Pada weekend kali ini agenda gowes yang direncanakan bersama rekan-rekan Gowes Wisata lainnya adalah menuju ke air terjun Kedung Pengilon yang berlokasi di Dusun Petung, tepatnya berada di sebelah barat daya dari Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Propinsi DIY
Berkaca pada pengalaman sebelumnya dimana sepeda yang saya gunakan ternyata tidak sesuai dengan kondisi medan dan rute yang ditempuh, yang alhasil menjadikan selama perjalanan menjadi tidak nyaman dan cenderung menyiksa, maka sehari sebelumnya saya mencoba googling terlebih dahulu untuk mengetahui seperti apakah kondisi medan yang akan dilalui. Setelah saya mempunyai sedikit gambaran tentang kondisi medannya maka saya pun memutuskan untuk menggunakan sepeda MTB saja untuk mengantisipasi kondisi jalan yang sepertinya kali ini tidak akan selalu mulus hehe...:)
Foto keluarga dulu sebelum berangkat, ayo semua pose narsis...:)
Kami semua start sekitar pukul 05.30 WIB dari titik kumpul yang sudah ditentukan sebelumnya, yaitu di Pojok Beteng Kidul, dengan jumlah peserta gowes kali ini sebanyak 6 orang. Dari perempatan Pojok Beteng kami kemudian menuju kearah selatan sampai bertemu lampu merah pertama kemudian belok kekanan melalui jalan alternatif yang tidak terlalu banyak kendaraan sampai mbertemu pertigaan, kemudian belok kiri terus saja, lalu ke kanan ikuti jalan sampai pada akhirnya melewati perempatan ringroad terus keselatan menuju arah ke pemakaman gunung sempu - desa wisata krebet, terus saja menuju ke arah Desa Bangunjiwo
pada awalnya kondisi rute cukup menyenangkan (suasana tenang, udara pagi hari, sejuk, dan tidak bising)dan melalui jalan aspal yang cukup ramah untuk semua jenis sepeda (hanya saja kita akan menemui banyak tanjakan hehe...), tapi tenang saja kalau kita menggunakan teknik shifting yang benar maka semua tanjakan-tanjakan tersebut tidak akan menjadi masalah berarti, terlebih suasana rute tersebut juga relatif lebih sepi dan masih banyak pepohonan sehingga udara menjadi segar minim polusi
Namun jangan berharap kondisi jalanan selalu mulus (segala sesuatu pasti ada akhirnya), karena setelah melalui perempatan tugu menuju Desa Petung maka kondisi jalan berubah menjadi makadam dan sedikit cor (untunglah pemilihan sepeda saya sudah tepat, ya sepeda MTB Full Suspension menjadi terasa sangat berguna kali ini hehe...)
Kondisi medan yang langsung berubah setelah sebelumnya terlena oleh aspal halus
Dan masih harus menanjak pula, alhasil banyak yang ber-TTB
Setelah mengikuti jalan makadam tersebut sesuai petunjuk warga yang kami tanya, maka kita akan menemui lapangan yang luas, sebenarnya disini ada jalan potong namun agak rusak, tetapi karena kata warga jalan tersebut lebih cepat menuju ke Kedung Pengilon maka kami pun sepakat melalui jalan potong itu saja (bagi yang penganut 4T alias tanjakan tuntun, turunan takut, maka tidak usah malu karena TTB tidak haram kok daripada kalian jatuh terpeleset dan malah membuat repot rekan yang lain, lebih baik cari yang aman-aman saja)
Istirahat sebentar di lapangan
Jalan potong yang dimaksud (sebenarnya didepan juga ternyata ada jalan lain yang lebih ramah medannya)
Untuk menghindari resiko tersesat maka lebih baik kita rajin-rajin bertanya kepada warga sekitar dimana lokasi Kedung Pengilon, mereka pun tidak sungkan dan dengan ramahnya memberi tahu patokan-patokan jalannya
cari warga sekitar untuk bertanya patokan rute berikutnya
lanjut lagi melalui jalur yang yah begitulah seperti tampak di gambar hehe...:)
Masjid Dusun Petung, akhirnya tujuan sudah dekat
Setelah kita menemui Masjid Dusun Petung itu berarti lokasi Kedung Pengilon sudah tidak jauh lagi, tetapi untuk benar-benar sampai ke air terjun tersebut maka sepeda mesti kita titipkan ke rumah-rumah warga sekitar karena akses menuju air terjun tersebut melalui jalan setapak yang penuh lumut dan licin, tenang saja tidak ada tarif retribusi kok bagi para pesepeda (entahlah jika menggunakan kendaraan bermotor), dan akhirnya sampailah kami semua di Air terjun Kedung Pengilon yang telah diresmikan menjadi tempat wisata pada tanggal 9 Juni 2013 (namun sepertinya kurang promosi)...
Sepeda bisa dititipkan di rumah warga, tenang saja aman kok
Akhirnya, Air Terjun Kedung Pengilon
Warga sekitar menamakan air terjun ini Kedung Pengilon karena berasal dari kata Kedung, yaitu kolam besar yang berada di aliran sungai, dan Pengilon sendiri yang dalam bahasa Jawa berarti tempat untuk bercermin. Sehingga makna harafiahnya mungkin karena air terjun ini masih sangat alami dan bersih maka kita seakan dapat berkaca pada air tersebut
Lokasi air terjun ini memang masih sangat alami, sehingga akses menuju kesana pun masih agak susah jika kita menggunakan kendaraan bermotor roda 4 atau bus (lebih baik gunakan sepeda saja karena jaraknya pun tidak terlalu jauh dari pusat kota, selain itu dengan menggunakan sepeda maka secara tidak langsung kita pun turut berpartisipasi menjaga suasana alami tempat ini), dan justru karena kealamiannya itulah yang pada akhirnya menjadi daya tarik tersendiri bagi penggemar wisata blusukan seperti kami ini ...:)
Begitu melihat keindahannya langsung saja semua berebut memotret
Air terjun ini mempunyai dua buah sendang di sisi kanan dan kirinya yang diberi nama Sendang Koco Banyu Roso (berada disisi kanan) dan Sendang Panguripan (berada di sisi kiri), sayangnya hanya Sendang Koco Banyu Roso saja yang terlihat masih terjaga, sedangkan Sendang Panguripan sendiri kondisi airnya terlihat tertutup oleh tanah pada saat kami kesana
Sendang Koco Banyu Roso
Masyarakat sekitar percaya bahwa air di Sendang Koco Banyu Roso mempunyai khasiat yang dapat menyembuhkan bagi orang yang menderita penyakit, sehingga di dekat sendang tersebut juga disediakan semacam gayung bagi para pengunjung yang ingin membasuh mukanya, namun syaratnya kita harus berziarah terlebih dahulu ke makam Mintono yang letaknya berada di bagian atas dari Kedung Pengilon ini
Dengan ketinggian air terjun +/- 10 meter dan dengan diameter Kedung (kolam) +/- 15 meter, maka Kedung Pengilon seakan menggoda pengunjung untuk berenang atau bermain air di kolamnya, namun jangan salah sangka, dengan keindahannya tersebut kita tetap harus berhati-hati karena Kedung Pengilon sendiri mempunyai kedalaman sekitar 8 meter, ya cukup dalam memang, oleh sebab itu tidak mengherankan disekitar lokasi terdapat banyak papan larangan berenang bagi mereka (pengunjung) yang tidak mahir berenang, bahkan menurut warga sekitar sudah ada beberapa orang pengunjung yang tewas tenggelam disini, tidak mengherankan jika kemudian masyarakat sekitar menganggap tempat ini sebagai tempat yang "wingit" atau penuh hal-hal mistik, namun harus diakui juga bahwa mungkin tempat ini masih dapat tetap terjaga kealamiannya hingga saat ini justru karena adanya faktor-faktor mistik yang terus dipegang dan dipercaya oleh masyarakat
Aliran air yang masih jernih menandakan masih terjaganya keasrian tempat ini
Rute alternatif lain jika kita ingin berkunjung ke Kedung Pengilon :
Dari Balai desa Bangunjiwo terus saja ke barat (dari perempatan kira-kira 2 km) hingga bertemu tugu gentong, kemudian ke kiri atau selatan kira-kira 1 km sampai bertemu tugu dusun petung
atau bisa juga melalui pabrik gula Madukismo kearah barat melewati Padepokan Bagong Kussudiardja, lalu melewati Desa Tamantirto hingga bertemu perempatan Desa Bangunjiwo, ambil arah ke barat atau kanan kira-kira 2 km hingga bertemu tugu gentong kemudian ke kiri kira-kira 1 km sampai pada akhirnya melihat tugu Dusun Petung
Jadi tunggu apalagi mulailah bersepeda dan ciptakan petualangan barumu bersama teman-teman
Tuesday, 25 March 2014
Monday, 17 March 2014
Pengalaman baru di bulan ini
Hmmm...di Bulan Maret ini banyak sekali pengalaman baru yang saya dapatkan, dan juga hal-hal baru serta menarik yang saya alami. Semua kisah ini terangkum dalam petualangan traveling bulan ini bersama teman-teman backpacker dari Jerman dan Jakarta yang kebetulan singgah di Homebase Gowes Wisata selama mereka berada di Yogyakarta
Alfred K (Jakarta), Kaspar, Imge Tak, dan Carolin Broemmel (Jerman) adalah teman-teman baru yang turut memberi warna serta cerita dalam catatan perjalanan dan petualangan Gowes Wisata di blog ini.
Ya, dari merekalah saya mendapatkan hal-hal baru, pengalaman seru, lucu, dan berbagi kisah, cara pandang mereka terhadap dunia traveling, kebiasaan dan budaya di tempat asal mereka. Intinya sangat banyak kisah yang terjadi walaupun mereka hanya sempat singgah di Yogyakarta selama 1 minggu saja
Dari pengalaman saya selama menemani mereka jalan-jalan di Yogyakarta, saya mendapati bahwa umumnya masyarakat lokal kita masih merasa kagum dengan para wisatawan asing, entahlah apakah rasa kekaguman itu disebabkan karena kita memang terkenal dengan budaya ramah-tamahnya, ataukah karena ada sedikit rasa minder dan kurang percaya diri jika berhadapan dengan wisatawan asing, khususnya dari Eropa
Masyarakat kita (terutama pedagang, jasa guide, pengusaha kuliner) cenderung lebih ramah kepada wisatawan asing daripada wisatawan domestik, hal ini mungkin disebabkan karena mereka beranggapan bahwa turis dari eropa identik dengan orang kaya, sehingga para turis tersebut terkadang tidak segan memberikan uang tip atau tidak menawar terlalu banyak ketika bertransaksi, hal ini tentunya sangat jauh berbeda dengan karakter wisatawan lokal yang banyak menawar (dengan sadis) ketika bertransaksi, sehingga membuat para pedagang menjadi kesal
Kaspar got a haircut at a local barbershop (you can't get situation like this if you get travel with the travel agent)
Hal lain yang menurut saya lucu adalah banyaknya masyarakat lokal yang ingin berfoto bersama turis asing (khususnya Eropa), hal tersebut saya alami ketika kami berkunjung ke Keraton Yogyakarta, saat itu kebetulan juga sedang ada study tour yang dilakukan oleh sebuah sekolah, entah mengapa, tetapi sewajarnya jika kita berkunjung ke sebuah lokasi wisata tentunya kita akan mengabadikan obyek-obyek wisata menarik yang ada di lokasi tersebut, dengan keindahan arsitektur, alam, atau budayanya. Namun beberapa siswa sekolah tersebut justru ingin berfoto bersama teman-teman dari Jerman tersebut, sontak saja Carolin, Gaspar, dan Imge tak kuasa menolak dan dengan ramahnya melayani permintaan mereka, seperti seorang selebritis yang sibuk meladeni permintaan foto bersama dengan para penggemarnya...:)
"awalnya hanya satu orang saja, lalu teman-teman mereka mendekat dan kemudian bergantian ingin berfoto bersama, lalu tiba-tiba secara cepat menjadi kerumunan orang-orang yang ingin berfoto bersama. Awalnya mungkin terasa aneh, tetapi kami memaklumi bahwa mungkin karena orang melihat kami berbeda, walau hal tersebut membuat kami menjadi tidak bebas menikmati atau mengambil foto dari obyek wisata tersebut, tetapi yah itulah hal yang menarik jika kamu mengunjungi suatu Negara dengan beragam karakter dan budaya dari masyarakatnya", kata Kaspar dan Imge
Menurut mereka, mungkin hal tersebut karena masyarakat melihat mereka berbeda dengan orang-orang lokal pada umumnya. Ya, dengan postur tubuh yang cenderung lebih tinggi, rambut pirang, bahasa, dan kulit putih memang menjadikan mereka berbeda dengan ciri fisik masyarakat kita pada umumnya, walaupun semua itu juga disebabkan karena perbedaan ras dan faktor genetik yang dimiliki masing-masing individu
Masyarakat kita pun walau sebenarnya mereka ingin mencoba berinteraksi dengan para teman-teman dari Negara lain, tetapi kebanyakan dari mereka masih merasa malu dan takut salah jika berbicara menggunakan Bahasa Inggris (walaupun Kaspar, Imge, dan Carolin memakluminya), karena mereka tahu bahwa masyarakat kita tidak menggunakan Bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari. Bahasa Inggris memang hanya diajarkan di sekolah dan tempat-tempat kursus, walaupun sebagian dari mereka sudah tahu teori dan Grammar yang digunakan, tetapi jika berhadapan atau bercakap-cakap langsung dengan para turis asing, seketika rasa gugup dan canggung langsung membuat buyar semua teori tersebut, dan akhirnya memang Bahasa Tarzan menjadi bahasa yang lebih ampuh ketika kita berbincang-bincang dengan para turis asing tersebut
Selain itu saya pun kemudian memaklumi mengapa banyak wisatawan, terutama dari Eropa yang senang ketika berkunjung ke Indonesia. Pertama, tentunya karena perbedaan kurs mata uang antara mata uang Euro dengan Rupiah, faktor lainnya adalah karena menurut mereka di Indonesia matahari selalu bersinar sepanjang hari. Di Jerman sendiri, musim panas terkadang hanya dapat mereka nikmati selama dua bulan saja, disaat musim panas itulah mereka baru dapat menikmati pantai-pantai, tetapi karena semua orang ingin pergi dan menikmati pantai saat musim panas maka suasana di pantai pun menjadi penuh sesak. Dan disaat musim dingin, dengan suhu yang dapat mencapai -16 derajat celcius, otomatis mereka hanya dapat berjalan-jalan di bibir pantai saja karena sebagian dari pantai menjadi beku
Coba kita bandingkan dengan kondisi di Indonesia, dengan matahari yang selalu bersinar cerah membuat tidak akan terjadi pembekuan pada air laut sehingga kita bebas bermain ke pantai kapan saja kita mau, dan dengan banyaknya jumpah pantai (tidak mengherankan, karena itulah kita disebut negara kepulauan) maka jika satu pantai dirasa menjadi terlalu penuh, maka kita dapat pindah ke bagian pantai yang lain
Selain itu kondisi tanah di Bumi nusantara ini terkenal sangat subur, hal ini terjadi karena banyaknya Gunung Api yang ada di seluruh wilayah Indonesia, dimana ketika terjadi erupsi pada Gunung Berapi tersebut maka akan memuntahkan mineral-mineral dari perut bumi yang bermanfaat bagi tanah, yang kelak dapat membuat tanah di sekitar wilayah tersebut menjadi subur (begitulah di setiap bencana yang terjadi tentunya ada hikmah yang dapat dipetik, di setiap kesulitan pasti ada kemudahan)
Carolin dan Alfred melihat lahan persawahan dan aktivitas para petani
"Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman", ya, sepenggal bait lirik dari musisi Koes Plus tersebut seakan menjadi penegas bahwa Bumi Nusantara tercinta kita ini dianugrahi dengan kondisi geografis dan kekayaan alam yang banyak terhampar luas. Bahkan teman-teman backpacker asal Jerman tersebut juga mengakuinya, mereka bahkan mengabadikan foto dari Jantung Pisang, Pohon Pepaya, Rambutan, Durian, dan beragam tanaman buah lainnya, karena di Negeri asal mereka, semua tanaman tersebut tidak dapat tumbuh dikarenakan kondisi tanah serta iklim yang tidak sesuai, oleh karena itu mereka terpaksa harus meng-impor buah-buahan tersebut dari beberapa negara di Amerika Latin serta Asia. Sangat kontras dengan di Indonesia dimana mayoritas dari masyarakat justru menanam tanaman dan pohon-pohon buah tersebut di pekarangan mereka masing-masing sehingga jika sudah tiba musim buah, maka kita hanya tinggal memetik saja langsung dari pohonnya yang tentunya gratis dan bebas dari bahan-bahan pengawet sehingga kualitas vitamin dan gizi yang terkandung didalamnya tentunya akan terasa lebih segar dan higienis
Menikmati suasana santai dengan Kaspar dan Imge
Disaat kita memuja peradaban bangsa dan negara lain, dan cenderung bergaya kebarat-baratan yang bahkan melebihi dari orang barat itu sendiri, kita lupa bahwa sebenarnya sejak dari dulu kita sudah mempunyai identitas jati diri bangsa sendiri yang terkenal sebagai negara agraris, negara bahari, serta negara kepulauan. Sungguh sebuah ironi jika di negara agraris ini kita sampai harus meng-impor beras, gula, bawang, cabai, dan lainnya dari negara lain padahal lahan pertanian terhampar luas di negeri ini. Sebagai negara bahari pun kita sampai harus men-impor garam, padahal hamparan pantai dan lautan dengan segala kekayaan dan keindahannya menyediakan apa yang kita butuhkan
Justru terkadang orang-orang dari Negara lainlah yang menyayangkan jika Indonesia sampai harus mengalami keterpurukan seperti ini, yang sebagian besar justru disebabkan karena perilaku masyarakatnya sendiri. Carolin sendiri merasa heran mengapa sangat sedikit Orang Indonesia yang suka berjalan kaki, walaupun tujuan mereka sebenarnya relatif dekat, tetapi masyarakat lebih suka menggunakan kendaraan bermotor dengan asap polusinya yang mengotori lingkungan dan membuat iklim menjadi semakin panas
Saya pun merasa bahwa kita mengagumi Eropa karena melihat kondisi lingkungannya yang tertata rapi, dan tidak adanya kemacetan, serta iklim atau kualitas udara yang lebih baik. Tetapi mereka bisa seperti itu karena pemerintahnya pun membatasi penggunaan kendaraan bermotor dengan aturan yang ketat, serta memfasilitasi para pejalan kaki dan pesepeda sehingga orang menjadi nyaman ketika menggunakan sepeda atau berjalan kaki sebagai kebiasaan sehari-harinya, yang dalam jangka panjang tentunya akan mengurangi kemacetan dan membuat kondisi lingkungan menjadi tertata dengan kualitas udara menjadi lebih baik
Kita pun bisa seperti itu, mengadopsi hal-hal yang baik tanpa harus meninggalkan identitas jati diri bangsa dengan dalih modernisasi menjadi negara industri (yang tidak didukung sistem pengolahan limbahnya). Para turis umumnya datang kesini karena mereka ingin melihat keindahan alamnya, kekayaan ragam budaya yang dimilikinya, aktivitas masyarakat lokal, sejarah serta keramahan masyarakatnya. Bukan ingin melihat jumlah mall yang terus meningkat, bukan untuk diracuni dengan asap dari knalpot dan dengan bisingnya raungan motor-motor yang digunakan oleh para bocah yang masih mencari identitas dirinya, menikmati keindahan dari pepohonan yang ada dan bukannya merusak pohon-pohon tersebut dengan menempelkan iklan atau spanduk-spanduk berbau kampanye politik dan hal-hal matrealistis lainnya
Mahalnya tiket masuk Candi Prambanan (baik bagi turis asing maupun lokal) membuat kami tidak kehabisan akal supaya bisa tetap menikmati petualangan ini
Saat kebutuhan dasar kita mulai tergantung kepada pasar, bukannya kepada alam, maka sejak itulah tanpa kita sadari kita mulai menjadi kurang menghargai alam, merusaknya perlahan-lahan supaya bisa mendapatkan apa yang disediakan oleh pasar, bahkan kita mungkin menjadi tidak menyadari bahwa disekitar kita terdapat "harta berharga" yang nilainya melebihi angka materi yang bisa kita bayangkan, karena "harta" tersebut menyediakan kesehatan, ketenangan pikiran, dan nilai-nilai filosofis yang dapat dijadikan pegangan untuk kita kedepannya tentang bagaimana mengelola Bumi Nusantara ini, yang sejak dulu telah menjadi semacam kearifan lokal bangsa ini ketika kita mampu menjadi bangsa yang besar dan bermartabat di hadapan negara-negara lain
Tidak ada kata terlambat jika kita mau berbenah memberesi semua permasalahan yang mendera bangsa ini, jangan hanya menggantungkan semua harapan kepada sosok pemimpin atau pemerintah, tetapi kita pun bisa memulainya dan membuat perubahan yang lebih baik untuk kelak diwarisi kepada anak-cucu kita. Perubahan bisa dimulai dari diri sendiri, ketika satu orang secara perlahan namun pasti dapat mempengaruhi yang lainnya untuk menjadi lebih baik dan bijak dalam mengelola lingkungan dan kekayaan baik alam maupun budaya yang dimiliki negara tercinta ini, Indonesia
Some testimonial from our friends :
Kaspar and Imge Tak (Germany)
Gaspar : "We arived at Yogya without having a clue and found a really nice home ! Thanks for all the help and the room and showing us some secret locations. We really enjoyed our day, Jogja is a nice place to visit if you come from Jakarta and it has so much to discover. Thanks again"
Imge Tak : "Thank you for opening your home for us and making our rather spontaneous trip to Yogya so unforgetable ! We saw the secret places and made the pay-free photos thanks to you. Take care !"
Carolin Broemmel an Alfred Kosasih
Carolin : "Terimakasih for sharing all the beautiful moments with us and welcome us so warmly ! It was really awesome days spent together with you and Agitya at Sultan's Palace and water castle and yesterday on the secret beaches and temple. Now I understand why you move from Jakarta to Yogya. All the best for you and hopefully see you one day again, maybe in Germany, than we can exchange and I will welcome you and Agitya"
Alfred : "Thanks for accept me and others in your house and companion and take us to see a beautiful place, see you an GBU always"
Alfred K (Jakarta), Kaspar, Imge Tak, dan Carolin Broemmel (Jerman) adalah teman-teman baru yang turut memberi warna serta cerita dalam catatan perjalanan dan petualangan Gowes Wisata di blog ini.
Ya, dari merekalah saya mendapatkan hal-hal baru, pengalaman seru, lucu, dan berbagi kisah, cara pandang mereka terhadap dunia traveling, kebiasaan dan budaya di tempat asal mereka. Intinya sangat banyak kisah yang terjadi walaupun mereka hanya sempat singgah di Yogyakarta selama 1 minggu saja
Dari pengalaman saya selama menemani mereka jalan-jalan di Yogyakarta, saya mendapati bahwa umumnya masyarakat lokal kita masih merasa kagum dengan para wisatawan asing, entahlah apakah rasa kekaguman itu disebabkan karena kita memang terkenal dengan budaya ramah-tamahnya, ataukah karena ada sedikit rasa minder dan kurang percaya diri jika berhadapan dengan wisatawan asing, khususnya dari Eropa
Masyarakat kita (terutama pedagang, jasa guide, pengusaha kuliner) cenderung lebih ramah kepada wisatawan asing daripada wisatawan domestik, hal ini mungkin disebabkan karena mereka beranggapan bahwa turis dari eropa identik dengan orang kaya, sehingga para turis tersebut terkadang tidak segan memberikan uang tip atau tidak menawar terlalu banyak ketika bertransaksi, hal ini tentunya sangat jauh berbeda dengan karakter wisatawan lokal yang banyak menawar (dengan sadis) ketika bertransaksi, sehingga membuat para pedagang menjadi kesal
Kaspar got a haircut at a local barbershop (you can't get situation like this if you get travel with the travel agent)
Hal lain yang menurut saya lucu adalah banyaknya masyarakat lokal yang ingin berfoto bersama turis asing (khususnya Eropa), hal tersebut saya alami ketika kami berkunjung ke Keraton Yogyakarta, saat itu kebetulan juga sedang ada study tour yang dilakukan oleh sebuah sekolah, entah mengapa, tetapi sewajarnya jika kita berkunjung ke sebuah lokasi wisata tentunya kita akan mengabadikan obyek-obyek wisata menarik yang ada di lokasi tersebut, dengan keindahan arsitektur, alam, atau budayanya. Namun beberapa siswa sekolah tersebut justru ingin berfoto bersama teman-teman dari Jerman tersebut, sontak saja Carolin, Gaspar, dan Imge tak kuasa menolak dan dengan ramahnya melayani permintaan mereka, seperti seorang selebritis yang sibuk meladeni permintaan foto bersama dengan para penggemarnya...:)
"awalnya hanya satu orang saja, lalu teman-teman mereka mendekat dan kemudian bergantian ingin berfoto bersama, lalu tiba-tiba secara cepat menjadi kerumunan orang-orang yang ingin berfoto bersama. Awalnya mungkin terasa aneh, tetapi kami memaklumi bahwa mungkin karena orang melihat kami berbeda, walau hal tersebut membuat kami menjadi tidak bebas menikmati atau mengambil foto dari obyek wisata tersebut, tetapi yah itulah hal yang menarik jika kamu mengunjungi suatu Negara dengan beragam karakter dan budaya dari masyarakatnya", kata Kaspar dan Imge
Menurut mereka, mungkin hal tersebut karena masyarakat melihat mereka berbeda dengan orang-orang lokal pada umumnya. Ya, dengan postur tubuh yang cenderung lebih tinggi, rambut pirang, bahasa, dan kulit putih memang menjadikan mereka berbeda dengan ciri fisik masyarakat kita pada umumnya, walaupun semua itu juga disebabkan karena perbedaan ras dan faktor genetik yang dimiliki masing-masing individu
Masyarakat kita pun walau sebenarnya mereka ingin mencoba berinteraksi dengan para teman-teman dari Negara lain, tetapi kebanyakan dari mereka masih merasa malu dan takut salah jika berbicara menggunakan Bahasa Inggris (walaupun Kaspar, Imge, dan Carolin memakluminya), karena mereka tahu bahwa masyarakat kita tidak menggunakan Bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari. Bahasa Inggris memang hanya diajarkan di sekolah dan tempat-tempat kursus, walaupun sebagian dari mereka sudah tahu teori dan Grammar yang digunakan, tetapi jika berhadapan atau bercakap-cakap langsung dengan para turis asing, seketika rasa gugup dan canggung langsung membuat buyar semua teori tersebut, dan akhirnya memang Bahasa Tarzan menjadi bahasa yang lebih ampuh ketika kita berbincang-bincang dengan para turis asing tersebut
Selain itu saya pun kemudian memaklumi mengapa banyak wisatawan, terutama dari Eropa yang senang ketika berkunjung ke Indonesia. Pertama, tentunya karena perbedaan kurs mata uang antara mata uang Euro dengan Rupiah, faktor lainnya adalah karena menurut mereka di Indonesia matahari selalu bersinar sepanjang hari. Di Jerman sendiri, musim panas terkadang hanya dapat mereka nikmati selama dua bulan saja, disaat musim panas itulah mereka baru dapat menikmati pantai-pantai, tetapi karena semua orang ingin pergi dan menikmati pantai saat musim panas maka suasana di pantai pun menjadi penuh sesak. Dan disaat musim dingin, dengan suhu yang dapat mencapai -16 derajat celcius, otomatis mereka hanya dapat berjalan-jalan di bibir pantai saja karena sebagian dari pantai menjadi beku
Coba kita bandingkan dengan kondisi di Indonesia, dengan matahari yang selalu bersinar cerah membuat tidak akan terjadi pembekuan pada air laut sehingga kita bebas bermain ke pantai kapan saja kita mau, dan dengan banyaknya jumpah pantai (tidak mengherankan, karena itulah kita disebut negara kepulauan) maka jika satu pantai dirasa menjadi terlalu penuh, maka kita dapat pindah ke bagian pantai yang lain
Selain itu kondisi tanah di Bumi nusantara ini terkenal sangat subur, hal ini terjadi karena banyaknya Gunung Api yang ada di seluruh wilayah Indonesia, dimana ketika terjadi erupsi pada Gunung Berapi tersebut maka akan memuntahkan mineral-mineral dari perut bumi yang bermanfaat bagi tanah, yang kelak dapat membuat tanah di sekitar wilayah tersebut menjadi subur (begitulah di setiap bencana yang terjadi tentunya ada hikmah yang dapat dipetik, di setiap kesulitan pasti ada kemudahan)
Carolin dan Alfred melihat lahan persawahan dan aktivitas para petani
"Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman", ya, sepenggal bait lirik dari musisi Koes Plus tersebut seakan menjadi penegas bahwa Bumi Nusantara tercinta kita ini dianugrahi dengan kondisi geografis dan kekayaan alam yang banyak terhampar luas. Bahkan teman-teman backpacker asal Jerman tersebut juga mengakuinya, mereka bahkan mengabadikan foto dari Jantung Pisang, Pohon Pepaya, Rambutan, Durian, dan beragam tanaman buah lainnya, karena di Negeri asal mereka, semua tanaman tersebut tidak dapat tumbuh dikarenakan kondisi tanah serta iklim yang tidak sesuai, oleh karena itu mereka terpaksa harus meng-impor buah-buahan tersebut dari beberapa negara di Amerika Latin serta Asia. Sangat kontras dengan di Indonesia dimana mayoritas dari masyarakat justru menanam tanaman dan pohon-pohon buah tersebut di pekarangan mereka masing-masing sehingga jika sudah tiba musim buah, maka kita hanya tinggal memetik saja langsung dari pohonnya yang tentunya gratis dan bebas dari bahan-bahan pengawet sehingga kualitas vitamin dan gizi yang terkandung didalamnya tentunya akan terasa lebih segar dan higienis
Menikmati suasana santai dengan Kaspar dan Imge
Disaat kita memuja peradaban bangsa dan negara lain, dan cenderung bergaya kebarat-baratan yang bahkan melebihi dari orang barat itu sendiri, kita lupa bahwa sebenarnya sejak dari dulu kita sudah mempunyai identitas jati diri bangsa sendiri yang terkenal sebagai negara agraris, negara bahari, serta negara kepulauan. Sungguh sebuah ironi jika di negara agraris ini kita sampai harus meng-impor beras, gula, bawang, cabai, dan lainnya dari negara lain padahal lahan pertanian terhampar luas di negeri ini. Sebagai negara bahari pun kita sampai harus men-impor garam, padahal hamparan pantai dan lautan dengan segala kekayaan dan keindahannya menyediakan apa yang kita butuhkan
Justru terkadang orang-orang dari Negara lainlah yang menyayangkan jika Indonesia sampai harus mengalami keterpurukan seperti ini, yang sebagian besar justru disebabkan karena perilaku masyarakatnya sendiri. Carolin sendiri merasa heran mengapa sangat sedikit Orang Indonesia yang suka berjalan kaki, walaupun tujuan mereka sebenarnya relatif dekat, tetapi masyarakat lebih suka menggunakan kendaraan bermotor dengan asap polusinya yang mengotori lingkungan dan membuat iklim menjadi semakin panas
Saya pun merasa bahwa kita mengagumi Eropa karena melihat kondisi lingkungannya yang tertata rapi, dan tidak adanya kemacetan, serta iklim atau kualitas udara yang lebih baik. Tetapi mereka bisa seperti itu karena pemerintahnya pun membatasi penggunaan kendaraan bermotor dengan aturan yang ketat, serta memfasilitasi para pejalan kaki dan pesepeda sehingga orang menjadi nyaman ketika menggunakan sepeda atau berjalan kaki sebagai kebiasaan sehari-harinya, yang dalam jangka panjang tentunya akan mengurangi kemacetan dan membuat kondisi lingkungan menjadi tertata dengan kualitas udara menjadi lebih baik
Kita pun bisa seperti itu, mengadopsi hal-hal yang baik tanpa harus meninggalkan identitas jati diri bangsa dengan dalih modernisasi menjadi negara industri (yang tidak didukung sistem pengolahan limbahnya). Para turis umumnya datang kesini karena mereka ingin melihat keindahan alamnya, kekayaan ragam budaya yang dimilikinya, aktivitas masyarakat lokal, sejarah serta keramahan masyarakatnya. Bukan ingin melihat jumlah mall yang terus meningkat, bukan untuk diracuni dengan asap dari knalpot dan dengan bisingnya raungan motor-motor yang digunakan oleh para bocah yang masih mencari identitas dirinya, menikmati keindahan dari pepohonan yang ada dan bukannya merusak pohon-pohon tersebut dengan menempelkan iklan atau spanduk-spanduk berbau kampanye politik dan hal-hal matrealistis lainnya
Mahalnya tiket masuk Candi Prambanan (baik bagi turis asing maupun lokal) membuat kami tidak kehabisan akal supaya bisa tetap menikmati petualangan ini
Saat kebutuhan dasar kita mulai tergantung kepada pasar, bukannya kepada alam, maka sejak itulah tanpa kita sadari kita mulai menjadi kurang menghargai alam, merusaknya perlahan-lahan supaya bisa mendapatkan apa yang disediakan oleh pasar, bahkan kita mungkin menjadi tidak menyadari bahwa disekitar kita terdapat "harta berharga" yang nilainya melebihi angka materi yang bisa kita bayangkan, karena "harta" tersebut menyediakan kesehatan, ketenangan pikiran, dan nilai-nilai filosofis yang dapat dijadikan pegangan untuk kita kedepannya tentang bagaimana mengelola Bumi Nusantara ini, yang sejak dulu telah menjadi semacam kearifan lokal bangsa ini ketika kita mampu menjadi bangsa yang besar dan bermartabat di hadapan negara-negara lain
Tidak ada kata terlambat jika kita mau berbenah memberesi semua permasalahan yang mendera bangsa ini, jangan hanya menggantungkan semua harapan kepada sosok pemimpin atau pemerintah, tetapi kita pun bisa memulainya dan membuat perubahan yang lebih baik untuk kelak diwarisi kepada anak-cucu kita. Perubahan bisa dimulai dari diri sendiri, ketika satu orang secara perlahan namun pasti dapat mempengaruhi yang lainnya untuk menjadi lebih baik dan bijak dalam mengelola lingkungan dan kekayaan baik alam maupun budaya yang dimiliki negara tercinta ini, Indonesia
Some testimonial from our friends :
Kaspar and Imge Tak (Germany)
Gaspar : "We arived at Yogya without having a clue and found a really nice home ! Thanks for all the help and the room and showing us some secret locations. We really enjoyed our day, Jogja is a nice place to visit if you come from Jakarta and it has so much to discover. Thanks again"
Imge Tak : "Thank you for opening your home for us and making our rather spontaneous trip to Yogya so unforgetable ! We saw the secret places and made the pay-free photos thanks to you. Take care !"
Carolin Broemmel an Alfred Kosasih
Carolin : "Terimakasih for sharing all the beautiful moments with us and welcome us so warmly ! It was really awesome days spent together with you and Agitya at Sultan's Palace and water castle and yesterday on the secret beaches and temple. Now I understand why you move from Jakarta to Yogya. All the best for you and hopefully see you one day again, maybe in Germany, than we can exchange and I will welcome you and Agitya"
Alfred : "Thanks for accept me and others in your house and companion and take us to see a beautiful place, see you an GBU always"
Tuesday, 11 March 2014
Pantai Kukup
Pantai Kukup
Koordinat 8°8'1"S 110°33'15"E
Lihat Peta Lokasi Pantai Kukup Gunungkidul Yogyakarta di peta yang lebih besar
Pada post kali ini, Team Gowes Wisata masih berpetualang di daerah Gunung Kidul menemani teman-teman Backpacker asal German dan Jakarta yang ingin mengeksplor obyek-obyek wisata di Yogyakarta serta mencoba mengenal dan menjelajahi indahnya kekayaan alam Negeri ini, terutama wisata pantai daerah Gunung Kidul yang perlahan tapi pasti mulai dikenal oleh masyarakat luas (berkat para travel blogger seperti kami hehe...) karena keindahan Pantai dengan perbedaan karakter yang dimiliki oleh masing-masing Pantai tersebut
berpetualang bersama : Kaspar, Carol, Agit, dan Imge (saya dan Seorang rekan asal Jakarta yaitu Alfred sedang mengabadikan momen petualangan ini melalui kamera masing-masing)
Ini masih di Indonesia lho...:)
Pantai Kukup sendiri terletak di Desa Kemadang, Kecamatan Tanjungsari (sekitar 1 km di sebelah timur Pantai Baron). Dengan rute dan akses yang sama seperti halnya ketika kami hendak menuju ke Pantai Drini. Pantai Kukup sendiri berada dalam satu kompleks deretan pantai-pantai lainnya seperti Pantai Baron, Pantai Krakal, Pantai Drini, Pantai Sundak, Pantai Siung, Pantai Wediombo, dan lainnya
Tebing batu karang yang terkikis oleh deburan ombak
Mungkin jika sebelumnya kita pernah mencoba googling atau melihat gambar-gambar tentang Pantai Tanah Lot yang terkenal di Bali, maka Pantai Kukup di daerah Gunung Kidul ini juga mempunyai kemiripan dengan Tanah Lot, yaitu dengan adanya pulau karang yang terletak tidak jauh dari bibir pantai, dan dihubungkan dengan sebuah jembatan. Pada bagian atas Pulau karang tersebut terdapat sebuah gazebo, dari atas Pulau dan gazebo tersebut kita bisa mengamati keindahan Pantai Kukup
Pantai yang juga kaya dengan biota lautnya ini dapat terlihat dari adanya para penjual ikan hias air laut yang menggelar akuarium sederhana di Pantai ini, beragam ikan seperti ikan buntal dan ikan-ikan lainnya yang berwarna-warni terlihat berenang dengan anggun dan bersembunyi diantara bebatuan karang-karang kecil
Bahkan teman-teman backpacker asal German ini terlihat takjub dengan keindahan alam yang kita miliki
Dengan arus ombak yang cukup besar dan dengan daya hisap yang kuat maka bagi para wisatawan yang datang sebaiknya berhati-hati jika ingin berenang, awasilah teman dan keluarga anda (terlebih jika anda membawa anak kecil)
Hamparan pasir Pantai yang berwarna putih dengan suasana pantai yang tenang dan bersih (memang sudah seharusnya tetap seperti itu) seakan merupakan obat pelepas rasa penat
Ketenangan dan kedamaian seperti inilah yang saat ini merupakan hal yang mulai langka dan susah didapatkan, terlebih jika sebelumnya kita terbiasa dengan lingkungan perkotaan
Pantai ini juga sering digunakan oleh masyarakat sekitar untuk menggelar upacara sedekah laut atau disebut Labuhan, yang diadakan setiap bulan Suro menurut penanggalan Jawa. Jika anda berniat untuk tinggal dalam waktu yang cukup lama atau mempunyai waktu berlibur yang cukup, maka jangan lupa agendakan jadwal anda untuk melihat proses ritual yang termasuk dalam wisata budaya ini
Deburan ombak yang menghantam bebatuan karang dan hempasan ombak di bibir pantai seakan menjadi obat bagi pikiran dan jiwa
Bagaimana menurut anda? mungkin Pantai-pantai yang berada di wilayah Gunung Kidul, Propinsi DIY ini bisa menjadi tujuan liburan anda berikutnya...:)
Koordinat 8°8'1"S 110°33'15"E
Lihat Peta Lokasi Pantai Kukup Gunungkidul Yogyakarta di peta yang lebih besar
Pada post kali ini, Team Gowes Wisata masih berpetualang di daerah Gunung Kidul menemani teman-teman Backpacker asal German dan Jakarta yang ingin mengeksplor obyek-obyek wisata di Yogyakarta serta mencoba mengenal dan menjelajahi indahnya kekayaan alam Negeri ini, terutama wisata pantai daerah Gunung Kidul yang perlahan tapi pasti mulai dikenal oleh masyarakat luas (berkat para travel blogger seperti kami hehe...) karena keindahan Pantai dengan perbedaan karakter yang dimiliki oleh masing-masing Pantai tersebut
berpetualang bersama : Kaspar, Carol, Agit, dan Imge (saya dan Seorang rekan asal Jakarta yaitu Alfred sedang mengabadikan momen petualangan ini melalui kamera masing-masing)
Ini masih di Indonesia lho...:)
Pantai Kukup sendiri terletak di Desa Kemadang, Kecamatan Tanjungsari (sekitar 1 km di sebelah timur Pantai Baron). Dengan rute dan akses yang sama seperti halnya ketika kami hendak menuju ke Pantai Drini. Pantai Kukup sendiri berada dalam satu kompleks deretan pantai-pantai lainnya seperti Pantai Baron, Pantai Krakal, Pantai Drini, Pantai Sundak, Pantai Siung, Pantai Wediombo, dan lainnya
Tebing batu karang yang terkikis oleh deburan ombak
Mungkin jika sebelumnya kita pernah mencoba googling atau melihat gambar-gambar tentang Pantai Tanah Lot yang terkenal di Bali, maka Pantai Kukup di daerah Gunung Kidul ini juga mempunyai kemiripan dengan Tanah Lot, yaitu dengan adanya pulau karang yang terletak tidak jauh dari bibir pantai, dan dihubungkan dengan sebuah jembatan. Pada bagian atas Pulau karang tersebut terdapat sebuah gazebo, dari atas Pulau dan gazebo tersebut kita bisa mengamati keindahan Pantai Kukup
Pantai yang juga kaya dengan biota lautnya ini dapat terlihat dari adanya para penjual ikan hias air laut yang menggelar akuarium sederhana di Pantai ini, beragam ikan seperti ikan buntal dan ikan-ikan lainnya yang berwarna-warni terlihat berenang dengan anggun dan bersembunyi diantara bebatuan karang-karang kecil
Bahkan teman-teman backpacker asal German ini terlihat takjub dengan keindahan alam yang kita miliki
Dengan arus ombak yang cukup besar dan dengan daya hisap yang kuat maka bagi para wisatawan yang datang sebaiknya berhati-hati jika ingin berenang, awasilah teman dan keluarga anda (terlebih jika anda membawa anak kecil)
Hamparan pasir Pantai yang berwarna putih dengan suasana pantai yang tenang dan bersih (memang sudah seharusnya tetap seperti itu) seakan merupakan obat pelepas rasa penat
Ketenangan dan kedamaian seperti inilah yang saat ini merupakan hal yang mulai langka dan susah didapatkan, terlebih jika sebelumnya kita terbiasa dengan lingkungan perkotaan
Pantai ini juga sering digunakan oleh masyarakat sekitar untuk menggelar upacara sedekah laut atau disebut Labuhan, yang diadakan setiap bulan Suro menurut penanggalan Jawa. Jika anda berniat untuk tinggal dalam waktu yang cukup lama atau mempunyai waktu berlibur yang cukup, maka jangan lupa agendakan jadwal anda untuk melihat proses ritual yang termasuk dalam wisata budaya ini
Deburan ombak yang menghantam bebatuan karang dan hempasan ombak di bibir pantai seakan menjadi obat bagi pikiran dan jiwa
Bagaimana menurut anda? mungkin Pantai-pantai yang berada di wilayah Gunung Kidul, Propinsi DIY ini bisa menjadi tujuan liburan anda berikutnya...:)