, dan mempacking semua perlengkapan ke atas sepeda), kami pun akhirnya check out dari penginapan dan menuju ke dermaga untuk membeli tiket kapal yang menuju ke Pelabuhan Bangsal. Suasana tenang begitu terasa di Gili Trawangan ini, keramaian dan aktivitas yang ada belum dimulai, semua warga dan pemilik usaha terlihat masih mempersiapkan dan membersihkan tempat usahanya masing-masing
Untuk kembali ke Pelabuhan Bangsal dengan menggunakan public boat kami harus membeli 4 buah tiket (2 buah tiket untuk masing-masing dari kami, dan 2 buah tiket lagi untuk sepeda-sepeda kami), setelah urusan tiket sudah beres, tahap berikutnya adalah mencari porter untuk mengangkut sepeda-sepeda kami ke atas kapal, untungnya kami sudah mengetahui kisaran harga jasa porter setelah kemarin kami menggunakan jasa mereka, sehingga tidak dibutuhkan negosiasi harga lagi dan saya pun kebetulan bertemu dengan porter yang sama dengan yang kemarin saya gunakan
Begitu kapal yang kami gunakan sudah merapat kembali di Pelabuhan Bangsal dan porter juga sudah menurunkan sepeda-sepeda kami kembali di Pelabuhan, kini saatnya mencari sarapan yang ada di sepanjang rute yang akan kami lalui nanti.
Rencananya kami akan kembali menuju ke Kota Mataram dan off from the bicycle selama beberapa hari untuk menikmati suasana kotanya dan berkeliling dengan berjalan kaki santai saja, nah untuk menuju ke Kota Mataram pilihannya ada 2 rute, pilihan pertama yaitu dengan menggunakan rute yang sama dengan yang kami tempuh sebelumnya yaitu menyusuri pesisir pantai barat, sedangkan pilihan kedua yaitu melalui Hutan Pusuk atau yang dikenal juga dengan sebutan monkey forest dikarenakan di sepanjang rute ini ada banyak monyet-monyet liar yang berkeliaran di jalanan.
Mengingat pada rute pesisir pantai sebelumnya jumlah dan derajat tanjakannya banyak sekali dan mungkin nantinya kami akan merasa bosan dikarenakan menempuh rute dan pemandangan yang sama, maka kali ini pilihannya jatuh kepada rute Hutan Pusuk, selain karena kami belum pernah melalui rute ini maka kami pikir setidaknya walaupun mungkin akan ada medan yang terasa berat namun kami tidak akan merasa bosan
Sebelum memasuki wilayah Hutan Pusuk kami sarapan pagi terlebih dahulu di sebuah warung makan yang berada di pinggir jalan, setidaknya untuk berjaga-jaga bila di sepanjang rute Hutan Pusuk nanti tidak ada warung makan maka perbekalan kami juga sudah siap untuk sekedar cemal-cemil
Berdasarkan peta online yang saya pelajari maka medan yang menanjak hanya akan kami alami di sepanjang wilayah Hutan Pusuk ini, setelah itu kontur jalannya hanya tinggal turunan sampai nantinya memasuki wilayah Kota Mataram, sekilas kondisi rute Hutan Pusuk ini mirip dengan tanjakan Pathuk yang ada di Jogja (sepertinya derajat tanjakannya malah lebih parah yang ada di Jogja, hanya saja di Hutan Pusuk ini jaraknya lebih panjang dan suasananya lebih sepi sehingga nuansanya semakin terasa jauh dan berat)
Untunglah sebelumnya kami telah sarapan karena di sepanjang rute ini nyaris benar-benar sepi, tidak ada warung makanan sama sekali sampai dibagian puncaknya nanti di sekitar gapura tanda batas memasuki dan meninggalkan area Hutan ini, dirute ini pun kami harus jeli mengamati kondisi cuaca, karena ketika tengah menuntun sepeda menghadapi tanjakan dikejauhan terlihat awan mendung mulai bergerak mendekati posisi kami, dan benar saja tidak lama kemudian gerimis dan hujan pun mulai turun membasahi kami yang masih berusaha antara mendorong dan mengayuh di medan tanjakan ini hingga akhirnya ditengah guyuran hujan yang semakin deras ini kami pun berhasil juga sampai hingga ke puncaknya, kini saatnya turunan (saat tanjakan terasa pegal karena mendorong, kini dimedan turunan tetap saja tangan dan kaki terasa pegal karena harus mengatur rem dan sesekali berdiri ketika melewati medan aspal yang rusak)
Walau hanya tinggal menikmati medan turunan saja namun disini kita juga tetap harus ekstra berhati-hati karena di beberapa titik terdapat kondisi aspal yang rusak dan bergelombang pada bagian pinggirnya, selain itu hujan juga membuat beberapa kali pengereman menjadi tidak begitu pakem seperti saat kering, dan masih ditambah dengan banyaknya monyet-monyet liar yang terkadang menyeberang jalan secara mendadak, kondisi hujan ini terus berlangsung dan turut mengiringi perjalanan kami hingga sampai di Kota Mataram
Setibanya di Kota Mataram, kondisi kota yang pada beberapa titiknya terlihat menggenang dan banjir mau tidak mau membuat kami harus mengayuh secara perlahan dan berhati-hati supaya tidak tergelincir, beberapa kendaraan umum yang ngetem secara sembarangan dan para pemotor yang tidak mau mengalah turut menambah kesemrawutan yang ada di kota ini, sekilas hampir mirip dengan suasana di Kalimalang, Jakarta Timur yang menuju ke Bekasi kala hujan
Saya pun kemudian menghubungi seorang teman SMU saya dahulu yang kini kebetulan sedang bekerja dan menetap di Kota Mataram, saya pun juga baru tahu jika ia berada di Kota Mataram ini melalui jaringan media sosial, sebelumnya ia telah menghubungi saya terlebih dahulu ketika ia melihat dan membaca cerita perjalanan kami berdua yang sedang bersepeda entah kemana, oleh karena itulah ia pun akhirnya menghubungi sembari menanyakan kabar dan menawarkan bantuan tempat singgah seandainya saya mampir ke Pulau Lombok ini, dan setelah saling mengabari dan memberitahu patokan lokasi rumahnya kami pun akhirnya menuju kekediamannya dan bertanya sekiranya kami boleh menumpang beristirahat selama beberapa hari atau jika situasinya tidak memungkinkan ia bisa memberi kami rekomendasi tempat beristirahat yang “berbudget layak”.
Setelah berdiskusi dan mempertimbangkan segala sesuatunya maka kami pun akhirnya memilih untuk menggelar tenda saja di halaman rumahnya dengan alasan supaya kehadiran kami juga tidak mengganggu rutinitas harian dan pergerakan aktivitasnya, kami hanya akan masuk ke bagian dalam rumahnya sekedar untuk menumpang fasilitas kamar mandi saja, awalnya mungkin ia merasa tidak enak hati karena membiarkan kami yang notabene adalah tamu untuk tidur di luar rumahnya dengan hanya menggelar tenda saja, namun kami pun meyakinkannya jika kami pun tidak keberatan dan justru dengan cara seperti ini maka masing-masing juga tetap dapat beraktivitas dan memiliki privacynya masing-masing, toh itu pula alasan mengapa sejak awal perjalanan kami membawa tenda untuk digunakan di saat-saat seperti ini, alasan lainnya adalah karena saat itu teman saya juga kebetulan baru saja melahirkan maka otomatis suasana didalam rumahnya pasti akan terasa repot dengan kehadiran dan mengurus kebutuhan si dedek bayi, ditambah lagi saat itu semua kamar juga sedang digunakan oleh orangtua dari teman saya yang juga sedang berkunjung ke Mataram untuk membantu mengurus si bayi, setidaknya dengan ini kehadiran kami berdua tidak akan menambah masalah dan kerepotannya dalam mengurus rumah dan keluarganya
Akhirnya setelah meng-unpacking semua barang dan mendirikan tenda didalam berugak (gazebo) yang ada di halaman, satu persatu kami pun bergiliran mandi. Kini badan telah kembali bersih dan segar, sambil berbincang-bincang dengan teman saya dan seluruh keluarganya, mereka bertanya kepada kami berdua perihal bagaimana awal mulanya kami mempunyai ide untuk melakukan perjalanan ini dan apa saja tantangan yang kami alami sejauh ini, kebanyakan orang-orang termasuk mereka tidak akan percaya dengan alasan mengapa kami melakukan perjalanan ini, tetapi mungkin memang seperti itulah bahwa terkadang setiap orang mempunyai impian dan kebahagiaannya sendiri dimana tidak ada seorang pun yang bisa melihat impian tersebut kecuali sang empunya mimpi tersebut, dan impian tersebut bisa menjadi nyata atau selamanya hanya akan menjadi impian semata semua berpulang kepada sang empunya impian, apakah ia berani melakukan hal yang diperlukan untuk mewujudkannya ataukah ia hanya akan berangan saja dan membiarkan impiannya perlahan menghilang terkikis waktu
“What hold us back from living our dream is our belief that it is only a dream”
Pengeluaran hari ini :
- 2 tiket penyeberangan Gili Trawangan-Bangsal = Rp 30.000,-
- biaya jasa angkut 2 sepeda ke kapal di Gili = Rp 30.000,-
- 2 tiket sepeda ke perahu = Rp 30.000,-
- biaya jasa angkut 2 sepeda di Bangsal = Rp 30.000,-
- 2 porsi nasi campur = Rp 20.000,-
- 1 botol air mineral 1,5L = Rp 5.000,-
Total = Rp 145.000,-
Total jarak tempuh hari ini : 28,84km
===========================================================
(22/01/16 - 23/01/16) off from the bicycle
Selama 2 hari berada di Kota Mataram dan menumpang di kediaman teman SMU saya, kami banyak menghabiskan waktu dengan mencuci semua pakaian kotor, membersihkan dan mengecek kondisi sepeda, serta memanfaatkan jaringan WIFI gratis yang ada untuk mencari info seputar penyeberangan berikutnya dari Lombok menuju ke Pulau Sumbawa
Kami juga menyempatkan diri untuk berkeliling berjalan kaki melihat suasana sekitar Kota Mataram ini, walaupun merupakan kota yang cukup ramai namun tampaknya kesadaran warganya untuk menjaga kebersihan kota ini cukup kurang, hal ini terlihat dari banyaknya sampah-sampah yang ditumpuk hingga menggunung di beberapa titik perempatan, apa mungkin dari pihak pemerintah kotanya tidak menyediakan fasilitas bak sampah ataukah memang warganya yang malas untuk membuang sampah pada tempatnya, entahlah tapi yang pasti hal ini cukup mengganggu keindahan kota secara keseluruhan, sungguh sebuah ironi untuk sebuah kota besar yang berada di Pulau 1000 Masjid yang seyogyanya menjunjung kebersihan sebagai bagian dari iman, semoga kedepannya semua akan bergerak menjadi lebih baik
Kondisi cuaca yang selalu hujan setiap harinya tak urung juga menjadi kendala bagi kami ketika sedang berkeliling jalan kaki santai, namun hal itu tidak menyurutkan niat kami untuk tetap berkeliling, lagipula kami juga membawa payung kecil sehingga hujan tidak menjadi masalah selama tidak banjir. Salah satu keuntungan dari berkeliling dengan berjalan kaki ini adalah kami bisa melihat detail suasana sekitar, dan berkat hal itulah kami bisa membeli beberapa jajanan, buah-buahan seperti buah naga yang banyak dijual di pinggir jalan, serta mampir ke salah satu toko pakaian yang menjual pakaian-pakaian dengan harga murah, setidaknya kini kami bisa mengganti beberapa pakaian yang kami bawa sebelumnya dengan pakaian yang terbuat dari bahan yang cepat kering dan dapat dipacking lebih ringkas.
Beberapa barang bawaan kami yang tidak digunakan selama perjalanan ini akhirnya kami paketkan kembali ke Jogja via pos ke rumah salah seorang teman, supaya saat kami pulang nanti kami hanya tinggal mengambil kembali semua barang-barang tersebut di rumahnya (ini juga menjadi tips bagi kalian semua yang berencana melakukan touring bersepeda atau perjalanan wisata dalam jangka waktu lama maka pastikan bahwa kalian mempunyai kenalan, baik itu teman maupun saudara yang selalu siap berjaga di tempat asal kalian, sehingga jika terjadi keadaan darurat seperti keperluan untuk mengirim barang atau souvenir, ataupun mengganti parts yang rusak yang susah ditemukan di perjalanan maka kalian bisa meminta pertolongan untuk mencarikan dan mengirimkannya ke posisi kalian berada sekarang)
Dan bagi kalian yang sudah terbiasa dengan kehidupan perkotaan maka tidak perlu kuatir karena di Kota Mataram ini kini sudah dibangun pusat perbelanjaan alias Mall besar sehingga lumayanlah untuk numpang ngadem hehe… sedangkan untuk keperluan berbelanja kebutuhan kami tetap mengandalkan minimarket lokal seperti J-Mart dikarenakan harganya yang jauh lebih murah daripada Hypermart, dan untuk urusan makanan maka berkat berjalan kaki jugalah kami bisa menemukan tempat makan dengan harga yang terjangkau (masih ada makanan murah kok di Kota Mataram ini jika kalian jeli)
Hari ini (Sabtu, 23 Januari 2016) adalah hari terakhir kami menikmati suasana Kota Mataram, besok kami akan kembali melanjutkan perjalanan menuju kearah Timur dan menyeberang ke Pulau berikutnya yaitu Pulau Sumbawa, menurut teman saya rute dari Mataram menuju ke Pelabuhan Kayangan relatif datar, namun saya sih tidak terlalu percaya dengan kata-kata “rute datar” karena berdasarkan pengalaman sebelumnya jika yang mengatakan kata-kata “datar” tersebut bukanlah seorang pesepeda maka bisa dipastikan pada kenyataannya nanti semua tidak akan “benar-benar datar atau sedatar itu”, baiklah kini saatnya beristirahat supaya besok stamina kembali dalam kondisi fit untuk melalui rute “yang katanya” datar tersebut
Pengeluaran hari ini :
- 2 porsi nasi campur = Rp 10.000,-
- 2 porsi es teler = Rp 10.000
- gas hi cook = Rp 17.900,-
- detergen = Rp 12.500,-
- 2 botol teh javanna = Rp 4.950,-
- skin aqua sunblock = Rp 41.750,-
- buah naga = Rp 13.000,-
- belanja j-mart = 28.850,-
- perlengkapan pribadi = Rp 131.000,-
- cilok = Rp 3.000,-
- 2 gelas es tebu = Rp 6.000,-
- jasa paket pos = Rp 40.000,-
- belanja swalayan = Rp 109.850,-
- selang snorkling = Rp 60.000,-
- 2 porsi makan malam = Rp 20.000,-
Total = Rp 508.800,-
==================================================================
Minggu, 24 Januari 2016
Minggu pagi yang cerah mewarnai langit Kota Mataram hari ini, pada hari ini pula akhirnya kami harus meninggalkan kota ini untuk menuju ke Pelabuhan Kayangan. Setelah mandi, berkemas dan berpamitan serta tidak lupa berterimakasih kepada teman saya dan seluruh keluarganya kami pun mulai bersiap meretas ruas jalan kembali (mari kita buktikan apakah rutenya “benar-benar flat”)
Selepas jalan Majapahit ke Jalan Sandubaya kontur jalan sebenarnya sudah mulai terasa naik walaupun landai, dan semakin ke arah timur kontur jalan akhirnya mulai bervariasi dan rolling. Hari ini kami harus memaksakan diri untuk bisa sampai dan menyeberang dari Pelabuhan Kayangan ke Pelabuhan Pototano, jarak dari Kota Mataram ke Pelabuhan Kayangan yang berjarak sekitar 80km ini setidaknya harus berhasil kami tempuh hari ini karena menurut info hari ini adalah hari terakhir adanya penyeberangan sebelum semua aktivitas penyeberangan dihentikan untuk sementara waktu beberapa hari kedepan dikarenakan adanya kendala faktor cuaca dan ombak di laut yang mulai berbahaya
Dan akhirnya sekitar jam 2 siang WITA hujan pun turun mengguyur dengan lebatnya setelah memasuki wilayah Lombok Timur, mungkin karena kedinginan akibat gowes ditengah guyuran hujan seketika membuat perut ini terasa lapar, untunglah masih banyak terdapat warung-warung kecil yang menjual nasi campur dengan harga yang terjangkau
Ada satu hal unik yang saya amati ketika mulai memasuki wilayah Lombok Timur ini, nama desa persisnya saya kurang ingat tetapi di Lombok Timur ini ketika sedang turun hujan, baik itu sekedar gerimis maupun hujan lebat sepertinya masyarakat lokal disini malah pergi keluar dari rumahnya dan bermain hujan-hujanan, tua-muda, pria-wanita, hampir semuanya sengaja berhujan-hujanan, bahkan ada yang sengaja berdiri tepat dibawah saluran cucuran air dari atap rumahnya layaknya sedang menikmati air terjun, sebagian lagi kebanyakan hanya berlari-lari kecil (jogging) di tengah guyuran hujan ataupun sekedar berjalan kaki, entahlah mungkin masyarakat lokal disini menganggap dan percaya bahwa mandi air hujan dapat meningkatkan stamina dan berkhasiat menyehatkan badan
Untunglah di 20km terakhir sebelum memasuki Pelabuhan Kayangan kontur jalan mulai menurun, setidaknya lumayan untuk menghemat tenaga kami
Setibanya di Pelabuhan Kayangan dan membeli 2 tiket penyeberangan menggunakan kapal ferry sebesar Rp 26.500,-/sepeda (kami hanya membayar untuk sepeda saja karena orang tidak dihitung rupanya) sekarang hanya tinggal mengantri saja untuk masuk ke dalam kapal
Di dalam kapal, sepeda kami letakkan di dekat tangga seperti biasanya kemudian kami pun naik ke atas untuk berkeliling melihat suasana dan duduk di bagian penumpang, oya di kapal ferry ini sepertinya ada pembagian kelas khusus untuk penumpangnya, yaitu bagi mereka yang berbudget ekstra lebih bisa mengeluarkan biaya tambahan untuk duduk di bagian ruang penumpang yang kursinya menggunakan sofa empuk, sedangkan bagi penumpang kelas ekonomi seperti kami duduk di bagian ruang penumpang yang menggunakan kursi keras (seperti bangku metromini), tidak apalah yang penting bisa sampai tujuan
Waktu yang dibutuhkan untuk menyeberang dari Pelabuhan Kayangan ke Pelabuhan Pototano dengan menggunakan kapal ferry sekitar 2 jam saja, sayangnya karena seharian cuaca mendung dan sesekali turun gerimis maka kami tidak bisa menikmati pemandangan dari ruang penumpang
Akhirnya setelah sekitar 2 jam perjalanan kapal pun mulai merapat ke Pelabuhan Pototano, beberapa gundukan pulau dan bukit-bukit terlihat menyembul dimana-mana (semoga saja rute kami nantinya tidak harus melewati puncak bukit-bukit tersebut), gerimis yang kembali turun seakan menyambut kedatangan kami di Pulau Sumbawa ini, sayangnya kali ini kami tiba disaat hari sudah terlalu gelap sehingga satu-satunya pilihan saat ini hanyalah mencari tempat yang aman untuk menumpang beristirahat malam ini
Oleh salah seorang penjaga pelabuhan dan petugas polisi di pelabuhan kami disarankan untuk beristirahat di Mushalla yang ada tepat bersebelahan dengan Kantor Polsek Pototano, satu hal yang diwanti-wanti oleh mereka adalah "disini nyamuknya banyak lho, lebih baik nanti malam tidur di dalam Mushalla saja", kata salah seorang petugas pelabuhan, dan sepertinya hal tersebut benar adanya karena begitu kami mulai duduk saja nyamuk-nyamuk langsung mulai berdatangan, alhasil kami pun menjadi sibuk mengusir dan memukul nyamuk-nyamuk tersebut yang seakan tak ada habisnya, "dipukul sampai seharian juga ga bakal habis mas nyamuknya", ujar petugas pelabuhan sembari memberi 1 sachet lotion anti nyamuk, tak lupa ia juga kembali mengingatkan kami untuk tidur di dalam mushalla saja.
Sembari memerhatikan suasana dan aktivitas pelabuhan di malam hari, hmmm...tampaknya masih ada saja yang melakukan penyeberangan dari dan ke Pelabuhan Pototano ini hingga selarut ini, diluar area pelabuhan pun satu-satunya cahaya penerangan hanya berasal dari sebuah minimarket modern yang tampaknya merupakan satu-satunya minimarket di sekitar sini, sedangkan pemukiman atau penerangan lain nyaris tidak ada, hanya gelapnya malam yang menjadi saksi bahwa petualangan kami belum berakhir dan masih akan terus berlanjut, baiklah saatnya beristirahat sebelum besok mulai mencari tahu ada keindahan dan keunikan apa yang tersembunyi di Pulau Sumbawa ini, selamat malam semua :)
“Only those who will risk going too far can possibly find out how far one can go”
Pengeluaran hari ini :
- 2 porsi makan siang + jajan = Rp 23.000,-
- 2 tiket penyeberangan Lombok-Sumbawa = Rp 53.000,-
Total = Rp 76.000,-
Total jarak tempuh hari ini : 80,56km
Monday, 4 December 2017
CHAPTER 21; GILI TRAWANGAN
Rabu, 20 Januari 2016
Hari ini waktunya bagi kami berdua untuk kembali melanjutkan perjalanan. Setelah beberapa hari kemarin kami beristirahat di rumah dinas karyawan LIPI rasanya kondisi badan kami kini sudah berangsur membaik dan semangat untuk melanjutkan petualangan juga telah kembali meningkat.
Tujuan kami pada hari ini adalah menuju ke Pulau Gili Trawangan, berdasarkan apa yang sudah kami baca sebelumnya, Gili Trawangan merupakan destinasi wisata yang paling populer dan terbesar jika dibandingkan dengan kedua Gili lainnya, yaitu Gili Air dan Gili Meno. Nah karena budget petualangan kami juga terbatas maka dari itulah kami harus berusaha mengatur manajemen anggaran seoptimal mungkin (hanya bisa memilih satu dari ketiga Gili yang ada), akhirnya berdasarkan kesepakatan kami berdua maka Gili Trawangan pun menjadi pilihan kami berikutnya (padahal saya yakin kedua Gili yang lainnya tentu juga tidak kalah indahnya :))
Pagi ini Mas Hendra sudah berangkat ke kantornya lebih awal daripada rencana keberangkatan kami berdua, pada malam sebelumnya ia berpesan supaya kami santai saja tidak perlu terburu-buru berangkatnya, ia hanya mengingatkan kepada kami supaya jangan lupa menutup pintu-pintu dan jendela sebelum kami berangkat, kami pun tidak lupa mengucapkan banyak terimakasih kepada Mas Hendra, Mas Fauzan dan seluruh staff karyawan LIPI yang telah banyak membantu dan berkenan membuka pintu rumahnya sebagai tempat beristirahat bagi kami berdua, semoga kalian semua tetap semangat berinovasi karena bumi nusantara ini membutuhkan banyak sekali generasi muda seperti kalian
Sebelum pergi meninggalkan Mess karyawan LIPI ini kami pun memeriksa sekali lagi supaya tidak ada barang-barang kami yang tertinggal, setelah memastikan semua sudah terpacking dan ruangan juga sudah kembali bersih seperti sediakala, piring-piring dan gelas sudah dicuci, lantai sudah disapu, kamar sudah dirapikan, jendela juga sudah ditutup, kini saatnya petualangan goweswisata.blogspot.co.id ini dimulai kembali.
Untuk menyeberang menuju ke Gili Trawangan kami harus menuju ke Pelabuhan Bangsal yang berjarak sekitar 3km dari Teluk Kode (rumah dinas LIPI), kemudian dari Pelabuhan Bangsal kami hanya tinggal membeli tiket public boat yang menuju ke Gili Trawangan (disini juga ada tiket terusan perjalanan untuk menuju ke tiga Gili tersebut tentunya dengan budget yang lebih mahal), sistem keberangkatan public boat ini mirip dengan angkot, yaitu menunggu alias nge-tem dulu sampai penumpangnya penuh barulah kapal tersebut berangkat, dan karena kami membawa sepeda sendiri jadinya kami juga dikenakan biaya tambahan untuk masing-masing sepeda (total kami membeli 4 tiket penyeberangan menuju Gili Trawangan, harga masing-masing tiket sebesar 15 ribu rupiah, ditambah biaya pelabuhan sebesar Rp 2.500/orang dan 2 tanda masuk ke Gili Rp 2.000/orang), selain itu kami juga membayar ekstra untuk jasa para pekerja yang menggotong sepeda dari Pelabuhan menuju ke dalam kapalnya (nah kebayang kan kaya apa tersiksanya para pekerja yang menggotong sepeda-sepeda kami yang notabene full loaded tersebut, betapa beratnya “beban hidupmu” bapak-bapak sekalian hehe…maaf ya jadi nyusahin)
Namanya juga public boat, jadi jangan bayangkan bentuk tampilan dan jenis kapalnya seperti yacht, tentunya disini harga juga tidak akan berbohong dengan kualitasnya, ibaratnya ini adalah kapal kelas ekonomi sehingga para penumpang yang menggunakan kapal ini tidak hanya wisatawan tipe backpacker irit saja melainkan juga termasuk para pedagang sayur mayur, penjual makanan, dan warga lokal Gili yang berprofesi sebagai penyalur barang kebutuhan pokok. Namun jika kalian mempunyai budget lebih dan ingin menikmati kenyamanan tanpa harus berdesak-desakan dan menunggu maka kalian juga bisa menggunakan yacht (sejenis kapal boat pesiar) yang bisa berangkat kapan saja tanpa harus menunggu penumpangnya penuh dulu
Dan berkaca dari pengalaman-pengalaman sebelumnya dimana biasanya jika kita berwisata ke sebuah destinasi wisata yang populer biasanya hampir bisa dipastikan jika harga-harga makanan dan minum juga pastinya akan lebih mahal dari harga normal, oleh karena itulah kami telah bersiap dengan membeli beberapa makanan ekstra dan minuman di sebuah pasar tradisional yang berada tepat di perempatan sebelum menuju Pelabuhan Bangsal ini, sedikit tips bagi kalian yang jarang membawa uang cash dan hanya mengandalkan kartu atm, karena disekitar sini jarang terdapat mesin atm (khususnya BCA) satu-satunya atm machine dapat kalian temui disalah satu café (merangkap jasa tour travel) yang berada tidak jauh sebelum pintu masuk Pelabuhan.
Setelah menunggu sekitar 20 menit akhirnya begitu kapal sudah penuh terisi oleh penumpang kami pun bersiap untuk berangkat, Gili Trawangan here we come :)
Dibutuhkan waktu sekitar 1 jam untuk menyeberang dari Pelabuhan Bangsal menuju ke Gili Trawangan, dan begitu kapal mulai mendekat ke Gili Trawangan seketika itu juga mata kita akan dimanjakan oleh jernihnya air laut yang berada di pantai dan putihnya hamparan pasir pantai (rasanya semakin tidak sabar untuk buru-buru bermain air di pantainya)
Setelah kapat mulai merapat dan ditambatkan para penumpang pun mulai bergegas turun, beberapa barang bawaan penumpang yang berukuran besar dan berat juga mulai diangkuti oleh para porter, ketika melihat sepeda-sepeda kami para porter pun kembali menawarkan jasa untuk menurunkan sepeda-sepeda tersebut, setelah bernegosiasi harga akhirnya kami mendapat harga yang jauh lebih murah daripada ketika menggunakan jasa porter yang menggotong sepeda-sepeda kami sebelumnya di Pelabuhan Bangsal
Sekarang sepeda sudah kembali berada di daratan, kami pun juga sudah menjejakkan kaki di Gili Trawangan ini, langkah berikutnya tentu saja mulai mencari penginapan dengan budget yang ekonomis sehingga nantinya setelah mendapat tempat dan menaruh semua barang bawaan, kami bisa leluasa menjelajah keindahan pesona Gili Trawangan ini. Mungkin banyak yang bertanya kenapa kami tidak mendirikan tenda dan camping saja? Pikiran seperti itu juga sudah terbersit pertama kali di benak kami berdua, namun tentunya disini kita juga harus mematuhi aturan yang berlaku bukan? Disini kami tidak bisa camping sembarangan, beberapa kali kami sempat bertanya dan meminta ijin mendirikan tenda namun beberapa pihak tidak mengijinkan dan menyarankan kami untuk mencari penginapan yang terletak di bagian dalam saja karena biasanya lebih murah.
ekspetasi
Realita
Akhirnya setelah berkeliling keluar masuk gang dan bertanya kepada beberapa warga sekitar kami pun diantar ke salah satu penginapan dan bertemu langsung dengan sang empunya tempat, setelah bernegosiasi harga akhirnya kami pun mendapat kamar kosong dengan harga yang tergolong murah jika dibandingkan dengan harga penginapan lainnya, setidaknya dengan fasilitas double bed, kipas angin dan kamar mandi dalam sudah cukuplah bagi kami berdua, kini saatnya bersepeda keliling Gili Trawangan
Ada untungnya juga kami membawa sepeda sendiri karena di Gili Trawangan ini harga sewa sepeda terhitung cukup mahal, yaitu antara 70ribu sampai 100rb per sepeda tergantung jenis sepedanya. Ya di Gili Trawangan sepeda merupakan salah satu transportasi yang paling utama selain cidomo (sejenis kereta kuda, sama dengan Delman atau Andong atau Dokar di Pulau Jawa), disini dilarang menggunakan kendaraan bermotor, sehingga kalau kalian ingin menikmati dan merasakan suasana tenang tanpa adanya kebisingan deru kendaraan bermotor maka silahkan berwisata ke Gili Trawangan ini
Selain menikmati keindahan pantainya, di Gili Trawangan ini kalian juga bisa menikmati keindahan panorama bawah lautnya yang tidak kalah indahnya, kalian tidak perlu kuatir jika tidak memiliki peralatan snorkeling atau diving karena disini juga terdapat banyak persewaan peralatan diving dan snorkeling, bahkan bagi kalian yang merasa amatir namun ingin mencoba melakukan diving kalian juga bisa mengikuti pelatihan yang diajarkan oleh para instruktur berpengalaman, atau jika malas berbasah-basahan kalian bisa menaiki glass boat, yaitu perahu yang pada bagian lantainya terdapat bagian dari kaca sehingga kalian tetap bisa melihat keindahan panorama terumbu karang dan ikan-ikan yang berenang di dasar laut
Walaupun Gili Trawangan hanya merupakan sebuah pulau kecil jika dibandingkan dengan Pulau Lombok secara keseluruhan namun disini kehidupannya hampir seperti di Pantai Kuta Bali, disini banyak terdapat penginapan dan cottage mewah, bar, caffe, restaurant yang bertebaran, sehingga kalian tinggal menyesuaikan dengan budget saja, fasilitas-fasilitas seperti kelas Yoga, pelatihan diving, spa, candle light dinner, swimming pool, dan lainnya merupakan hal lumrah yang ditawarkan oleh masing-masing tempat tersebut. Bagi wisatawan yang berkantong tebal tentunya semua itu tidak akan menjadi masalah namun bagi kami yang berbudget mepet tentunya kami harus kreatif supaya bisa menikmati suasana Gili Trawangan ini tanpa harus jor-joran over budget
Semakin siang perut terasa semakin lapar saatnya berkeliling mencari makanan yang sesuai budget, untuk urusan makan sebenarnya sangat mudah mencari makanan di Gili Trawangan ini, tapi ya itu tadi faktor hargalah yang membuat kami sedikit repot dan ribed dalam proses pencariannya, mau makan di tempat-tempat seperti caffe begitu kami melihat daftar harga minumannya saja sudah sama seperti harga makanan yang biasa kami beli disepanjang perjalanan ini otomatis ga jadi deh, dan biasanya menu-menu di caffe atau restaurant itu sudah mahal porsinya sedikit pula pasti ga bakal kenyang, pokoknya disini harga menentukan pilihan hehe… setelah berkeliling dan ga nemu-nemu yang sesuai akhirnya pilihan pun jatuh ke penjual nasi campur bungkusan yang menjual dagangannya tidak jauh dari tempat kapal-kapal berlabuh, setidaknya harganya masih bisa ditolerir dan porsi nasinya juga cukup banyak, maklum perut orang Indonesia selama belum makan nasi pasti dibilangnya belum makan
Sebenarnya salah satu lokasi pantai di Gili Trawangan ini yang tergolong cukup bagus dan menarik bagi penikmat snorkeling dan diving adalah disekitar pantai tempat kapal-kapal berlabuh, disini selain air lautnya jernih dan bergradasi, ombaknya juga relatif tenang, namun jika minat kalian adalah kegiatan surfing, kalian juga jangan kuatir karena di sisi lain Gili Trawangan ini terdapat pantai yang ombaknya bergelombang sehingga bisa dijadikan tempat untuk melakukan surfing, sementara bagi kalian yang membawa buah hatinya yang masih kecil-kecil, kalian juga bisa bermain air dengan buah hati tercinta dengan aman, karena ada bagian pantai lainnya yang memiliki bibir pantai yang dangkal sehingga cocok dijadikan sebagai tempat melatih anak-anak untuk belajar berenang
Sisi Pantai untuk kegiatan snorkeling dan diving
Sisi pantai untuk kegiatan surfing
Sisi Pantai untuk bermain dengan buah hati
Hari semakin sore namun justru suasana kemeriahan di Gili Trawangan ini semakin menggeliat, bar-bar dan resto yang ada mulai menyiapkan hiburan musik dari pengeras suara dan turntable milik DJ untuk malam nanti, wisatawan-wisatawan mancanegara yang jumlahnya jauh lebih banyak daripada wisatawan domestik terlihat sangat menikmati suasana ini, kebanyakan wisatawan domestik justru tidak menginap di Gili Trawangan ini, mereka hanya datang sejak pagi hingga menjelang sore dan langsung kembali pulang ke Pelabuhan Bangsal, kami pun memilih untuk berjalan kaki sore harinya menyusuri bibir pantai, rasanya suasana Gili Trawangan justru lebih indah jika tenang seperti ini daripada dipenuhi oleh hingar-bingar music DJ, disepanjang bibir pantai ini kami menikmati suasana sunset yang berpadu dengan suara deburan ombak saat menerpa beberapa pohon bakau yang ada dipinggir pantai, entahlah apakah kedepannya nanti Gili akan menjadi Gili yang tetap bernuansa Indonesia ataukah Gili akan menjadi seperti sebuah pulau pribadi yang dipenuhi oleh resort dan kehidupan malam yang bebas seperti diluar negeri, karena walaupun Gili masih merupakan bagian dari Pulau Lombok yang notabene mayoritas penduduknya beragama muslim dan disini pun juga masih ada sebuah Masjid namun nyatanya ketika Adzan Dzuhur tadi siang berkumandang ternyata mayoritas masyarakatnya dan wisatawan domestik lebih memilih untuk menghabiskan waktunya bermain di Pantai atau menemani wisatawan mancanegara berkeliling daripada meluangkan waktunya untuk beribadah, memang tidak semuanya seperti itu namun inilah yang tadi siang kami alami dan rasakan ketika melihat jamaah Masjid yang sangat sedikit (tidak sampai 1 shaf) dibandingkan dengan jumlah semua orang yang saat itu berada di Pantai, nikmat dunia memang indah namun jangan sampai kita melupakan alasan kita hidup didunia ini, karena semua perhiasan dunia ini tidak akan pernah habis kita kejar walaupun kita menghabiskan seluruh masa hidup kita
Sebelum matahari benar-benar tenggelam di peraduannya kami pun telah kembali ke penginapan, kami juga sempat membeli 2 buah mie instan yang untungnya masih harga normal, rencananya untuk malam nanti kami akan memasak saja di penginapan, toh kami membawa beras, gula dan teh, setidaknya cukuplah untuk mengganjal perut sebelum kami berangkat kembali ke Pelabuhan Bangsal esok hari. Selamat malam Gili Trawangan semoga suatu saat kami bisa kembali lagi dan mengunjungi Gili-gili yang lainnya juga
“We didn’t realize we were making memories, we just knew we were having fun”
Pengeluaran hari ini :
- 6 buah roti+gula pasir 1/4kg = Rp 22.000,-
- 4 tiket penyeberangan+sepeda Bangsal-Gili Trawangan via public boat = Rp 69.000,-
- tarif angkut 2 sepeda ke kapal di Bangsal = Rp 50.000,-
- tarif angkut 2 sepeda dari kapal di Gili = Rp 30.000,-
- 2 porsi nasi campur = Rp 25.000,-
- penginapan 1 malam = Rp 180.000,-
Total = Rp 376.000,-
Hari ini waktunya bagi kami berdua untuk kembali melanjutkan perjalanan. Setelah beberapa hari kemarin kami beristirahat di rumah dinas karyawan LIPI rasanya kondisi badan kami kini sudah berangsur membaik dan semangat untuk melanjutkan petualangan juga telah kembali meningkat.
Tujuan kami pada hari ini adalah menuju ke Pulau Gili Trawangan, berdasarkan apa yang sudah kami baca sebelumnya, Gili Trawangan merupakan destinasi wisata yang paling populer dan terbesar jika dibandingkan dengan kedua Gili lainnya, yaitu Gili Air dan Gili Meno. Nah karena budget petualangan kami juga terbatas maka dari itulah kami harus berusaha mengatur manajemen anggaran seoptimal mungkin (hanya bisa memilih satu dari ketiga Gili yang ada), akhirnya berdasarkan kesepakatan kami berdua maka Gili Trawangan pun menjadi pilihan kami berikutnya (padahal saya yakin kedua Gili yang lainnya tentu juga tidak kalah indahnya :))
Pagi ini Mas Hendra sudah berangkat ke kantornya lebih awal daripada rencana keberangkatan kami berdua, pada malam sebelumnya ia berpesan supaya kami santai saja tidak perlu terburu-buru berangkatnya, ia hanya mengingatkan kepada kami supaya jangan lupa menutup pintu-pintu dan jendela sebelum kami berangkat, kami pun tidak lupa mengucapkan banyak terimakasih kepada Mas Hendra, Mas Fauzan dan seluruh staff karyawan LIPI yang telah banyak membantu dan berkenan membuka pintu rumahnya sebagai tempat beristirahat bagi kami berdua, semoga kalian semua tetap semangat berinovasi karena bumi nusantara ini membutuhkan banyak sekali generasi muda seperti kalian
Sebelum pergi meninggalkan Mess karyawan LIPI ini kami pun memeriksa sekali lagi supaya tidak ada barang-barang kami yang tertinggal, setelah memastikan semua sudah terpacking dan ruangan juga sudah kembali bersih seperti sediakala, piring-piring dan gelas sudah dicuci, lantai sudah disapu, kamar sudah dirapikan, jendela juga sudah ditutup, kini saatnya petualangan goweswisata.blogspot.co.id ini dimulai kembali.
Untuk menyeberang menuju ke Gili Trawangan kami harus menuju ke Pelabuhan Bangsal yang berjarak sekitar 3km dari Teluk Kode (rumah dinas LIPI), kemudian dari Pelabuhan Bangsal kami hanya tinggal membeli tiket public boat yang menuju ke Gili Trawangan (disini juga ada tiket terusan perjalanan untuk menuju ke tiga Gili tersebut tentunya dengan budget yang lebih mahal), sistem keberangkatan public boat ini mirip dengan angkot, yaitu menunggu alias nge-tem dulu sampai penumpangnya penuh barulah kapal tersebut berangkat, dan karena kami membawa sepeda sendiri jadinya kami juga dikenakan biaya tambahan untuk masing-masing sepeda (total kami membeli 4 tiket penyeberangan menuju Gili Trawangan, harga masing-masing tiket sebesar 15 ribu rupiah, ditambah biaya pelabuhan sebesar Rp 2.500/orang dan 2 tanda masuk ke Gili Rp 2.000/orang), selain itu kami juga membayar ekstra untuk jasa para pekerja yang menggotong sepeda dari Pelabuhan menuju ke dalam kapalnya (nah kebayang kan kaya apa tersiksanya para pekerja yang menggotong sepeda-sepeda kami yang notabene full loaded tersebut, betapa beratnya “beban hidupmu” bapak-bapak sekalian hehe…maaf ya jadi nyusahin)
Namanya juga public boat, jadi jangan bayangkan bentuk tampilan dan jenis kapalnya seperti yacht, tentunya disini harga juga tidak akan berbohong dengan kualitasnya, ibaratnya ini adalah kapal kelas ekonomi sehingga para penumpang yang menggunakan kapal ini tidak hanya wisatawan tipe backpacker irit saja melainkan juga termasuk para pedagang sayur mayur, penjual makanan, dan warga lokal Gili yang berprofesi sebagai penyalur barang kebutuhan pokok. Namun jika kalian mempunyai budget lebih dan ingin menikmati kenyamanan tanpa harus berdesak-desakan dan menunggu maka kalian juga bisa menggunakan yacht (sejenis kapal boat pesiar) yang bisa berangkat kapan saja tanpa harus menunggu penumpangnya penuh dulu
Dan berkaca dari pengalaman-pengalaman sebelumnya dimana biasanya jika kita berwisata ke sebuah destinasi wisata yang populer biasanya hampir bisa dipastikan jika harga-harga makanan dan minum juga pastinya akan lebih mahal dari harga normal, oleh karena itulah kami telah bersiap dengan membeli beberapa makanan ekstra dan minuman di sebuah pasar tradisional yang berada tepat di perempatan sebelum menuju Pelabuhan Bangsal ini, sedikit tips bagi kalian yang jarang membawa uang cash dan hanya mengandalkan kartu atm, karena disekitar sini jarang terdapat mesin atm (khususnya BCA) satu-satunya atm machine dapat kalian temui disalah satu café (merangkap jasa tour travel) yang berada tidak jauh sebelum pintu masuk Pelabuhan.
Setelah menunggu sekitar 20 menit akhirnya begitu kapal sudah penuh terisi oleh penumpang kami pun bersiap untuk berangkat, Gili Trawangan here we come :)
Dibutuhkan waktu sekitar 1 jam untuk menyeberang dari Pelabuhan Bangsal menuju ke Gili Trawangan, dan begitu kapal mulai mendekat ke Gili Trawangan seketika itu juga mata kita akan dimanjakan oleh jernihnya air laut yang berada di pantai dan putihnya hamparan pasir pantai (rasanya semakin tidak sabar untuk buru-buru bermain air di pantainya)
Setelah kapat mulai merapat dan ditambatkan para penumpang pun mulai bergegas turun, beberapa barang bawaan penumpang yang berukuran besar dan berat juga mulai diangkuti oleh para porter, ketika melihat sepeda-sepeda kami para porter pun kembali menawarkan jasa untuk menurunkan sepeda-sepeda tersebut, setelah bernegosiasi harga akhirnya kami mendapat harga yang jauh lebih murah daripada ketika menggunakan jasa porter yang menggotong sepeda-sepeda kami sebelumnya di Pelabuhan Bangsal
Sekarang sepeda sudah kembali berada di daratan, kami pun juga sudah menjejakkan kaki di Gili Trawangan ini, langkah berikutnya tentu saja mulai mencari penginapan dengan budget yang ekonomis sehingga nantinya setelah mendapat tempat dan menaruh semua barang bawaan, kami bisa leluasa menjelajah keindahan pesona Gili Trawangan ini. Mungkin banyak yang bertanya kenapa kami tidak mendirikan tenda dan camping saja? Pikiran seperti itu juga sudah terbersit pertama kali di benak kami berdua, namun tentunya disini kita juga harus mematuhi aturan yang berlaku bukan? Disini kami tidak bisa camping sembarangan, beberapa kali kami sempat bertanya dan meminta ijin mendirikan tenda namun beberapa pihak tidak mengijinkan dan menyarankan kami untuk mencari penginapan yang terletak di bagian dalam saja karena biasanya lebih murah.
ekspetasi
Realita
Akhirnya setelah berkeliling keluar masuk gang dan bertanya kepada beberapa warga sekitar kami pun diantar ke salah satu penginapan dan bertemu langsung dengan sang empunya tempat, setelah bernegosiasi harga akhirnya kami pun mendapat kamar kosong dengan harga yang tergolong murah jika dibandingkan dengan harga penginapan lainnya, setidaknya dengan fasilitas double bed, kipas angin dan kamar mandi dalam sudah cukuplah bagi kami berdua, kini saatnya bersepeda keliling Gili Trawangan
Ada untungnya juga kami membawa sepeda sendiri karena di Gili Trawangan ini harga sewa sepeda terhitung cukup mahal, yaitu antara 70ribu sampai 100rb per sepeda tergantung jenis sepedanya. Ya di Gili Trawangan sepeda merupakan salah satu transportasi yang paling utama selain cidomo (sejenis kereta kuda, sama dengan Delman atau Andong atau Dokar di Pulau Jawa), disini dilarang menggunakan kendaraan bermotor, sehingga kalau kalian ingin menikmati dan merasakan suasana tenang tanpa adanya kebisingan deru kendaraan bermotor maka silahkan berwisata ke Gili Trawangan ini
Selain menikmati keindahan pantainya, di Gili Trawangan ini kalian juga bisa menikmati keindahan panorama bawah lautnya yang tidak kalah indahnya, kalian tidak perlu kuatir jika tidak memiliki peralatan snorkeling atau diving karena disini juga terdapat banyak persewaan peralatan diving dan snorkeling, bahkan bagi kalian yang merasa amatir namun ingin mencoba melakukan diving kalian juga bisa mengikuti pelatihan yang diajarkan oleh para instruktur berpengalaman, atau jika malas berbasah-basahan kalian bisa menaiki glass boat, yaitu perahu yang pada bagian lantainya terdapat bagian dari kaca sehingga kalian tetap bisa melihat keindahan panorama terumbu karang dan ikan-ikan yang berenang di dasar laut
Walaupun Gili Trawangan hanya merupakan sebuah pulau kecil jika dibandingkan dengan Pulau Lombok secara keseluruhan namun disini kehidupannya hampir seperti di Pantai Kuta Bali, disini banyak terdapat penginapan dan cottage mewah, bar, caffe, restaurant yang bertebaran, sehingga kalian tinggal menyesuaikan dengan budget saja, fasilitas-fasilitas seperti kelas Yoga, pelatihan diving, spa, candle light dinner, swimming pool, dan lainnya merupakan hal lumrah yang ditawarkan oleh masing-masing tempat tersebut. Bagi wisatawan yang berkantong tebal tentunya semua itu tidak akan menjadi masalah namun bagi kami yang berbudget mepet tentunya kami harus kreatif supaya bisa menikmati suasana Gili Trawangan ini tanpa harus jor-joran over budget
Semakin siang perut terasa semakin lapar saatnya berkeliling mencari makanan yang sesuai budget, untuk urusan makan sebenarnya sangat mudah mencari makanan di Gili Trawangan ini, tapi ya itu tadi faktor hargalah yang membuat kami sedikit repot dan ribed dalam proses pencariannya, mau makan di tempat-tempat seperti caffe begitu kami melihat daftar harga minumannya saja sudah sama seperti harga makanan yang biasa kami beli disepanjang perjalanan ini otomatis ga jadi deh, dan biasanya menu-menu di caffe atau restaurant itu sudah mahal porsinya sedikit pula pasti ga bakal kenyang, pokoknya disini harga menentukan pilihan hehe… setelah berkeliling dan ga nemu-nemu yang sesuai akhirnya pilihan pun jatuh ke penjual nasi campur bungkusan yang menjual dagangannya tidak jauh dari tempat kapal-kapal berlabuh, setidaknya harganya masih bisa ditolerir dan porsi nasinya juga cukup banyak, maklum perut orang Indonesia selama belum makan nasi pasti dibilangnya belum makan
Sebenarnya salah satu lokasi pantai di Gili Trawangan ini yang tergolong cukup bagus dan menarik bagi penikmat snorkeling dan diving adalah disekitar pantai tempat kapal-kapal berlabuh, disini selain air lautnya jernih dan bergradasi, ombaknya juga relatif tenang, namun jika minat kalian adalah kegiatan surfing, kalian juga jangan kuatir karena di sisi lain Gili Trawangan ini terdapat pantai yang ombaknya bergelombang sehingga bisa dijadikan tempat untuk melakukan surfing, sementara bagi kalian yang membawa buah hatinya yang masih kecil-kecil, kalian juga bisa bermain air dengan buah hati tercinta dengan aman, karena ada bagian pantai lainnya yang memiliki bibir pantai yang dangkal sehingga cocok dijadikan sebagai tempat melatih anak-anak untuk belajar berenang
Sisi Pantai untuk kegiatan snorkeling dan diving
Sisi pantai untuk kegiatan surfing
Sisi Pantai untuk bermain dengan buah hati
Hari semakin sore namun justru suasana kemeriahan di Gili Trawangan ini semakin menggeliat, bar-bar dan resto yang ada mulai menyiapkan hiburan musik dari pengeras suara dan turntable milik DJ untuk malam nanti, wisatawan-wisatawan mancanegara yang jumlahnya jauh lebih banyak daripada wisatawan domestik terlihat sangat menikmati suasana ini, kebanyakan wisatawan domestik justru tidak menginap di Gili Trawangan ini, mereka hanya datang sejak pagi hingga menjelang sore dan langsung kembali pulang ke Pelabuhan Bangsal, kami pun memilih untuk berjalan kaki sore harinya menyusuri bibir pantai, rasanya suasana Gili Trawangan justru lebih indah jika tenang seperti ini daripada dipenuhi oleh hingar-bingar music DJ, disepanjang bibir pantai ini kami menikmati suasana sunset yang berpadu dengan suara deburan ombak saat menerpa beberapa pohon bakau yang ada dipinggir pantai, entahlah apakah kedepannya nanti Gili akan menjadi Gili yang tetap bernuansa Indonesia ataukah Gili akan menjadi seperti sebuah pulau pribadi yang dipenuhi oleh resort dan kehidupan malam yang bebas seperti diluar negeri, karena walaupun Gili masih merupakan bagian dari Pulau Lombok yang notabene mayoritas penduduknya beragama muslim dan disini pun juga masih ada sebuah Masjid namun nyatanya ketika Adzan Dzuhur tadi siang berkumandang ternyata mayoritas masyarakatnya dan wisatawan domestik lebih memilih untuk menghabiskan waktunya bermain di Pantai atau menemani wisatawan mancanegara berkeliling daripada meluangkan waktunya untuk beribadah, memang tidak semuanya seperti itu namun inilah yang tadi siang kami alami dan rasakan ketika melihat jamaah Masjid yang sangat sedikit (tidak sampai 1 shaf) dibandingkan dengan jumlah semua orang yang saat itu berada di Pantai, nikmat dunia memang indah namun jangan sampai kita melupakan alasan kita hidup didunia ini, karena semua perhiasan dunia ini tidak akan pernah habis kita kejar walaupun kita menghabiskan seluruh masa hidup kita
Sebelum matahari benar-benar tenggelam di peraduannya kami pun telah kembali ke penginapan, kami juga sempat membeli 2 buah mie instan yang untungnya masih harga normal, rencananya untuk malam nanti kami akan memasak saja di penginapan, toh kami membawa beras, gula dan teh, setidaknya cukuplah untuk mengganjal perut sebelum kami berangkat kembali ke Pelabuhan Bangsal esok hari. Selamat malam Gili Trawangan semoga suatu saat kami bisa kembali lagi dan mengunjungi Gili-gili yang lainnya juga
“We didn’t realize we were making memories, we just knew we were having fun”
Pengeluaran hari ini :
- 6 buah roti+gula pasir 1/4kg = Rp 22.000,-
- 4 tiket penyeberangan+sepeda Bangsal-Gili Trawangan via public boat = Rp 69.000,-
- tarif angkut 2 sepeda ke kapal di Bangsal = Rp 50.000,-
- tarif angkut 2 sepeda dari kapal di Gili = Rp 30.000,-
- 2 porsi nasi campur = Rp 25.000,-
- penginapan 1 malam = Rp 180.000,-
Total = Rp 376.000,-